Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mundardjito
"Kegiatan survei dan penelitian arkeologi di Indonesia sudah berlangsung lama sejak masa penjajahan Belanda. Namun demikian sampai saat ini tidak seorang pun dapat mengatakan secara pasti berapa jumlah sites arkeologi masa Hindu-Buda yang sudah pernah ditemukan, baik di daerah Jawa Tengah pada umumnya maupun di daerah Yogyakarta pada khususnya. Selain dari itu tidak seorang pun yang dapat menyatakan secara tepat di mana saja semua situs itu terletak, pada bentuk permukaan bumi seperti apa, bagaimana sebarannya, serta seberapa jauh kaitannya dengan lingkungan alam. Padahal keterangan mengenai lokasi sites, frekuensi, luas sebaran, kepadatan, bentuk konligurasi sebaran, dan korelasinya dengan sumberdaya alam merupakan data dasar yang biasa digunakan dalam studi arkeologi-ruang untuk mengetahui dan memahami berbagai hal mengenai perilaku dan gagasan keruangan masyarakat masa lalu.
Di berbagai bagian dunia penelitian arkeologi-ruang sudah lama dimulai (Parsons 1972.127-50; Clarke 1977:2-5), dan sudah lama pula diselenggarakan dengan strategi serta metode penelitian yang cukup memadai untuk mernungkinkan tercapainya tujuan penelitian sebagaimana dicontohkan oleh Gordon R. Willey dalam penelitian pionirnya di lembah Viru, Peru (Willey 1953). Demikian pula sudah hampir dua dasawarsa lamanya konsep arkeologi-ruang telah diperjelas serta dipertegas paradigmanya oleh David L. Clarke (1977), dan segala bentuk kajian yang sejenis dipersatukannya dalam satu wadah studi yang diberi nama spatial archaeology (arkeologi-ruang).
Di Indonesia paradigma arkeologi-ruang belum dijadikan landasan pokok dalam kebanyakan penelitian semacam ini, bahkan dengan berat hati dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan penelitian arkeologi-ruang di negara kita masih dalam taraf uji coba, dan sebagian besar masih merujuk pada kajian keruangan yang kurang luas rentangan wawasannya. Relatif terlalu sedikit ahli arkeologi kita yang berhasrat terjun menekuni bidang kajian arkeologi-ruang, dan oleh karena itu belum banyak hasil penelitian yang dapat dijadikan bahan acuan atau bahan banding yang memadai. Oleh sebab itu pula masuk akal kiranya jikalau di negara kita data dasar yang biasa diperlukan dalam kajian arkeologiruang belum tersedia, atau kalau pun ada belum cukup siap untuk dapat digunakan secara Iangsung dalam penelitian khusus semacam ini. Pada dewasa ini Para peneliti arkeologiruang di Indonesia harus berupaya keras, dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk melacak lebih dahulu informasi keruangan dari benda-benda dan situs-situs arkeologi yang pernah diketahui atau disebut dalam laporan-laporan inventarisasi kepurbakalaan, kernudian mendaur ulang dan menambahnya dengan data yang lebih lengkap dan lebih khusus, serta melengkapinya dengan data baru sebelum dapat diolah dalam tahap analisis untuk memungkinkan tercapainva tujuan penelitian dengan hasil yang memadai.
Kajian ini tidak lain merupakan satu upaya kecil untuk mengembangkan penelitian arkeologi-ruang di negara kita, khususnva dalam skala regional (makro) serta yang dilaksanakan dengan strategi dan metode yang dianggap sesuai dengan hakikat data arkeologi-ruang yang ada di lndonesia. Disadari sepenuhnya bahwa tanpa melakukan kajian semacam ini, perkembangan studi arkeologi-ruang di Indonesia niscaya akan menjadi amat lambat, sehingga akan makin jauh tertinggal dari penelitian serupa di negara lain. Arkeologi-ruang.
