Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizal Irawan
"

Latar belakang: Bovine jugular vein (BJV) conduit telah menggantikan fungsi homograft untuk prosedur operasi rekonstruksi right ventricle outflow tract (RVOT). Penelitan ini bertujuan melihat kesintasan jangka panjang pasien yang dilakukan rekonstruksi RVOT menggunakan BJV conduit. Metode: Total 58 BJV conduit yang dimplantasi di satu pusat jantung pada tahun 2010 hingga 2016. Karakteristik pasien serta evaluasi ekokardiografi didapatkan dari rekam medis. Peneliti melakukan analisa kesintasan terhadap luaran kardiovaskular yang terjadi. Luaran kardiovaskular berupa stenosis, regurgitasi, endokarditis serta operasi ulang. Hasil: Kesintasan selama tujuh tahun, pasien usia dibawah 24 bulan dan diatas 24 bulan terhadap luaran kardiovaskular sebesar 74,1% dan 87,1%. Usia subjek dibawah 24 bulan meningkatkan risiko terjadinya luaran kardiovaskular sebesar 1,18 kali. Kesintasan selama tujuh tahun terhadap luaran kardiovaskular untuk BJV conduit ukuran 12-14 mm dan 16-22 mm adalah 77%, dan 87%. Penggunaan ukuran 12-14 mm BJV conduit, meningkatkan kejadian luaran kardiovaskular sebanyak 1,13 kali. Kesimpulan: Usia dibawah 24 bulan dan penggunaan ukuran BJV conduit 12-14 mm yang meningkatkan risiko terjadinya luaran kardiovaskular, maka perlu dipertimbangkan operasi paliatif pada pasien agar dapat menggunakan BJV conduit yang lebih besar dikemudian hari.


Backgrounds: Bovine jugular Vein (BJV) conduit have replaced homograft function for right ventricle outflow tract (RVOT) reconstruction. This study purpose was to study long-term survival patient who undergo RVOT reconstruction with BJV conduit. Method: A total of 58 BJV conduit implanted in one heart center in 2010 until 2016. We gathered subject characteristic and echocardiography findings from medical record. We performed survival analysis based on cardiovascular events as the outcome which were stenosis, regurgitation, infective endocarditis, and re-operation. Result: The seven-year cardiovascular events were: patients less than 24 mo (74,1%), more than 24 mo (87,1%), BJV 12-14 mm in diameter (77%), 16-22 mm (87%). Age less than 24 mo and BJV conduit 12-14 mm in diameter increase risk of cardiovascular events 1,18 times and 1,13 times. Conclusion: Age less than 24 mo and BJV conduit 12-14 mm in diameter increasing risk of cardiovascular events. Thus, palliative surgery needs to be considered, allowing the use of conduit with a larger diameter. 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Navy Laksmono
"Latar belakang: Society of Thoracic Surgeons – European Association of Cardiothoracic Surgeons (STS-EACTS) mortality score dan category merupakan sistem stratifikasi risiko terbaru yang dikembangkan sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas pascaoperasi penyakit jantung bawaan (PJB). Namun belum pernah divalidasi di Indonesia.
Tujuan: Melakukan validasi eksternal STS-EACTS mortality score dan category pada populasi Indonesia.
Metode: Uji validasi dengan studi potong lintang, menggunakan data dari Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita bagian bedah jantung anak dan kongenital dari Januari 2015 – Desember 2019. Nilai sensitivitas, spesifisitas, dan area under curve – receiving operator characteristic (AUC-ROC) menjadi luaran utama dalam menilai kemampuan prediksi mortalitas dan pemanjangan lama rawat pascoperasi (PLRP).
Hasil: Penelitian melibatkan 4139 subjek dengan tingkat mortalitas 5,4% (230 subjek). STS-EACTS score memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 65% dan 68% dalam memprediksi mortalitas, dengan 62% dan 71% dalam memprediksi PLRP. STS-EACTS category memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 63% dan 68% dalam memprediksi mortalitas, dengan 61% dan 75% dalam memprediksi PLRP. STS-EACTS category memperlihatkan kemampuan diskriminasi yang baik untuk mortalitas dan PLRP (AUC-ROC 0,704 dan 0,701). Sementara pada mortality score hanya memberikan hasil cukup untuk PLRP (AUC-ROC 0,704 dan 0,679).
