Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Akbar
Abstrak :
Sudah sejak lama diketahui bahwa Jakarta dan sekitarnya banyak terdapat temuan prasejarah seperti tembikar, terakota, beliung persegi, batu serpihan, batu asahan, gelang batu, manik-manik, alat logam, cetakan logam, dan lain-lain. Temuan-temuan tersebut berasal dari penduduk yang umumnya diperoleh di sawah atau ladang mereka. Berdasarkan informasi penduduk itulah maka lokasi temuan dapat diketahui. DMS DKI Jakarta dan PUSLITARKENAS kemudian melakukan penelitian berupa survei dan ekskavasi. Namun, tidak semua lokasi temuan telah diteliti baik berupa survei maupun ekskavasi. Bahkan sebagian besar temuan hasil penelitian arkeologi tersebut, kini tidak dapat dilacak lagi keberadaannya. Atas dasar itulah, penelitian ini berusaha memilah lokasi-lokasi temuan prasejarah di wilayah ini. Lokasi-lokasi temuan dibagi ke dalam dua kategori yaitu situs permukiman dan bukan situs permukiman. Hasil pemilahan menunjukkan hanya 7 dari 39 lokasi temuan yang dapat dikategorikan sebagai situs permukiman. Kemudian, dari 7 situs permukiman tersebut hanya 4 situs yang temuannya dapat dilacak kembali keberadaannya, yaitu situs Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni. Hasil analisis menunjukkan bentuk-bentuk tembikar yang ada adalah periuk, tempayan, cawan, cawan berkaki, piring, pasu, dan kendi. Teknik pembentukannya adalah teknik tangan, sambung, tatap pelandas, dan roda pemutar. Tahap penyelesaian akhir menggunakan pengupaman, pemberian slip warna merah, dan memberikan hiasan. Hiasan dihasilkan dengan teknik gores, tatap pukul, tekan, gabungan antara teknik tekan dan gores. Hiasan yang dihasilkan adalah garis sejajar, garis tak beraturan, garis silang, tumpal, jala, anyaman, duri ikan, lingkaran memusat, kerang, gabungan garis lengkung dan titik-titik. Mengenai persebarannya terlihat bahwa Kelapa Dua memiliki variasi yang paling sedikit, baik dalam hal bentuk, teknik pembuatan, teknik penyelesaian, teknik bias, dan hiasan. Pejaten dan Kampung Kramat memiliki variasi yang terbanyak. Tembikar dari Kelapa Dua berasal dari masa Bercocok Tanam atau lebih tua dari situs lainnya. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang mutlak antara tingkat porositas dan daya serap air baik terhadap tembikar tipis maupun yang tebaI. Hal tersebut tergantung dari penyelesaian akhir yang dilakukan. Kemudian, komposisi kimia tembikar dari keempat situs adalah sama, yaitu silikat, aluminium, kalsium, magnesium, dan besi dengan kadar yang relatif tidak berbeda. Bahan campurannya pun, yaitu lempung dan pasir berukuran relatif sama. Masyarakat tampaknya telah mempunyai standar tertentu dalam memilih bahan baku dan campurannya. Sebagian besar situs yaitu Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong terletak pads satuan Kipas Gunung Api Bogor. Jenis-jenis mineral tanah di satuan ini dan jenis-jenis mineral tembikar dan situs-situs memperlihatkan cukup banyak persamaan. Sungai-sungai yang mengalir dikeenam situs menghasilkan endapan pasir atau lempung. Proses pengendapan ini membuat situs-situs itu mengandung sumber daya bahan untuk membuat tembikar. Tampaknya tembikar dari situs-situs tersebut menggunakan bahan baku yang diambil dari wilayahnya sendiri dan tembikar yang dihasilkan merupakan produksi lokal. Bentuk atau tipe beliung persegi di wilayah ini ada 3 tipe. Bahan beliung persegi terdiri dari batuan Cheri, Metalimestane, Dacite, Horn fels, Jasper, Siltstone, dan Silisifiedwaod. Berdasarkan peta geologi, Kelapa Dua mengandung sumber bahan haku Cheri, Silisifedwaad, dan Siltstone, Sedangkan Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni