Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endah Setyowati
Abstrak :
Banyak permasalahan yang terjadi dalam proses rekrutmen dan seleksi CPNS, baik yang menyangkut aspek transparansi, kompetisi, obyektivitas, maupun kompetensi. Tujuan penelitian ini untuk mendiskripsikan pelaksanaan rekrutmen dan seleksi CPNS dan menganalisis berbagai hambatan penerapan prinsip-prinsip merit dalam proses rekrutmen dan seleksi CPNS. Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivisme dan metode kualitatif. Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, FGD, dan data dokumentasi yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis data interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses rekrutmen dan seleksi CPNS belum berdasarkan pada prinsip-prinsip merit, hal ini ditandai dengan: pengajuan formasi tidak didasarkan pada kebutuhan birokrasi, ada indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme, pelamar yang lulus tes tidak didasarkan pada passing grade. Berpijak pada analisis makro, kondisi tersebut disebabkan kerangka kebijakan sebagai dasar pelaksanaan rekrutmen dan seleksi CPNS belum secara tegas dan jelas menjelaskan tentang system merit dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan analisis messo disebabkan karena terjadinya overlapping kewenangan antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan Badan Kepegawaian Negara selaku lembaga pengelola kepegawaian. Selanjutnya berdasarkan analisis mikro ditemukan adanya tiga hambatan yang menyebabkan rekrutmen dan seleksi CPNS tidak berjalan berdasarkan pada prinsip-prinsip merit, yaitu: hambatan administratif, hambatan politik dan budaya, dan hambatan teknis. Berkaitan dengan temuan penelitian di atas maka perlu dilakukan beberapa tindakan. Pertama, pembenahan kerangka kebijakan dan harmonisasi peraturan dengan cara perbaikan isi dari kebijakan (content of policy), kejelasan kewenangan lembaga pengelola kepegawaian (pattern of interaction), dan perlu kerja bersama antara Kemenpan RB dan BKN dibawah koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (managing of people) dalam mengeluarkan kebijakan. Kedua, perbaikan mekanisme pelaksanaan rekrutmen dan seleksi CPNS dengan menggunakan CAT (Computer Assisted Test) untuk Tes Kemampuan Dasar (TKD), dan lembaga pengelola kepegawaian harus membuat kisi-kisi untuk Tes Kemampuan Bidang (TKB) agar ada indikator dan standar penilaian yang obyektif. ...... A lot of problems that occured in the process of recruitment and selection of civil servant candidate (CPNS) that concerned the aspects of transparency, competition, objectivity, and competence. The purposes of this study were to describe the implementation of the recruitment and selection of civil servant candidate (CPNS) and analyze various obstacles applying the principles of merit in recruitment and selection of CPNS. This study used the paradigm of post - positivisme and qualitative method. The process of data collection was done by interviews deeply, FGD, and the data documentation to be further analyzed using interactive data analysis. The result of this study showed that the recruitment and selection process of civil servant candidate (CPNS) was not based on the principles of merit yet, it was characterized by : formation submission which is not based on the bureaucracy needs, there are indications of corruption, collusion and nepotism, and applicants who pass the test were not based on a passing grade. Based on the macro analysis, the conditions were caused by the policy framework as the basis for the implementation of the recruitment and selection of civil servant candidate (CPNS) which not explained explicitly and clearly about the merit system in its articles. Based on the messo analysis which was caused by overlapping of authority between the Ministry of Administrative and Bureaucratic Reform by the State Personnel Board as personnel management institutions. Furthermore, based on micro- analysis found that there were three barriers that lead to the recruitment and selection of CPNS which was not implemented based on the merit principles, namely: administrative barriers, political and cultural barriers, and technical barriers. Related to the above research findings, it is necessary to do some actions. First, fixing policy framework and harmonizing regulatory by improving the content of policies, clarifying the authority of personnel management institution (patterns of interaction), and performing cooperative program between the Ministry of Administrative Reform and Bureaucratic Reform (Kemenpan RB) and the National Employment Agency (BKN) under the coordination of the Minister of Administrative Reform and Bureaucratic Reform ( managing of people ) in issuing the policy. Second, improving the implementation mechanisms of recruitment and selection of civil servant candidate (CPNS) by using CAT (Computer Assisted Test) for Basic Ability Test (TKD), and personnel management institution must make the lattice for Ability of Field Test (TKB) in order to get an objective assessment indicator and standard.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1491
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moeldoko
Abstrak :
Keberhasilan dalam pengelolaan kawasan perbatasan merupakan salah satu tujuan dalam mewujudkan kepentingan nasional yang paling strategis bagi tegakberdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, selama lebih dari enam dasa-warsa, pengelolaan kawasan perbatasan masih menghadapi masalah dalam hal keamanan dan kedaulatan; kesejahteraan dan perlindungan rakyat; pelayanan publik dan sarana-prasarana; tata kelola dan keberlanjutan lingkungan; ketergantungan pada negara tetangga; kejahatan lintas perbatasan; pengamanan, pengelolaan dan perlindungan aset-aset nasional; dan desentralisasi pemerintahan. Permasalahan-permasalahan tersebut bersumber pada isi kebijakan, implementasi kebijakan dan gambaran masa depan yang problematik. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yakni: (i) bagaimana isi kebijakan ( policy content) pengelolaan kawasan perbatasan sebagaimana diatur dalam UU No. 43 Tahun 2008 dan Perpres No. 12 Tahun 2010 serta peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait lainnya?; (ii) bagaimana implementasi kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan dalam mewujudkan beranda depan negara yang aman dan sejahtera?; dan (iii) bagaimana skenario dan arah kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan yang aman dan sejahtera sampai dengan tahun 2030? Secara umum, penelitian dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pertama yang mencakup evaluasi isi dan implementasi kebijakan serta tahap kedua yang mencakup scenario planning dan perumusan rekomendasi kebijakan. Analisis terhadap isi kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan menemukan adanya "kesenjangan" kebijakan, kurang harmonisnya pengaturan antar kebijakan, dan tumpang tindihnya kebijakan dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Ketidak-selarasan kebijakan antara lain ditemukan dalam aspek penganggaran, yaitu bahwa anggaran pengelolaan kawasan perbatasan yang terdapat pada pos belanja Pemerintah masih tersebar di beberapa Kementerian/ Lembaga teknis. Analisis terdahap implementasi kebijakan mendapatkan kurangnya koordinasi dan keterpaduan program oleh BNPP sebagai akar masalah dari belum efektifnya pengelolaan kawasan perbatasan. Sistem pembagian dan koordinasi kewenangan antara BNPP dan lembaga-lembaga ad-hoc juga problematik. Implementasi kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan juga dipengaruhi oleh belum adanya grand design penataan dan pengelolaan kawasan perbatasan. Dengan pertanyaan strategis "Bagaimanakah kondisi kawasan perbatasan dapat dipertahankan dalam bingkai NKRI sampai dengan tahun 2030 dan guna mengantisipasi AEC 2015 yang berkolaborasi dan berkompetisi"?, empat driving forces dirumuskan, yaitu politik, pembangunan ekonomi, keamanan, serta kesejahteraan. Peneliti membangun 4 (empat) scenario pengelolaan kawasan perbatasan, yaitu: Merah Putih Berkibar Jaya, Merah Putih Terkulai di Ujung Tiang, Merah Putih Setengah Tiang, dan Merah Putih Turun Tiang. Dari analisis kebijakan disimpulkan adanya kesenjangan, disharmonisasi, kevakuman, ketidakkonsistenan, serta ketidaktepatan perumusan kebijakan, yang mengakibatkan tidak optimalnya sistem keorganisasian dan program. Dari analisis implementasi kebijakan disimpulkan adanya ketidakefektivan implementasi karena keragaman persepsi dan hambatan prasarana dan sarana. Dari scenario planning disimpulkan adanya empat driving forces yaitu politik, pembangunan ekonomi, keamanan dan kesejahteraan, dan bahwa apabila tidak dilakukan perubahan, pengelolaan kawasan perbatasan akan masuk pada Skenario Merah Putih Setengah Tiang atau Merah Putih Turun Tiang. Untuk itu, perubahan atau penyempurnaan kebijakan dan penguatan kelembagaan dibutuhkan. Berkenan dengan isi kebijakan direkomendasikan perlunya perbaikan, penyempurnaan dan harmonisasi kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan, serta perlunya pengembangan Grand Design Penataan dan Pengelolaan Kawasan Perbatasan. Berkenaan dengan implementasi kebijakan direkomendasikan perlunya kesepahaman persepsi dan strategi dari para stakeholder serta penyediaan prasarana, sarana dan sumber daya yang memadai, mendesaknya reorganisasi BNPP dengan menempatkannya di bawah kendali langsung Wakil Presiden, perlunya restrukturisasi BNPP berdasarkan pada satuan wilayah, serta diberikannya kewenangan kepada BNPP untuk menentukan alokasi anggaran dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Berkenaan dengan scenario planning direkomendasikan perlunya pengembangan skenario dengan variabel-variabel yang lebih lengkap sebagai dasar pembaruan atau penyempurnaan kebijakan dan implementasinya, serta perlunya perbaikan atau penyempurnaan kebijakan strategis secara terus-menerus berdasarkan pada Skenario Merah Putih Berkibar Jaya, dengan mempertimbangkan perkembangan kekinian, preferensi dan agenda nasional dan lokal. Implikasi teoritik penelitian ini adalah, pertama, penelitian kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan perlu dikembangkan lebih lanjut, dan, kedua, sintesa teoritik dalam penelitian kebijakan yang mendasarkan pada teori-teori struktur kebijakan dan kontekstualisasi kebijakan serta dipadukan dengan teori-teori evaluasi kebijakan serta teori-teori reformasi teritorial perlu dikembangkan lebih lanjut. Secara praktik, penelitian ini memiliki tiga implikasi. Pertama, perlunya perbaikan atau penyempurnaan kebijakan dengan mendasarkan pada analisis kebijakan terkait demi terwujudnya skenario ideal. Kedua, perlunya kajian kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan demi merumuskan peraturan perundangundangan yang bersifat lex specialis. Ketiga, perlunya intervensi pemerintah dalam hal pemekaran daerah, membuat tata wilayah pengembangan baru dalam bentuk daerah administratif di perbatasan. ...... The success of border area management is one of aims in creating the most strategic national importance for stand-establishment the unitary state of Indonesia or NKRI. However, for more than six decades, the border area management is still facing problems in terms of security and sovereignty; the prosperity and the protection of people; the public service and the infrastructures; the governance and the sustainability of behavior; the dependence on neighboring country; the cross-border crime; security, management and protection of national assets; and the government decentralization. Those issues are based on the content of policy, policy implementation and the problematic future reflection. Therefore, this research is done for answering three main questions, there are: (i) what is the content of border area management policy in the same manner as set out in Law No. 43 of 2008 and Presidential Law No. 12 Tahun 2010 and the content of legislation rule and the other concerned policy?; (ii) What is the implementation of border area management policy in creating secure and prosperous national front porch?; (iii) what scenario and direction border area management policy which is secure and prosperous until 2030? Generally, the research is done in two stages; the first stage covers the content evaluation and the policy implementation and the second stage covers the planning scenario and the recommendation formulating of policy. Analysis to content of border area management policy discovers the policy "discrepancy", the lack of inters policy regulation harmony, and the overlapping of policy in border area management. The policy unconformity is discovered in budgeting aspect, the budget of border area management which is contained in government expense items is still spread in some ministries or technical institutions. Analysis to policy implementation discovers the lack of program coordination and the cohesiveness by BNPP as the main problem of the border area management ineffectiveness. The distribution system and the authority coordination between BNPP and ad-hoc institutions are also problematic. The implementation of border