Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syazili Mustofa
"Penghambatan proliferasi sel diaplikasikan dalam berbagai bidang kedokteran. Banyak di antara penghambatan proliferasi dilakukan dengan cara menghambat sintesis DNA, yaitu mengintervensi pembentukan basa nukleotida purin atau pirimidin. Dalam sintesis purin de novo terdapat peran enzim anhidrase karbonat yang merupakan pemasok CO2 dalam proses karboksilasi. Penghambatan enzim anhidrase karbonat diduga kuat dapat menghambat proliferasi. Pada penelitian ini model proliferasi sel adalah SMDT yang distimulasi dengan PHA, IL-2, serta PHA dan IL-2. Penghambat enzim anhdirase karbonat yang digunakan adalah asetazolamid. Dilakukan analisis efek pemberian asetazolamid pada saat puncak sintesis DNA sel, puncak viabilitas sel, serta analisis terhadap siklus sel. Hasil penelitian ini, asetozolamid menghambat sintesis DNA serta menurunkan viabilitas SMDT yang distimulasi PHA dan IL-2. Terjadi hambatan masuknya progresi SMDT dari fase G0/G1 ke fase S. Penelitian ini menunjukkan bahwa penghambatan enzim anhidrase karbonat dapat menyebabkan hambatan proliferasi sel.

Inhibition of cells proliferation are widely used in various medical fields. Most of cell proliferation inhibition can be done by inhibiting the DNA synthesis, notably by intervening the formation of purine or pyrimidine. In purine de novo synthesis, it was assumed that CO2 plays a role as a source of carbon in carboxylation reaction, one of the pivotal steps in the purine de novo pathways. The aim of this study was to see the acetazolamide potency to inhibit carboxylation reaction. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) was cultured in RPMI-1640 medium and stimulated by phytohemagglutinin (PHA) and interleukin-2 (IL-2), with or without acetazolamide. The effect of acetazolamide addition was observed at the peak of cell proliferation, cells viability, and cell cycle. Statistical analysis was done by one-way ANOVA. Acetazolamide inhibited cell proliferation and viability in PBMC culture stimulated by PHA and IL-2. Cell cycle analysis showed that acetazolamide arrested the progression of PBMC in G0/G1 phase. Inhibition of CO2 production by acetazolamide inhibitory effect to carbonic anhydrase can halt cell proliferation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Nurul Hafifah
"Latar Belakang: Mukopolisakaridosis tipe IV A (MPS IV A, Morquio A syndrome) merupakan kelainan autosomal resesif yang disebabkan adanya mutasi pada gen N-acetylgalactosamine-sulfate sulfatase (GALNS atau galactosamine (N-acetyl)-6-sulfate sulfatase; MIM #612222). Diagnosis MPS IV A dapat dicurigai melalui pemeriksaan penapisan GAGs (glukosaminogikans) urin dan ditegakkan dengan pemeriksaan dan aktifitas enzim GALNS pada leukosit atau kultur fibroblast. Pemeriksaan molekuler diperlukan karena bervariasinya gejala klinis yang berhubungan dengan variasi mutasi pada gen GALNS. Namun, lokasi mutasi hot spot berbeda-beda antar daerah dan etnis, Heterogenitas ini dapat menjadi tantangan bagi interpretasi pemeriksaan molekular pasien dengan MPS IV sehingga perlu strategi diagnostik yang efektif biaya untuk menemukan mutasi penyebab kelainan MPS tipe IVA di Indonesia. Tujuan: Mengetahui profil fenotipe-genotipe pasien MPS tipe IV A di Indonesia. Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM-FKUI dan Human Genetic Cluster (HGRC) IMERI FKUI sejak tanggal 1 Januari-13 Desember 2019. 3. Data terkait fenotipe, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis (PF), dan pemeriksaan penunjang, diambil dari data rekam medis. Selanjutnya dilakukan pengambilan darah dalam tabung EDTA sebanyak 5 mL. Tahapan pemeriksaan molekular meliputi isolasi DNA, desain primer, PCR, sequencing, dan analisis varian. Kategori varian baru (novel) yang ditemukan akan dibuat berdasarkan panduan dari American College of Medical Genetics and Genomics (ACMG). Hasil: Total subjek penelitian adalah 7 pasien MPS tipe IV A di Indonesia yang berasal dari 5 kota berbeda. Subjek terdiri dari 2 pasien lelaki dan 5 pasien perempuan. Rentang usia saat pemeriksaan antara 2-17 tahun. Terdapat riwayat keluhan serupa pada kakak subjek 1 dan 6. Pada kelima pasien lain, awitan gejala mukopolisakaridosis disadari pada usia antara 2-3 tahun. Tidak ada riwayat konsanguinitas pada orangtua subjek penelitian. Seluruh subjek pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai tipe berat. Manifestasi klinis yang ditemukan pada seluruh subjek penelitian adalah leher pendek, genu valgum, pectus carinatum, sendi