Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priyono
"ABSTRAK
Dengan menggunanakan teori reproduksi budaya yang dikembangkan oleh Bourdieu, penelitian ini mencoba untuk menjawab bagaimana sumberbudaya keluarga mempengaruhi luaran-hasil dari pendidikan anak usia dini dalam bentuk kesiapan sekolah. Diantara murid-murid dan orangtuanya yang diasumsikan memiliki kelas dominan dipilih berdasarkan asal kelas sosialnya ? mereka digali bagaimana mempraktekan pendidikan dalam keluarga dan di sekolah, serta bagaiamana unjuk-kerja anak-anak tersebut diberi nilai oleh guru. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif penelitian ini menggunakan strategi ganda: penelitian lapangan, survey rumah tangga, dan diskusi kelompok terarah yang dilakukan pada dua kecamatan perdesaan dan peri-urban di Banten. Dengan memperluas pengertian modal budaya berdasarkan sumberdaya lokal, penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dari kelas sosial yang lebih tinggi (urang beunghar) menerima modal budaya dominan di rumahnya sehingga memiliki kemampuan untuk berunjuk-kerja lebih baik di sekolah. Sementara anak-anak dari kelas sosial yang lebih rendah (urang leutik) mengalami kekurangan di dalam kesiapan sekolahnya. Latar belakang pendidikan orangtua prima causa modal budaya dalam keluarga yang mempengaruhi pada tingkat kesiapan sekolah. Terdapat perbedaan praktek bahasa di rumah dan perhatian orangtua diantara kelas sosial yang mempengaruhi unjuk-kerja anak yang telah diberi penilaian oleh guru didalam lingkup PAUD formal dan PAUD nonformal.

ABSTRACT
Utilizing Bourdieu?s cultural reproduction theory, this research trying to answer how family cultural resources influence the outcomes of early childhood education in terms of school readiness. Among the selected students and their parents according to their social class origins, they are assumed posses the cultural dominance ? they are explored how they practice family education toward their children and at school, how their children performances are treated by teacher. Qualitative approach is employed by this research using multiple strategies: field research, household survey, and focused group disscusion in a setting of two sub-districts, rural and peri-urban in Bantam province. By broadening the notion of cultural capital at local context, the results reveal the children from higher social class (urang beunghar) receieve cultural dominant capital at their home, make them ability to perform better in school. While children from lower class (urang leutik), having disadvantage for their school readiness development. Parent?s educational background prima causa cultural capital in which influence children?s school readiness. There are differences in language practice and parent?s attention toward children education among the social classess that effect children perfomance in ECE formal and ECE nonformal."
Depok: 2012
D1289
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Harapan
"Pergeseran paradigma dari pemerintah (government) menuju kepemerintahan (governance) yang terjadi saat ini tidak hanya pada tataran makro dengan lahimya berbagai legislasi tentang otonomi dan desentralisasi. Bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta paradigma kepemerintahan juga sudah dibangun di tataran mikro yaitu kelurahan. Ditetapkannya berbagai Perda tentang pmerintahan kelurahan, serta didirikannya Dewan Kelurahan (Dekel) yang dibidani pemerintah dan operasinya dijalankan masyarakat merupakan upaya membangun kepemerintahan lokal di tingkat bawah. Dengan paradigma itu ada kemauan politik untuk membatasi peran dominatif pemerintah dan memperkuat partisipasi masyarakat.
Model kemeperintahan lokal yang intinya menyediakan ruang dan mengaktifkan peran berbagai aktor dan institusi untuk mengambil bagian signifikan dalam pembangunan adalah pembagian kerja koordinatif dan heterarkhis dalam kerangka otonom. Intinya adalah membangun relasi sinergistik dalam bentuk komplementaritas dan kelekatan sehingga masing-masing aktor atau institusi pemerintah dan privat memberikan kontribusi setara dan signifikan bagi komunitas, dalam kerangka otonomi yang melekat (embedded autonomy) (Pierre, Jessop, Stoker 2000: Evans 1995, I996; Ostrom 1996, Woolcock 1998).
Meski agak normatif, model kepemerintahan terbukti bukan utopia diterapkan di negara berkembang seperti indonesia. Pengalaman kawasan di negara-negara berkembang seperti Porto Alegre di Brasil, Novgorod di Rusia, Kerala di India, relasi sinergistik pemerintah dan masyarakat dapat terjadi dalam atmosfir pembagian kerja yang Fungsional dan produktif. Pada tataran lokal, model itu dibangun dengan memberi dan menciptakan ruang yang luas bagi aktor dan institusi masyarakat sipil dengan fasilitasi pemerintah untuk bersama-sama melakukan perubahan. Hasilnya adalah model itu sangat fungsional sebagai tambatan modal sosial dengan terjadinya interaksi intens, saling belajar dan saling kontrol antar stakeholders, sehingga terjadi efisiensi ongkos pombangunan secara signifikan dan masyarakat menunjukkan rasa memiliki atas berbagai program pembangunan.
Replikasi model dari suatu negara ke negara lain atau suatu kawasan ke kawasan Iain memang dapat dilakukan sepanjang terdapat social curcumstances yang relevan. Nampaknya model kepemerintahan lokal yang kini terjadi di kelurahan Jakarta adalah replikasi dari model yang terjadi pada kawasan lain. Persoalan dari suatu replikasi model adalah bahwa ia harus mempertimbangkan determinan tertentu terutama pengalaman masa lalu, iklim sosial politik, termasuk kultur lokal. Berjalannya model kepemerintahan di kawasan yang disebut di atas sangat ditentukan oleh atmosfir masyarakatnya yang legalitarian dan juga tata birokrasinya yang sehat, yang sebagiannya dipengaruhi oleh faktor anugerah sejarah yang telah berjalan berabad-abad, termasuk juga inovasi organisasional yang diperjuangkan oleh para reformis di kalangan pemerintah dan masyarakat sipil.
