Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Claudia Inggrid Hartanto
Abstrak :
Gadai yang diatur pada Pasal 1150-1160 KUH Perdata merupakan jaminan kebendaan bagi benda bergerak, hal mana dengan ini dapat digunakan untuk saham yang berkedudukan sebagai benda bergerak berdasarkan Pasal 60 ayat (1) Undang- Undang Perseroan Terbatas. Keberadaan jaminan mendorong pemberian kredit, dan pemberian kredit berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran negara. Meskipun demikian, seiring dengan kemajuan masyarakat dewasa ini, pengaturan gadai dalam KUH Perdata sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ditemukan juga bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan di Indonesia per tahun 2019 cukup rendah, hanya 6% lelang eksekusi dari total non-performing loan perbankan, hal mana eksekusi ini masih didominasi oleh Hak Tanggungan. Di sisi lain, Singapura yang kerap kali menggunakan saham sebagai objek jaminan memperoleh nilai tertinggi dalam indikator penilaian “enforcing contracts” Doing Business yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2020. Penulis dengan ini bertujuan membandingkan pengaturan gadai saham dengan mortgage over shares dan melihat apakah Indonesia dapat mencontoh pengaturan Singapura. ......Pledge, as regulated under Article 1150-1160 of Indonesian Civil Code, is a type of security interest available for movable property. Shares, indicated as a movable property by the Article 60 paragraph (1) Law No. 40 of 2007 as amended by Law No. 11 of 2020, is therefore applicable for pledge. The existence of security encourages the provision of credit, and the provision of credit has the potential to increase economic growth and prosperity of a country. However, in contrast to the progress of today’s society, the arrangement of pledge in the Indonesian Civil Code is more than 100 years old. In addition to that, the execution of security rights as of 2019 can also be said to be low, only 6% of the execution auction of all the nonperforming bank loans, of which is still dominated by Mortgage. Singapore, on the other hand, recognize shares as a collateral object and also received the highest score in the Doing Business “enforcing contracts” assessment indicator issued by the World Bank in 2020. The author hereby aims to compare the arrangement of pledged shares of Indonesia with mortgage over shares of Singapore and see if Indonesia can emulate the Singapore arrangements.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Anika
Abstrak :
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan hukum bagi kreditur atau penerima fidusia yang beritikad baik, namun objek jaminannya dirampas oleh negara melalui putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Dalam melakukan penulisan, penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif atau penelitian kepustakaan dan tipologi yang bersifat deskriptif. Putusan yang berkaitan dengan tulisan ini ada dalam Putusan No. 32 No. 32/PDT/2019/PT.BDG jo. Putusan No. 872 K/PDT/2020, para pihak dalam putusan tersebut adalah BCA Finance dan Kejaksaan Republik Indonesia. Permasalahan dalam skripsi ini dimulai dari tidak bisanya BCA Finance melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusianya atas pembiayaan konsumen yang dilakukannya dengan Sabilal Rusdi selaku Debitur. Hal ini dikarenakan Sabilal Rusdi telah melakukan tindak pidana yang mana melibatkan objek jaminan fidusianya dengan BCA Finance dan membuat benda tersebut harus dirampas oleh negara melalui Putusan No. 428 / Pid.Sus / 2017 / PN.Dpk. Perlindungan hukum belum diberikan kepada BCA Finance selaku kreditur karena objek jaminan fidusia nya tetap dirampas oleh negara, padahal selaku kreditur penerima fidusia seharusnya BCA Finance memiliki hak yang dilindungi atas objek jaminan dan kedudukan yang diutamakan selaku pemegang jaminan fidusia dalam undang-undang terkait. Oleh karena itu BCA Finance perlu melakukan upaya lebih lanjut supaya bisa memperoleh kembali utang yang belum dibayarkan oleh debitur dan bisa melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusianya. ...... Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan hukum bagi kreditur atau penerima fidusia yang beritikad baik, namun objek jaminannya dirampas oleh negara melalui putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Dalam melakukan penulisan, penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif atau penelitian kepustakaan dan tipologi yang bersifat deskriptif. Putusan yang berkaitan dengan tulisan ini ada dalam Putusan No. 32 No. 32/PDT/2019/PT.BDG jo. Putusan No. 872 K/PDT/2020, para pihak dalam putusan tersebut adalah BCA Finance dan Kejaksaan Republik Indonesia. Permasalahan dalam skripsi ini dimulai dari tidak bisanya BCA Finance melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusianya atas pembiayaan konsumen yang dilakukannya dengan Sabilal Rusdi selaku Debitur. Hal ini dikarenakan Sabilal Rusdi telah melakukan tindak pidana yang mana melibatkan objek jaminan fidusianya dengan BCA Finance dan membuat benda tersebut harus dirampas oleh negara melalui Putusan No. 428 / Pid.Sus / 2017 / PN.Dpk. Perlindungan hukum belum diberikan kepada BCA Finance selaku kreditur karena objek jaminan fidusia nya tetap dirampas oleh negara, padahal selaku kreditur penerima fidusia seharusnya BCA Finance memiliki hak yang dilindungi atas objek jaminan dan kedudukan yang diutamakan selaku pemegang jaminan fidusia dalam undang-undang terkait. Oleh karena itu BCA Finance perlu melakukan upaya lebih lanjut supaya bisa memperoleh kembali utang yang belum dibayarkan oleh debitur dan bisa melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusianya. ......This writing aims to find out and analyze the legal position for creditors or recipients of good faith fiduciaries, but the object of the guarantee has been taken away by the state through a criminal ruling with permanent legal force. In doing writing, the author uses juridical-normative research methods or literature and typology research that is descriptive. The Judgement related to this writing is in Judgement No. 32 No. 32/PDT/2019/PT. BDG jo. Judgement No. 872 K/PDT/2020, the parties in the ruling are BCA Finance and the Prosecutor's Office of the Republic of Indonesia. The problem in this thesis starts from the inability of BCA Finance to execute the object of its fiduciary guarantee on consumer financing that it does with Sabilal Rusdi as Debtor. This is because Sabilal Rusdi has committed a criminal act involving the object of his fiduciary guarantee with BCA Finance and making the object must be taken away by the state through Judgement No. 428 / Pid.Sus / 2017 / PN.Dpk. Legal protection has not been given to BCA Finance as a creditor because the object of its fiduciary guarantee is still deprived by the state, even though as a creditor and fiduciary recipient the object should be given to BCA Finance. BCA Finance has a protected right to the object of guarantee and position that is prioritized as the holder of the fiduciary guarantee in the relevant law. Therefore, BCA Finance needs to make further efforts in order to recover debts that have not been paid by the debtor and can execute the object of his fiduciary guarantee.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Alvin Jogi Nauli
Abstrak :
Penyalahgunaan keadaan merupakan alasan pembatalan perjanjian yang belum diatur dalam perundangan Indonesia namun sudah dikenal melalui doktrin dan yurisprudensi. Di Belanda, negara yang menganut sistem hukum yang sama dengan Indonesia, dengan lahirnya Nieuw Burgerlijk Wetboek, telah mengatur penyalahgunaan keadaan dalam perundangannya. Namun, ajaran ini pada awalnya bukan berasal dari sistem hukum civil law, melainkan melalui paham equity dalam sistem hukum common law. Singapura, yang menganut sistem hukum tersebut, juga telah mengatur mengenai penyalahgunaan keadaan dalam perundangannya. Penelitian ini bermaksud untuk membandingkan bagaimana perkembangan penyalahgunaan keadaan dalam hukum perjanjian negara Indonesia dan Singapura. ......Undue influence is the vitiating factor on contract that has not been regulated in Indonesian legislation but has been recognized through doctrine and jurisprudence. In Netherlands, a country with the same legal system as Indonesia, through the birth of Nieuw Burgerlijk Wetboek, has regulated undue influence in its legislation. However, the doctrine of undue influence was not originally derived from the civil law system, but through the notion of equity in the common law legal system. Singapore, which adheres to common law system, has also regulated undue influence in its legislation. This study intends to compare the development of undue influence in contract law in Indonesia and Singapore.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Pramatama
