Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denis Kurniawan
"Tulisan ini menganalisa perlunya perluasan kompetensi absolut Mahkamah Agung dalam melakukan judicial review (hak uji materiil) terhadap Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Politik sebagai objek pengujiannya (objectum litis). Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Partai politik sebagai lembaga yang disebut eksistensi, kewenangan, serta pembubaranya secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar 1945 menjadikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik sebagai peraturan yang ditetapkan oleh suatu Partai Politik atas dasar perintah dari norma hukum yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Partai Politik, sehingga materi muatan dan tata cara pembentukanya tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya. Oleh karena itu, apabila adanya ketidakharmonisan antara Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Politik dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi harus diuji dari segi validitasnya sebagai norma hukum oleh mahkamah agung sebagai lembaga judicial control. Permohonan pengujian Perubahan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat Tahun 2020 melalui perkara Nomor 39 P/HUM/2021 tidak diputus oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan yang komperehensif, seharusnya pengujian tersebut dapat dilakukan secara progresif dengan melakukan terobosan hukum (rule breaking) demi melindungi hak konstitusional warga negara yang diabaikan dan dicederai oleh pemberlakuan suatu Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai Politik.

This article analyzes the need to expand the absolute competence of the Supreme Court in conducting judicial reviews (right to judicial review) of the Articles of Association and/or Bylaws of Political Parties as the object of review (objectum litis). This article was prepared using doctrinal research methods. Political parties as institutions are known for their existence, authority and constitutional dissolution through the 1945 Constitution, making the Articles of Association and Bylaws of Political Parties as regulations established by a Political Party on the basis of orders from higher legal norms, namely the Law. Political Parties, so that the content and procedures for their formation must not conflict with the legal norms above. Therefore, if there is disharmony between the Articles of Association and/or Bylaws of a Political Party and higher statutory regulations, it must be tested in terms of its validity as a legal norm by the supreme court as a judicial control institution. The request for review of changes to the 2020 Democratic Party's Articles of Association and/or Bylaws through case Number 39 P/HUM/2021 was not decided by the Supreme Court with comprehensive considerations, the review should have been carried out progressively by carrying out legal breakthroughs (rule breaking) for the sake of protect the constitutional rights of citizens which are ignored and injured by the enactment of a Political Party's Articles of Association and/or Bylaws."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ad’jdam Riyange Zulfachmi Sugeng
"

Hak memilih dikatakan sebagai ciri atau sifat utama dari demokrasi. Hak memilih penting untuk memilih wakil yang melakukan pembuatan, perubahan, dan penghapusan suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa hak memilih maka tidak terdapat suatu bentuk pengalihan kekuasaan atau legitimasi dari rakyat secara masif dan menyeluruh kepada negara dan pemerintahan. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan pertimbangan Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan kemudian ditegaskan lagi melalui Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, bahwa hak memilih merupakan hak konstitusional. Tetapi pada prakteknya, terdapat pembatasan oleh hukum atas Hak Konstitusional berupa hak memilih tersebut, yaitu pembatasan hak memilih kepada anggota aktif dari Tentara Nasional Indonesia dalam pemilihan umum. Walau pembatasan hak memilih tersebut dapat terjadi dengan melihat ketentuan hukum yang berlaku, keberadaan pengaturan untuk membatasi hak memilih ini perlu dilakukan kajian lebih jauh. Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan cara menarik asas hukum baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, sistematika hukum, taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan baik secara vertikal ataupun horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Pengaturan hak memilih bagi anggota Tentara Nasional Indonesia adalah tidak diberikan hak memilih dengan dasar menjaga netralitas dari para anggota Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara. Sementara terdapat beberapa bentuk pengaturan hak memilih bagi anggota angkatan bersenjata, yaitu dengan memberikan hak memilih secara penuh, memberikan hak memilih secara sebagian, dan tidak memberikan hak memilih, serta melakukan pengaturan melalui dua cara, yaitu dicantumkan pada produk hukum konstitusi atau hanya dicantumkan pada produk hukum bukan konstitusi, yaitu undang-undang.