Jika dikaitkan dengan atmosfir di Indonesia (Jakarta), determinan di atas dapat disebut tidak memiliki akar. pengalaman masa lalu dengan pemerintah yang mencengkeram, iklim sosial politik saat ini yang masih pada taraf transisional, serta kultur lokal yang masih dikungkung klientelisme, sebagiannya kurang memberi fundasi kokoh bagi berjalannya gerakan kepemerintahan lokal. Akan tetapi pergeseran paradigma dan implementasi berbagai model kepemerintahan lokal yang terjadi saat ini dalam bentuk formal rules (mulai dari UU 22/1999; 3212004 hingga Perda DKI Jakarta 5/2000) dan berbagai ujicoba program (sepeni Dewan Kelurahan) sesungguhnya menjadi potensi menuju pernbangunan sistem kepemerintahan yang baik (good governance).
Untuk memahami persoalan di atas, studi ini kemudian mempertanyakan "dalam setting dan situasi sosial facial circumstances) apukah sinergi dapat terjadi antara pemerintah (kelurahan) dan masyarakat (Dekel) khususnya di Kelurahan Gedong?" Secara lebih rinci pertanyaannya adalah (i) apakah dimensi peraturan formal (UU, perda dan peraluran lainnya) menyediakan ruang bagi terjadinya pembagian kerja sinergistik antara pemerintahan lokal dan masyarakat, dan sejauh mana aturan tersebut fungsional dalam mempengaruhi perilaku dan tindakan aktor pemerintah dan masyarakat (Dekel) melaksanakan kepemerintahan lokal? (ii) determinan-determinan budaya (lnformal rules) apakah di dalam masyarakat yang mempengaruhi (mendukung, memperlancar, menghambat) kepemerintahan lokal? serta (iii) dalam dimensi apakah program partisipatif (PPMK) yang ada fungsional mempengaruhi (mendukung, memperlancar, menghambat) kepemerintahan lokal?
Untuk menemukan jawaban, data dihimpun dari para informan kunci yaitu pejabat pemerintah mulai dari atas (Pemda DKI) hingga pejabat kelurahan, perangkat warga seperti para pcngurus RW dan RT, Dekel, tokoh-tokoh informal masyarakat, LSM, warga biasa serta kelompok pemanfaat dana PPMK. Data diperoleh melalui studi dokumentasi, pengamatan partisipatif, wawancara mendalam, diskusi terarah (FGD), untuk selanjulnya dianalisis secara kualitatif.
Studi ini menemukan, secara struktural (institusional) telah ada perubahan paradigma menuju kepemerintahan lokal di tataran regulatif terbukti dengan muatan berbagai aturan formal yang mengatur dan mengarahkan terjadinya sinergi (kelekatan dan komplementaritas) antara pemerintah kelurahan (Pemkel) dan masyarakat (Dekel). Akan tetapi pada tataran empiris sinergi yang terjadi masih pada taraf simbolik. Hal ini disebabkan perubahan pada ranah struktural (inslitusional) di tingkat atas tidak otomatis diikuti perubahan struktural (institusional) di tingkat bawah pada tubuh pemerintah Iokal. Selanjutnya perubahan pada dimensi struktural (institusional) pada tataran negara tidak otomatis diikuti parubahan pada dimensi kognitif (relasional) pada tataran masyarakat. Ada dilema antara upaya menyediakan ruang bagi bangkitnya masyarakat sipil dengan kepentingan mempertahankan status quo pemerintah. Akibatnya di lapangan terjadi bentuk ?relasi sinergistik baru? antara Pemkel dan masyarakat (Dekel) dengan mengembangkan resiprositas negatif yang dilakukan dengan menarik diri untuk tidak saling berinteraksi intens, tidak saling belajar dan tidak saling mengontrol agar masing-masing pihak aman pada posisinya sendiri. Pemerintah dan masyarakat justru membangun otonomi yang tidak melekat.
Program PPMK yang diharapkan mcnjadi instrumen mempertautkan pemerintah, Dekel dan warga justru menjadi alat dikotomi karena program direkayasa untuk menciptakan sekat-sekat di antara ketiganya. Pemerintah tidak mencampuri urusan PPMK dengan ekspektasi Dekel melakukan hal serupa dengan tidak mengintervensi berbagai program dan proyek pemerintah. Dana PPMK dipinjam-gulirkan kepada ?warga mampu? dengan ekspektasi agar akumulasi dana tetap terjaga sehingga Dekel mendapat citra sebagai penyelenggara PPMK yang berhasil (kepentingan institusional). Cara ?win-win solution " yang terjadi saat ini, meski menjauh dari esensi sinergi, pada taraf tertentu cukup ?fungsional? sebagai ?sabuk pengaman? bagi masing-masing pihak untuk tidak terjebak dalam konflik terbuka yang akhirnya merugikan komunitas. Dengan pola ini pula penembusan batas publik. privat di tingkat lokal belum bisa terjadi, dan kekhawatiran bahwa pemerintah dan masyarakat (Dekel) membangun kolusi dan public rem seeking juga tidak terjadi.