tidak mengandung batuan untuk pembuatan beliung persegi. Beliung persegi yang terbuat dari Chart, Silistfiedwood, dan Siltstone kemungkinan berasal dari Kelapa Dua. Sedangkan, yang terbuat dari batuan lainnya kemungkinan berasal dari luar wilayah ini. Beliung persegi yang terdapat di Kelapa Dua, Pejaten, dan Kampung Kramat sebagian besar menunjukkan bekas-bekas pemakaian untuk keperluan praktis yakni pengerjaan kayu seperti membuat ukiran kayo. Beliung persegi dari Buni semuanya. masih utuh dan mungkin digunakan untuk alat upacara serta digunakan sebagai hekal kubur. Artefak logam berasal dari Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni. Sedangkan, Kelapa Dua tidak mengandung artefak logam. Hasil analisis menunjukkan terdapat artefak besi dan perunggu di Pejaten serta terak logam di Kampung Kramat dan Buni. Di Pejaten dan Kampung Kramat terdapat temuan yang mengindikaslkan aktivitas pembuatan alat logam. Namun, berdasarkan keadaan geologi, wilayah ini tidak mengandung bahan baku untuk pembuatan alat logam. Mengenai hubungan antara situs dan keadaan lingkungan alamnya terlihat bahwa iklim di wilayah ini relatif nyaman. Situs-situs umumnya terletak pada satuan morfologi yang banyak mengandung rempah-rempah gunung api dan membuat tanah menjadi subur. Sehingga, berbagai Penis flora dan fauna yang dibutuhkan manusia, dapat hidup dan berkembang dengan baik di wilayah ini. Berdasarkan temuan dan keadaan lingkungan alamnya, situs-situs di wilayah ini terdiri atas 3 tipe. Tipe 1 yaitu Kelapa Dua dari masa Bercocok Tanam dan terdapat di bagian pedalaman Aktivitas di sites ini adalah perbengkelan beliung persegi tahap awal sampai akhir. Beliung persegi tersebut kemudian didisiribusikan ke situs lain yang berada di utara Kelapa Dua. Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong tergolong Tipe 2 dari masa Barcacok Tanam dan terus berlanjut sampai Perundagian. Situs-situs itu terdapat di bagian tengah wilayah penelitian ini. Aktivitas yang terjadi di sini adalah perbengkelan beliung persegi tahap pembentukan dan penyelesaian akhir serta perbengkelan logam. Situs Tipe 3 yaitu Buni dari masa Perundagian dan terdapat di dekat pantai. Aktivitas yang terjadi di sini adalah sebagai tempat pertemuan atau interaksi antara masyarakat yang tinggal di sites ini dengan masyarakat lain dari luar situs. Situs-situs permukiman prasejarah di wilayah ini menunjukkan suatu model bahwa pada awalnya permukiman ditempatkan pads suatu daerah yang mengandung bahan bake untuk membuat artefak. Kriteria itu hares dipenuhi, meskipun daerah yang mengandung bahan baku tersebut terietak di pedalaman_ Pada masa berilcutnya penempatan situs lebih mempertimbangkan faktor kemudahan berinteraksi dengan daerah luar. Sehingga, masyarakat pada masa itu lebih memilih daerah pantai, walaupun daerah ini miskin sumber bahan bake pembuatan artefak. Namun, suatu hal yang tidak berubah adalah perilaku masyarakat untuk tetap memilih daerah yang dekat aliran sungai.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunadi
Abstrak :
Watu Kandang adalah nama yang diberikan oleh masyarakat setempat untuk satu susunan batu berbentuk empat persegi panjang atau rectangular encloser of stones. Watu Kandang tersebut ditemukan secara berkelompok di beberapa lokasi atau situs yang tersebar di wilayah Kecamatan Tawangmangu dan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Oleh Soejono monumen tersebut diklasifikasikan dalam peninggalan dari tradisi megalitik, tetapi hingga saat ini secara tegas belum dapat dijelaskan apa fungsi Watu Kandang. Penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelian ini mencakup daerah yang lebih luas