Abstrak :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law dan menggunakan kodifikasi hukum sebagai sumber hukum primer pada kenyataannya masih terdapat kekosongan pengaturan mengenai beberapa konsep ganti rugi yang dapat ditemukan di dalam berbagai kasus wanprestasi yang terjadi. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak khususnya pada penentuan ganti kerugian akibat wanprestasi di Indonesia dengan Australia dimana dalam hal ini sebagai negara penganut sistem hukum Common Law. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan hasil dari penelitian ini berisi bahwa terdapat persamaan dan perbedaan diantara pengaturan konsep ganti rugi di Indonesia dan Australia. ......Indonesian Civil Code which adheres to Civil Law legal system and uses legal codification as the primary source of law, in fact there is still a lack of regulation regarding several compensation concepts that can be found in various cases of default or breach of contract. This thesis compares the law of contracts especially about determination of default damages in Indonesia and Australia. This study is a normative juridicial research and the result of this study indicate that there are similarities and differences between the regulation of the concept of compensation in Indonesia and Australia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Huala
Abstrak :
Skripsi ini membahas keberlakuan sewa-menyewa tertulis yang sudah berakhir karena pembiaran dikaitkan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini dilakukan, mengingat dalam perjanjian sewa-menyewa lisan yang lahir akibat adanya pembiaran penguasaan objek sewa setelah berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tertulis dapat terjadi beberapa permasalahan. Contohnya, adanya ketidaksamaan persepsi antara para pihak mengenai waktu berakhirnya suatu perjanjian sewa-menyewa. Selain itu, para pihak juga dapat saling menyalahkan terkait kedudukan perjanjian sewa-menyewa yang sudah berakhir. Pengaturan terkait hal ini masih sangat minim. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan secara yuridis normatif dengan sumber data yaitu data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai tanda-tanda berakhirnya perjanjian sewa-menyewa yang memiliki perbedaan satu sama lain baik secara umum, dalam perjanjian sewa-menyewa tertulis, maupun dalam perjanjian sewa-menyewa lisan. Hal yang berbeda dalam perjanjian sewa-menyewa lisan adalah bahwa perjanjian sewa-menyewa tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan melalui suatu pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1571 dan Pasal 1572 KUH Perdata. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa harus mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Dalam kondisi tertentu, ketentuan dalam perjanjian sewa-menyewa yang sudah berakhir tetap berlaku dalam perjanjian sewa-menyewa lisan yang lahir setelahnya akibat adanya pembiaran, mengingat keterkaitan erat antara kedua perjanjian tersebut. ......This thesis discusses the validity of a written tenancy that has ended due to neglect, linked to a court decision that has permanent legal force. This research was conducted, considering that in the oral tenancy agreement that was born as a result of allowing control of the object of the tenancy after the end of a written tenancy agreement, several problems could occur. For example, there is different perception between the parties regarding the expiration time of the tenancy agreement. In addition, the parties can also blame each other regarding the position of the tenancy agreement that has ended. Regulations related to this are still very minimal. This study uses a juridical normative library research method with secondary data sources. Research result shows that there are various signs of termination of the tenancy agreement that have differences, whether in general, in the written tenancy agreement, or in the oral tenancy agreement. What is different in an oral tenancy agreement is that the tenancy agreement does not end at the specified time, but through a notification as stipulated in Article 1571 and Article 1572 of the Civil Code. It is also important to pay attention to the fact that local customs are required to comply with the grace periods. In certain conditions, the provisions in the tenancy agreement which has expired will still be valid in the oral tenancy agreement that was born afterwards as a result of neglect, given the close relationship between the two agreements.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reinatta Amelia Utami
Abstrak :