Berdasarkan temuan ini saya mengajukan tiga rekomendasi: (i) gerakan good local governance perlu mempertimbangkan struktur sosial politik lokal dan dilaksanakan secara menyeluruh, dimulai dengan refonnasi struktur pemerintahan Iokal yang mengarah pada otonomi. Pemda DKI Jakarta perlu melakukan amandemen bagi berbagai peraturan perundangan untuk memperbaharui kebijakan dengan (a) memberi peran Iebih besar kepada Jekot dan Dekelg (b) melakukan pemilihan kepala kelurahan secara Iangsung; (c) menciptakan kontrak politik antara kepala kelurahan dengan warga untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan lokal; (ii) harus ada koherensi antara Iogika aturan formal yang dibangun di tingkat atas dengan Iogika lembaga eksekutif dan masyarakat di tingkat lapangan dengan kontrol yang intens; (iii) model pemberdayaan ekonomi warga yang tidak pernah berkelanjutan (sustainable) perlu direformulasikan dengan membaginya menjadi dua kategori yaitu (a) bantuan sosial (social assistance) dan (b) kredit keuangan mikro (microflnance). Jenis pertama diciptakan sebagai "lumbung esa" yang ditujukan sebagai jaminan substitutif bagi warga kurang beruntung yang terkena risiko kehilangan atau ketiadaan pendapatan, jenis kedua dikelola warga yang kompeten, terlatih dan ahli di bidang itu untuk mencapai profit dan hasilnya untuk subsidi bantuan sosial dan juga pembangunan infrasruktur kelurahan untuk menciptakan kelurahan yang mandiri".

The paradigm shift from "government" towards "governmance" has structurally changed the map of national and local governance of Indonesia. At the macro level, Act number 22/l999 and 32/2004 concerning local autonomy and decentralization have functioned as national guidelines to shift from centralized government to become decentralized govemance. As the impact to the micro level, local governments have also enacted several local regulations aimed at strengthening local communities. Currently, local govemment of Jakarta has also enacted local regulations (among others is Number 5/2000) and built Local Social Chamber (Dewan Kelurahan) of the so-called ?Dekel? in every kelurahan in Jakarta. Dekel which was fonnerly initiated by local government of Jakarta functions as a local civil society organization where all its activities are operated and managed by citizen?s representatives whose elected in participatory and democratically manner from every neighborhood areas (Rukun Warga). The shift ofthe paradigm seems to be a government political will to strengthen local people and to minimize local government?s dominations.
Local governance which essentially provides certain spaces for civil society and activate all related stakeholders to take part significantly in local development is a division of labor which relates to the new practices of coordinating activities through networks, partnerships, deliberative forums, and heterarchical cooperation in an embedded autonomy. The subject matter of local governance is mutually reinforcing relations between government and groups of engaged citizens in synergistic relation both in complementarity and also in embeddedness (Pierre, Jessop, Stoker 2000: Evans 1995, 1996; Ostrom 1996, Woolcock 1998).
Local governance, refers to the experiences of several developing countries might be feasibly implemented in Indonesia. Many states (e.g. Porto Alegre in Brazil, Novgorod in Russia, Kerala in India), have been proving that synergistic relation between government and civil society could be created and strongly functional and productive to the development. The model, in fact, enables harmonious cooperation among local actors and institutions where social capital is embedded. Actors and institutions are mutually having intensive relations, social leaming processes, and social control that enables development sustainable and efficient.
Replication of a model conducted by govemment of Jakarta would only be feasible as far as a relevant or resemble social circumstances are provided. A replication, however, should also consider other determinant factors such as past experiences, social and political atrnospheres, as well as local cultures. However, the success story of local govemancc in mentioned states, mostly determined by its egalitarian people and healthy local bureaucracy which is rooted in a long history as historical endowment. Besides, the rcforrnists from local govemment also takes important role on improving organizational innovations. While in Jakarta such historical determinant factors are not rooted. Government of new order regime which was co-opted, hegemonic and centralistic, the current transitional social and political situation and the local cultures remain sustaining clientelism are probably the fundamental inhibitions to realize the new governance paradigm. Therefore, the need for studying new paradigm shift (formal rules and local institutional building) would be important.
To understand above research problems, grand tour research question is "in which social settings d circumstances are the local govemment and citizens (Dekel) able to make synergy" Sub research uestions are; (i) do formal rules (acts, local regulations, etc.) provide spaces for synergistic division of...
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D794
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Joko Juliantono
"[ABSTRAK
Disertasi ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika yang berlangsung antara
agen dan struktur dalam masyarakat nelayan di Desa Teluk, Labuan-Banten. Dengan
menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens dan dilengkapi dengan konsep
pembangunan sosial berdasarkan struktur, kultur, dan proses, dalam melihat
dinamika relasi yang ada antara agen dan stuktur dalam masyarakat nelayan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan strategi
grounded research. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam masyarakat
nelayan telah terjadi perubahan dalam struktur dari dominasi kelembagaan formal
menjadi dominasi kelembagaan non-formal. Kemiskinan yang ada pada struktur
yang lama ternyata direproduksi oleh struktur yang baru. Penelitian ini juga
menemukan kelemahan dari strukturasi Giddens yang menganggap bahwa struktur
dalam versi dualitas-nya, baik sebagai hasil dan sekaligus sarana (medium) praktik
sosial ternyata tidak selalu bersifat enabling atau memberdayakan. Pembangunan
kelautan dan perikanan, khususnya menyangkut tentang bagaimana mengatasi
kemiskinan masyarakat nelayan harus melihat pentingnya dinamika relasi yang
terjadi antara agen dan struktur agar perubahan yang dilakukan oleh negara, dalam
hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, tidak justru melahirkan kemiskinan
baru.

ABSTRACT
This dissertation aims to describe the dynamics that take place between the agent and
the structure of the fishing community in Teluk Village, Labuan, Banten. By using
structuration theory of Anthony Giddens and equipped with the concept of social
development based on the structure, culture, and processes, in view of the dynamics
of relationships that exist between agents and structures in the fishing communities.