Kesimpulan: STS-EACTS category merupakan prediktor yang baik dalam menilai luaran mortalitas dan PLRP pascaoperasi PJB.

Introduction: Society of Thoracic Surgeons – European Association of Cardiothoracic Surgeons (STS-EACTS) mortality score and category were the latest risk stratification for congenital heart disease (CHD) surgery, but it hasn't been validated in Indonesia.
Aim: Validate STS-EACTS score and category in Indonesian population.
Methods: Cross-sectional validation study was done using the dataset of Paediatric and Congenital Heart Surgery Department, National Cardiovascular Center Harapan Kita Indonesia, from January 2015 – December 2019. Sensitivity, specificity and area under curve – receiving operator characteristic (AUC-ROC) are used to assess its ability to predict mortality and PHLOS.
Results: This study enrolled 4139 subjects with 5.4% mortality rate. The STS-EACTS score have the sensitivity and specificity of 65% and 68% to predict mortality, with 62% and 71% to predict PHLOS. The STS-EACTS category have the sensitivity and specificity of 63% and 68% to predict mortality, with 61% and 75% to predict PHLOS. The STS-EACTS category shows good discrimination ability in predicting mortality and PHLOS (AUC-ROC 0.704 and 0.701), whereas the mortality score only gives sufficient results in predicting PHLOS (AUC-ROC 0.704 and 0.697).
Conclusions: The STS-EACTS category is a good predictor that can be used in Indonesian population to predict mortality and PHLOS following CHD surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Ilhami Akbar
"ABSTRAK
Latar belakang: Risk Adjusted Classification for Congenital Heart Surgery (RACHS-1) merupakan sistem stratifikasi risiko terbaru yang dikembangkan sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas pascoperasi penyakit jantung bawaan (PJB), namun belum pernah divalidasi di populasi Indonesia.
Tujuan: Melakukan validasi eksternal RACHS-1 pada populasi Indonesia sebagai prediktor mortalitas pascoperasi PJB.
Metode: Uji validasi dengan studi kohort, menggunakan data retrospektif dari bank data bagian bedah jantung anak dan kongenital Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari Januari 2015-Desember 2019. Uji diagnostik memperlihatkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan area under curve-receiving operator characteristic (AUC-ROC) sebagai luaran utama dalam menilai kemampuan prediksi luaran mortalitas.
Hasil: Penelitian melibatkan 4139 subjek dengan mortalitas pada 230 subjek (5,6%). RACHS-1 category memiliki sensitivitas 71% dengan spesifisitas 60% dalam memprediksi mortalitas. Kemampuan diskriminasi memperlihatkan hasil yang kurang baik dalam prediksi mortalitas (AUC-ROC 0,673).
Kesimpulan: RACHS-1 memiliki kemampuan diskriminasi yang kurang baik sebagai prediktor mortalitas di Indonesia dengan nilai AUC-ROC 0,673.

ABSTRACT
Background: Risk Adjusted Classification for Congenital Heart Surgery (RACHS-1) were the latest risk stratification methods for congenital heart disease (CHD) surgery that were developed to predict mortality and morbidity outcome, it hasn't been validated in Indonesian population.
Objectives: To validate RACHS-1 category as a predictor of mortality in Indonesia.
Methods: A Retrospective Cohort study using the database Pediatric and Congenital Heart Surgery Department of National Cardiovascular Harapan Kita Database from January 2015-December 2019. Statistical analysis was done using area under curve-receiving operator characteristic (AUC-ROC) to determine the predictive discrimination of mortality.
Results: This study enrolled 4139 subjects with mortality rate of 230 subjects (5.4%). The RACHS-1 category have the sensitiviy of 71% with specificity of 60% to predict mortality. Both of the methods showed a fine discrimination to predict mortality (AUC-ROC 0.673).