Pokok Kajian. Arkeologi-ruang, yang merupakan salah satu studi khusus dalam bidang arkeologi, pada pokoknya lebih menitikberatkan perhatian pada pengkajian dimensi ruang (spatial) dari benda dan situs arkeologi daripada pengkajian atas dimensi bentuk (formal) dan dimensi waktu (temporal). Dalam sejarah perkembangan arkeologi di berbagai bagian dunia, pengkajian khusus keruangan terhadap benda-benda arkeologi maupun situs-situs memang datang lebih kemudian daripada pengkajian atas dimensi bentuk dan waktu. Begin.) pula dalam empat dasawarsa terakhir ini di dunia arkeologi terdapat semacam pergeseran tekanan perhatian, yaitu dari pengkajian atas artefak kepada pengkajian atas situs yang pada hakikatnya merupakan satuan ruang tertentu tempat terletaknva sekumpulan artefak, Kemudian dalam tahap perkembangan berikutnya tekanan itu diberikan kepada pengkajian atas wilayah (region) sebagai satuan ruang yang lebih luas, tempat terletaknya situs-situs. Pemberian tekanan perhatian kepada dimensi ruang inilah yang mengakibatkan bergesernya kesibukan sebagian ahli arkeologi dari kajian morfologi, tipologi dan klasifikasi benda arkeologi kepada upaya untuk rnemperoleh kembali informasi keruangan sebagai babas untuk dikaii lebih cermat, baik dari benda-benda arkeologi yang berada dalam satuan ruang berupa sites maupun dari situs-situs yang berada dalam satuan ruang yang lebih luas berupa wilayah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D222
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaesih Maulana
"Istilah ikonografi (iconography) berasal dari akar kata ikon (icon) dan graphoo. Istilah ikon berasal dari bahasa Yunani eikoon yang berarti bayangan, potret, gambar. Dalam istilah ikonografi Hindu kata ikon dipakai secara lebih khusus. Kata itu tidak ditujukan kepada materi gambar, tetapi pada tokoh yang digambarkan dan kemiripan tokoh yang dinyatakan dalam gambar dengan tujuan untuk mengadakan hubungan dengan tokoh atau dewa tersebut (Banerjea 1974: 1-2). Menurut Sutjipto Wirjosuparto yang mengutip kitab Pratimamanalaksanam, dalam Sejarah Beni Artja India, di India, tujuan seorang seniman menciptakan sebuah area atau benda seni lainnya adalah untuk mempertinggi martabat dewa dan bukan untuk kepuasan dirinya. Selanjutnya disebutkan bahwa apabila seseorang membuat atau memperbaiki sebuah area maka "jiwanya yang murni mendapat hidup sejahtera di sorga lebih dari seratus ribu yuga". (Wirjosuparto 1956: 6).
Kata graphoo artinya menulis, memerinci. Jadi ikonografi berarti "rincian suatu benda. yang menggambarkan tokoh dewa atau seorang keramat dalam bentuk suatu lukisan, relief, mosaik, arca atau benda lainnya", yang khusus dimaksudkan untuk dipuja atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara keagamaanl) yang berkenaan dengan pemujaan dewa-dewa tertentu. (Banerjea 1974: 2-5, Sahai 1975: 1-2).
Kata Yunani eikon dalam anti seperti di atas sesuai dengan istilah-istilah dalam bahasa Sanskerta arca, beta , vigraha dan pratima yang berarti perwujudan jasmani seorang dewa yang dipuja oleh para bhakta , yaitu orang-orang yang berbakti atau memuja. Untuk lebih mendekati rasa ke-Tuhanan, para bhakta kemudian menggunakan istilah tanu dan rupa, yang berarti badan atau bentuk dewa yang digambarkan. Dengan menggunakan istilah tanu dan ru pa mereka merasa puas, karena merasa lebih dekat dengan Tuhan atau dewa yang dipujanya. Selain istilah tanu dan rupa di India dikenal pula kata vimba yang berarti pencerminan yang sama. Pengertian pencerminan ini terlihat dalam upacara Durgapuja, yaitu suatu upacara untuk meminta keselamatan atau hal-hal yang berkaitan dengan keduniawiaan. Dalam upacara ini dilakukan upacara memandikan arca dewi Durga yang terbuat dari tanah liat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya niversitas Indonesia, 1992
D209
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library