Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ralind Remarla
"Dalam penelitian Computer Aided Diagnose (CAD) Radiografi Paru pasien dewasa dengan metode Fuzzy C Means (FCM), telah dilakukan dalam keadaan tahap awal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode clustering FCM dapat digunakan untuk membuat perangkat penolong untuk melihat abnormalitas pada paru-paru dari 200 data citra Radiografi sinar-X. Pembuatan perangkat dilakukan dengan menggunakan GUI pada Matlab.
Perancangan di bagi menjadi dua metode menggunakan metode FCM otomatis dan manual kemudian untuk mengetahui perbedaan nilai piksel digunakan metode ambang rata-rata. Kedua metode ini berdasarkan intensitas derajat keabuan 0-256. Metode FCM digunakan untuk melihat visualisasi abnormalitas secara cepat dan mengetahui garis besar posisi yang abnormal. Kemudian diteruskan dengan segmen kotak dari metode ambang rata-rata untuk mengetahui perbedaan nilai pixel citra abnormalitas dan yang normal.
Hasil penelitian nenujukkan bahwa, Kinerja Metode FCM Akurasi 57,7%, sensitifitas 50,0%, spesifikasi 89,5% , Overal Error 42,3% dan Presisi 95,1%. Sedangkan metode Segmen per kotak Akurasi 56,7%, sensitifitas 51,7%, spesifikasi 88,5% , Overal Error 43,3% dan Presisi 96,7%. berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa Metode FCM dalam paru hanya bisa menunjukkan visual secara cepat dan garis besar namun tidak memberikan akurasi yang cukup memuaskan, hal ini di karenakan data input yang random tidak dapat dijadikan patokan untuk ukuran keberhasilan.

In the study Computer Aided Diagnose (CAD) Lung Radiography adult patients with Fuzzy C Means (FCM), has been carried out in a state of infancy. This study aims to determine whether the FCM clustering method can be used to make the device helper to see abnormalities in the lungs of 200 image data of X-ray radiography. Making the device is done by using the GUI in Matlab.
The design is divided into two methods using automated and manual methods FCM then to determine differences in pixel value threshold method is used on average. Both methods are based on the intensity of gray 0-256 degrees. FCM method is used for visualizing abnormalities quickly see and know the outline of an abnormal position. Then forwarded to the segment boxes of the average threshold method to determine differences in pixel values abnormalities and normal image.
That research results, performance FCM method Accuracy 57.7%, 50.0% sensitivity, 89.5% specification, Overal Error 42.3% and 95.1% precision. While the method of segment per box Accuracy 56.7%, 51.7% sensitivity, 88.5% specification, Overal Error 43.3% and 96.7% precision. based study concluded that the method of FCM in the lungs can only show rapid visual and outline but does not give a satisfactory accuracy, it is in because random input data can not be used as a benchmark to measure success.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
T43858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Fitriningsih
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: MRI merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengevaluasi herniasi diskus lumbalis. Kekurangan MRI adalah lamanya waktu pengambilan gambar dan kurangnya ketersedian diberbagai tempat. Pada institusi dengan keterbatasan alat dan jumlah pasien yang banyak hal ini dapat menyebabkan terjadinya stagnansi pasien. Maka perlu dipikirkan suatu studi alternatif pada MRI untuk mempersingkat waktu. Di RSCM, protokol terbatas belum menjadi standar, sehingga dibutuhkan penelitian untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus lumbalis, stenosis kanalis spinalis lumbal, stenosis foraminal pada vertebra lumbalis.
Metode: Uji diagnostik dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas protokol terbatas dalam mendiagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis dan stenosis foraminal pada vertebra lumbal pada 60 subyek.
Hasil: Sensitivitas dan spesifitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis, stenosis foraminal baik, yaitu 97,2% dan 95,2%, pada diagnosis herniasi diskus, 97,6% dan 96,6% pada stenosis kanal spinalis, dan 91,6% dan 92,6% pada stenosis foraminal.
Kesimpulan: Sensitivitas dan spesifisitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis dan stenosis foraminal baik, akan tetapi penggunaan secara luas perlu mempertimbangkan hal-hal lainnya seperti: pasien murni hanya herniasi diskus tanpa penyulit lainnya, menuntut kehadiran dokter spesialis radiologi pada saat pemeriksaan MRI berlangsung, dan protokol pemeriksaan MRI harus dibuat optimal.