 


The right to vote is the main characteristic of democracy. The right to vote is important to elect representatives who make, amend, and repeal a law. Without the right to vote, there is no form of transfer of power or legitimacy from people to the state and government massively and comprehensively. The Constitutional Court issued Judgement 011-017/PUU-I/2003 and was later reaffirmed through Judgement 102/PUU-VII/2009, said the right to vote was constitutional right. But in practice, there are restrictions on that right, that is limitation of the right to vote on active members of Indonesian National Armed Forces in general elections. Although the limitation of that right can occur by observing the provisions on the law, the existence of arrangements requires further study. Type of legal research is normative juridical by appealing to written and unwritten legal principles, systematic of law, the degree of synchronization of legislation both vertically and horizontally, comparison of law and legal history. The right to vote for members of Indonesian National Armed Forces is not given on the basis of maintaining the neutrality of the members of Indonesian National Armed Forces as state instrument. While there are several forms of regulation of the right to vote for members of the armed forces, namely by giving full right to vote, giving the right to vote partially, and not giving the right to vote, and making arrangements through two ways, namely listed on constitutional law or listed on law that is not constitutional, like statute.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewo Baskoro
"ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang rawan akan keadaan bahaya. Untuk itu, perangkat hukum yang ada haruslah memadai agar dapat mengatasi keadaan bahaya tersebut. Namun, kewenangan yang diberikan kepada Pemegang Kekuasaan Eksekutif pada saat negara berada di dalam keadaan bahaya seringkali diiringi dengan kesewenang-wenangan. Skripsi ini akan menjabarkan dan meninjau kembali kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada Pemegang Kekuasaan Eksekutif dalam rangka mengatasi keadaan bahaya dari masa ke masa dan mengklasifikasi teori keadaan bahaya yang dianut dari masing-masing masa pengaturan tersebut. Penelitian ini juga akan membandingkan pengaturan konstitusi di Indonesia terkait Keadaan Bahaya dengan konstitusi di negara-negara lainnya. Akhirnya, skripsi ini menemukan bahwa Kewenangan Pemegang Kekuasaan Eksekutif terkait Keadaan Bahaya Indonesia dewasa ini mencakup bidang-bidang terkait orang, tempat, barang, kebebasan berekspresi, komunikasi, transportasi, dan perundang-undangan. Skripsi ini menyimpulkan bahwa Pengaturan Kewenangan Pemegang Kekuasaan Eksekutif di Indonesia saat ini condong kepada teori keadaan bahaya Carl Schmitt, dan pengaturan konstitusi di Indonesia sama sekali tidak mengikuti tren pengaturan negara-negara lain

ABSTRACT
Indonesia is full of state of emergency hazards. Therefore, it rsquo s law needs to be able to overcome those threats. But the given authority of the Executive in times of emergency could become a tool of abuse. This Thesis will describe and review those power in times of emergency from time to time and determine which theory of exception that it imply. This research will also compare constitutional statutes pertaining state of emergency in Indonesia with other countries. By the end of this thesis, we will be able to know the authority of the Executive of Indonesia in times of emergency which include the matter of individual freedom, places, the use and claiming of material things, freedom of expression, communication, transportation, and in regards of rules. We shall be able to conclude that the authority that are given to the Executive of Indonesia regarding state of emergency are more of a Carl Schmitt rsquo s state of exception view than the Hans Kelsen rsquo s one. This research will also show that the rule in the constitution of Indonesia pertaining state of emergency doesn rsquo t follow the current trend of rulling in many countries."