The approach used in this study is a qualitative grounded research strategy. The
results of this study indicate that in the fishing community has been a change in the
structure of the formal institutional domination domination of non-formal
institutions. Poverty that exist on the old structures turned out to be reproduced by
the new structure. The study also found weaknesses of Giddens structuration which
assume that the structure in its duality version, either as a result and at the same time
means (medium) social practices were not always be enabling or empowering.
Development of marine and fisheries, particularly with regard to how to overcome
poverty of fishing communities must see the importance of the dynamics of
relationships that occur between agents and structures so that the changes made by
the state, in this case the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, did not actually
give birth to new poverty.;This dissertation aims to describe the dynamics that take place between the agent and
the structure of the fishing community in Teluk Village, Labuan, Banten. By using
structuration theory of Anthony Giddens and equipped with the concept of social
development based on the structure, culture, and processes, in view of the dynamics
of relationships that exist between agents and structures in the fishing communities.
The approach used in this study is a qualitative grounded research strategy. The
results of this study indicate that in the fishing community has been a change in the
structure of the formal institutional domination domination of non-formal
institutions. Poverty that exist on the old structures turned out to be reproduced by
the new structure. The study also found weaknesses of Giddens structuration which
assume that the structure in its duality version, either as a result and at the same time
means (medium) social practices were not always be enabling or empowering.
Development of marine and fisheries, particularly with regard to how to overcome
poverty of fishing communities must see the importance of the dynamics of
relationships that occur between agents and structures so that the changes made by
the state, in this case the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, did not actually
give birth to new poverty.;This dissertation aims to describe the dynamics that take place between the agent and
the structure of the fishing community in Teluk Village, Labuan, Banten. By using
structuration theory of Anthony Giddens and equipped with the concept of social
development based on the structure, culture, and processes, in view of the dynamics
of relationships that exist between agents and structures in the fishing communities.
The approach used in this study is a qualitative grounded research strategy. The
results of this study indicate that in the fishing community has been a change in the
structure of the formal institutional domination domination of non-formal
institutions. Poverty that exist on the old structures turned out to be reproduced by
the new structure. The study also found weaknesses of Giddens structuration which
assume that the structure in its duality version, either as a result and at the same time
means (medium) social practices were not always be enabling or empowering.
Development of marine and fisheries, particularly with regard to how to overcome
poverty of fishing communities must see the importance of the dynamics of
relationships that occur between agents and structures so that the changes made by
the state, in this case the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, did not actually
give birth to new poverty., This dissertation aims to describe the dynamics that take place between the agent and
the structure of the fishing community in Teluk Village, Labuan, Banten. By using
structuration theory of Anthony Giddens and equipped with the concept of social
development based on the structure, culture, and processes, in view of the dynamics
of relationships that exist between agents and structures in the fishing communities.
The approach used in this study is a qualitative grounded research strategy. The
results of this study indicate that in the fishing community has been a change in the
structure of the formal institutional domination domination of non-formal
institutions. Poverty that exist on the old structures turned out to be reproduced by
the new structure. The study also found weaknesses of Giddens structuration which
assume that the structure in its duality version, either as a result and at the same time
means (medium) social practices were not always be enabling or empowering.
Development of marine and fisheries, particularly with regard to how to overcome
poverty of fishing communities must see the importance of the dynamics of
relationships that occur between agents and structures so that the changes made by
the state, in this case the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, did not actually
give birth to new poverty.]"
2015
D2126
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Prisca Delima
"Ketahanan sosial-ekologi adalah kemampuan penyintasan masyarakat dalam menghadapi keterbatasan lingkungan agar dapat pulih apabila terjadi gangguan. Meskipun keterbatasan lingkungan alam dan sosial di Kota Batam dapat dikelola dengan kemajuan teknologi, potensi gangguan tetap perlu diperhitungkan agar perikehidupan dan kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Riset ini bertujuan untuk mengkonstruksi model ketahanan sosial-ekologi dalam pembangunan berkelanjutan. Pendekatan riset menggunakan metoda gabungan dengan pendekatan kualitatif terkait kondisi ketahanan sosial-ekologi Kota Batam yang dianalisis menggunakan sarana Kualitas Kehidupan Sosial Budaya berbasis fuzzy logic interaksi antara elemen struktural, kultural dan prosesual berkenaan dengan capaian pembangunan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ketahanan sosial-ekologi sangat terkait dengan dinamika lokal, regional dan global; spesifikasi dan spesialisasi lingkungan setempat, karakteristik region, serta faktor-faktor sosial budaya yang berpengaruh dalam menentukan kekhasan lingkungan yang menentukan ketahanan sosial-ekologi. Kondisi ketahanan sosial-ekologi juga dapat bervariasi secara spasial dan menurut waktu sehingga model konseptual ketahanan sosial-ekologi perlu mengakomodasi strategi implementasi yang bersifat multicompartment sekaligus terintegratif.

Social-ecological resilience is the community’s surviving ability to face environmental limitations and possible disruptions. Although physical and social environmental limitations in the City of Batam can be managed with technological advances, the potential of disruptions should be taken into account to assure the good community’s livelihood and welfare.
This research is to construct a social-ecological resilience model in sustainable development. It is based on mixed method research with qualitative approach on the social-ecological resilience condition of the City of Batam; that is analyzed based on the Quality of Socio-Cultural Life that seeks through the fuzzy-logic-interaction between structural, cultural and processual elements on the results and transformation of development.
The results show that the social-ecological resilience condition is related with dynamics of local, regional and global conditions, local environment specifications and specializations, regional characteristics, as well as socio-cultural factors that determine the social-ecological resilience condition that can vary spatially and according to time. Therefore, the conceptual model of social-ecological resilience in sustainable development should accommodate multi-compartment and integrative strategy of implementation.