ABSTRACT
Background and purpose: MRI is the most sensitive examination to evaluate lumbar disc herniation. Disadvantages of MRI is the long duration of examination and the lack of availability of various places. At institutions with limited equipment and patient loads it can lead to stagnation of the patient. Then it should be considered an alternative to MRI studies to shorten the time. At RSCM, restricted protocols yet to be standarized, so that research is needed to assess the sensitivity and specificity of Limited Protocol MRI protocol in diagnosing of lumbar disc herniation, lumbar spinal canal stenosis, lumbar foraminal stenosis
Methods: Diagnostic Test with cross sectional approach to determine the sensitivity and specificity of the protocol in diagnosing lumbar disc herniation, lumbar spinal canal stenosis, lumbar foraminal stenosis in 60 subjects.
Results: The sensitivity and specificity of limited protocol MRI is good, that is 97.2% and 95.2%, in the diagnosis of lumbar disc herniation, 97.6% and 96.6% in the lumbar spinal canal stenosis and 91.6% and 92.6% at lumbar foraminal stenosis
Conclusion :Sensitivity and specificity of Limited Protocol MRI in diagnosising of a lumbar disc herniation, lumbar stenosis canal spinal and lumbar stenosis foraminal is good, but the widespread use need to consider other things such as: the diagnosis patient is purely a herniated disc without other complications, demanding the presence of radiologist during MRI examinations, and the protocol MRI examination should be made optimal."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fachri
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Modalitas radiografi toraks merupakan pemeriksaan
rutin dan tersedia di hampir setiap rumah sakit. Pengukuran secara kuantitatif
berupa vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) maupun
vascular pedicle-thoracic ratio (VPTR) melalui radiografi toraks dapat membantu
dalam membedakan jenis edema paru dengan mengetahui titik potong rerata
VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR.
Metode: Penelitian dilakukan retrospektif dengan descriptive cross sectional pada
100 pasien dengan klinis edema paru yang telah melakukan radiografi toraks di
ICU Rumah Sakit CiptoMangunkusumo (RSCM) dalam rentang waktu Januari
2013 ? Desember 2015. Subjek dibagi menjadi edema kardiogenik dan non
kardiogenik berdasarkan kombinasi pengukuran VPW dan CTR. Kemudian
dilakukan pengukuran VPTR dan ditentukan titik potong rerata VPTR, sensitivitas
dan spesifisitas berdasarkan kombinasi VPW dan CTR dalam membedakan edema
paru.
Hasil: Dari total 100 subjek penelitian di ICU RSCM dengan metode Receiver
Operating Curve (ROC) didapatkan titik potong VPTR sebesar 25,1% dengan
sentivitas 90,5% dan spesifisitas 86,1% dalam membedakan edema paru
kardiogenik dan non kardiogenik. Selain itu diperoleh juga proporsi edema paru
kardiogenik sebesar 21%, sedangkan edema paru non kardiogenik sebesar 79%.
Kesimpulan: Titik potong VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi dalam membedakan edema paru
kardiogenik dan non kardiogenik.

ABSTRACT
Background and purpose: Pulmonary edema in critically ill patient were
challenging in intensive care unit (ICU). Radiography of thorax is routine
examination and widely available in almost every hospital. Measurement
quantitatively of vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) and
vascular pedicle-thoracic ratio in thorax radiography can help in differentiating
the type of pulmonary edema through the cut off of VPTR based on combination
VPW and CTR.
Methods: Descriptive cross sectional restrospective in 100 patients with clinically
pulmonary edema which have examined by thorax radiography at ICU RSCM in
January 2013 to Desember 2015. Subject divided to cardiogenic and non
cardiogenic pulmonary edema based on combination VPW and CTR. Then,
VPTR were measured and the cut off of VPTR determined based on combination
VPW and CTR in differentiaiting pulmonary edema.
Results: From total 100 subject study at ICU RSCM using Receiver Operating
Curve (ROC) metode, the cut off of VPTR is 25,1% with sensitivity 90,5% and
specificity 86,1% in differentiating cardiogenic and non cardiogenic pulmonary
edema. Beside that, the prevalence of cardiogenik pulmonary edema is 21% and
non cardiogenic pulmonary edema is 79%.