2017
S69431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Intan Jeyhan
"ABSTRAK
Banyaknya jumlah undang-undang yang diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi mengindikasikan adanya permasalahan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Tidak terdapat suatu mekanisme yang secara khusus ditujukan untuk menguji apakah suatu rancangan undang-undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Salah satu diskursus yang mengemuka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah penerapan constitutional preview rancangan undang-undang. Skripsi ini meneliti mengenai urgensi penerapan constitutional preview rancangan undang-undang di Indonesia serta alternatif mekanismenya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder yang dilihat dengan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, serta pendekatan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa urgensi penerapan constitutional preview rancangan undang-undang di Indonesia ditunjukkan dengan adanya kelemahan constitutional review di Indonesia yang dapat diatasi dengan penerapan constitutional preview rancangan undang-undang. Constitutional preview rancangan undang-undang merupakan bentuk pencegahan pengundangan rancangan undang-undang yang inkonstitusional, upaya optimalisasi penegakan supremasi konstitusi, serta upaya optimalisasi perlindungan hak dan kewenangan konstitusional. Alternatif mekanisme penerapannya mencakup lembaga penguji yakni Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat, atau Majelis Permusyawaratan Rakyat; pemohon yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah, serta perorangan Warga Negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, dan lembaga negara; waktu pengujian yakni pada tahap pembahasan atau antara tahap pembahasan dengan tahap pengesahan dalam pembentukan undang-undang.

ABSTRAK
The large number of acts that were declared unconstitutional by the Constitutional Court MK indicated that there were problems in the formulation of acts in Indonesia. There is no mechanism specifically aimed at reviewing whether a bill is coherence with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia UUD NRI 1945 . One of the leading discourses is the application of constitutional preview of bill. This thesis examines the urgency of constitutional preview of bill in Indonesia and the alternative mechanisms for its application. The method used in this research is juridical normative using secondary data viewed with conceptual approach, statute approach, and comparative approach. The result of this research shows that the urgency of constitutional preview of bill in Indonesia is indicated by the weakness of constitutional review in Indonesia which can be overcome by the application of constitutional preview of bill. It is a prevention of the unconstitutional bill promulgation, the step to strengthen the supremacy of constitution, and the step to optimize the constitutional rights and authorities protection. Alternative mechanisms of its application include the examining institution, namely the Constitutional Court MK , House of Representatives DPR , or People rsquo s Consultative Assembly MPR the applicants, namely the president, the House of Representatives DPR and the Regional Representative Council DPD , as well as Indonesian Citizen, indigenous peoples, legal entity, and state institution and the review time that is at the discussion phase or in between phase of discussion with the phase of signing of the bill. "
2017
S69590
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josua Satria Collins
"ABSTRAK
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Tak ayal, reformasi hukum di Indonesia menjadi prasyarat untuk menjadi negara hukum yang demokratis. Salah satu bentuk reformasi hukum dalam institusi kekuasan kehakiman adalah gagasan mengadopsi mekanisme constitusional question kedalam sistem peradilan konstitusi. Constitutional question merujuk pada suatu mekanisme pengujian konstitusionalitas undang- undang, yaitu dalam hal seorang hakim yang sedang mengadili suatu perkara ragu-ragu mengenai konstitusionalitas undang-undang yang berlaku untuk perkara tersebut. Oleh karena itu, skripsi ini ingin membahas mengenai urgensi penerapan kewenangan constitutional question di Indonesia dan alternatif penerapan constitutional question di Indonesia. Metode penulisan yang digunakan adalah penulisan yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara. Dari hasil riset didapati bahwa terdapat urgensi untuk menambahkan kewenangan constitutional question di Indonesia. Diadopsinya mekanisme constitutional question adalah bentuk pemberian perlindungan maksimum terhadap hak konstitusional warga negara. Dengan adanya mekanisme tersebut, dapat dihindari adanya putusan hakim yang bertentangan dengan konstitusi dan melanggar hak konstitusional warga negara; ruang pengujian terhadap peraturan perundang-undangan semakin luas; dan dapat dihindari adanya pelanggaran hak konstitusional yang tidak diperlukan. Bila diterapkan di Indonesia, dasar kewenangan constitutional question dapat diatur melalui amandemen konstitusi, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi, ataupun perluasan legal standing lembaga negara sebagai salah satu pemohon constitutional review. Dalam pelaksanaannya, pemohon constitutional question, baik hanya hakim peradilan umum maupun dibuka peluang bagi pihak yang berperkara, mengajukan permohonannya melalui kepaniteraan pengadilan tersebut untuk selanjutnya diolah oleh Ketua Pengadilan dan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dalam bentuk serupa dengan constitutional review. Selain itu, perlu diatur mengenai kualifikasi pemohon constitutional question dan pembatasan waktu penanganan perkara constitutional question oleh Mahkamah Konstitusi.