area policy is also influenced by the absence of border area ordering and management grand design. With the strategic question "how the condition of the border area is defensible in NKRI frame until 2030 and in anticipation of the AEC 2015 collaborate and compete"?, four driving forces are formulated, there are politic, economy development, security, and prosperity. The researcher set up four scenarios of border area management, there are: Merah Putih Berkibar Jaya, Merah Putih Terkulai di Ujung Tiang, Merah Putih Setengah Tiang, dan Merah Putih Turun Tiang. From the policy analysis can be concluded that there are the discrepancy, the exist of vacuum, the inconsistence, the disharmony, and the inaccuracy of policy formulation, which cause the organization and program system is non-optimal. From the implementation of policy analysis can be concluded that there is the ineffectiveness of implementation caused by varieties of perception and infrastructures obstruction. From the scenario planning can be concluded that there are four driving forces: politic, economy development, security, and prosperity, and that if there is no change, the border area management will be entered in Skenario Merah Putih Setengah Tiang or Merah Putih Turun Tiang. As for some reasons, the changes and the action of perfectingthe policy and the consolidating of institutional are needed. In connection with the content of policy there is a recommendation for rehabilitation, action of perfecting and the harmonization of border area policy, and also the need of developing the border area management and ordering. In connection with the policy implementation there is a recommendation the need of the like-minded perception and the strategy from the stakeholders and also the infrastructure supplying, the equality of infrastructure and the main resource, the BNPP reorganization obtruding with place BNPP under the Vice President control, the need of restructuration BNPP based on unit of area, and the authority for BNPP leader for determining the budget allocation in managing border area. In connection with scenario planning there is a recommendation the need of scenario development with the complete variables as the main renewal or the action of perfecting the policy and its implementation, and also the need of rehabilitation and action of perfecting the strategic policy continuously based on Merah Putih Berkibar Jaya scenario, with considering the newest development, preference and national-local agenda. The theories implication of this research is first, the research of border area management policy needs to be developed further. Second, theories synthesis in policy research is going upon the policy structure theories, the policy contextualization, and is compacted with the policy evaluation theories and the territorial reformation theories needs to be developed further. Practically, this research has three implications. First, the need of the rehabilitation and the action of perfecting the policy is going upon the concerned policy analysis for creating ideal scenario. Second, the need of the border area management policy study for formulating the rules of law which is lex specializes. Third, the need of government intervention in terms of the region enfoldment, creating a new development low of region such as an administrative region in border area.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1462
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triarko Nurlambang
Abstrak :
Sudah 50 tahun lebih Perencanaan Penataan Ruang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Namun sampai saat ini belum dapat dinyatakan telah berhasil diterapkan secara efektif dan optimal, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Situasi ini termasuk kawasan pembangunan strategis nasional seperti Kawasan Jabodetabekjur. Masalah ini diteliti dalam perspektif kelembagaan penataan ruang. Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis penataan kelembagaan (institutional arrangment) untuk memahami kemampuan merealisasi kebijakan perencanaan penataan ruang terkait dan pilihan publik (public choice) untuk memahami dinamika pembangunan satu kawasan. Selain itu juga mekanisme perwujudan aspirasi masyarakat serta pemahaman teoritis penataan ruang menggunakan basis teori ruang dan organisasi ruang. Untuk memahami secara mendalam (eksploratif) kompleksitas dan dinamisnya permasalahan pembangunan ini maka digunakan penelitan kualitatif dengan menggunakan Kawasan Metropolis Jabodetabekjur sebagai studi kasus. Pilihan metode ini didasari oleh orientasi pemikiran penelitian pada interpretivisme atau konstruksivisme sebagai bagian kerangka pemikiran post-positivisme. Orientasi pemikiran ini mengarahkan pada proses penelitian berturut-turut melakukan konstruksi teoritis, dekonstruksi melalui kajian kondisi eksisting, dan rekonstruksi konsep alternatif sistem kelembagaan penataan ruang. Dari hasil dekonstruksi terhadap kondisi eksisting Kawasan Jabodetabekjur dan eksplorasi kondisi kapasitas kelembagaan serta mengkaji dari prinsip-prinsip Good Governance menunjukkan bahwa rencana penataan ruang tidak terrancang dengan tepat fungsi dan dapat diimplementasikan secara efektif, diantaranya ditandai dengan munculnya urban sprawl. Demikian pula dengan peran dan fungsi BKSP Jabodetabekjur yang sudah tidak lagi efektif sebagai lembaga yang berfungsi sebagai koordinator. Untuk itu dalam mengelola kawasan Metropolis Jabodetabekjur ini diperlukan peningkatan kekuatan otorita dengan membentuk lembaga semacam Dewan Metropolis yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) dan dapat termasuk kategori Badan Ekstra Struktural. Dewan ini pada dasarnya terbagi atas dua unit yakni urusan yang mendasar yaitu unit yang mengatur terdiri dari para pemangku kepentingan dari pihak wakil pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemangkukepentingan utama lainnya. Sementara itu unit kedua adalah satuan kerja pelaksana pembangunan. Dewan Metropolis Jabodetabekjur ini dikepalai oleh seorang gubernur dan memiliki otoritas mengelola wilayahnya, diantaranya yang prinsipiil adalah menetapkan dan mengangkat walikota atau bupati seperti yang diterapkan di provinsi DKI Jakarta. Ruang lingkup Dewan Metropolis memiliki ruang lingkup kerja utamanya adalah merumuskan rencana pembangunan penataan ruang dan sektor pembangunan strategis yang terkait dengan urusan lintas batas antar daerah. Dewan Metropolis ini merupakan kombinasi dari konsep lembaga otoritas Metropolis (Metropolitan) tingkat tinggi dan place bounded institution.