"
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
D2629
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Munandar Soelaeman
"ABSTRAK
Kerusuhan tanggal 26 Desember 1995 di kabupaten Tasikmalaya memiliki makna sosiologis berupa resistensi terhadap sistem orde baru dan simbol gerakan perlawanan santri. Hal tersebut terjadi di daerah yang dikenal sebagai kota "santri" dan terjadinya sebelum Orde Baru tumbang atau sebelum reformasi 20 Mei 1998, sehingga merupakan peristiwa murni dalam konteks struktur sosial masyarakat Orde Baru.
Permasalahan penelitian ini yaitu mengapa terjadi kerusuhan sosial dan bagaimana model resolusi konfliknya. Kerusuhan sosial merupakan salah satu bentuk dari perilaku kolektif (collective behavior) yang bersifat agresif yang dilakukan secara spontan dan keras (force). Penyebab kerusuhan terkait dengan konflik individu, konflik vertikal, konflik horizontal dan karakter resistensi masyarakatnya. Realitas kerusuhan menunjukkan dimulai dengan konflik individu, konflik horizontal, dan konflik vertikal sebagai akibat inkonsistensi kebijakan pemerintah. Untuk mengelaborasinya lebih tepat apabila dilakukan dengan pendekatan konstruktivis dan kondiisihitas struktural.
Metode penelitian adalah studi kasus yang bersifat eksploratif dan kualitatif dengan paradigma konstruktivis, yaitu melakukan konseptualisasi dengan "intepretatif reversible" antara segi empirik dan segi teoretik. Sumber data primer dari individu yang merepresentasikan dirinya dalam kelompok, organisasi, lembaga dan masyarakat. Pola sosial yang dikaji meliputi konflik individual, vertikal dan horizontal serta aspek resolusi konfliknya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa:
(1) Latar masalah kerusuhan barkaitan dengan bersinerginya konflik individual akibat tindakan penganiayaan oleh oknum polisi (terusiknva harkat dan martabat ulama yang menimbulkan kemarahan ummat), dengan faktor konflik vertikal (antara masyarakat dengan negara) dan konflik horizontal (antara warga masyarakat setempat dengan warga etnis Cina). Selain itu adanya sifat atau karakter daya resistensi masyarakat Tasikmalaya terhadap penguasa yang menindasnya dari masa ke masa. Faktor-faktor konflik Makro objektif tersebut meliputi beberapa hal berikut:
a. Konflik vertikal terkait dengan akibat Kebijakan pemerintah daerah beserta DPRD (sebagai suatu perserikatan yang dikordinasi secara memaksa) dengan legitimasi wewenangnya yang cenderung menjadi normatif. Wewenang tersebut telah mendominasi kelompok masyarakat, yang menyebabkan adanya ketidakpuasan. dari kekecewaan warga, sehingga menimbulkan konflik vertikal.
b. Konflik horizontal antara warga setempat dengan warga kelompok etnis Cina terjadi akibat perbedaan penguasaan akses ekorromi, yang meminggirkan pengusaha lokal, dan menjadikan oposisi kepentingan spesifik, eksklusif, penyimpangan sosial, dan main backing dengan aparat.
c. Adanya karakter daya resistensi masyarakat terhadap setiap penguasa penindas berupa tawaran kerangka ideal ideologi lslam, sebagai sumber pemusatan kekuatan yang dianggap sebagai alternatif petunjuk terbaik bagi penyelesaian penderitaan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D478
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ujianto Singgih Prayitno
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, yang telah mempengaruhi sendi-sendi dasar kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat Bantaran Sungai Ciliwung, kondisi perekonomian yang memburuk itu diperparah dengan datangnya musibah banjir, sehingga mereka mendapatkan tekanan besar dari kondisi perekonomian tersebut. Ketahanan ekonomi keluarga miskin ini diperlukan mengingat banyaknya kebutuhan yang paling pokok yang tidak bisa dipenuhi, seperti air bersih, tempat berteduh, fasilitas mandi-cuci-kakus yang sehat, fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Penelitian dilakukan di masyarakat Bantaran Sungai Ciliwung, yang hampir setiap tahun mengalami musibah banjir. Karakteristik pekerjaan golongan masyarakat berpenghasilan rendah ini bekerja pada sektor informal. Mereka mendapat tekanan yang besar, dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup, apakah ada peran modal sosial, baik yang dimiliki keluarga, dalam interaksi sosial kebertetanggaan, dan masyarakat umumnya terhadap ketahanan ekonomi keluarga, terutama menghadapi kondisi ekonomi keluarga yang memburuk. Ataukah justru modal sosial masyarakat menjadi tidak bekerja, yang termanifestasi dalam bentuk ketidakpercayaan, memudarnya kehidupan saling tolong menolong dan jaringan kerja sama ?
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah memadukan model kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Melalui pendekatan kuantitatif, penelitian dilakukan melalui teknik survai, yang secara konseptual, dipakai untuk mengukur variabel-variabel yang merepresentasikan eksplanasi, dan kemudian mengujinya secara statistik. Sedangkan melalui pendekatan kualitatif, memusatkan perhatian pads prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Analisis dilakukan secara induktif, karena proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagaimana yang terdapat dalam data. Selain itu, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel.