ABSTRACT
The Constitutional Court functions to oversee the implementation of the constitution both by state and citizen. Needless to say, legal reform in Indonesia is a requirement to be a democratic legal state. One part of legal reform in the institution of judicial power is the idea of adopting a constitutional questioning mechanism into the constitutional court system. Constitutional question refers to a mechanism for examining the constitutionality of a law, namely in the case of a judge who is adjudicating a case has a doubt regarding the constitutionality of the law applicable in the case. Therefore, this thesis would like to examine about the urgency of applying constitutional question and alternative way to implement constitutional question in Indonesia. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview. The research results found the urgency for the implementation of constitutional question in Indonesia. The adoption of the constitutional question mechanism is a form of maximum protection to the citizen rsquo s constitutional rights. With the existence of such mechanism, court decisions that are contrary to the constitution and violate the constitutional rights of the citizens can be avoided the testing material of the legislation becomes expansive and unnecessary constitutional rights violations can be avoided. If applied in Indonesia, the basis of the authority of constitutional question may be regulated through constitutional amendment, the revision of the Constitutional Court Law, the Constitutional Court Decision, or the extension of legal standing of state institutions as one of the applicants for constitutional review. In implementation, the applicant of constituional question, whether only judges from general courts or the opportunty will also be opened for litigant, files the application through the secretariat of the court. Henceforth the application will be processed by chairman of court and submitted to Constitutional Court in form similar to constitutional review. In addition, it is necessary to regulate the applicant 39 s qualification of constitutional question and time limitation for handling of constitutional question by the Constitutional Court. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Rahmahanjayani
"Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 berperan sebagai negative legislator. Dalam perkembangannya seringkali Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus apakah suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak tetapi juga merumuskan norma baru. Sikap aktif Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai bentuk penerapan prinsip judicial activism. Judicial Activism dipahami sebagai dinamisme para hakim ketika membuat putusan tanpa melalui batas-batas konstitusi. Namun banyaknya kritik terhadap prinsip judicial activism melahirkan doktrin judicial restraint sebagai sebuah antitesa. Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah miniparliament. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menerapkan prinsip ini pun tidak sedikit jumlahnya. Namun hingga kini penerapan kedua prinsip tersebut oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas. Oleh karena itu, skripsi ini ingin membahas mengenai penerapan kedua prinsip tersebut dalam putusan pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara.
Dari hasil riset didapati bahwa belum adanya parameter bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana bisa menerapkan prinsip judicial restraint dan judicial activism menimbulkan kerancuan. Prinsip judicial restraint dan judicial activism tidak bisa disamakan penerapannya dalam setiap kasus karena masing-masing kasus memiliki persoalan yang berbeda. Tidak ada satu prinsip yang lebih baik atau yang lebih tinggi dari prinsip lainnya, sehingga tidak bisa dikatakan jika Mahkamah Konstitusi lebih baik mengedepankan penerapan judicial restraint dibanding judicial activism maupun sebaliknya.

The Constitutional Court in executing its authority to review the constitutionality of the law act as negative legislator. In its development the Constitutional Court often to not only decide whether a norm contradict to the constitution or not but also formulate a new norm. The Constitutional Court 39s active stance is considered as a form of applying the judicial activism principle. Judicial Activism is understood as the dynamism of judges when making decisions without going through the boundaries of the constitution. However, many criticisms towards judicial activism causing judicial restraint doctrine to rise as an antithetical view In judicial restraint doctrin, the court must be able to exercise self restraint from the tendency to act like a miniparliament. There are many Constitutional Court's cases that applies the judicial restraint principle. However, until now the application of both principles by the Constitutional Court is not clear. Therefore, this thesis would like to examine about the application of both principles on judicial review cases in Constitutional Court. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview.