Conclusion: RACHS-1 has a poor discrimination ability as a predictor of mortality in Indonesia with an AUC-ROC value of 0.673."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizunnur Erfin
"Latar belakang: Pada Tetralogy of Fallot (TOF) dilakukan pembedahan dengan prosedur transannular patch (TAP) untuk mengatasi obstruksi ventrikel kanan. Namun, prosedur ini diketahui menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi akibat regurgitasi pulmonal pasca operasi. Beberapa studi melaporkan Valve sparing repair (VSR) sebagai prosedur pembedahan TOF dengan angka mortalitas dan morbiditas yang lebih rendah. Namun, saat ini belum terdapat cukup data untuk membandingkan keluaran di antara kedua prosedur tersebut. Tujuan: Mengetahui prosedur pembedahan terbaik dalam tata laksana TOF. Metode: Penelitian ini merupakan tinjauan sistematis dengan meta analisis yang dibuat berdasarkan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Meta analisis dilakukan untuk membandingkan luaran mortalitas dan morbiditas antara prosedur TAP dan VSR. Studi ini menggunakan artikel yang terbit dari database Cochrane, MEDLINE, EBSCOhost (CINAHL dan Academic Search Complete), dan Scopus. Analisis statistik dilakukan dengan software Review Manager v5.4 dan p-value <0,05 dianggap bermakna secara statistik. Hasil: Dari pencarian literatur didapatkan 144 studi dengan 14 studi yang memenuhi kriteria. Jumlah total subjek sebanyak 3.280 orang, 50,8% menjalani prosedur VSR. Kejadian mortalias perioperatif, mortalitas pascaoperasi, regurgitasi pulmonal pascaoperasi, regurgitasi pulmonal saat follow-up, dan operasi ulang pada kelompok VSR dan TAP berturut-turut adalah 0,14% vs 0,27% , 0,21% vs 0,28%, 2,87% vs 19,02%, 7,25% vs 20,13%, dan1,95% vs 3,23%. Tidak terdapat perbedaan risiko kematian perioperatif dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur VSR dan TAP. Pasien yang menjalani prosedur VSR memiliki risiko 0,08 kali lebih kecil mengalami regurgitasi pulmonal pasca operasi, 0,11 kali lebih kecil mengalami regurgitasi pulmonal saat follow-up, dan 0,43 kali lebih kecil menjalani operasi ulang dibandingkan pasien yang menjalani prosedur TAP. Kesimpulan: Prosedur VSR merupakan prosedur pembedahan terbaik dalam tata laksana TOF. Prosedur VSR memiliki risiko regurgitasi pulmonal dan operasi ulang yang lebih rendah dibandingkan TAP.

Background: Transannular patch (TAP) is one of surgical procedures performed to treat right ventricular obstruction in patient with Tetralogy of Fallot (TOF). This procedure caused higher mortality and morbidity due to post operation pulmonary regurgitation. A few studies reported promising result from valve sparing repair (VSR) procedure with lower mortality and morbidity. Currently, there is still not enough data to compare outcomes between the two procedures. Aim: To know the best surgical procedure to treat TOF. Method: This study is a systematic review with metaanalysis written based on Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Metaanalysis was performed to compare mortality and morbidity outcomes between TAP and VSR procedures. Articles used for this study were obtained from Cochrane, MEDLINE, EBSCOhost (CINAHL and Academic Search Complete), and Scopus databases. Statistic analysis was performed using Review Manager v5.4 software with p-value <0,05 considered significance. Result: We obtained 144 studies from literature searching, 14 of which were included in this study. Total subject was 3.280 people, 50,8% of which underwent VSR procedure. Perioperative mortality, postoperative mortality, postoperative pulmonary regurgitation, pulmonary regurgitation at follow-up, and reoperation on VSR and TAP groups were respectively, 0,14% vs 0,27% , 0,21% vs 0,28%, 2,87% vs 19,02%, 7,25% vs 20,13%, and 1,95% vs 3,23%. There is no significant difference on perioperative and postoperative mortality between VSR and TAP group. Patient in VSR group has 0.08 times lower risk to have postoperative pulmonary regurgitation, 0.11 times lower risk to have pulmonary regurgitation at follow up, and 0.43 times lower risk to have reoperation compared to TAP group. Conclusion: VSR procedure is the best surgical procedure to treat TOF. This procedure has lower risk for pulmonary regurgitation and reoperation compared to TAP."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Indra Hakim
"Latar belakang: Prosedur Fontan merupakan prosedur paliatif pada penyakit jantung bawaan univentrikel atau pada penyakit jantung bawaan dengan struktur intra kardiak yang kompleks yang tidak dapat reparasi secara biventrikel. Usia tua saat dilakukan prosedur Fontan memengaruhi kesintasan pascaoperasi. Berdasarkan basis data bedah jantung pediatrik Rumah sakit pusat jantung nasional harapan kita (RSPJNHK) di Indonesia, sebagian besar pasien yang manjalani prosedur Fontan berada pada usia tua. Dengan mengetahui faktor risiko yang memengaruhi keluaran pascaoperasi jangka pendek pada pasien usia tua diharapkan dapat menurunkan lama rawat, komplikasi, dan mortalitas, serta meningkatkan kesintasan pascaoperasi Fontan.