Conclusion : The cut off of VPTR based on combination VPW and CTR have
significant sensitivity and specificity in differentiating cardiogenic and non
cardiogenic pulmonary edema."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Sutrisno
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Saraf optikus merupakan saraf kranial kedua yang mempersarafi bola mata dan diselubungi oleh selubung saraf optikus. Pelebaran selubung saraf optikus pada umumnya disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Deteksi dini peningkatan tekanan intrakranial sangatlah kritikal tetapi sering kali sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan pemeriksaan tekanan intrakranial secara invasif bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dikerjakan dan terdapat keterbatasan alat. Karena itu, pemeriksaan MRI sequence T2WI fat suppressed dapat membantu dalam mengevaluasi peningkatan tekanan intrakranial melalui pengukuran selubung saraf optikus dengan cara non-invasif. Metode : Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang untuk mengetahui rasio normal selubung saraf optikus terhadap saraf optikus anak berdasarkan pengukuran MRI menggunakan data primer di Departemen Radiologi RSCM mulai bulan September 2015 sampai Juli 2016, dengan jumlah sampel 20. Pengukuran dilakukan dengan jarak 3 mm di belakang bola mata. Hasil : Rasio selubung saraf optikus dibandingkan saraf optikus pada anak adalah 1,83 dengan simpang baku 0,06. Rerata diameter selubung saraf optikus pada anak-anak adalah 4,41 mm dengan simpang baku 0,16 dan rerata diameter saraf optikus pada anak-anak adalah 2,41 dengan simpang baku 0,15. Kesimpulan : Nilai normal rasio selubung saraf optik terhadap saraf optik pada anak-anak dapat digunakan sebagai parameter non-invasif untuk evaluasi tekanan intrakranial.

ABSTRACT
Background and Objective Optic nerve is innervate both eyes and covered by a sheath. Widening of the optic nerve sheath are mainly due to increased intracranial pressure. Early detection is critical but difficult to do. This is because the invasive intracranial pressure measurement is not a routine examination done. Therefore, MRI T2WI fat suppressed can be very helpful in evaluating the increased intracranial pressure. Methods The study was conducted with a cross sectional design to determine the normal ratio of optic nerve sheath against optic nerve in children based on MRI measurement using primary data at the Department of Radiology RSCM, from September 2015 until July 2016, with total sample is 20. Measurements were made at 3 mm behind the eyeball. Results The ratio of the optic nerve sheath against optic nerve in children is 1.83 with 0.06 standard deviations. The mean diameter of the optic nerve sheath in children are 4.41 mm with 0.16 standard deviations and the mean diameter of the optic nerve in children is 2.41 with 0.15 standard deviations. Conclusions Normal ratio of the optic nerve sheath against the optic nerve in children can be used as parameters for evaluation of non invasive intracranial pressure."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58862
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunjung Prasetyo Nugroho
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Sinusistis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal dengan berbagai faktor penyebab: variasi anatomi, infeksi bakterial/virus, alergi dan lain-lain. Deviasi septum nasi dan sinusitis kronis dapat mempengaruhi volume sinus maksila. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan antara derajat deviasi septum nasi dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila. Metode : Penelitian retrospektif dengan desain kasus-kontrol, jumlah sampel diambil konsekutif dari sistem PACS hingga 86 subjek. Dilakukan pengukuran derajat deviasi septum nasi dan volume sinus maksila dari 3 dimensi. Hasil : Didapatkan rerata deviasi septum nasi pada kelompok kasus 9,35 3,05 derajat Derajat I dan II , dan 10,62 4,11 derajat Derajat I dan II pada kelompok kontrol. Volume sinus maksila sisi ipsilateral satu sisi dengan deviasi septum nasi pada kelompok kasus cenderung lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda signifikan p>0,05 . Volume sinus maksila ipsilateral yang disertai kejadian sinusitis kronis maksila ipsilateral tidak berbeda signifikan dibandingkan kontrol p>0,05 . Uji korelasi negatif yang tidak signifikan pada hubungan derajat deviasi septum nasi dengan delta volume sinus maksila ipsilateral baik kelompok kasus maupun kontrol. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara deviasi septum nasi Derajat I dan II dengan kejadian sinusitis kronis maksila dan perubahan volume sinus maksila