Sebuah perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia. Begitu banyak persiapan yang dilakukan agar perkawinan itu dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan. Sebelum terlaksanya perkawinan, pada umumnya pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan terlebih dahulu mengutarakan keseriusan niatnya dengan menjanjikan perkawinan atau menggelar acara peminangan atau yang dikenal pula dengan pertunangan. Akan tetapi tidak jarang janji-janji itu tidak dipenuhi dan menimbulkan kerugian bagi salah stau pihak sehingga membawanya ke muka pengadilan. Skripsi ini membahas sekaligus menganalisa beberapa putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan pembatalan sepihak pelaksanaan perkawinan sebagai suatu pembuatan melawan hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah metode peneltian normatif yuridis. Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan dalam mayoritas putusan hakim pengadilan menyatakan bahwa dibatalkannya pelaksanaan perkawinan secara sepihak merupakan sebuah perbuatan melawan hukum, namun Penulis juga menemukan perbedaan perdapat dalam putusan hakim yang mana menyatakan bahwa pembatalan secara sepihak atas pelaksanaan perkawinan adalah merupakan sebuah wanprestasi. ......A marriage is one of the important events in human life. So many preparations were made so that the marriage itself could be carried out as desired. Before the marriage is carried out, in general, couples who want to get married first express the seriousness of their intention by promising marriage or holding a marriage ceremony or what is also known as engagement. However, it is not uncommon for these promises not to be fulfilled and cause harm to one of the parties, thus bringing them to court. This paper discusses as well as analyzes several court decisions relating to the cancellation of promise to marry by one of the party as the law of tort. The research method used is juridical-normative research method. The results of the research in this paper show that the majority of court judges' decisions stated that the cancellation of promise to marry is an act against the law, but the author also finds inconsistencies in the judge's decision which states that those same matter in some cases was categorized as a breach of contract.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Gitawati Purwana
Abstrak :
Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah memperluas Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya. Namun, mengenai maksud perjanjian lainnya tidak dijelaskan lebih lanjut dalam putusan ini. Permasalahan timbul karena tidak adanya batasan yang jelas terkait isi yang dapat dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan dan adanya kekeliruan menafsirkan perjanjian perkawinan yang menyebabkan esensi perkawinan itu hilang. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya memberikan batasan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, serta tidak boleh merugikan pihak ketiga. Skripsi ini membahas mengenai batasan dan praktik pembuatan perjanjian perkawinan di hadapan Notaris yang mengatur selain harta benda perkawinan. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan memfokuskan penelitian berdasarkan norma-norma hukum yang ada dan didukung wawancara dengan Notaris untuk mengetahui praktiknya. Hasil penelitan menunjukkan bahwa perjanjian perkawinan dapat mengatur selain harta benda perkawinan sebagai klausul tambahan, asalkan sesuai dengan hukum positif Indonesia, prinsip-prinsip agama, dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain itu, pihak ketiga harus dilindungi dengan mendaftarkan dan mengumumkan perjanjian perkawinan. Akan tetapi, ada juga Notaris yang berpendapat bahwa perjanjian perkawian yang mengatur selain harta benda perkawinan bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan yang lebih jelas mengenai batasan isi perjanjian perkawinan yang tidak melanggar hukum, agama, kesusilaan, serta tidak merugikan pihak ketiga untuk menyatukan pemahaman dalam praktiknya. Sementara itu, Notaris dapat mempergunakan subjektivitasnya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam membuat perjanjian perkawinan yang mengatur selain harta benda perkawinan. ......The issuance of the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 has expanded Article 29 of Law Number 1 of 1974 on Marriage that the nuptial agreement can arrange marital property or other agreements. However, regarding the other agreement do not go further in this ruling. Problems arise because there are no clear boundaries regarding the contents that can be arranged into the nuptial agreement and there is a mistake in interpreting the nuptial agreement which causes the essence of marriage to be lost. Article 29 of Law Number 1 of 1974 on Marriage only provides a limitation that a nuptial agreement may not conflict with law, religion and morals, and may not harm third parties. This thesis discusses the limitations and practices of making nuptial agreements attested by a notary who regulating other than those marital property. The method used is juridical normative with a focus on research