dari situs-situs Watu Kandang, selain data berupa beberapa situs Watu Kandang, akan ditemukan variabel lain seperti lingkungan dan artefak lainnya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa situs Watu Kandang adalah sebuah situs kubur, sedang pemukiman masyarakat yang mendirikannya terletak relatif tidak jauh dari situs Watu Kandang, yaitu ditandai dengan faktor-faktor lingkungan yang mendukungnya serta kepadatan temuan gerabah, dan punden. Salah satu keunikan dari Watu Kandang ini adalah arah hadap monumen tersebut yang tidak berkiblat pada puncak gunung, tetapi pada arah munculnya matahari. Lebih jauh dapat diketahui bahwa Watu Kandang tersebut dibangun pada satu musim tertentu. Selanjutnya Watu Kandang merupakan kubur primer atau sekunder perlu penelitian yang lebih mendalam.
Watu Kandang is addressed to rectangular encloser of stones which is given by the local people. They are found in clusters and the sites are spread out all over Tawang-mangu and Matesih district in the Karanganyar regency of central Java. R.P. Soejono said that these monuments are classified from the megalithic tradition but explanation about the function of Watu Kandang are as of yet exactly unknown. The research by this writer ,in the Watu Kandang sites is different from any other research that has been done before. This research was conducted not only at the Watu Kandang location, but also in the surrounding area. The writer will include information on variables such as the environment and additional artifacts. The research concluded that Watu Kandang is a tomb and a settlement is not too far from this burial site. This is indicated by environmental factors, potsherd density and punden (sacrificial place). The spatial orientation of Watu Kandang is of interest because it is not directed towards the top of the mountain (mount Lawu) but rather towards the place where the sun rises. The data gives information about when Watu Kandang was built. Finally research on whether Watu Kandang is a primary or secondary burial sites is very important and will be disscussed in further study.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yani Yuniawati Umar
Abstrak :
Kubur batu waruga yang diteliti terdapat di wilayah Kecamatan Tomohon (Kabupaten Minahasa) clan Kecamatan Wenang (Kodia Manado), Provinsi Sulawesi Utara. Pendukung dari kubur batu waruga di wilayah ini adalah Sub Etnis Tou'mbulu yang merupakan salah sate sub etnis yang ada di Etnis Minahasa. Kubur batu waruga merupakan salah sate unsur peninggalan megalitik yang berupa kubur peti batu. Dilihat dari konstruksinya waruga mempunyai wadah yang berbentuk empat persegi panjang serta tutup yang berbentuk prisma (menyerupai atap rumah), yang hanya terdapat di wilayah Sulawesi Utara khususnya di daerah kawasan Minahasa dan Manado. Pembahasan waruga di Sub Etnis Tou'mbulu ini difokuskan pada bagian tutupnya saja, terutama pada bagian muka dari tutup waruga. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mendapatkan data sedini mungkin sebelum data-data tersebut hilang dan musnah, dengan cara demikian maka botch dikata semua waruga masih sempat didokumentasikan sebelum Benda-benda tersebut lenyap sebagai dokumen sejarah, serta mendukung atau melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya agar lebih akurat terutama dalam pendeskripsian, sehingga dapat diolah dan digolongkan secara kornprehensip, cermat dan akurat, 2) mengadakan pendeskripsian terhadap seluruh jenis peninggalan megalitik khususnya waruga di sub-ctnis Tou'mbulu, Minahasa, sehingga diketahui keragaman maupun kekhasannya, 3) mengetahui poly persebaran waruga ditinjau dari bentuk, hiasan dan