The research results found that there is no parameter yet for the Constitutional Court to decide when and under what circumstances to apply the judicial restraint and judicial activism principles. It cause confusion. Nevertheless, the judicial restraint and judicial activism principle can not be equated with the application in each case because each case has different problems. There is no one principle that is better or higher than other principles, so it can not be said if the Constitutional Court is better put forward the implementation of judicial restraint than judicial activism or vice versa.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Zico Leonard Djagardo
"Skripsi ini membahas mengenai permasalahan dalam mekanisme penegakkan etika Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia periode 2014-2019. Pokok permasalahan yang dibahas adalah mengenai mekanisme penegakkan etika di Dewan Perwakilan Rakyat melalui Mahkamah Kehormatan Dewan yang masih memiliki banyak kekurangan. Penelitian ini merupakan penelitian studi kepustakaan dan apabila dilihat dari sifatnya menggunakan analisis data sekunder dimana penelitian ini membahas objek penelitian dari sudut pandang hukum dan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Hasil penelitian ini adalah bahwa mekanisme penegakkan etika Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat memili banyak kekurangan dalam hal perlu adanya perbaikan akan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan, perlu mencontoh ketentuan tata tertib Amerika Serikat yang memisahkan antara kode etik dengan kode perilaku serta memasukan unsur masyarakat ke dalam keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam kasus pelanggaran ringan hingga pelanggaran berat yang tetap.

This thesis discusses the problems in the mechanism of ethical enforcement of the House of Representatives in Indonesia for the period 2014-2019. The main issue discussed is regarding the mechanism of ethics enforcement in the House of Representatives through the Houses Council of Honor which still has many shortcomings. This research is a literature study and using secondary data analysis where this research discusses the object of research from the viewpoint of law and the provisions of the applicable legislation.
The results of this study are that the ethics enforcement mechanism of the House of Representatives has many shortcomings in terms of the need for improvement in the procedural law, the necessity to emulate the provisions of the United States code of conduct that separates the code of ethics from the code of conduct, and includes elements of society in the membership of the Court Honorary Council for minor violations to serious violations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Novedia Esafrin
"Pandemi covid-19 yang merebak secara tiba-tiba menimbulkan kepanikan dan ketidaksiapan semua negara di belahan dunia termasuk dengan Indonesia. Keadaan darurat pandemi covid-19 di hadapi Indonesia dengan menerapkan status darurat Kesehatan masyarakat Status keadaan darurat tersebut dipilih pemerintah karena covid19 termasuk ke dalam bencana non alam. Dengan adanya penetapan status darurat Kesehatan masyarakat yang diatur di dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, pemerintah melakukan beberapa kebijakan dan peraturan pemerintah. Namun dalam proses pelaksanaannya baik program dan kebijakan pemerintah mengalami inkonsistensi sehingga menyebabkan kebingungan di dalam masyarakat. Tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif yang mengacu pada asas-asas hukum, sistematika hukum, dan perbandingan hukum dengan mengkaji pengaturan kedaruratan, hak atas Kesehatan di dalam konstitusi beberapa negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap hak asasi manusia akan Kesehatan selama keadaan darurat pandemi covid-19 dianggap kurang berhasil oleh masyarakat sebab di awal penanggulangannya, pemerintah terkesan lamban dan tidak adanya inisiatif dalam melakukan pencegahan. Barulah covid-19 merebak di kalangan masyarakat pemerintah gencar dalam melakukan penanggulangan. Dalam penanggulangan covid-19, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan untuk menanggulangi covid-19 seperti Penerapan Protokol Kesehatan, Pembatasan Sosial Berskala Besar, Vaksinasi Covid-19, Melakukan tes PCR Ketika akan bepergian dan terakhir Menetapkan PPKM. Namun peraturanperaturan tersebut selalu tidak memiliki kejelasan dan berubah-ubah seperti PPKM terkait dengan level kedaruratan. Selain itu, terkait program vaksinasi yang penyebaran informasi tidak sampai di tengah masyarakat sehingga program vaksinasi banyak menimbulkan keraguan dan keributan yang menyebabkan terhambatnya pencegahan dan penanggulangan covid-19. Permasalahan PCR juga dirasakan masyarakat sebab program tes PCR yang diwajibkan oleh pemerintah Ketika akan melakukan perjalanan dirasa sangat mahal harganya dan membebani masyarakat terlebih lagi dengan masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Inkonsistensi pemerintah dalam membuat peraturan dan kebijakan inilah yang membuat carut marut sistem kedaruratan di Indonesia. Terlebih lagi banyaknya tumpang tindih peraturan dan tidak sesuainya peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar menambah daftar panjang persoalan terkait dengan perlindungan hak asasi manusia akan Kesehatan selama pandemi covid-19. Selain itu terdapat beberapa peraturan yang tidak memiliki rujukan dalam peraturan perundang-undangan dan jangka waktu pemberlakuan covid-19 yang sampai sekarang belum ada kejelasan kapan akan berakhir.