Metodologi: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan pada pasien usia tua yang telah menjalani operasi Fontan  pada periode 2017-2021. Variabel yang dinilai antara lain fungsi ventrikel, rasio McGoon, indeks resistensi arteri pulmonalis, gradient transpulmonalis, lama penggunaan mesin jantung paru, penggunaan klem silang aorta, dan tekanan sirkulasi Fontan terhadap lama rawat, mortalitas, dan komplikasi pasca operasi.
Hasil: Hasil penelitian terdapat total 93 anak diatas enam tahun yang menjalani operasi Fontan; usia 10,2 ± 4,6, laki-laki 43(46,2%) dan perempuan 50(53,8%), tidak didapatkan hubungan antara variable penelitian terhadap lama rawat.  Terdapat hubungan antara rasio McGoon (p = 0,011) terhadap kejadian mortalitas dini. Komplikasi pasca operasi lebih tinggi pada kelompok dengan indeks resistensi arteri pulmonalis >2 WU(70,6%) dibanding <2 WU( 40,7%) (p = 0,008) OR 0,22(0,73-0,68), dan pada kelompok dengan rasio McGoon <1,8(78,8%) dibanding >1,8(78,8%) ( p = 0,002) OR 0,15(0,05-0,48) dan juga didapatkan hubungan lama penggunaan mesin jantung paru (p = 0,003) OR 1,03(1-1,05) terhadap komplikasi secara keseluruhan.
Simpulan: Berdasarkan penelitian beberapa variabel memilki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap keluaran pascaoperasi Fontan pada anak usia diatas 6 tahun. Rasio McGoon memiliki korelasi yang bermakna terhadap mortalitas pascaoperasi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variable penelitian dengan lama rawat pascaoperasi. Indeks resistensi arteri pulmonalis >2 WU, rasio McGoon  < 1,8, dan lama penggunaan mesin jantung paru memiliki hubungan yang bermakna terhadap komplikasi pascaoperasi.

Background: The Fontan procedure is a palliative procedure in univentricular congenital heart disease or in congenital heart disease with complex intracardiac structures that cannot be repaired biventricularly. Older age at the time of the Fontan procedure affects postoperative survival. Based on the pediatric cardiac surgery database at the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in Indonesia, most of the patients undergoing the Fontan procedure are of old age. Knowing the risk factors that affect short-term postoperative outcomes in older patients is expected to reduce length of stay, complications, and mortality, and increase Fontan's postoperative survival.
Method: This study is a retrospective cohort study based on secondary data from the medical record section of the Harapan Kita National Cardiovascular Center Hospital in  patients who had undergone Fontan surgery in older age in the 2017-2021 period. The variable assessed included ventricular function, McGoon ratio, pulmonary artery resistance index, transpulmonary gradient, duration of cardiopulmonary bypass, use of aortic cross clamp,  and Fontan circulation pressure on length of stay, postoperative complications, and mortality.
Result: The results of the study were a total of 93 children over six years who underwent Fontan surgery; age 10,2 ± 4,6, male 43 (46,2%) and female 50 (53,8%), there was no relationship between study variables and length of stay. There is a relationship between McGoon's ratio (p = 0,011) to the incidence of early mortality. Postoperative complications were higher in the group with pulmonary artery resistance index >2 WU (70,6%) than <2 WU(40,7%) (p = 0,008) OR 0,22(0,73-0,68), and in the group with McGoon ratio <1,8(78,8%) compared to >1,8(78,8%) (p = 0,002) OR 0,15(0,05-0,48) and duration of cardiopulmonary bypass (p = 0.003) OR 1.03(1-1.05) on composite complications.