Over the last 50 years, the Government of Indonesia have applied spatial planning. Almost all spatial planning have not successful implemented effectively yet, either at, either at national or local level development. A similar situation also occurred in Strategic Regional Development, such as Kawasan Jabodetabekjur. This problem is scrutinized through policies and institutional arrangement perspectives of spatial planning implementation. Basically it use institutional, public choice, and spatial organization theory for understanding its dynamic problems of regional development. Moreover, a spatial theory and its spatial organization approach were applied to have better understanding of decision making on how the spatial planning policy being formulated and implemented in fulfilling public and development demand. In order to overcome the complexity and dynamic of regional development then this research apply a qualitative approach and Jabodetabekjur Metropolis area as its case study. As a post positivism research, it is applied on interpretivism and constructivism perspectives which has research steps as follows: constructing , deconstructing, and reconstructing. The restructuring of an alternative concept or theory of mainly spatial development institutional arrangement. By having the decontruction process it is found that spatial plan is not well constructed and implemented. It is shown by the emerging of urban sprawl phenomena within the Jabodetabekjur area. While by using good governance principles for understanding organization capabilities, it is also found that BKSP jabodetabekjur (Development Collborative Board for Jabodetabek Area) is unsuccessfully implemented its role and function as development coordinator board. Therefore, an alternative stronger powerfull institution and capacity such Metropolis (Metropolitan) Council. The Metropolis Council should be established under a higher and stronger Law. In terms of Indonesia?s institutional government system, the Metropolis Council is categorized as an Extra Structural Institution (at national level) and lead by governor similar to DKI Jakarta government structure. There are two main units under the Metropolis Council. First, unit for regulating which is consist of main stakeholders including central government, local governments as well as their legislative representation, and other major stakeholders. While the second unit is Implementing Body which is consist of a combinations of professionals and government employees. The Metropolis Council scope of works mainly on making Jabodetabekjur spatial plan and implementing Jabodetabekjur strategic development scheme which bounding with local cross border affairs. The Jabodetabek Metropolis Council is basically refer to a combination of High Level Metropolitan Authority and Place Bounded Institution concepts.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1501
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarmasto
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja individual pegawai negeri sipil yaitu peneliti pada Unit Pelayanan Teknis berbasis Riset di Departemen Perindustrian. Untuk itu telah diteliti kinerja individual peneliti dan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi; yaitu: struktur organisasi, kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional, nilai-nilai budaya dan motivasi peneliti. Bagaimana gambaran masing-masing dari keenam faktor tersebut dan bagaimana pengaruh kelima faktor terakhir terhadap kinerja individual peneliti, menjadi permasalahan pokok penelitian ini. Dari perspektif teori, peningkatan kinerja individual birokrasi adalah menurpakan bagian dari reformasi administrasi publik. Kinerja individual mencakup perilaku seorang pegawai di dalam organisasi dan hasil-hasil kerjanya. Dari berbagai metoda peningkatan kinerja individual maka sistem manajemen kinerja dianggap dapat menjawab kebutuhan untuk mewujudkan komunikasi yang terus menerus, yang sangat dibutuhkan oleh para pegawai dalam memantau dan meningkatkan kinerja mereka. Dari berbagai teori yang mendasari pengaruhnya terhadap kinerja individual maka digunakan teori Pramita Robbins dan Hatch untuk struktur organisasi, Bas dan Avolio untuk kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional, Hofstede dan Hofstede untuk nilai-nilai budaya serta Vroom untuk motivasi. Penelitian ini melibatkan seluruh populasi peneliti pada 9 Balai Besar an 13 Balai Riset dan Standardisasi (Baristand), yang pada tanggal 1 Oktober 2004 tercatat sebanyak 290 orang. Pada saat penelitian lapangan dilakukan pada bulan Mei 2005, tercatat 1 Balai Besar dengan 5 orang calon responden erlambat enanggapi dan beberapa peneliti sedang dinas luar kota/negeri atau tidak/kurang memenuhi syarat dalam menisi kuesioner. Dengan demikian tercatat sebanyak 234 orang dari 8 Balai Besar dan 13 Baristand sebagai responden penelitian ini. Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data faktual khusus dalam mengukur konstruk Kinerja Individual untuk indikator hasil dan selebihnya adalah data kualitatif yang dikuantitatifkan. Hal ini berarti bahwa pengukuran konstruk Kinerja Individual untuk indikator Perilaku dan pengukuran 21 indikator dari 5 konstruk yang diduga mempengaruhi kinerja individual peneliti; yaitu: Struktur Organisasi, Kepemimpinan Transformasional, Kepemimpinan Transaksional diduga mempengaruhi kinerja individual peneliti; yaitu: Struktur Oganisasi, Kepemimpinan Transformasional, Kepemimpinan Transaksional, Nilal-nilai Budaya dan Motivasi, menggunakan data persepsi. Untuk mengukur faktor-faktor yang tak teramati tersebut, digunakan skala sikap model Likert. Model pengukuran Likert yaitu skala sikap untuk mengukur keyakinan, perasaan dan reaksi anggota organisasi terhadap obyek tertentu. Dalam mengukur ke 21 indikator tersebut digunakan kuesioner yang berasal dari penyusunan sendiri dengan mengacu pada aspek-aspek penilaian dalam DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil untuk 1 indikator (Perilaku) pada konstruk Kinerja individual, kuesioner dari Paramita untuk 3 indikator (Kompleksitas, Formalisasi dan Sentralisasi) pada konstruk Struktur Organisasi, kuesioner dari Bass dan Avolio untuk 5 indikator (Karisma Termiliki, Pengaruh Teridealkan, Motivasi Terinspirasikan, Rangsangan lntelektual, dan Pertimbangan Individual) pada konstruk Kepemimpinan Transformasional dan 4 indikator (lmbalan Kerja, Kontrol Aktif, Kontrol Pasif dan Sesuka Hati) pada konstruk Kepemimpinan Transaksional, kuesioner Hofstede untuk 5 indikator (Jarak Kekuasaan, Individualisme, Penolakan Ketidak-pastian, Maskullnitas dan Orientasi Jangka-Panjang) pada konstruk Nilai-nilai Budaya, Serta kuesioner dari Fakultas Psikologi Unversitas Indonesia Jumsan Psikologi lndustri dan Organisasi untuk 3 indikator (Upaya-Kinerja, Kinerja-Hasil, dan Harkat) pada konstruk Motivasi. Penelitian ini menggunakan dua model spesiiik. Model kedua didasarkan pada hipotesa teoritik yang menyatakan bahwa Struktur Organisasi, Kepemimpinan Transformasional, Kepemimpinan Transaksional, dan Nilai-nilai Budaya masing-masing berpengaruh terhadap Kinerja Individual, baik secara Iangsung maupun tidak langsung melalui Motivasi Serta Motivasi berpengaruh Iangsung terhadap Kinerja Individual. Sedangkan model pertama didasarkan pada hipotesa teoritik yang sama dengan model kedua, kecuali tidak adanya pengaruh langsung dari Kepemimpinan Transformasional dan Kepemimpinan Transaksional masing-masing terhadap Kinerja Individual. Data primer yang terkumpul, setelah melalui proses uji validitas dan reliabilitas, diolah dengan menggunakan model persamaan struktural dengan alat analisa LISREL (digunakan versi LISREL 8.72 Trial Version). Hasil-hasil pengolahan LISREL kemudian dianalisa melalui metoda uji kesesuaian dan evaluasi. Analisis terhadap hasil-hasil penelitian ini menghasilkan 'beberapa kesimpulan; yaitu: belum memuaskannya kinerja individual peneliti, struktur organisasi yang sudah baik namun masih mengandung kelemahan tertentu, kepemimpinan transformasional yang masih kurang memadai, kepemimpinan transaksional yang masih kurang memadai, nilai-nilai budaya yang mengandung kekuatan, dan motivasi yang mengandung kesenjangan. Di samping itu, ternyata kinerja individual peneliti hanya dipengaruhi oleh struktur organisasi dan nilai-nilai budaya serta tidak dipengaruhi oleh kepemimpinan transformasional, Kepemimpinan transaksional, dan motivasi. Dari kesimpulan tersebut di muka disusun rekomendasi kebijakan; yang pada intinya meliputi: (1) Pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan peneliti dan kualitas kepemimpinan atasan; (2) Penyempurnaan struktur organisasi di Balai Besar dengan mengurangi jumlah jabatan Eselon-IV dan dengan menjabarkan prosedur-prosedur kerja di Balai Besar dan Baristand ke dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis; serta (3) Perumusan dan implementasi sistem pengelolaan kinerja yang handal, yaitu suatu proses komunikasi yang berlangsung terus menerus antara pegawai dengan atasan langsungnya untuk: merencanakan kinerja dan membina/mengelolanya serta menilai kinerja.
