Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asep Achmad Hidayat
"Fokus kajian ini adalah kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17 18 Mei 1963 Kajian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor penyebab terjadinya kerusuhan tersebut Adapun merode yang digunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat tahapan yaitu heuristik kritik interpretasi dan historiografi Teori yang digunakan untuk mengetahui faktor determinan dari peristiwa kerusuhan itu adalah teori Colective Behavior dari Neil J Smelser yang menyatakan bahwa suatu perilaku kolektif ditentukan oleh enam determinan penting yaitu structutural conduciveness structural strain growth and spread of generalized belief the precipitating factor mobilization of participant for action dan lack social control Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17 18 Mei 1963 tidak hanya ditentukan oleh faktor kesenjangan sosial tapi ditentukan oleh beberapa faktor determinan sebagaimana dijelaskan dalam teori Neil J Smelser termasuk di dalamnya dukungan jaringan kultural dan ideologi Kemudian dari hasil penelitian disertai ini ditemukan pula mengenai keterlibatan anggota DI NII dalam peristiwa kerusuhan anti Cina tersebut Selanjutnya peristiwa kerusuhan anti Cina tersebut oleh masyarakat Garut lebih dikemal dengan sebutan "beset Cina"

The main focus of this study is rasist anti chinese riot in the towns of Garut on May 17 18 1963 This research is aimed at knowing factors causing such a riot happened The method used is a historical method consisting four stages heurestic critic intepretation and historiography The theory used for analyzing the determinant factors of the riot is Neil J Smelser`s collective behaviour confirming that a collective behaviour is constructed by six major determinant elements structural conduciveness structural strain growth and spread of general belief the participating factor mobilization of the participants for action and lack of social control The result of the research shows that the rasist anti chinese riot in the towns of Garut is not only determined by the social gap factor but also by some determinant factors as explained in Neil J Smelse`s theory including the cultural and ideological support Later on the members of DI NII based on the research data got involved in sucu an event in Garut In meanwhile it is known more as Beset Cina for the people of Garut"
Depok: Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Achmad Hidayat
"Fokus kajian ini adalah kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kerusuhan tersebut. Adapun merode yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teori yang digunakan untuk mengetahui faktor determinan dari peristiwa kerusuhan itu adalah teori Colective Behavior dari Neil J. Smelser yang menyatakan bahwa suatu perilaku kolektif ditentukan oleh enam determinan penting, yaitu structutural conduciveness, structural strain, growth and spread of generalized belief, the precipitating factor, mobilization of participant for action, dan lack social control.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963 tidak hanya ditentukan oleh faktor kesenjangan sosial, tapi ditentukan oleh beberapa faktor determinan sebagaimana dijelaskan dalam teori Neil J. Smelser, termasuk di dalamnya dukungan jaringan kultural dan ideologi. Kemudian dari hasil penelitian disertai ini ditemukan pula mengenai keterlibatan anggota DI/NII dalam peristiwa kerusuhan anti Cina tersebut. Selanjutnya, peristiwa kerusuhan anti Cina tersebut oleh masyarakat Garut lebih dikemal dengan sebutan ?beset Cina?.

The main focus of this study is rasist, anti-chinese riot in the towns of Garut on May 17-18, 1963. This research is aimed at knowing factors causing such a riot happened. The method used is a historical method consisting four stages: heurestic, critic, intepretation, and historiography. The theory used for analyzing the determinant factors of the riot is Neil J. Smelser?s collective behaviour, confirming that a collective behaviour is constructed by six major-determinant elements: structural conduciveness, structural strain, growth and spread of general belief, the participating factor, mobilization of the participants for action, and lack of social control.
The result of the research shows that the rasist, anti-chinese riot in the towns of Garut is not only determined by the social gap factor but also by some determinant factors as explained in Neil J. Smelse?s theory, including the cultural and ideological support. Later on, the members of DI/NII, based on the research data, got involved in sucu an event in Garut. In meanwhile, it is known more as Beset Cina for the people of Garut."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D2090
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gian Kartasasmita
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami fenomena kekerasan yang kerapkali dialami etnis Tionghoa sebagai bentuk diskriminasi rasial dan politik ketika terjadinya krisis ekonomi dan sosial di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sejarah lisan sebagai upaya mengkonstruksi pengalamanpengalamn dan suara-suara kelompok minoritas yang terlupakan oleh sejarah. Melalui kerangka teori interpretasi Paul Ricoeur, peneliti menyusun dan mengolah data dengan menggunakan teori Rene Girard mengenai kambing hitam dan teori Anthony Giddens mengenai dualitas struktur. Hasil analisa wawancara berdasarkan kesaksian-kesaksian yang diperoleh dari 8 etnis Tionghoa yang juga merupakan korban penjarahan dan pembakaran dan saksi mata, menunjukkan bahwa ketika kondisi sosial dan ekonomi semakin memburuk ditambah dengan ketidakstabilan situasi politik menjelang lengsernya Presiden Soeharto, kelompok minoritas menjadi korban dari kekuasaan segilitir elit politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Para korban maupun saksi mata merasakan dan menyaksikan bagaimana usaha dan kerja keras mereka hancur seketika. Kerugian materi tidaklah sebanding dengan perasaan takut dan syak wasangka akan kemungkinan terulangnya aksi kekerasan yang sama di kemudian hari. Penelitian ini memperlihatkan bagaimana secara sistematis etnis Tionghoa dikorbankan dan bagaimana praktek rasisme secara struktural saling berkaitan dan berhubungan dalam sebuah narasi sejarah.