Conclusion: Based on the research, several variables had a statistically significant relationship with the short-term postoperative outcome of Fontan in children aged over six years. McGoon's ratio <1,8 has a significant correlation with postoperative mortality.  Pulmonary artery resistance index >2 WU, McGoon ratio < 1.8, and duration of  cardiopulmonary bypass had a significant relationship to postoperative complications. There was no significant relationship between the study variables and postoperative length of stay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ameru Ulfalian
"Latar belakang : Arterial switch operation (ASO) adalah operasi pilihan untuk penanganan penyakit jantung bawaan transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). Namun, terdapat komplikasi regurgitasi katup neoaorta yang memengaruhi keluaran jangka pendek dan panjang pascaprosedur ASO. Prosedur pulmonary artery (PA) banding yang merupakan bagian dari ASO dua tahap bagi pasien TGA IVS berusia di atas tiga minggu merupakan salah satu faktor risiko yang diduga memengaruhi regurgitasi katup neoaorta. Akan tetapi, belum diketahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh PA banding terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO, karakteristik pasien TGA IVS, prevalensi regurgitasi katup neoaorta, dan pengaruh faktor risiko lain (rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta) terhadap regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada TGA IVS di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RSPJNHK), Indonesia.
Metode : Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif berdasarkan data sekunder dari bagian rekam medis RSPJNHK pada pasien TGA IVS yang dilakukan dan tidak dilakukan PA banding sebelum ASO pada periode 2010-2022. Variabel yang dinilai antara lain PA banding, rentang waktu antara PA banding dan ASO, usia, jenis kelamin, konfigurasi arteri koroner dan anatomi katup neoaorta.
Hasil : Hasil penelitian ini terdapat 123 subjek yang terdiri dari 41 subjek kelompok PA banding dan 82 subjek kelompok tidak PA banding; median usia kelompok PA banding 14 (4–172) minggu, tidak PA banding 7 (4–364) minggu. Prevalensi regurgitasi katup neoaorta pascaprosedur ASO pada pasien TGA IVS di Indonesia adalah 37,4%; derajat regurgitasi ringan mendominasi pada kelompok PA banding tidak PA banding sebelum ASO dengan persentase 74,0% dan 60,9%. Pulmonary artery banding memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis multivariat dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 3,01 (IK 95% 1,30 – 6,95) kali dibandingkan tanpa PA banding. Rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik (p = 0,010) dengan regurgitasi katup neoaorta dalam analisis bivariat subgrup dan meningkatkan regurgitasi katup neoaorta 2,46 (IK 95% 1,21 – 5,00) kali dibandingkan dengan rentang waktu cepat.
Simpulan : Berdasarkan penelitian ini, PA banding dan rentang waktu lambat antara PA banding dan ASO memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan regurgitasi katup neoaorta dan meningkatkan risiko regurgitasi katup neoaorta pada pasien TGA IVS yang menjalani ASO.

.Background : Arterial switch operation (ASO) is the treatment of choice for transposition of the great arteries with intact ventricular septum (TGA IVS). However, regurgitation of neoaortic valve was one complication that affect the short-term and long- term outcome after ASO. Pulmonary artery (PA) banding procedure, the first of two step in two-stage ASO done particularly for patient older than three weeks old, was thought to be the risk factor for developing neoaortic valve regurgitation. However, there was no data supporting this statement in Indonesia.
Aim : The aim of this study is to understand the effect of PA banding on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS, patient’s characteristics, prevalence of neoaortic valve regurgitation and effect of other risk factors (age, gender, time interval between PA banding and ASO, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy) on neoaortic valve regurgitation after ASO in TGA IVS in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK), Indonesia.
Method : This study was a retrospective cohort based on secondary data from medical record of NCCHK on patient with TGA IVS who underwent and not underwent PA banding prior to ASO in 2010 to 2022 time period. The variables assessed including PA banding, time interval between PA banding and ASO, age, gender, coronary artery configuration and neoaortic valve anatomy.