Iingkungan tisiknya. Diharapkan dari pokok bahasan mengenai waruga ini, kiranya dapat digunakan sebagai salah satu pangkal tolak dalam menyusun gambaran tentang kehidupan masa lalu, sebagai Benda kebudayaan yang memperlihatkan ciri-ciri yang dapat memberikan petunjuk tentang beberapa kondisi sosial, kulturil dan kronologinya (relatif) dari para pendukung waruga tersebut. Dari has""iI penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa di Sub Etnis Tou'mbulu terdapat 39 bentuk tutup waruga bagian muka. Secara keseluruhan jenis tipe yang terbanyak adalah tipe 11I yang berbentuk trapesium (TPS), yang memiliki 17 variasi. Apabila kenyataan ini dihubungkan dengan uraian dari Deetz dan juga Sharer dan Ashmore tentang norma, maka dapat dianggap bahwa jenis tipe 111 yang berbentuk trapesium ini adalah jenis yang normatif untuk Sub Etnis Tou'mbulu. Norma yang diwakilinya adalah norma pembuatan bentuk tutup pada masyarakat di Sub Etnis Tou'mbulu., mengingat bahwa sampel tutup waruga bagian muka diambil dari seluruh situs di wilayah Sub Etnis Tou'mbulu yang tutupnya masih bisa diamati. Ada kemungkinan pula bahwa bentuk trapesium merupakan ciri atau bentuk tertua serta digemari dibanding dengan bentuk-bentuk lainnya, karena persebarannya terlihat hampir merata di daerah penelitian (lihat tabel 32-35 dan peta no. 8). Selain itu jika dilihat, bentuk trapesium menyerupai bentuk rumah adat di sub etnis ini (lihat gambar 1). Berdasarkan basil dari seriasi frekuensi yang telah dilakukan maka tampak bahwa tutup waruga yang paling digemari adalah tutup waruga dari bentuk 22 (TPS-B-b), yang kemungkinan muncul pertama kali di Situs Lansot (LS), kemudian berkembang kearah situs Kolongan B, Kakaskasen A, Woloan A, clan populer di Situs Kayuwu, kemudian tutup waruga ini mulali memudar berawal dari Situs Tara-tara menuju Kolongan A, dan berakhir di Winawanua. Dari seriasi frekuensi ini juga terlihat bahwa ada kemungkinan Situs Lansot merupakan salah satu pusat tempat munculnya bentuk-bentuk waruga, sedangkan situs Woloan merupakan pusat berkembangnya waruga. Pada sub etnis ini terlihat pula adanya konsep atau norma, bahwa didalam pembuatan kubur yang dinamakan waruga itu adalah harus terdiri dari wadah dan tutup. Bentuk wadah secara sepintas tampak sebagian atau seluruhnya tertanam, sedang tutupnya menonjol di atas..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhila Arifin Aziz
Abstrak :
Sebagai obyek penulisan skripsi, pemilihan judul di atas didasarkan pada: umumnya kerangka manusia yang ditemukan di situs Gilimanuk. dalam penelitian ta_hun 1977 dan 1979 berasosiasi dengan temuan artefak maupun non artefak. Artefak dan non artefak tersebut merupakan satu himpunan temuan (assemblage) yang berada dalam lapisan tanah ketiga dan keempat. Dengan demikian benda-benda yang berasosiasi dan ditemukan di dekat ke_rangka manusia dalam konteks kubur dapat dikelompokkan secara fungsional sebagai benda-benda bekal kubur.Ternyata dari 24 kerangka manusia yang ditemukan . utuh secara anatomi dalam penelitian tahun 1977 dan 1979, hanya 13 kerangka yang disertai benda perunggu se_bagai benda bekal kubur di samping bekal kubur lainnya.Sedikitnya jumlah kerangka manusia yang ditemukan bersama benda perunggu disebabkan oleh pengetahuan yang ter_batas dalam teknologi logam pada masa itu. Dengan demikian hanya orang yang mampu atau mempunyai kedudukan panting dalam masyarakat yang memperoleh benda perunggu sebagai bekal kubur, sedangkan bila ia mati berasal dari keluarga sederhana atau kurang mampu maka penyertaan benda bekal kuburnyapun secara sederhana tanpa disertai benda yang dianggap mempunyai nilai tinggi dalam masyarakat yang