Secara umum, analisis kuantitatif, baik melalui uji hipotesis ataupun korelasi ditemukan bahwa tidak ditemukan hubungan bermakna yang kuat diantara variabel-variabel yang diuji. Uji hipotesis menunjukkan penerimaan terhadap hipotesa nol (H0), kecuali untuk variabel informasi dan komunikasi yang hipotesa nolnya tidak terbukti, sehingga harus ditolak. Sementara itu, hasil uji korelasi memperlihatkan bahwa antara variabel ketahanan ekonomi keluarga dengan variabel kelompok dan jaringan kerja sama (.108), aksi kolektif dan bekerja sama (. 114), informasi dan komunikasi (.223), serta kohesi sosial dan inklusi sosial (.096) terdapat hubungan yang bermakna meskipun sangat lemah. Sedangkan melalui uji regresi memperlihatkan, bahwa variabel aksi kolektif dan bekerja bersama, dan variabel informasi dan komunikasi secara bersama-sama mempengaruhi ketahanan ekonomi keluarga (.317). Aksi kolektif dan bekerja bersama adalah variabel yang paling berperan dalam memprediksi ketahanan ekonomi keluarga (.204), kemudian diikuti variabel informasi dan komunikasi (.- 237).
Temuan dan analisis kualitatif yang telah dilakukan dalam penelitian ini secara umum menghasilkan kesimpulan, bahwa meskipun tidak ada modal sosial yang secara spesifik muncul di kalangan masyarakat Bantaran Sungai Ciliwung, namun mereka memiliki ketersediaan modal sosial yang cukup baik, karena didalam interaksi sosial yang terjadi kepercayaan dan kebersamaan dalam interaksi antar warga masyarakat masih terbina, dan mereka tidak menjadi individualis. Hal ini terlihat dari penanganan masalah yang memerlukan penanganan bersama, seperti musibah kematian, pesta pernikahan, ataupun pesta lainnya, selalu dilakukan bersama-sama. Kebersamaan, saling pengertian, dan kepercayaan terhadap sesama anggota keluarga merupakan faktor penting yang mendukung ketahanan ekonomi keluarga.
Modal sosial dapat dipergunakan sebagai alat untuk melakukan assessment, terutama untuk mengetahui apakah di kepercayaan dan partisipasi di dalam komunitas itu besar atau kecil. Jika tingkat kepercayaan dan partisipasi warga masyarakat itu besar, maka kebijakan sosial, terutama bagi penanggulangan kemiskinan dapat dilaksanakan dan dapat diperkirakan program itu akan berhasil. Tetapi, jika ternyata tingkat kepercayaan dan partisipasi warga di dalam komunitas itu rendah, maka perlu dilakukan intervensi sosial, atau program-program sosial yang dapat meningkatkan kepercayaan sosial. Setelah kepercayaan dan partisipasi sosial warga memadai, barulah program-program penanggulangan kemiskinan dapat dilaksanakan. Program pemulihan kepercayaan perlu dilakukan, karena merupakan usaha penciptaan kondisi yang kondusif terhadap proses sosiabilitas, yang memungkinkan warga komunitas berpartisipasi dalam upaya peningkatan kehidupannya sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D575
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Kemal Dermawan
"Lokasi penelitian ini adalah permukiman Real estate dan Non Real estate di Bekasi dan Depok. Karena penelitian disertasi ini juga melihat potensi pelaksanaan Pemolisian Komunitas di dalam komunitas dengan klas sosial yang berbeda maka pemilihan permukiman real estate dan non real estate ditetapkan untuk mewakili komunitas yang lebih mapan (tingkat sosial-ekonomi, dalam hal ini diwakili oleh komunitas permukiman real estate) dan komunitas yang kurang mapan (tingkat sosial-ekonomi, dalam hal ini diwakili oleh komunitas permukiman non real estate).
Dari kondisi empiris Tataran kebijakan yang melingkupi implementasi Pemolisian Komunitas terlihat bahwa (1) Aturan Perundang-undangan termasuk pula kebijakan-kebijakan yang berpijak pada Paradigma Baru POLRI/Reformasi POLRI sudah memadai; (2) terkait dengan penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam Pemolisian Komunitas, ternyata masih terdapat beberapa masalah seperti (a) belum terumuskannya mekanisme kemitraan yang lebih partisipastif; (b) belum diperolehnya pemahaman yang baik tentang formasi dan stratifikasi kelaskelas sosial dan gender; (c) belum maksimalnya faktor pendorong dan fasilitasi kebijakan-kebijakan bagi prakarsa, inisiatif dan gagasan yang muncul dari polisi lokal/ setempat; terkait dengan pelaksanaan pengawasan sipil terhadap POLRI dan tindakan pemolisiannya, ternyata masih terdapat beberapa masalah seperti (a) belum berjalan mekanisme pengawasan sipil dengan baik, khususnya pengawasan terhadap Polri dan tindakan pemolisiannya; (b) belum ada lembaga pengawasan yang efektif baik lembaga pengawasan bentukan Undang-Undang maupun bentukan masyarakat.
Dari kondisi empiris Tataran Empiris, yakni relasi POLRI dan Komunitas dalam Pemolisian Komunitas, diperoleh data bahwa (a) kondisi Kapasitas. Komunitas secara umum mendukung kemitraan serta siap dikembangkan bagi kepentingan menyambut program dari luar yang bermanfaat bagi mereka; (b) belum terciptanya Kemitraan yang setara antara POLRI dan Komunitas karena POLRI lebih mendominasi sejak Pembentukan Panitia Persiapan Pembentukan FKPM hingga Realisasi FKPM; (c) muncul tiga pihak dalam relasi kemitraan yang kemudian memunculkan relasi kekuasaan tiga pihak : POLRI-FKPMKomunitas. Hal ini kemudian menjadi hambatan bagi terciptanya partisipasi kolektif warga komunitas dalam bermitra dengan Polri demi tercapainya upayaupaya penyelenggaraan kamtibmas di dalam komunitas secara kolektif. Beberapa kendala dalam pelaksanaan Pemolisian Komunitas yang ditemui dalam penelitian Disertasi ini tersebut, secara umum tidak menghambat potensi keberhasilan program Pemolisian Komunitas di masa yang akan datang. Beberapa perbaikan, peningkatan dan penyempurnaan hal-hal yang terkait dengan kendalakendala tersebut harus dilakukan dan mendapat perhatian yang seksama oleh pelaksana program Pemolisian Komunitas.