Result : There were 123 subjects in this study, consisted of 41 subjects in PA banding group and 82 subjects in non PA banding group; median age in PA banding group was 14 (4–172) weeks, non PA banding group 7 (4–364) weeks. Prevalence of neoaortic valve regurgitation post ASO in TGA IVS in Indonesia was 37.4%; with mild regurgitation dominated in PA banding and non PA banding prior to ASO group with percentage of 74.0% and 60.9%, respectively. Pulmonary artery banding had statistically significant correlation (p = 0,010) with neoaortic valve regurgitation in multivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 3,01 (CI 95% 1,30 – 6,95) compared with non PA banding. Late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation (p = 0.010) with neoaortic valve regurgitation in subgroup bivariate analysis and increasing risk of developing regurgitation by 2.46 (CI 95% 1.21 – 5.00) compared with rapid time interval between PA banding and ASO.
Conclusion : Based on this study, PA banding dan late time interval between PA banding and ASO had statistically significant correlation with neoaortic valve regurgitation and increasing risk of developing neoaortic valve regurgitation in TGA IVS patient underwent ASO.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Komang Adhi Parama Harta
"Latar belakang: Berdasarkan pilot study di divisi Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, SIRS lebih sering terjadi pada OPCAB dibandingkan dengan on-pump CABG, 67% vs 33% (30 sampel, 2017). Berangkat dari hal tersebut, peneliti melakukan uji klinis memberikan deksametason pada pasien yang menjalani operasi OPCAB. Metode: Pengumpulan sampel dilakukan secara konsekutif di divisi Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita antara Agustus 2018 - Januari 2019. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dirandomisasi menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Intervensi deksametason intravena dosis 1 mg/KgBB (maksimal 100 mg) atau plasebo menggunakan normal salin (NaCl 0,9%). Analisis statistik digunakan independent t-test, Mann-Whitney test, fisher exact test dan AUC. Hasil: Insiden MACE pada grup deksametason dibandingkan grup plasebo (RR 0,385, CI 95%: 0,157-0,945, p = 0,024). Keluaran klinis lebih baik ditemukan pada grup deksametason dibandingkan grup plasebo untuk durasi ventilasi mekanik (6 (5-16) jam vs 8 (5-72) jam, p = 0,029), lama rawat ICU (17,5 (12-32) jam vs 19 (13-168) jam, p = 0,028), lama rawat rumah sakit (5 (5-8) hari vs 6,5 (5-30) hari, p = 0,04) dan VIS (0 (0-15) vs 5 (0-100), p = 0,045). Hasil penanda inflamasi, terdapat perbedaan rata-rata yang bermakna antara grup deksametason dibandingkan grup plasebo pada IL-6 (217,4 pg/mL, CI 95%: 107,9-326,8, p = 0,0001), PCT (3,41 µg/L, CI 95%: 2,1-4,71, p = 0,0001) dan CRP (52,3 mg/L, CI 95%: 28.8-75,8, p = 0,0001). Pada analisis AUC terdapat hubungan signifikan antara penanda inflamasi dengan insiden MACE pada IL-6 (AUC 0,728, CI 95%: 0,585-0,871, p = 0,005) dan PCT (AUC 0,723, CI 95%: 0,578-0,868, p = 0,007). Kesimpulan: Pemberian deksametason praoperasi OPCAB, efektif memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan reaksi inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background: Based on a pilot study in the Adult Heart Surgery division of Harapan Kita Heart and Vascular Center Hospital, SIRS is more common in OPCAB compared to on-pump CABG, 67% vs 33% (30 samples, 2017). Based from this result, this research conducted a clinical trial to provide dexamethasone in patients undergoing OPCAB surgery. Methods: Samples were collected consecutively in the Adult Heart Surgery division of Harapan Kita Heart and Vascular Center Hospital between August 2018 - January 2019. Samples that fulfill inclusion and exclusion criteria were randomized to dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Intervention using intravenous dexamethasone dose of 1 mg/KgBB (maximum 100 mg) or placebo using normal saline (0.9% NaCl). Statistical analysis were used independent t-test, Mann-Whitney test, fisher exact test and AUC. Results: MACE incidence