bersangkutan. Anggapan mengenai kematian tidak dapat merubah kedudukan seseorang semasa hidupnya dapat ter_lihat dari lengkapnya benda bekal kubur yang disertakan pada mayat yang bersangkutan. Tradisi memberikan benda bekal. kubur pada mayat seseorang yang berasal dari ka_langan atas atau status sosialnya tinggi sampai sekarang masih kita jumpai dan diantaranya ditemukan pada masyara_kat Sumba., Ngadha, Sabu dan Dayak Ngaju yang belum banyak mengalami perubahan ke kehidupan modern. Oleh karena itu penulisan skripsi ini ditekankan pada analisis tentang benda bekal kubur pada situs prasejarah Gilimanuk, khusus_nya benda perunggu.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1983
S11839
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kosasih S.A.
Abstrak :
Salah satu obyek panelitian yang menarik perhatian para ahli arkeologi adalah Lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding-dinding gua (cave wall paintings). Lukisan--lukisan tersebut, pada beberapa tempat di dunia, misalnya di Eropah, Afrika, Australia dan sebagainya, pada umumnya menggambarkan bermacam-macam jenis binatang, di samping lukisan-lukisan manusia dengan benda-benda perlengkapan_nya. Benda-benda yang dimaksud adalah tombak, bumerang, busur dengan anak panahnya, kadang-kadang juga pedang ser_ta perisai. Benda-benda ini, yang seringkali digambarkan bersama-sama dengan manusia, mungkin merupakan peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua tersebut di atas, kiranya talah menimbulkan beberapa pertanyaan yang menyangkut hubungan yang erat antara gua dengan lukisan dan dengan manusia pendukungnya. Mengapa manusia tinggal di dalam gua dan mengapa pula mereka membuat lukisan-lu_kisan pada dinding-dindingnya. Apa fungsi' lukisan-lukis_an ini: untuk maksud-maksud religius-magis, .untuk meng_ungkapkan rasa seni atau hanya untuk kesenangan belaka. Beberapa ahli arkeologi kemudian berpendapat, bahwa keterangan mengenai maksud lukisan-lukisan itu mungkin terletak pada konsep kontak magis (sympathetic magic), dalam hubungannya dengan usaha-usaha perburuan_
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1978
S11755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusmaini Eriawati
Abstrak :
Adaptasi adalah suatu strategi yang digunakan oleh manusia sepanjang hidupnya untuk bertahan dan menyesuaikan diri (Alland, 1975: 63--71; Dyson-Hudson, 1983:5--10; Harris, 1968:2--15; Moran, 1979: 4--9). Secara umum adaptasi sering diartikan sebagai suatu proses, dan lewat proses itu hubungan-hubungan yang (saling) menguntungkan antara suatu organisme dan lingkungannya dibangun dan dipertahankan (Hardesty, 1977: 19--24). Berbagai proses yang memungkinkan manusia bertahan (survive) terhadap tantangan kondisi lingkungan membuktikan kemampuan mereka untuk beradaptasi (McElroy dan Townsend, 1989: 6--14). Masalah adaptasi yang pada intinya mempelajari interaksi atau hubungan manusia dan lingkungan pada masa lalu yang merupakan bagian dari permasalahan arkeologi (Hardesty 1980: 157--68 ; Kirch 1980: 101--14), saat ini sudah menjadi topik yang sering dibicarakan para arkeolog Indonesia. Dari karya-karya ilmiah yang diajukan di berbagai pertemuan ilmiah arkeologi belakangan ini, beberapa di antaranya membicarakan masalah interaksi manusia dan lingkungan masa lalu tersebut. Begitu pula dari beberapa tesis program pascasarjana, antara lain Heriyanti Ongkodharma dengan Situs Banten Lama (1987), Wiwin Djuwita dengan Situs Gilimanuk (1987), Sonny Chr_ Wibisono dengan Situs Selayar (1991), serta Soeroso M.P. dengan Situs Batujaya (1995). Karya ilmiah yang dapat dikatakan menjadi pembuka jalan bagi arkeologi Indonesia untuk lebih