This research was undertaken in accord with improving individual performance of civil servant, particularly researchers, at the research based technical services units of the Ministry of lndustry. The individual performance of researchers has been examined against the suspected influencing factors, which are: organizational structure, transformational leadership, transactional leadership, cultural values, and motivation. The main research problems are: (1) How the condition of the individual performance of the researcher and each of the suspected factors; and (2) How the suspected factors influence the individual perfomiance ofthe researchers, respectively. The theoretical perspective shows that improvement of the individual perfonnance of civil servant is an element of public administration reform. Individual perfonnance is reflected in the behaviour of an employee within an organization and the associated work results. From several methods in improving individual perfonnance, perfonnance management is considered as able to answer the need to' establish sustainable communication, which is needed by employees in monitoring and improving their work perfomtance. Alter considering various theories which underlie influence towards individual perfonnance, it was decided to explore the influence of: organizational structure based on Paramita, Robbin and Hatch Theories, transformational and transactional leaderships based on Bass and Avolio Theory, cultural values based on Hofstede Theory, and motivation based on Vroom Theory. From 290 researchers, registered in 1st October 2004, work in 9 Balai Besar and 13 Baristand, all of the extension services unit within the Ministry of lndustry, there were 234 researchers from 8 Balai Besar and 13 Baristand involved as the population of respondent in this study. There were 5 researchers from Balai Besar Logam dan Mesin (Machinery and Metal Development Center) failed to send the questionaire back timely. This research utilized factual data for 1 out of 22 indicators, which is work result of the researchers, and perception data for the rest, in order to measure the six constructs. The 21 unobserved indicators was measured by using Likert attitude scale, the attitude scale to measure believe, feeling and reaction of organization member to certain objects. To measure the 21 indicators, this study uses various quesionaires. A special questionaire was creted and developed to measure the behaviour of the researchers, one of the two indicators of individual performance construct, beside work result. The measurement of indicators of the other constructs was conducted using Paramita's quesionaire (complexity, formalisation, and centralisation of the organizational structure), Bass and Avolio?s quesionaire (attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, and individualized consideration of the transformational leadership; and contingent reward, management by exception-active, management by exception-passive, and laissez-faire of the transactional leadership), Hofstede questionaire (power distance, individualism, uncertainty avoidance. masculinity, and long-term orientation of the cultural values), and PIO's questionaire, which is a questionaire developed by the Departemen of Psychology of lndustry and Organization (PIO), Faculty of Psychlogy, the University of Indonesia (effort-performance expectation, perfomrance-result expectation, and valence of the motivation). There are two spesific models in this study. The second model was based on the theoretical hypothesis that organizational structure, transformational leadership, transactional leadership, and cultural values directly and indirectly (through motivation) influence individual performance; as well as motivation directly influences individual perfomrance. The first model is just the same as the second model, except there is no direct influence of transformational leadership and transactional leadership to individual peformance. Primary data collected from the field study, after validity and reliability test, were processed through a structural equation model using LISREL software (LISREL 8,72 Trial Version). The result was then analyzed with a fitness test and evaluation method. Analysis suggests that there were unsatisfactory individual performance of the researchers, weaknesses in the organizational structure, lack of transformational leadership, lack of transactional leadership, strengths in the cultural values, and gap in the motivation. In addition, individual performance of the researchers is lust influenced by organizational stnrcture and cultural values and not influenced by transfonnational leadership, transactional leadership and motivation. Based on the above conclusion, the policy recomendations are: (1) Education and training in order to improve reseacher?s compentency and to improve leadership quality Of the supervisor; (2) improvement of the organizational structure of the Balai Besar by reducing some posts for Echelon-lV and by incorporating work procedures in Balai Besar and Baristand in to the implementation manuals and the technical manuals; and (3) Formulation and implementation of a robust perfonnance management system, an ongoing communication process between researcher and his or her supervisor in order to formulate performance planning, to implement performance coaching, and to conduct performance appraisal.
Depok: 2005
D797
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gigi Gunandi Indra Cahya
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai implementasi kebijakan pemilihan kepala desa serentak yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana implementasi kebijakan pemilihan kepala desa serentak di Kabupaten Subang dan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan pemilihan kepala desa serentak di Kabupaten Subang. Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting yaitu terhambatnya pencairan dana bantuan penyelenggaraan pemilihan kepala desa, sosialisasi kebijakan yang belum berjalan dengan baik, kualitas SDM pelaksana implementasi kebijakan yang perlu ditingkatkan, mekanisme penyelesaian sengketa atau permasalahan yang belum diatur dengan baik di peraturan bupati. Dari sisi akademis, penelitian ini membuktikan bahwa konsep implementasi kebijakan ternyata juga dipengaruhi oleh kontekslokal seperti dalam penelitian ini yaitu faktor struktur politik lokal dan daya dukung masyarakat. Faktor yang paling berpengaruh dalam implementasi kebijakan pilkades serentak ini adalah faktor komunikasi, sumber daya pelaksana kebijakan dan struktur politik lokal
ABSTRACT
This thesis deals with the implementation of the policy of concurrent village chief elections which is the mandate of law number 6 Year 2014 of the village. The purpose of performance of this research is to analyze how the implementation of the policy of the village chief elections simultaneously in Subang and aware of the factors that affect the implementation of the policy of the village chief elections simultaneously in Subang. By using qualitative methods, the research produced some important findings i.e. delays disbursement assistance conducting the election of the village chief, the policy of socialization has not gone well, the quality of human resource for implementing the policy implementation needs to be improved, the dispute resolution mechanism or a problem that has not been regulated in the regulation of the Regent. From the academic side, research is proving that the concept of implementation policy turns out to be too influenced by the local context as the factor structure of local political power and support of the community. The most influential factor in the implementation of the policy of concurrent election this factor is communication, implementing policies and resources of the local political structure.