Real estate and Non Real estate settlement community in Bekasi and Depok are the research location for the Dissertation. The reason to choose the Real estate and Non Real estate settlement is to shown therepresentation the stable community (social economy class, represented by Real estate housing community) and less stable community (social economy class, represented by Non Real estate housing community).
From the empirical policy level that contains Community Policing implementation, we are able to view that: (1) The laws, including the policies that stand on the new paradigm of POLRI/the reformation of POLRI, has adequated; (2) there are still some problems in the democratic principles implementation in Community Policing, which are (a) the more participative partnership has not been fully explainable, (b) the social class and gender formation and stratification has not been fully understandable, (c) the supporting factors and policies facility for action, initiative, and ideas that come up from the local Police regarding the implementation of civil monitoring to POLRI and their Policing action has not been maximized. There are a few problems regarding this factor, such as: (a) the civil monitoring mechanism has not been successfully implemented, especially the monitoring to POLRI and their Policing action, (b) there has no effective oversight institution, either made by law or community.
The data shown from the empirical condition at the Empirical Level, regarding POLRI relation with community in community policing, in general, the Community Capacity Condition is ready to support the partnership program and ready to be developed to accept any other intentional program from the outside community that might benefit them. Unequal relationship between community and Police, are caused more by the domination of Police since the begining of FKPM development by the early comitee, until the real activity is running. Since the program is started, there was 3 parties in the partnership relation, that then emerges into 3 power relationships; POLRI-FKPM-Community. Such condition become the barrier for collective participation among community member to become Polri partner on achieving collective activity in community security and order program. Some problem found in this Dissertation research regarding the Community Policing implementation, basicly are not an obstacle for the successful Community Policing program in the future. Nevertheless, some improvement need to be done regarding all the problems, and should be the point of attention to all subjects in Community Policing program.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D955
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Imron Rosadi
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas tentang dimensi perubahan relasi gender sebagai konsekuensi dari pengalaman migrasi internasional dalam keluarga buruh migran internasional yang pulang kembali kepada keluarganya dari bekerja di luar negeri. Tujuan dari studi disertasi ini adalah memahami dan mendalami makna perubahanperubahan relasi gender dan konsekuensi sosial pada tingkat atau ranah institusi keluarga dan komunitas lokal. Penelitian disertasi ini dirancang dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan desain studi kasus-ekplanatif, dan memadukan metode pengumpulan data seperti: angket, wawancara mendalam, observasi terstruktur dan studi dokumentasi.
Perubahan relasi gender dalam keluarga buruh migran internasional yang kembali dari bekerja luar negeri dipahami sebagai perubahan-perubahan pada aspek peran (yang mengarah kepada berbagi peran), akses perempuan (yang makin lebih besar kepada perempuan untuk menjangkau kesempatan bekerja dan melakukan aktivitas di luar rumah) serta pergeseran dalam kontrol (mulai ada berbagi kendali dalam kehidupan keluarga antara perempuan/istri dan laki-laki/suami). Perubahan relasi gender itu dimaknai sebagai konsekuensi yang tidak dikehendaki (unintended consequences) dari migrasi internasional, yang juga berkaitan dengan adanya konsekuensi sosial yang bersifat ongkos sosial (social cost) dari migrasi internasional. Konsekuensi-konsekuensi itu harus dipahami dalam konteks latar belakangkemiskinan dan status sosial-ekonomi yang rendah dari buruh migran internasional, serta hasil yang diperoleh dari migrasi internasional. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi teoritik berupa pengembangan penjelasan yang lebih kontekstual Indonesia atas analisis Carling, Reeves dan Jolly serta Kabeer tentang konsekuensi migrasi internasional terhadap relasi gender, dengan mengaitkan antara determinan konteks (context) bermigrasi, isi (contents) atau apa yang didapatkan dari migrasi internasional (materi dan non materi) serta konsekuensi (consequences) berupa perubahan relasi gender. Sementara kontribusi kebijakan dari hasil penelitian ini adalah berupa saran tentang makin perlunya semua pemangku kepentingan untuk mendesain dan mengimplementasikan kebijakan dan program yang sadar gender, berfokus pada kebutuhan dan masalah migran dan keluarganya pada masa reintegrasi sosial-ekonomi serta penguatan keberfungsiaan sosial pribadi migran dan keluarganya melalui program pemberdayaan dan penguatan institusi keluarga dan institusi lokal.

ABSTRACT
The focus of this study is change of gender relations as consequences of returned migrant worker experiences in family context . The research is qualitative interpretive with explanatory-case study design. The data were collected by combinations of survey, in-depth interview, structured observation and documentation study.
There are three dimensions of change of gender relations , that is change of role between male and female or husbands and wifes; change of access to family resources and activities and control sharing between husbands and wifes, male and female. The changing of gender relations have to be understand and interpreted as unintended consequences in relation to social costs or social consequences in local community domain. The theoretical contribution of this study is development and clarification of Carling, Reeves and Jolly Thesis on Gendered Effects of Migration, with contextual explanation of effects of international migration to gender relations in the poor families of Indramayu people. That is, context of international migration (background of migration and socio-economic profile of migrant worker), contents or outcome of internasional migration (remittances, international experiences and outward looking) and consequences (dimensions of changing in gender relations in family domain/level). So the study suggests the urgency of gender awareness policies, social policy, program and implementation of socio-economic reintegration by multidiscipline approach and multi-sector or inter-agency involvement, empowerment of families and local institution and enhancing social functioning of returned migrants themselves."