menekuni dan melihat besarnya manfaat penelitian arkeologi dalam membahas permasalahan interaksi manusia dan lingkungan tertuang dalam disertasi Mundardjito (1993) yang berjudul pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Budha di daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro. Disertasi itu menunjukkan bahwa kepeloporan Mundardjito menjadi sangat penting artinya (Dharrnaputra, 1996: 1-2). Penelitian arkeologi mengenai masalah interaksi manusia dan lingkungan di dunia diawali dengan adanya karya antropolog Amerika, Julian Steward pada tahun 1937 yang menggunakan konsep ekologi budaya dalam melakukan penelitian di bagian utara Amerika Barat daya mengenai adaptasi masyarakat dan pola permukiman komunitas prasejarah dalam konteks lingkungan alam (Mundardjito 1993:8). Lingkungan memang rnerupakan faktor yang penting bagi terciptanya suatu proses hubungan antara manusia dengan budayanya. Hubungan itu tidaklah semata-mata terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga terwujud sebagai suatu hubungan dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungannya (Suparlan, 1984: 3-6). Menurut William W. Fitzhug (1972:6--10) hubungan antara manusia dan lingkungan, terutama pada masa prasejarah, lebih banyak diekspresikan ke dalam adaptasi teknologi dan ekonorni (mata pencaharian) yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hidup manusia. Kebutuhan manusia paling mendasar untuk hidup adalah makanan dan minuman, ruang fisik untuk berlindung, sarana kegiatan (bekerja, beristirahat, bermain), dan ruang sumber daya sebagai tempat untuk memperoleh makanan, minuman, dan peralatan (Raper, 1977: 193--96). Kebutuhan hidup manusia yang paling penting dan merupakan syarat utama untuk dapat dipenuhi adalah keberadaan sumber makanan-minuman di lingkungan merka hidup. daerah-daerah yang dipilih untuk dimukimi manusia adalah tempat-tempat yang dapat memberikan cukup persediaan bahan makanan dan air tawar, terutama di sekitar tempat-tempat yang sering dikunjungi atau dilalui hewan, seperti padang-padang rumput, hujan kecil dekat sungai atau dekat rawa-rawa. Selain atas dasar kemungkinan memperoleh makanan, manusia secara berpindah-pindah tinggal di tempat-tempat yang dipandang cukup aman dari gangguan binatang liar dan terhindar dari panas, hujan atau angin, misalnya di balik-balik batu besar atau membuat perlindungan dari ranting-ranting pohon, dan sebagainya (Soejono 1990:118; Beals dan Hoijer 1963:359). Selanjutnya mulai timbul usaha-usaha mencari tempat yang lebih permanen, yaitu dengan memanfaatkan gua-gua atau ceruk-ceruk yang tersedia. Pada awalnya gua atau ceruk itu dimanfaatkan terbatas hanya sebagai tempat berlindung dan menghindar dari berbagai gangguan yang merupakan kebutuhan dasar (basic need) manusia mempertahankan diri (Koentjaraningrat, 1990: 11--15; Haviland, 1993: 13--16). Adanya kebutuhan tempat tinggal yang lebih permanen menjadikan gua-gua atau ceruk-ceruk itu dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat melaksanakan hcrbagai kegiatan (Soejono, 1990:125; Beals dan Hoijer, 1963:355--58).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu Budiarti
Abstrak :
ABSTRAK