in dexamethasone group compared to placebo group (RR 0.385, 95% CI: 0.157-0.945, p = 0.024). Clinical output of dexamethasone group was better than placebo group in duration of mechanical ventilation (6 (5-16) hours vs 8 (5-72 ) hours, p = 0.029), ICU length of stay (17.5 (12-32) hours vs 19 (13-168) hours, p = 0.028), hospital length of stay (5 (5-8) days vs 6.5 (5-30) days, p = 0.04) and VIS (0 (0-15) vs 5 (0-100), p = 0.045). As a result of the inflammatory markers, there was a significant average difference between dexamethasone group compared to the placebo group in IL-6 (217.4 pg/mL, 95% CI: 107.9-326.8, p = 0,0001), PCT ( 3.41 µg/L, 95% CI: 2.1-4.71, p = 0.0001) and CRP (52.3 mg/L, 95% CI: 28.8-75.8, p = 0.0001 ) In the AUC analysis there was a significant association between inflammatory markers with the incidence of MACE in IL-6 (AUC 0.728, 95% CI: 0.585-0.871, p = 0.005) and PCT (AUC 0.723, 95% CI: 0.578-0.868, p = 0.007). Conclusion: Preoperative dexamethasone OPCAB is effective to improving clinical output and controlling postoperative inflammatory reactions compared to placebo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aris Furqon
"Latar Belakang: Paru merupakan salah satu organ tersering ditemukan lesi metastasis. Reseksi sublobar dapat berupa reseksi baji atau segmentektomi. Saat ini belum ada telaah sistematik atau metaanalisis yang membandingkan keduaya. Tujuan kajian ini adalah membuktikan segmentektomi merupakan metode metastasektomi dengan kesintasan yang lebih baik.
Metode: Tinjauan sistematik ini dilakukan dengan menerapkan kaidah yang disusun dalam PRISMA-P. Pencarian terhadap artikel yang sesuai dilakukan pada database PubMed, EBSCO, dan EMBASE. Data kemudian dilakukan telaah kritis dengan piranti ROBINS-1. Data yang diekstraksi kemudian diolah lebih lanjut dengan bantuan piranti lunak Review Manager 5.4.
Hasil: Lima artikel diikut sertakan dalam tinjauan sistematik ini. Kelima artikel tersebut melaporkan hasil penelitian dengan desain kohort retrospektif. Total subjek penelitian yang diikutkan dalam analisis akhir adalah 1011. Analisis forest plot bahwa segmentektomi memiliki kesintasan lima tahun yang terbaik (RR:0,72; 95% CI: 0,59-0,88). Sedangkan analisis subgrup yang dilakukan menemukan bahwa segmentektomi memiliki kesintasan terbaik dibandingkan dengan reseksi baji pada tumor kolorektal (RR: 0,69; 95% IK: 0,55-0,85) tetapi tidak pada jenis lesi primer sarkoma (RR: 0,98; 95% IK : 0,67-1,42).
Kesimpulan: Subjek penelitian dengan lesi metastasis paru dari keganasan kolorektal yang menjalani metastasektomi secara segmentektomi memiliki kesintasan yang terbaik jika dibandingkan dengan yang menjalani metastasektomi dengan reseksi baji.

Background: The lung is the organ where metastatic lesions are most frequently found. Sublobar resection can be wedge resection or segmentectomy. There is currently no systematic review or meta-analysis that compares the two. Aim of the study is to prove that segmentecomy is better than wedge resection in terms of survival.
Methods: This systematic review is done by applying the principle in PRISMA-P. Literature searching methods is done in PubMed, EBSCO, and EMBASE. Data then reviewed systematically with ROBINS-1. The extracted data were analyzed further by using Review Manager 5.4 Software.
Results: Five articles were included in this systematic review. The five articles report the results of a study with a retrospective cohort design. The total number of patients included in the final analysis was 1011. Forest plot analysis showed that segmentectomy had a best five-year survival (RR: 0.72; 95% CI: 0.59-0.88). Meanwhile, the subgroup analysis found that segmentectomy had best survival compared to wedge resection in colorectal tumors (RR: 0.69; 95% CI: 0.55-0.85) but not of sarcoma (RR: 0.98; 95% CI: 0.67-1.42).
Conclusion: Patients with lung metastases from colorectal malignancies who underwent metastasectomy by segmentectomy had the best survival compared to those who underwent metastasectomy by wedge resection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>