ABSTRACT
Background and purpose Sinusistis is an inflammatory of mucosal sinuses by various factors anatomic variations, bacterial virus, allergies and others. Nasal septal deviation and chronic sinusitis can affect maxillary sinus volume. This study aims to assess the relationship between the degree of nasal septal deviation with the incidence of chronic maxillary sinusitis and maxillary sinus volume changes. Methods The study was a retrospective case control design, consecutive samples taken from the PACS system up to 86 subjects. Measurement of the degree of nasal septal deviation and maxillary sinus volume from 3 dimensions. Results the mean of nasal septal deviation in the case group 9.35 3.05 degrees Grade I and II , and 10.62 4.11 degrees Grade I and II in the control group. The ipsilateral maxillary sinus volume the same side with the nasal septal deviation in the case group tended to be smaller than the control, but did rsquo t differ significantly p 0.05 . The ipsilateral of the maxillary sinus volume with ipsilateral chronic maxillary sinusitis incidence not significantly different compared to control p 0.05 . Test negative correlation was not significant relationship of the degree of nasal septal deviation with ipsilateral maxillary sinus volume delta, both groups of cases and controls. Conclusion There is no significant relationship between nasal septal deviation Grade I and II and the incidence of chronic maxillary sinusitis and change of maxillary sinus volume."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Hermawan
"Latar belakang dan tujuan : Penurunan fungsi kognitif terjadi seiring bertambahnya usia dengan gangguan kualitas hidup yang menyertai. MRI kepala dapat melihat proses neurodegeneratif struktural dan patologi vaskular otak sebagai faktor etiologis melalui gambaran atrofi, hiperintensitas white matter, dan infark cerebri. Kekuatan korelasi temuan MRI kepala tersebut terhadap nilai fungsi kognitif perlu diteliti lebih lanjut.
Metode : Uji korelasi dengan pendekatan potong lintang pada skor derajat temuan atrofi, hiperintensitas white matter, dan infark cerebri pada MRI kepala terhadap nilai fungsi kognitif pada 32 subyek dengan gangguan fungsi kognitif dan penyakit serebrovaskular non hemmorhagik.
Hasil : Terdapat korelasi negatif yang signifikan

Background and purpose: Cognitive impairment occurs with age along with life quality impairment. Brain MRI detects neurodegenerative and brain vascular pathology associated with cognitive impairment through various findings such as , white matter hyperintensity and infarction. Correlation between those MRI abnormalities to the cognitive impairment value needs to be examined.
Method: Correlative test in cross sectional study on the degree score of cerebral atrophy, white matter hyperintensity, and infarction in brain MRI against cognitive function value in 32 subjects with cognitive function impairment and non hemmorhagic cerebrovascular disease.
Result: There is significant negative correlation p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inolyn
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tromboemboli vena merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada pasien kanker. Belum ada sistem skor untuk memprediksi TVD pada pasien tanpa gejala dan tanda trombosis. Sistem skor Wells merupakan sistem skoring yang awalnya digunakan untuk memprediksi TVD pada pasien dengan faktor risiko trombosis dan secara klinis diduga suspected TVD, tetapi, belum digunakan pada pasien-pasien yang tanpa gejala dan tanda TVD. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kegunaan skor Wells yang dilanjutkan dengan algoritma ACCP IX pada pasien kanker yang asimtomatik TVD.Tujuan: Mengetahui kegunaan skor Wells dalam mendiagnosis TVD pada pasien kanker yang tidak menunjukkan gejala dan tanda trombosis asimtomatik .Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Pasien kanker yang insidens trombosis vena dalamnya tinggi tanpa gejala dan tanda TVD , dihitung skor Wells dan dilanjutkan dengan algoritma diagnostik ACCP IX untuk mendiagnosis TVD.Hasil: Penelitian ini merekrut 100 pasien kanker yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dan mendapatkan kejadian TVD pada 2 pasien kanker yang tidak menunjukkan gejala dan tanda TVD. Sebagian besar pasien 93 memiliki skor Wells unlikely < 2 . Hasil D-dimer lebih dari 500 g/l didapatkan pada 60 subyek penelitian. Berdasarkan uji statistik, skor Wells memiliki nilai kalibrasi yang kurang baik p < 0,01 dan nilai diskriminasi area under the curve AUC sangat lemah 47,4 . Kesimpulan: Skor Wells tidak dapat digunakan untuk memprediksi TVD pada pasien kanker yang tidak memiliki gejala dan tanda TVD. Proporsi pasien kanker dengan TVD tanpa gejala dan tanda trombosis adalah 2 . Kata Kunci: asimtomatik, kanker, skor Wells, trombosis vena dalam