2016
T46763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Mulyana
Abstrak :
ABSTRAK
Air merupakan sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Penyediaan air perkotaan belum memenuhi target pemenuhan hak atas air secara kuantitas, kualitas dan keterjangkauan. Sistem pengelolaan air perkotaan masih tradisional menekankan pembangunan fisik infrastruktur dan masih dikelola terpisah-pisah (fragmented). Riset ini bertujuan mengembangkan model dynamic governance dalam tata kelola air perkotaan. Pendekatan riset menggunakan metoda gabungan, antara lain: Structural Equation Modelling (SEM) untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tata kelola air perkotaan saat ini, Social Network Analysis (SNA) untuk menilai tingkat interaksi antara aktor dan domain kebijakan siklus air perkotaan dan Soft System Methodology (SSM) untuk pengembangan model konseptual. Keluaran riset berupa model konseptual dynamic governance dalam tata kelola air perkotaan pada proses hirarki kebijakan mulai level kebijakan, organisasional dan operasional untuk mewujudkan tujuan pengelolaan air perkotaan berkelanjutan. Model konseptual digambarkan melalui jalur-jalur aktivitas yang dihasilkan dari interaksi elemen kapabilitas dinamis dengan kultur organisasi. Model dynamic governance diadaptasi di Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung sebagai strategi implementasi pada kawasan perkotaan yang cepat tumbuh.
ABSTRACT
Water is a key resource needed for human life. Urban water supply has not met the target of fulfilling water rights in quantity, quality and affordability. Urban water management systems still traditionally emphasize the physical construction of infrastructure and are still managed fragmented. This research aims to develop a dynamic governance model in urban water governance. The research approach uses mixed methods, including: Structural Equation Modeling (SEM) to identify the factors that influence the current state of urban water governance, Social Network Analysis (SNA) to assess the level of interaction between actors and policy domains of urban water cycles, and Soft System Methodology (SSM) for the development of conceptual model. The result of research is a conceptual model of dynamic governance in urban water governance at policy hierarchy process starting from policy, organizational and operational levels in order to achieve the ultimate goals of sustainable urban water management. The conceptual model is described through activity pathways resulting from the interaction of elements of dynamic capabilities and organizational culture. The dynamic governance model is adapted in Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung as an implementation strategy in fast-growing urban areas.
2019
D2625
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winantuningtyas Titiswasanany
Abstrak :
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu instrumen bagi penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Permasalahannya banyak daerah yang tidak merasa puas dengan implementasi kebijakan yang dilaksanakan selama ini. Daerah masih menghadapi realitas pembangunan yang tidak merata, pembangunan ekonomi yang diskriminatif dan praktek korupsi yang merajalela. Ironinya, banyak elit daerah yang melihat jalan keluarnya secara sederhana dengan menuntut kebijakan pembentukan DOB. Tuntutan masyarakat untuk membentuk DOB ini mengalir deras dan sangat sulit dibendung. Diharapkan mendekatkan locus policy formulation di pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, pelayanan publik menjadi efisien dan efektif untuk percepatan kesejahteraan rakyat dan daya saing. Hasil studi menunjukkan sejumlah DOB mengalami kegagalan, utamanya pada 4 (empat) sektor pembangunan yaitu; kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dari sejumlah 205 DOB (1999-2008),ternyata 70% gagal. (Kemendagri, 15 Desember 2012). Salah satunya disebabkan proses formulasi kebijakan pembentukan DOB belum transparan dan akuntabel. Daerah yang belum memiliki kesiapan dan kemampuan mandiri dibentuk menjadi DOB. Pada proses ini para perumus mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Pada tahap ini diidentifikasi berbagai problema yang terjadi, ditetapkan riil problem, memilih alternatif bagi kebijakan. Jika proses ini tidak tepat akan membawa dampak pada implementasinya. Rangkaian implikasi negatif yang timbul selama ini, menunjukkan pentingnya penelitian tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB perspektif democratic governance. Penelitian ini melalui dua tahapan. (1) peneliti mendiskripsikan potret proses formulasi kebijakan DOB selama ini; Institusi dan kualitas proses. Peneliti melakukan participant observation, wawancara dengan anggota Komisi II dan pejabat pemerintahan. Descriptive research dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi pentingnya democratic governance bagi proses kebijakan pembentukan DOB.(2) membangun model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancara sekitar 40 (empat puluh) orang informan; melakukan Focus Group Discussion dan seminar. Untuk data sekunder dianalisis berbagai jenis referensi sebagai strategi untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dalam perspektif democratic governance. Hasil penelitian ini diharapkan obyektif, terstruktur, mendalam, faktual dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Hasil penelitian tahap pertama dan kedua disampaikan sebagai berikut: Secara praktis proses formulasi kebijakan merupakan tahapan penting dan strategis dalam proses kebijakan secara keseluruhan. DPR dan Pemerintah berperan penting dalam proses ini, yang akhirnya menghasilkan kebijakan pembentukan DOB. 1) Mengenai Faktor-faktor pendorong usulan pembentukan DOB pada umumnya terkait masalah Administrasi dan Finansial, mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan dan infrastruktur, masalah financial ini merupakan faktor yang cukup signifikan dan menentukan bagi DOB untuk survive. Umumnya daerah mengandalkan transfer dana dari pusat dan daerah merasa memiliki kekayaan alam yang cukup. Political: inisiatif usulan pembentukan DOB tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari elit yang lebih cenderung kepada tujuan bagi kepentingan politik. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan democratic governance adalah: (a) Kepentingan Eksistensi Politik di Daerah; (b) Lemahnya penegakan hukum; (c)Kontrol yang Lemah; (d) Dorongan masyarakat; (e) Peran Kepemimpinan. 3) Faktor-faktor yang mendorong penerapan Democratic Governance adalah: (a) Tujuan yang dirumuskan secara jelas; (b) Pemerintah dalam penerapan unsureunsur Democratic Governance; (c) Akses Informasi bagi Pelayanan Publik; (d) Menyediakan dialog Publik. 