yang longgar, serta gangguan pada cara berjalan. Tiga dari 7 subjek saat ini masih dapat berjalan tanpa alat bantu. Data aktivitas enzim dan glikosaminoglikans pada subjek tidak seragam karena tempat pemeriksaan berbeda dan menggunakan metode yang berbeda pula. Sebanyak 24 varian ditemukan pada 7 subjek. Sebagian besar varian ditemukan pada ekson 7 (29,2%), diikuti ekson 5, 10, dan 12 (masing-masing 16,7%), ekson 13 (sebesar 12,5%). Sisanya varian ditemukan pada ekson 1, 11 dan ekson 14 (masing-masing 4,2%). Sebagian besar varian yang ditemukan merupakan varian missense (54,2%), diikuti varian silent (45,8%), dan hanya 1 (4,2%) varian yang ditemukan berupa varian nonsense. Varian tersering yang ditemukan adalah varian c.708C>T yang ditemukan pada 5 subjek, diikuti oleh varian c.510T>C dan c.1354 T>C yang ditemukan pada 3 subjek. Berdasarkan hasil temuan varian terdapat 12 varian benign, 4 VUS, dan 8 varian patogenik. Terdapat 3 varian novel pada subjek penelitian, satu di antaranya adalah varian likely pathogenic, yaitu varian c.1348 G>A. Simpulan: Dari tujuh subjek dalam penelitian ini, ditemukan 8 varian patogenik, di antaranya terdapat 1 varian likely pathogenic baru. Sebanyak 9 dari 14 alel (64,3%) dapat ditemukan varian patogenik, sedangkan 5 varian patogenik lainnya belum ditemukan. Fenotipe paling berat dialami oleh subjek 4 yang memiliki tinggi badan T.
Background: Mucopolysaccharidosis type IVA (MPS IVA, Morquio A syndrome) is an autosomal recessive disease which is caused by defect in the N-acetylgalactosamine-6-sulfate sulfatase gene (GALNS, galactosamine (N-acetyl)-6-sulfate sulfatase; MIM #612222). After urine glycosaminoglycan is performed as a screening tool, diagnosis is confitmed through measuring GALNS enzyme activity in leucocyte or fibroblast. Molecular testing is needed because clinical symptoms are variable. Mutation in GALNS gene are many and can be different in each ethnicity and country. This heterogeneity poses a challenge to the diagnosis of MPS IVA especially in Indonesia. Therefore, data on clinical spectrum and genetic mutation of MPS IVA in Indonesian population is needed. Aim: To determine the phenotype-genotype correlation of MPS IVA in Indonesia Method: Subjects were recruited from Department of Pediatrics, Cipto Mangunkusumo Hospital, while molecular testing was performed in the Human Genetic Cluster (HGRC) IMERI Faculty of Medicine Universitas Indonesia between Januari 1st until December 13th, 2019. Data on phenotype was evaluated from medical records. A 5 ml EDTA whole blood was then collected from the subjects. Molecular testing consists of DNA isolation, primer design, PCR, sequencing, and variant analysis. Novel variants are then classified according to guidelines from the American College of Medical Genetics and Genomics (ACMG). Results: A total of 7 subjects from 5 different cities was included in this study, consisting of 2 boys and 5 girls. Age at recruitments was between 2 to 17 years-old. Two subjects had history of MPS IVA in older sibling. Age of onset were between 2-3 years-old. No history of consanguinity in the subjects parents. All subjects were classified as severe type. Clinical manifestations found in all patients were short neck, genu valgum, pectus carinatum, loose joint, and difficulty walking. Three out of 7 subjects were still able to walk. Data on enzyme activity and glycosaminoglycans could not be compared because they were performed with different methods. Twenty four variants were found in 7 subjects. Mostly located on exon 7 (29.2%), followed by exon 5, 10, dan 12 (each 16.7%), exon 13 (12.5%), and the rest were found in exon 1, 11, and 14. Missense variants are the most commonly found (54.2%), followed by silent variants (45.8%), and 1 nonsense variant (4,2%). The most common variants found was c.708C>T in 5 subjects, followed by c.510T>C and c.1354 T>C, each on 3 subjects. These variants are classified as benign variants (50%), VUS (1.7%), and pathogenic variants (33.3%). Three novel variants were found in this study, including one likely pathogenic variants, c.1348 G>A. Conclusion: Eight pathogenic variant were found including one novel likely pathogenic variant. Nine out of 14 alleles (64.3%) were found. The most sever phenotype was found in subject 4 who had nonsense homozygous pathogenic variant c.751 C>T."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indi Dharmayanti
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
D1734
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library