Judul skripsi Bangunan Berundak sebagai salah satu penunjuk kebudayaan Masyarakat Megalitik di Indonesia, terdiri dari 137 halaman, 37 foto, 4 gambar dan 5 peta. Sebagai obyek penulisan skripsi, pemiliban judul di atas didasarkan berbagai hal. Pokok pembahasan yang utama adalab bangunan berundak yang merupakan salab situ peninggalan hasil budaya masyarakat megalitik pada masa prasejarah. Bangunan ini dijadikan sebagai data penunjuk dalam mengungkapkan keadaan masyarakat megalitik pada masa prasejarah di Indonesia Bangunan yang dijadikan obyek penelitian adalab bangu_nan berundak yang ada di Jawa Barat, yaitu di Cangkuang, Pasir Ciranjang, Pangguyangan, Area Domas, Lebak Sibedug, Kosa_la dan Gunung Padang. Deskripsi dilakukan pada bangunan-ba_ngunan tersebut untuk mengetahui polanya. Dipergunakan jugs analogi etnografi terbadap masyarakat desa Kanekes di Banten Selatan yang masih menganggap Area Domes sebagai bangunan suci. Di Bali pengaruh tradisi megalitik masib terdapat di daerah Bali Aga: Di daerah-daerah tersebut terdapat bangu_nan-bangunan pura yang bentuknya berundak-undak dan dipergu-nakan sebagai bangunan suci oleh masyarakat disekitarnya yang masih mempertahankan tradisi megalitik dalam kehidupan sehari_hari. Berdasarkan hal tersebut maka diadakan analogi etnogra_fi untuk memperoleh data etnoarkeologi yang berguna sebagai data penunjang dalam mengungkapkan keadaan masyarakat megalitik pada masa prasejarah di Indonesia Pada masa mendatang masih diperlukan penelitian yang lebib luas dan mendalam terhadap sisa--sisa peninggalan kebuda_yaan megalitik, sebingga dapat diungkapkan mengenai kehidupan masyarakat pada masa prasejarah di Indonesia secara menyeluruh mencakup berbagai aspeknya.
1986
S11983
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Hasyim
Abstrak :
Kabupaten Maros merupakan suatu daerah yang sangat dikenal dengan ggalan arkeologis, khususnya tinggalan arkeologis berupa situs gua prasejarah gsejak awal abad ke 20 daerah ini telah menjadi pusat perhatian para arkeolog lebih seabad lamanya penelitian yang dilakukan di kabupaten Maros, para peneliti hanya memfokuskan penelitiaannya terhadap peninggalan-peninggalan gua-gua dan nanti setelah para mahasiswa Jurusan Arkeologi Unversitas Hasanuddin pada tahun 1994 melakukan kegiatan praktek lapangan mata geomorfologi di daerah kecamatan Mallawa, menemukan alat batu berupa dan beliung, serta fragmen gerabah. Setclah itu, pada tahun 1995 Suaka nggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Sulselra, melakukan survei dalam upaya tmventarisasi situs. Kemudian pada tahun itu juga, Bidang Arkeomentri Pusat litian Arkeologi Nasional yang bertjuan untuk mengetahui jenis batuan dan, serta temuan berupa alat batu yaitu kapak dan beliung, serta gerabah yang pat di situs Mallawa. Kemudian tahun 1999 Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin dan Balai Arkeologi Makassar melakukan penelitian berupa ekskavasi sekaligus melakukan pemetaan di silos Mallawa. Dari basil penelitian yang dilakukan di situs Mallawa maka dapat ditarik lesimpulkan bahwa : Hasil uji laboratorium dengan menggunakan radiokarbon C14 di Australian National University terhadap beberapa sampel tanah (arang) dan gerabah, fragmen tulang binatang berkarbon yang diambil dari basil ekskavasi di sisi bukit bagian timur Bulu Bakung di kotak galian 1 (K1), (spit 3) ANU-1 1275 (576 +1- 80 BP) yaitu 580 BP, (spit 7) ANU-11274 (1860 +1- 70 BP) yaitu 1780 BP, dan (spit 9) ANU-11276 (2490 +1- 220 BP) yaitu 2550 BP. Dari basil uji laboratorium tersebut memberikan gambaran bahwa penghunian situs Mallawa dalam konteks neolitik telah berlangsung sejak 600 SM. (2550 P BP). Dari hasil uji laboratorium terhadap temuan alat batu (kapak dan beliung) dan bahan batuan yang ada di situs Mallawa oleh Bidang Arkeometri Pusat penelitian arkeologi Nasional di ketahui bahwa bahan pembuatan alat batu memiliki persamaan jinis batuan berupa batuan basal yang banyak ditemukan di sekitar situs Mallawa. 1lal ini berarti bahwa manusia pendukung budaya di situ Mallawa telah memanfaatkan sumberdaya batuan untuk dipergunakan sebagai bahan Baku maupun sebagai sarana pembuatan alat...