ABSTRACT
Background Venous thromboembolism is the main cause of morbidity and mortality in cancer patients. Until now there was no scoring system to predict deep vein thrombosis DVT in patients with risk factors but without sign and symptoms of thrombosis. Wells score was designated to predict patients who were clinically suspected as having DVT, but not yet used for patients who were asymptomatic. We investigate whether Wells score followed by ACCP IX guideline can be used to predict DVT in cancer asymptomatic patient. Purpose To investigate the use of Wells score in diagnosing DVT in asymptomatic cancer patients. Method We conducted a cross sectional study in cancer patients whose incidence of thrombosis were highest, without sign and symptoms of DVT. We calculated the Wells score from each patients and then chose the appropriate diagnostic examination in accordance to ACCP IX guideline. Result A total of 100 patients were enrolled in this research. We found the proportion of asymptomatic DVT in cancer patients was 2 . Most of the subjects has low Wells score 93 of subjects, score 2, categorized as unlikely and high D dimer 60 of subjects, concentration of 500 g l . Based on statistical test, Wells score had a poor calibration score p 0,01 and low area under the curve 47,4 . Conclusion Wells score cannot be used as a prediction model to predict DVT in asymptomatic cancer patients. The proportion of asymptomatic DVT in cancer patients was 2 . Keywords asymptomatic, cancer, deep vein thrombosis, Wells score "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Kurnia Putri
"Latar belakang dan tujuan: Tuli sensorineural adalah penyebab tuli terbanyak pada anak-anak, akibat gangguan antaran impuls saraf pada koklea. Teknik implann koklea berkembang untuk mengatasi kelainan ini. Tomografi komputer resolusi tinggi memberikan peranan penting untuk mengevaluasi struktur koklea dan mengukur panjang duktus koklea untuk kepentingan pemasangan implan. Pengukuran dengan cara manual memiliki kekurangan waktu pengerjaan yang lama. Terdapat cara pengukuran dengan menggunakan rumus panjang duktus koklea yang dikembangkan oleh salah satu merk implan. Apabila terdapat korelasi antara kedua cara pengukuran tersebut, maka cara pengukuran dengan rumus panjang koklea dapat digunakan secara umum untuk semua merk implan koklea.
Metode: Penelitian deskriptif dengan menggunakan uji korelasi pada rerata panjang duktus koklea pasien dengan tuli sensorineural menggunakan pengukuran secara manual dan rumus panjang koklea yang dilakukan pemeriksaan tomografi komputer resolusi tinggi tulang temporal di Departemen Radiologi RSCM terhadap 86 sampel penelitian.
Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p

Background and Objective: Sensorineural hearing loss is the most common cause of deafness in children, due to impaired nerve impulses in the cochlea. Cochlear implant technique develops to overcome this disorder. High resolution computed tomography provides an important role in evaluating the cochlear structure and measuring the length of the cochlear ducts for the benefit of implantation. Manual measurements have a short time lapse. There is a method of measurement using the cochlear duct length equation developed by one of the implant brands. If there is a correlation between the two methods of measurement, then the method of measurement by cochlear length equation can be used generally for all brands of cochlear implants
Methods: A Descriptive correlation study of the mean length of the patient 39 s cochlear duct with sensorineural hearing loss using manual measurement and cochlear length equation performed by high resolution computed tomography examination of the temporal bone at Radiology Department of Cipto Mangunkusumo hospital for 86 research samples.