The COVID-19 pandemic that suddenly spreads has caused panic and unpreparedness for all countries in the world, including Indonesia. The emergency of the COVID-19 pandemic faced by Indonesia by implementing an emergency status public health is not a constitutional emergency status. The state of emergency was chosen by the government because COVID-19 is a non-natural disaster. With the establishment of a public health emergency status regulated in Presidential Decree No. 11 of 2020, the government has implemented several government policies and regulations. However, in the implementation process, both government programs and policies experienced inconsistencies, causing confusion in the community. This paper uses a normative research method that refers to legal principles, legal systematics, and comparative law by examining emergency settings, the right to health in the constitutions of several countries. The results showed that the government in protecting human rights for health during the Covid-19 pandemic emergency was considered less successful by the community because at the beginning of the response, the government seemed slow and there was no initiative in taking prevention. It was only then that the Covid-19 spread among the people of the government was aggressive in carrying out countermeasures. In dealing with COVID-19, the government has issued several regulations to deal with COVID-19, such as the application of health protocols, large-scale social restrictions, Covid-19 vaccination, conducting PCR tests when traveling and finally establishing the implementation of community activity restrictions (PPKM). However, these regulations always lack clarity and change such as PPKM related to the emergency level. In addition, related to the vaccination program, the dissemination of information did not reach the community so that the vaccination program caused a lot of doubts and commotions which hampered the prevention and control of COVID-19. The PCR problem is also felt by the community because the PCR test program that is required by the government when traveling is considered very expensive and helps the community, especially people with middle to lower economies. The government's inconsistency in making regulations and policies is what makes the emergency system chaotic in Indonesia. Moreover, the many overlapping regulations and the incompatibility of the laws and regulations used as the basis add to the long list of issues related to the protection of human rights to health during the covid-19 pandemic. In addition, there are some regulations that do not have references in the legislation and the same period of covid-19 enforcement now there is no clarity on when it will end."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Fauzi
"Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan kewenangan yang diberikan UUD NRI Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum dari pengujian suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Suatu undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dikarenakan prosedur pembentukan tidak sesuai UUD NRI Tahun 1945 atau materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mendasari ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dipahami bahwa inti dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang adalah untuk membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, dalam beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan norma, melainkan juga membuat norma yang berakibat pada terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran. Kendati perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945, namun hal tersebut diperlukan untuk memastikan UUD NRI Tahun 1945 tetap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ketatanegaraan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tesis ini akan menjelaskan 2 (dua) pokok bahasan. Pertama, sebab terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang dengan memberikan makna tekstual (textual meaning) terhadap UUD NRI Tahun 1945 melalui pemaknaan yang berbeda dari makna asli (original meaning) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga, secara materiil terjadi perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang disebabkan adanya penafsiran Mahkamah Konstitusi yang menganggap kalimat konstitusi tidak jelas atau tidak memberikan jalan keluar. Kedua, akibat hukum perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) terjadi perubahan makna tekstual terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang berakibat pada terjadinya perubahan implementasi ketentuan UUD NRI Tahun 1945; dan (ii) wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 tidak menjadi hilang setalah perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Sebab, wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 merupakan wewenang atribusi yang bersumber dari UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak akan hilang sepanjang tidak dihapus dari UUD NRI Tahun 1945.