4) Faktor-faktor pendorong persutujuan usulan kebijakan pembentukan DOB; (a) Dorongan masyarakat dan tokoh daerah agar usulan mereka membentuk DOB diluluskan; (b) Hasil verifikasi dan klarifikasi data sudah memenuhi persyaratan; (c) Hasil penelitian Tim teknis dan evaluasi tim independen terhadap kelayakan usulan, serta rekomendasi DPOD; (d) Terdapat karakteristik masalah daerah yang harus dibantu. (e) Pada konteks yang berbeda, DPR dan Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan DOB untuk kepentingan keamanan negara. Implkasi teoritik, Penelitian dengan tema ini masih sangat sedikit dilakukan di kalangan ilmu administrasi. Dalam konteks proses formulasi kebijakan pembentukan DOB di Indonesia yang bersifat buttom-up, di mana lingkungan kebijakannya (civil society dan market) masih lemah, faktor strong leadership harus berperan aktif membangun masyarakat, agar mampu aktif dalam penerapan democratic governance. Perlu penelitian mengenai pola penghitungan insentif dan dis-insentif bagi daerah dan DOB. Implikasi Praktis, Penelitian ini dimaksudkan agar kedepan, baik DPR maupun Pemerintah mempersiapkan institusi dan sarana publik untuk membangun masyarakat agar memahami kebijakan secara komperhensif dan sekaligus membangun mental dan kultural masyarakat. Rekomendasi penelitian ini meliputi: (a) Konsepsi model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB disebut integrated public policy democratic governance and resource-based capacities leadership. Konsep ini mengcover berbagai problema daerah, melibatkan peran dan kontribusi multi organisasi, mengkoordinasikan seluruh sumber daya, mengintegrasikan hasil dan seluruh potensi organisasi untuk satu tujuan; (b) Menggunakan metode kolaboratif dalam prosesnya; (c) Nilai-nilai democratic governance sudah given dalam pola manajemen pemerintahan. Institusi perumus kebijakan menerapkan democratic governance melalui business processnya; (d) Diberikan insentif bagi DOB yang ingin bergabung dan dis-insentif bagi calon DOB yang tidak memenuhi persyaratan;(e) Proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dilakukan oleh Panitia khusus DPR dan dibahas satu per-satu (RUU); (f) Sistem pengelolaan PNS terbuka secara nasional, sehingga memungkinkan kebutuhan PNSD dipenuhi dari daerah lain atau dari PNS Pusat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Miftahul Jannah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan menggambarkan institusi penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia, menguraikan faktor-faktor yang menghambat kinerja institusi litbang, dan mengusulkan disain transformasi pada institusi litbang di Indonesia. Penelitian ini menggunakan paradigma pragmatisme dengan disain penelitian metode campuran yang merupakan gabungan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Hasilnya menunjukkan lnstitusi litbang di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat maju sejak keluarnya UU Nomor 18 Tahun 2002, berbagai faktor menjadi penghambat kinerja institusi litbang, dan strategi transformasi institusi litbang dapat dilakukan dengan beberapa cara, mulai dari mengubah nilai hingga melakukan diseminasi informasi litbang. Ada tiga alternatif disain transformasi yang diusulkan yaitu memperkuat tugas pokok, fungsi, dan wewenang Kemenristek melalui perbaikan kelembagaan, menggabungkan Kemenristek dengan Kementerian pendidikan (khususnya pendidikan tinggi), dan menjadikan LIPI sebagai manajer nasional untuk penelitian yang bersifat independen. ...... Focus of this research is to describe research and development (RnD) institution in Indonesia, explain the factors that resist the performance of the RnD institution, and propose the transformational strategies and design. Pragmatism paradigm with mixed method disain (between quantitatve and qualitative) used in this research. The results are this institution has developed advances since Law Number 18/2002, many factors can be resistance to RnD institution performance, and the strategy of transformation can be applied -from value change to disseminate RnD?s information. There are three alternative transformation designs proposed are institutional improvement of Minsitry of Research and Technology (MRT), combining the MRT with ministries of higher education, and transform the Indonesian Institute of Science to independent institution with the task as national manager of research.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1427
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Giyanto
Abstrak :
Istilah desa sudah dikenal jauh sebelum penjajahan Belanda dimulai, dan sebagaimana dikemukakan oleh bahwa: Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan permulaan adanya ?Desa? (Suryaningrat,1992), Sedangkan yang dimaksud Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa (Widjaja, 2008). Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri (Widjaja, 2008). Sebutan Desa sangat beragam di Indonesia, pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang batas-batas wilayahnya, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri atau self-gouverning community ( Eko, 2008). Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan hingga sekarang, keberadaan Desa diakui dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakat desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan sebagaiaman diatur dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan usul dan prakarsa Pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa. Pada tahun 2005 sebagian desa di Kabupaten Tangerang diubah statusnya menjadi Kelurahan. Hal yang sama juga di Kota Serang pada tahun 2011 sebagian desa diubah menjadi Kelurahan. Desa dengan Kelurahan adalah berbeda, Desa adalah otonom yang diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, sedangkan kelurahan adalah SKPD Kabupaten/Kota. Dalam perubahan tersebut terjadi pro dan kontra, serta tidak sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Sehubungan dengan perubahan status tersebut dilakukan penelitian terhadap perubahan desa menjadi kelurahan suatu kajian kelembagaan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kelembagan adalah organisasi, karena istilah kelembagaan dan organisasi penggunaannya dapat dipertukarkan (Uphoff, 1986). Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah perubahan struktur, teknologi, produk, orang budaya organisasi dan budaya masyarakat. Penelitian ini merupakan studi kasus, pendekatan yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan paradigm penelitian post positivisme, Sebagai unit analisis adalah 5 (lima) kelurahan di Kecamatan Kelapa Dua Kab. Tangerang, dan 3 (tiga) kelurahan di Kecamatan Taktakan Kota Serang. Dalam penelitian ini menghasilkan 4 (empat) temuan pokok sesuai tujuan penelitian. Pertama, proses perubahan desa menjadi kelurahan tidak didasarkan aspirasi masyarakat, melainkan lebih banyak kepentingan politis baik di Tangerang maupun Serang; kedua di Tangerang pelayanan kepada masyarakat diluar jam kerja tidak maksimal, karena hilangnya unsur wilayah dalam struktur organisasi kelurahan, sedangkan di Serang pelayanan kepada masyarakat menjadi maksimal; ketiga, baik di Tangerang maupun Serang, status perangkat desa yang menjadi perangkat kelurahan sampai saat ini belum jelas; keempat, di Tangerang dengan desa berubah menjadi kelurahan, maka terjadi perubahan nilai-nilai di masyarakat, sedangkan di Serang tidak terjadi. Dalam perubahan desa mejadi kelurahan di masa yang akan datang maka di rekomendasikan, pertama perlu dilakukan sosialisasi terlebih dahulu, agar tidak terjadi pro dan kotra di masyarakat; kedua, perlu dipersiapkan desain organisasi