based on existing legal norms and supported by interviews with notaries to see the practice. The research results show that the nuptial agreement can include other than marital property as an additional clause, as long as it is in accordance with Indonesian positive law, religious principles and norms that apply in society. In addition, third parties must be protected by registering and announcing a nuptial agreement. However, there are also notaries who believe that a nuptial agreement that regulate other than marital property is contrary to Article 1337 of the Civil Code. Therefore, a clearer regulation regarding the content of the nuptial agreement is needed that does not violate legal, religious, moral boundaries and does not harm third parties to unify understanding in practice. Meanwhile, notaries can use their subjectivity based on their knowledge and experience in making nuptial agreements that regulate other than marital property.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raya Adhani
Abstrak :
Syarat sahnya suatu perjanjian yang berlaku di Indonesia diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sehingga, segala perjanjian yang dibuat di antara para pihak baru dinyatakan sah apabila telah memenuhi semua syarat yang tertera dalam Pasal tersebut. Namun demikian, dapat diketahui bahwa terdapat banyak jenis-jenis perjanjian yang terdapat dalam praktiknya, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diatur mengenai perjanjian yang dilarang yaitu salah satunya perjanjian penetapan harga. Di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha seringkali menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang diduga telah melakukan perjanjian penetapan harga. Dalam hal ini, perjanjian penetapan harga dibuktikan berdasarkan sebuah konsep yaitu concerted action atau yang dikenal sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama oleh para pelaku usaha. Namun demikian, Undang-Undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud dengan concerted action itu sendiri, sehingga menimbulkan kerancuan dalam praktiknya. Penulisan skripsi ini mencoba untuk melakukan analisa tentang concerted action, apakah concerted action dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah berdasarkan hukum Indonesia? Tidak hanya di Indonesia, concerted action juga diatur dan digunakan di Uni Eropa berdasarkan Treaty on The Functioning of The European Union dan Amerika Serikat berdasarkan Sherman Act. Sehingga, dalam penulisan ini juga akan dilakukan perbandingan dasar hukum serta penerapan concerted action dalam beberapa studi putusan antara Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. ......The validity of agreement that applies in Indonesia is regulated in Article 1320 Indonesian Civil Code. Therefore, every agreement made between parties is only valid if it fulfils the requirements based on such Article. However, there are many kinds of agreements that occur in real life. Based on Law Number 5 of 1999 on Prohibition of Monopoly and Unfair Competition, it regulates prohibited agreements one of which is price fixing agreement. In Indonesia, The Business Competition Supervisory Commission often sanctioned business actors who allegedly have conducted price fixing agreement. In this case, price fixing agreement is proofed based on the concept of concerted action or known as actions that are done by business actors in a similar manner. However, Indonesian Law does not specifically regulate or define what concerted action is, this cause ambiguity. This writing will analyze on the concerted action, whether or not concerted action can be classified as valid agreement based on Indonesian Law? Not only in Indonesia, concerted action is also regulated and used in European Union based on Treaty on The Functioning of The European Union and United States of America based on Sherman Act. Therefore, this writing will also compare the legal basis and the implementation of concerted action based on court decision between Indonesia, European Union, and United States of America.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Maharaja Segara Putra
Abstrak :
Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan sebuah anugerah terindah dari Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun. Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan dambaan bagi pasangan suami istri maupun seorang yang tidak memiliki pasangan. Hukum Perdata Barat mengenal sebuah lembaga untuk mewujudkan dambaan tersebut, yaitu adopsi. Namun, sebagaimana diketahui bahwa Indonesia menganut pluralisme di dalam sistem hukumnya yang menempatkan Hukum Perdata Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat sebagai sistem-sistem hukum yang sejajar dan dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, timbul pertanyaan mengenai bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai lembaga adopsi yang dikenal di dalam Hukum Perdata Barat, bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai adopsi yang dilakukan oleh orang tua tunggal (single parent), bagaimana akibat hukum kekeluargaan dan kewarisan terhadapnya, dan bagaimana kedudukan anak perempuan dalam lembaga adopsi serta akibat-akibat hukumnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Penulis menggunakan metode penelitian berupa penelitian kepustakaan, serta melakukan wawancara terhadap Kepala Adat dan Pemuka Agama yang dalam hal ini difokuskan pada pengaturan Hukum Adat Bali. Pengaturan mengenai adopsi pada Hukum Adat Bali bersumber pada Kitab Suci Veda dan kebijakan-kebijakan lokal yang tidak tertulis. Adopsi di dalam Hukum Adat Bali lebih dikenal dengan istilah “Memeras Pianak” yang bertujuan untuk meneruskan garis keturunan, sehingga memiliki akibat hukum berupa putusnya hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua kandung. Persyaratan utama dari pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali adalah dilakukan terhadap anak yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang tua yang hendak mengangkatnya, dalam artian anak yang hendak diangkat tidak boleh dilakukan terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya. Pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali juga harus melalui suatu prosedur yang dinamakan sebagai upacara “Pemerasan” sebagai perwujudan asas terang dan tunai dalam Hukum Adat. Mengenai pengangkatan anak oleh orang tua tunggal pada Hukum Adat Bali diperbolehkan dan memiliki akibat hukum yang sama dengan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua berpasangan, baik secara kekeluargaan maupun kewarisan. Hal menarik yang lain kemudian adalah pengangkatan anak bisa dilakukan terhadap anak perempuan yang kemudian memiliki akibat hukum yang tidak sama dengan pengangkatan anak terhadap anak laki-laki. Pengangkatan anak yang dilakukan terhadap anak perempuan bisa melalui “Nyentane” maupun “Pemerasan” yang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. ......The existence of one or several children is the most beautiful gift from God that cannot be replaced by anything. The existence of one or several children is a dream for a husband or a single partner. Western Civil Law recognizes an institution to realize this dream, namely adoption. However, it is known that Indonesia adheres to pluralism in its legal system which places Western Civil Law, Islamic Law and Customary Law as parallel legal systems and is used in social life. Then, the question arises about how the Adat Law regulates regarding adoption institutions known in the Western Civil Law, how the Adat Law regulates regarding adoption by single parents, what is the effect of kinship and inheritance law on it, and how Adat Law positions girls in adoption institutions and its legal consequences. To answer these questions, the author uses research methods in the form of library research, as well as conducting interviews with traditional heads and religious leaders, which in this case focuses on regulating Balinese Customary Law. Regulations regarding the adoption of Balinese Customary Law are based on the Vedic Scriptures and unwritten local policies. Adoption in Balinese Customary Law is better known as "Memeras Pianak" which aims to lineage, so it has legal consequences in the form of breaking the kinship between adopted children and biological parents. The main requirement for adoption carried out according to Balinese Customary Law is that it is carried out on children who are still related to their parents, in the sense that the adopted children cannot be against children whose origins are unknown. Adoption of children carried out according to Balinese Customary Law must also go through a procedure known as the "Pemerasan" ceremony as the embodiment of the principle of clear and cash in Customary Law. Regarding adoption by a single parent in Balinese Customary Law, it has the same legal consequences as adoption by paired parents, both by family and inheritance. The interesting thing then is the adoption of children that can be carried out against girls, which has a legal consequence that is not the same as adoption of children for boys. Adoption of children for girls can be done through “Nyentane” or “Pemerasan” which has different legal consequences.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library