The judicial review of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945) is an authority given to the Constitutional Court by the UUD NRI Tahun 1945. The legal consequences of reviewing a law that is inconsistent with the constitution are further specified in Article 56 and Article 57 of Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, namely that they do not have binding legal force. A law is declared to have no binding legal force because its formulation is not in accordance with the UUD NRI Tahun 1945 or the contents of paragraphs, articles and/or parts of the procedural law are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. Based on the provisions of Article 56 and Article 57 of the Law It can be understood that the essence of the Constitutional Court's authority in reviewing laws is to abolish norms that are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. However, in several of its decisions, the Constitutional Court not only annuls norms, but also makes norms that result in fatal in the occurrence of amendments to the UUD NRI Tahun 1945 through monitoring. Although the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the stipulation of the Constitutional Court was not specified in the UUD NRI Tahun 1945, this was necessary to ensure that the UUD NRI Tahun 1945 remained in accordance with the needs and developments of the state administration. By using normative juridical research methods, this thesis will explain 2 (two) main topics. First, the reason for the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results of the study show that the Constitutional Court interprets the constitution in judicial review by giving a textual meaning to the UUD NRI Tahun 1945 through a different meaning from the original meaning of the UUD NRI Tahun 1945. Thus, materially there was a change in the UUD NRI Tahun 1945 due to the interpretation of the Constitutional Court which considered the sentence of the constitution to be unclear or did not provide a way out. Second, the legal consequences of changing the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results showed that: (i) there was a change in the textual meaning of the UUD NRI Tahun 1945 which resulted in a change in the implementation of the provisions of the UUD NRI Tahun 1945; and (ii) the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 was not lost after the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 was through the interpretation of the Constitutional Court. This is because the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 is an attribution authority originating from the UUD NRI Tahun 1945, so it will not be lost as long as it is not removed from the UUD NRI Tahun 1945"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levy Maulana Muhammad
"Proses pelepasan hak atas tanah sering memunculkan konflik yang dapat memicu terjadinya sengketa di bidang pertanahan. Kasus yang memunculkan sengketa berkaitan dengan proses pelepasan hak atas tanah ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 27/Pdt.G/2019/PN.Srg. Untuk itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai peran dan tanggung jawab notaris atas pembuatan akta pelepasan hak atas tanah yang tidak sesuai dengan kebenaran materiil dan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam Putusan. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif di mana bahan-bahan hukum yang diteliti, dikumpulkan melalui studi kepustakaan, dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut dapat dinyatakan bahwa notaris bisa membuat akta pelepasan hak atas tanah yang dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu tanggung jawab notaris terhadap akta pelepasan hak atas tanah yang dibuatnya hanya sebatas pada apa yang diketahui dan disaksikan berdasarkan surat- surat dan keterangan para penghadap pada saat akta dibuat. Adapun pertimbangan hakim dalam Putusan a quo yang menolak permohonan ganti rugi terkait pelepasan hak atas tanah tidak memenuhi rasa keadilan karena akta pelepasan hak atas tanah yang dijadikan sebagai dasar permohonan penerbitan sertipikat hak pengelolaan dalam kasus tersebut, semestinya batal demi hukum. 

The process of relinquishment of land rights has created a potential conflict that can trigger disputes in the land sector. The case that related to the process of relinquishment of land rights was found in the Serang District Court’s Verdict Number 27/Pdt.G/2019/PN.Srg. The issues raised in this study are regarding the roles and responsibilities of a notary for making a deed of release of land rights that are not compatible with the material truth and also about the analysis of the judge's considerations in the a quo verdict. This research’s form is a juridical-normative which is the legal materials studied are collected through library research, and analyzed qualitatively. As the results of an analysis of these legal materials, it can be stated that a notary can make a deed of relinquishment of land rights in accordance with applicable regulations. Meanwhile, the notary's responsibility for the deed of release of land rights that he made was limited to what was known and witnessed based on the letters and statements of the appearers at the time the deed was drawn up. The judge's consideration in the a quo verdict which rejected the application for compensation related to the relinquishment of land rights did not fulfill a sense of justice because the deed of relinquishment of land rights which was used as the basis of the application for the issuance of certificates of management rights in that case, should have been null and void by law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>