kelurahan yang berasal dari desa; ketiga, perlu kejelasan status SDM dalam perubahan desa menjadi kelurahan; keempat, agar nilai-nilai budaya masyarakat desa tidak hilang maka perlu diakomodir pada kelurahan yang berasal dari desa. ...... Desa (village) is a term that has been used for a long time ago prior to the Dutch colonization as stated by Suryadiningrat (1992) that it is unknown when exactly it was first introduced. Desa (village) is a unit of law abiding society that has an original structure based on the privilege rights of origin (Widjaja, 2008). Desa is an autonomous institution with their own traditions, customs and laws, which is relatively independent (Widjaja, 2008). Desa is very diversified in Indonesia. In the beginning it was a local community organization whose territorial boundaries were dwelled by a number of people that had customs to self- govern or self-governing community (Eko, 2008). In the history of Indonesian nation the existence of desa has been acknowledged in various rules of laws ever since the colonization era until today. Along with the progress of the time and the demands, the status of desa community can be transformed into a village administrative unit (kelurahan) as stipulated in the rules of laws based on the proposal and ideas of the village governance along with Village Consultative Board (Badan Permusyaratan Desa). In year 2005 the status of the majority of villages in Tangerang regency were transformed into village administrative unit. In year 2011 the same went for that of Serang city. Desa and village administrative unit are different. The former is an autonomy that is authorized to self-govern their affairs whereas the latter is Regency/City Apparatus Work Unit (SKPD). Such changes raised the case of for and against, and in fact, they are far from their expectations. In relation to that, the research of institutional studies was conducted concerning the changes from desa to village administrative unit. In this research what is meant by institution is organization because both terms can be used interchangeably (Uphoff, 1986). The scope of the research is the changes in structure, technology, products, people, organization and society cultures. This research is a case study adopting qualitative approach with post positivism research paradigm. As the units of analysis, there are 5 (five) village administrative units in KelapaDua district of Tangerang regency, and 3 (three) village administrative units in Taktakan district of Serang city. The research found 4 (four) main findings in line with the purposes of the research. Firstly, the changes from desa to village administrative unit did not come from the society's aspirations, in fact it was dominantly based on political interests both in Tangerang and in Serang.; secondly, in Tangerang the public services outside working hours were not optimum due to the loss of territorial element within the village administrative unit organization, but in Serang the services were optimum; thirdly, either in Tangerang or in Serang, the status of the village apparatus that had been shifted to village administrative unit apparatus was not yet clear ; fourthly, in Tangerang changing values within the society occurred, but not in Serang. In conclusion, for future changes it is, therefore, necessary to give the following recommendations: first, it is necessary to conduct socialization first prior to the changes to avoid the case for and against within the society; second, it is also necessary to prepare organizational design of a village administrative unit that is originallya desa; third, for such changes it is also necessary to have a clear status of the human resources; fourth, in order to avoid the loss of the village communal valuesit is, therefore, necessary to accommodate them in the village administrative unit originated from a desa.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1419
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudiarto Sumarwono
Abstrak :
Reformasi birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda negara dan pemerintahan di Indonesia dalam kerangka upaya merealisasikan sebuah tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam kaitan itu maka perlu pelaksanaan reformasi birokrasi secara komprehensif dalam tiap-tiap aspeknya dan bukan lagi sekedar pembenahan parsial. Kementerian PANRB telah ditunjuk sebagai leading sector dalam pelaksanaan reformasi birokrasi 2010-2025. Namun demikian, apakah Kementerian PAN-RB memiliki kapabilitas dalam melaksanakan program reformasi birokrasi nasional? Problematika faktual yang dihadapi oleh Kementerian PAN-RB sebagai prime mover untuk melaksanakan reformasi birokrasi di Indonesia setidaknya: a) Keterbatasan sumber daya manusia b) keterbatasan otoritas c) keterbatasan dukungan pendanaan d) besarnya program reformasi yang harus dilaksanakan. Sedangkan conceptual framework bagi sebuah institusi yang mampu melaksanakan tata kelola pemerintahan yang dinamis (dynamic governance) sesuai dengan perubahan lingstranya maka institusi tersebut harus memiliki kapabilitas able people dan agile process dengan karakateristik thinking ahead, thinking again dan thinking across sebagaimana dinyatakan oleh Neo dan Chen. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menjawab 2 (dua) pertanyaan pokok, yaitu: 1) Bagaimana kesiapan kapabilitas Kementerian PAN-RB dalam melaksanakan Program Reformasi Birokrasi Nasional (RBN) ditinjau dari aspek able people dan agile process? 2) Bagaimanakah kendala di Kementerian PAN-RB dalam melaksanakan Program RBN ditinjau dari aspek able people dan agile process? Analisis terhadap people, process dan karakteristik thinking ahead, thinking again dan thinking across di Kementerian PAN-RB menemukan "kesenjangan" antara realitas aktual di kementerian dengan yang seharusnya dimiliki secara konseptual yaitu tersedianya able peole dan agile process guna melaksanakan berbagai program reformasi birokrasi dalam sebagai bagian dari upaya strategis Kementerian dalam melaksanakan dynamics governance. Ditengah kekurangmaksimalan able people serta agile process-nya, Kementerian PAN-RB tetap dapat mendesain dan melaksanakan program-program reformasi birokrasi yang strategis, komprehensif, integral dan masif. Hal ini dapat terjadi karena terdapat faktor yang sangat penting yaitu enabling macro policy environment yang terdiri dari: a) kepemimpinan yang transformasional b) policy community dan c) policy network.

Penelitian ini merekomendasikan bagi Kementerian PAN-RB untuk memperkuat able peple melalui penguatan talent scouting, people development, leadership dan people retaining. Untuk memperkuat agile process melalui peningkatan mengantisipasi masa depan, mengalokasi sumber daya serta menyusun program kerja dan unit kerja yang terintegrasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk kesinambungan program reformasi birokrasi nasional, Kementerian PAN-RB disarankan untuk segera memfinalisasi Roadmap RBN 2015-2019, RPJMN 2015-2019 serta blueprint untuk World Class Bureaucracy 2025.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D1967
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>