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T39166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rauf Suleiman
Abstrak :
Suatu kenyataan ialah bahwa walaupun masa prasejarah telah berakhir secara formal di Indonesia, namun demikian kelangsungan tradisi tersebut masih jelas tampak di beberapa tempat. Bahkan beberapa bagian daerah Irian Jaya dan Nusatenggara, belum mengalami perubahan yang berarti, sehingga terkesan masih berada dalam kehidupan prasejarah (Soejono, 1990: 306). Salah satu tradisi prasejarah yang masih hidup hingga saat ini ialah tradisi megalitik. Perkembangan tradisi ini, berlangsung cukup lama yaitu dari masa neolitik hingga sekarang (Van Heekeren, 1958: 44). Oleh karena itu tidak mengherankan jika tradisi megalitik ini telah memberikan dasar yang kuat bagi budaya bangsa Indonesia. Bahkan tradisi megalitik, dengan sangat dinamis mengikuti corak perkembangan budaya yang masuk ke Indonesia. Pemujaan terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship) merupakan ciri khas dari tradisi megalitik, bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Pendukungnya. Tradisi pemujaan ini berlangsung dan perkembangan terus menerus sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sampai sekarang. Persebarannyapun pada waktu Sekarang Menjangkau Wilayah Yang Cukup Luas, Seperti: Nias, Flores, Sabu, Timor, Sumba dan lain-lain (Soejono 1990: Sukendar, 1981/1982). Pemujaan Terhadap Arwah Nenek Moyang Dari Tradisi Megalitik, Dilatar Belakangi Oleh Anggapan Bahwa Nenek Moyang yang meninggal itu masih hidup di dunia arwah. Arwah juga diyakini bersemayam di tempat-tempat tertentu yang dianggap suci, seperti gunung-gunung yang tinggi dan sebagainya (soejono, 1977). Prinsip inilah yang tinggi dan segenap monumen-monumen megalitik, baik yang sudah tidak berfungsi maupun yang masih berfungsi. Di sulawesi selatan, peninggalan megalitik tersebar hampir di berbagai daerah. Tradisi hingga sekarang masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakatnya. Sebagai contoh di toraja, hingga saat ini penduduk setempat masih sering mendirikan menhir (simbuang). Simbuang tersebut ada kalanya dibuat dari batu maupun dari batang kayu, batang pinang dan bahkan batang bambu (rantepadang, 1989: 40). pelaksanaan pendirian simbuang ini erat kaitanya dengan kepercayaan aluk to dolo, yaitu kepercayaan lama yang berorientasi kepada pemujaan arwah leluhur (soejono, 1990: nadir, 1980). Ada dugaan bahwa tradisi serupa pernah juga berkembang di daerah-daerah seperti sengkang dan sidenreng (sidrap) (tjitrosoepomo, 1987: 82).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhila Arifin Aziz
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>