Results: With Pearson correlation test, obtained p value
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Masita Hayati
"Latar belakang dan tujuan: Angka kejadian osteoporosis di Indonesia cukup tinggi disertai peningkatan risiko patah tulang terutama pada wanita. Pemeriksaan kepadatan massa tulang dengan DXA merupakan baku emas dalam mendiagnosis osteoporosis dan memperkirakan risiko patah tulang berdasarkan nilai T-score, namun ketersediaan perangkat DXA di Indonesia masih terbatas. Rasio ketebalan korteks merupakan salah satu parameter sederhana, objektif, dan mudah diterapkan dengan menggunakan radiografi konvensional yang berguna untuk memperkirakan kepadatan massa tulang, namun perlu dibuktikan korelasinya dengan nilai T-score.
Metode: Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-scoreradius distal menggunakan DXA berdasarkan database populasi Asia, terhadap 40 subjek penelitian, menggunakan data sekunder dalam kurun waktu November 2016 sampai April 2017.
Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p<0,05 dan r=0,39 antara nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score radius distal menggunakan DXA.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang lemah antara nilai rasio ketebalan korteks radius distal menggunakan radiografi konvensional dan T-score radius distal menggunakan DXA.

Background and Objective: The prevalence of osteoporosis in Indonesia is high with increased risk of fractures, especially in women. Examination of bone density by DXA is the gold standard in the diagnosis of osteoporosis and predicts fracture risk based on the T-score, but the availability of DXA devices in Indonesia is very limited. The cortical thickness ratio is a simple, objective parameter, and easily applied to conventional radiography in estimating bone density, but needs to be proven its correlation with the T-score.
Methods: A cross sectional correlation study between the cortical thicknessratio of distal radius by conventional radiography and T-score of distal radius by DXA based on population database in Asia, conducted in 40 subjects in the period of November 2016 toApril 2017.
Results :With the Pearson correlation test, there is a significant correlation (p < 0.05 and r = 0.39) between the cortical thickness ratio of distal radiusby conventional radiography and T-score of distal radius by DXA.
Conclutions: There is a weak positive correlation betweenthe corticalthickness ratio of distal radius by conventional radiography and T-score of distal radius by DXA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldi Semanta Sirath
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Spondilitis mencakup 2 ndash;7 dari seluruh kasus infeksi musculoskeletal, biasanya merupakan proses sekunder dari fokus infeksi primer. Infeksi diskus intervertebralis dan perluasannya paling baik dievaluasi menggunakan modalitas MRI vertebra. Penggunaan Gd-DTPA berguna untuk menilai sejauh mana perluasan massa jaringan lunak, pemeriksaan ini memiliki nilai sensitivitas, spesifisitas, serta akurasi yang tinggi dalam menegakan diagnosis spondilitis. Namun saat ini ketersediaan kontras di beberapa daerah di Indonesia masih belum merata, dan harganya yang cukup mahal juga menjadi kendala. Penelitian ini bertujuan membandingkan kesesuaian diagnosis spondilitis pada MRI vertebra tanpa kontras dengan MRI dengan kontras. Metode: Uji kesesuaian menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder untuk mengetahui kesesuaian diagnostik MRI vertebra tanpa kontras dan MRI dengan kontras dalam mendiagnosis spondilitis. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan data pemeriksaan MRI vertebra dengan suspek spondilitis dalam kurun waktu Agustus 2012 sampai September 2016. Hasil: Hasil uji McNemar didapatkan hasil p = 0,368, kappa R = 0,88 p

ABSTRACT
Background and objective Spondylitis accounts for 2 7 of all cases in musculoskeletal infections, usually as a secondary process originated from primary infection. Intervertebral disc infection and its extent best evaluated using spine MRI. The use of Gd DTPA contrast is useful for assessing the extent of soft tissue mass expansion, this examination has high sensitivity, specificity, and accuracy in diagnosing spondylitis. However, the availability of contrast in some areas in Indonesia is still uneven, the expensive price is also another obstacle. This study aims to compare the suitability of diagnosis of spondylitis in spine MRI without contrast and MRI with contrast. Methods Cross sectional study with secondary data to determine compatibility of spine MRI without contrast and MRI with contrast in diagnosing spondylitis. The examination was performed based on spine MRI examination data in suspected spondylitis patients in the period between August 2012 to September 2016. Result McNemar test results in p 0,368, kappa R 0,88 p "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>