ABSTRACT
The aim of the study is to comprehend the act of violence which occurs most frequently towards ethnic Chinese as a form of racial and political discrimination in time of great economy and social crisis. With oral history as the research methodology, this study attempts to reconstruct personal experiences from the voices of the forgotten into a historical narration. Using the theoretical framework of interpretation by Paul Ricoeur, the research analyzes the data using Rene Girard theory on scapegoat and Anthony Giddens? on duality of structure. Based on the testimonies gathered from 8 victims and eyewitnesses of ethnic Chinese, it can be concluded that as the crisis hit the nation, they fall victims mainly of economic and political interests by the ruling elite.As the victims and eyewitnesses watch their life work being destroyed by the angry crowd, they realize how fragile their lives are and how uncertain the future can be for them. The study demonstrates how ethnic Chinese are systematically persecuted and how structural racism inextricably intertwined in the historical narration."
Depok: 2011
D1172
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farida R. Wargadalem
"ABSTRAK
Disertasi ini menguraikan tentang terjadinya perebutan kekuasaan di Kesultanan Palembang. Dalam perebutan kekuasaan tersebut melibatkan dua saudara kandung (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II), juga melibatkan dua negara asing yaitu Inggris dan Belanda. Penelitian ini menggunakan pendekatan Narativisme untuk menjelaskan terjadinya konflik (internal dan eksternal) di Kesultanan tersebut. Kajian ini menemukan bahwa kehadiran Inggris pada April 1812 di Kesultanan Palembang, memunculkan permusuhan antara dua orang kakak beradik tersebut, sehingga Palembang jatuh ke tangan Inggris. Sejak itu permusuhan dua bersaudara terus berlangsung sampai keduanya wafat. Sesuai isi Traktat London (1814), dinyatakan Inggris harus keluar dari Palembang, sehingga Palembang kembali berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda. Kehadiran Belanda di Kesultanan Palembang, menyebabkan Belanda membagi tiga kekuasaan yairu Belanda, Sultan Badaruddin II, dan adiknya Sultan Najamuddin II. Kembalinya pasukan Inggris dari Bengkulu, menyebabkan konflik di Palembang menjadi semakin rumit. Konflik yang terjadi tidak saja antara dua saudara kandung, tetapi juga antara Sultan Najamuddin II dan Belanda, serta Belanda dan Inggris. Perang, merupakan alternatif penting yang terjadi di Kesultanan Palembang. Dua kali peperangan (1819) dimenangkan oleh Palembang, namun pada peperangan ketiga (1821), Palembang harus mengakui keunggulan kekuatan militer Belanda. Sejak itu Kesultanan Palembang berada di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Usaha Sultan Najamuddin III untuk melakukan perlawanan mengalami kegagalan, sehingga kesultanan itu dihapuskan (1825).

ABSTRACT
This dissertation describes about the occurrence of. The seizure involved two brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II) and two foreign countries, those are England and Netherland. This research used Narrativism approach in order to explain the occurrence of conflict (external and internal) in that Sultanate. It was found that the attendance of British in April 1812 in Palembang Sultanate led to a hostility between the two brothers (Sultan Badaruddin II dan Sultan Najamuddin II). It made Palembang was under the power of British. The hostility between the two brothers continued until both of them passed away. Based on the London Treaty (1814), it was stated that British had to leave out Palembang so that Palembang was returned back to the power of Dutch colonial. The Dutch then divided Palembang Sultanate into three powers, the Dutch, Sultan Badaruddin II, and his brother Sultan Najamuddin II. However, the return of British from Bengkulu led to a more complicated conflict in Palembang. The conflict was not only between the two brothers, but also between Sultan Najamuddin II and the Dutch and between the Dutch and the British. Finally, the war was the only option for the conflict in Palembang Sultanate. The war happened three times, the first and second war (1819) were won by Palembang, however the Dutch military power conquered the power of Palembang Sultanate in the third war (1821). Since then, the Palembang Sultanate was under the control of the Dutch colonial government. It was Sultan Najamuddin III who continued fighting against the Dutch, however the struggle failed. Finally, Palembang Sultanate was completely removed (1825)."
Depok: 2012
D1262
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library