Depok: 2010
D00637
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Luthfi Malik
"ABSTRAK
Studi ini mengkaji proses transformasi dan mobilitas sosial ekonomi perdagangan orang Gu-Lakudo dari ekonomi subsisten di pedesaan pada ekonomi komersial yang berbasis perdagangan di Sulawesi Tenggara. Untuk mengembangkan analisis yang konstruktif terhadap fenomena tersebut, maka digunakan metode kualitatif (observasi, wawancara, dan penggunaan dokumen).
Dari hasil studi lapangan menjelaskan, bahwa keberhasilan orang Gu-Lakudo tersebut, terkait dengan peran-aktif H. Abdul Syukur sebagai seorang ulama Islam integratif (pedagang, modernis, dan transformatif). Dengan pembaruan Islam yang dilakukan oleh Syukur menjadi momentum terjadinya perubahan orientasi paham keagamaan orang Gu-Lakudo, dari sinkretis mistik Islam dengan tradisi agama leluhur mereka pada konteks Islam modernis-rasional. Lalu, mendorong mereka untuk mengembangkan perdagangan hasil penangkapan ikan nelayan tradisional, dengan dukungan lembaga ekonomi yang dibentuknya (Koperasi Gu Makmur).
Terintegrasinya nilai-nilai pembaruan Islam dengan pengembangan perdagangan, menumbuhkan etos ekonomi Islam bagi orang Gu-Lakudo. Selanjutnya, mereka terobsesi untuk melakukan migrasi desa-kota pada akhir tahun 1960-an. Mereka mulai mengembangkan usaha perdagangan pakaian jadi dan barang kelontong di pasar sentral Bau-Bau. Dalam perkembangannya, mereka menunjukkan mobilitas perdagangan yang cukup kompetitif, melakukan diversifikasi usaha dagang, serta perluasan pasar ke kota lain (Raha dan Kendari) di Sulawesi Tenggara.
Studi ini menyimpulkan bahwa secara sosiologis, orang Gu-Lakudo melakukan mobilitas geografis dan vertikal. Mobilitas perdagangan mereka digerakkan etos ekonomi yang mengintegrasikan ketaatan mengamalkan ajaran agama dengan aktivitas perdagangan. Karena itu, modal spiritual Islam bagi mereka menjadi suatu hal yang urgen sebagai basis dari terbentuknya modal sosial, sehingga menghasilkan modal finansial. Ini dikonstruksikan dalam konteks hubungan relasional antara pasar sebagai institusi ekonomi dan masjid sebagai institusi keagamaan dalam Islam.

ABSTRACT
This paper examines the transformation and the mobility process of social and trade economic of Gu-Lakudo people from rural subsisten economic to trade based commercial economic in Sulawesi Tenggara. Qualitative method, such as observation, interview, and the use of existing document, is used to develop constructive analysis for above phenomenon.
Based on the field study, the success of Gu-Lakudo people is related with the active role of H. Abdul Syukur as an intregral Muslim Scholar (merchant, modernis, and transformative). H. Abdul syukur brought the change to the Gu-Lakudo people religious orientation from syncretic mystic Islam based on ancestor tradition to modern-rational Islam. This lead to the development of traditional fisherman?s product trade with the support of the economic institution Gu-Lakudo people develops (GuMakmur Cooperation). The intregration of the new Islamic values and the development of trade builds the Gu-Lakudo people Islamic work ethic. Afterwards, they migrate to the city in the late of 60s where they start to open garment and grocery shop in BauBau central market. Later developments show quite significant trade mobility, trade diversification, and market expansion to other city (Raha and Kendari) in Sulawesi Tenggara.
This study concludes that sociologically, Gu-Lakudo people have made geographic and vertical mobility. Their trade mobility is driven by economic ethic that integrates religious aspect of life and trade activity. Therefore, for these people, the Islam spiritual capital is something that is very important as the basis of social capital formation which produces financial capital. This matter is constructed in the context of the relation between market as economic institution and mosque as religious institution."
Depok: 2010
D913
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Saleh Sjafei
"Akhir-akhir ini kecenderungan sistem nilai-budaya keacehan yang merujuk pada komunalisme-relijius semakin kurang efekivitasnya dalam masyarakat. Kekurangan ini antara lain terlihat pada keberadaan aktori individual (pemilik tanah) dalam kaitan dengan determinasi sistem struktural hukum adat dan hukum positif nasional. Gejala strutural hukum adat dan non-adat menentukan eksistensi aktor individual (agency) dalam pergaulan kemasyarakatan disebabkan moralitas kolektif yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas bersangkutan tidak selaras dan seimbang dengan perkembangan dan peluang yang diberikan kepada aktor individual, utamanya dalam kasus kepemilikan pribadi atas tanah yang cenderung tidak menguntungkan salah satu pihak.
Penelitian ini secara umum untuk mengantar peneliti pada pemahaman yang menjelaskan hubungan mutualitas antara aktor individual sebagai agency dan hukum tanah sebagai strucur, yakni bagaimanakah ontologi aktor individual dalam konteks diskrepansi antara hukum tanah dengan skemata struktural adat (loka1) dan hukum tanah dengan skemata struktural non-adat (nasional).
Secara khusus studi ini untuk memahami (1) keberadaan aktor individual sebagai dependent variable yang ingin diterangkan dengan ketegangan dari dua skemata struktural adat dan non-adat tadi; dan (2) untuk memperoleh pemahaman determinasi dari aktor individual dalam diskrepansi skemata-skemata hukum adat dan non-adat sebagai independent variable yang memungkinkan perubahan skemata struktural itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D722
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>