Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
David Purmiasa
Abstrak :
Pendorong utama kepunahan avifauna hutan tropis adalah hilangnya habitat dan fragmentasi. Pulau Halmahera yang berada di Maluku Utara memiliki nilai endemisitas burung yang tinggi. Namun, penebangan hutan dan kegiatan antropogenik lainnya telah menurunkan sekitar 80% hutan alamnya. Meskipun demikian dampak hilangnya habitat dan degradasi hutan terhadap spesies burung masih kurang dipahami. Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Halmahera, dari bulan Desember 2016 sampai dengan Pebruari 2017, pada dua tipe habitat yaitu hutan bekas tebangan dan kebun campuran.  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan spesies burung pada habitat hutan bekas tebangan dan kebun campuran serta efek dari perubahan tipe habitat terhadap sebaran dan kelimpahan burung di Halmahera. Penelitian ini menggunakan metoda titik hitung dengan penghitungan jarak (VCP), pengamatan burung dilakukan selama sepuluh menit pada setiap titik pengamatan yang terletak pada interval 200 m sepanjang transek. Secara keseluruhan, tercatat 700 kontak burung yang teridentifikasi dari 90 titik pengamatan di hutan bekas tebangan (rata-rata = 7,7 per stasiun) dan 334 kontak burung di 55 titik pengamatan di kebun campuran (rata-rata = 6,07 per stasiun).  Jumlah total spesies yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah 75 jenis, 62 di hutan bekas tebangan (61 tercatat di titik pengamatan) dan 57 di kebun campuran (56 tercatat di titik pengamatan). Sebanyak 22 spesies burung endemik Maluku Utara ditemukan di hutan bekas tebangan dan 16 spesies di kebun campuran. Hasil penelitian ini menemukan bahwa keragaman spesies burung tinggi di hutan bekas tebangan yang sedang mengalami pertumbuhan kembali, namun rendah di kebun campuran.  Hal yang penting adalah hampir semua spesies burung sebaran terbatas secara global di Halmahera dapat dijumpai di hutan bekas tebangan dengan proses pertumbuhan kembali. Hasil tersebut mungkin disebabkan oleh regenerasi habitat yang cepat dan adanya area hutan yang tidak terganggu atau sedikit terganggu diantara habitat hutan bekas tebangan. ......The main driver of tropical forest avifauna extinctions is habitat loss and fragmentation. Halmahera Island located in the Northern Moluccas has a high bird endemism. However, logging and other anthropogenic activities have degraded around 80% of its natural forests. The impact of habitat loss and degradation on these species is poorly understood.  This research was conducted in Halmahera Island, from December 2016 until February 2017.  The study was conducted on logged forest and mixed gardens. The purpose of the research is to know the bird species in logged forest and mixed garden in Halmahera, and  effects of habitat change to diversity and abundance on birds in Halmahera. The study used a point count method. At  each point count, birds were recorded during the ten-minute timed counts at points that were situated at 200 m intervals along transects. There were 700 bird contacts at 90 point count in logged forest (average = 7.7 contact per station) and 334 bird contacts in 55 point count in mixed garden (average = 6.07 per station) . The total number of species identified in the study were 75 species, 62 in logged forest (61 recorded at points count and 57 in mixed garden (56 recorded in point count). A total of 22 species of North Maluku endemic birds are found in logged-over forests and 16 species in mixed gardens. The study found that bird species diversity is high in the regrowth forest, but low in in mixed gardens. Importantly, almost all of the globally restricted range species were present in the regrowth forest. These results in the logged areas are probably due to rapid habitat regeneration and the presence of undisturbed or slightly disturbed forest patches.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rindri Putri Handianti
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian terhadap enam ekor gajah sumatera di Taman Margasatwa Ragunan yang terdiri dari dua jantan Harli dan Pangeran dan empat betina Mulyani, Putri, Agustin, dan Lestari, yang bertujuan untuk mengamati perilaku harian individu dan perilaku sosial gajah sumatera. Pengamatan ke-6 ekor gajah sumatera dilakukan selama 40 hari yang dimulai pada 05 Februari mdash;07 April 2018 pukul 08.00 mdash;15.00 WIB. Metode yang digunakan yaitu scan sampling dan ad libitum sampling dengan interval waktu 30 menit tanpa jeda. Perilaku harian yang diamati meliputi perilaku makan, minum, berkubang, bergerak, dan istirahat, sedangkan perilaku sosial yang diamati meliputi perilaku parental care, feeding behaviour, bermain dan interaksi terhadap perawat satwa. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa perilaku harian individu gajah sumatera didominasi oleh perilaku bergerak dengan rerata persentase sebesar 86,85 , sedangkan perilaku sosial gajah sumatera di dominasi oleh perilaku parental care dengan rerata persentase sebesar 26,62. ...... A study of six sumatran elephants in Taman Margasatwa Ragunan consisting of two males Harli and Pangeran and four females Mulyani, Putri, Agustin, and Lestari, were aimed at observing the individual daily behavior and social behavior of sumatran elephants. The observation of the six sumatran elephants was conducted for 40 days starting on 05 February mdash 07 April 2018 at 08.00 15.00 WIB. The method used is scan sampling and ad libitum sampling with time interval 30 minutes without pause. Daily behaviors observed included eating, drinking, wallowing, moving, and resting behaviors, while observed social behaviors included parental care behavior, feeding behavior, play and interaction with animal keepers. From the observation result, it is found that the daily behavior of sumatran elephant is dominated by moving behavior with the average percentage of 86.85, while the social behavior of sumatran elephant is dominated by parental care behavior with the average percentage of 26.62.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erma Nur Sigmawati
Abstrak :
Owa ungko (Hylobates agilis) merupakan primata yang dapat ditemukan di Sumatra, Kalimantan, dan Malaysia. Satwa ini memiliki sistem perkawinan monogami dan perilaku pengasuhan biparental. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jika dilakukan pemisahan induk jantan terhadap kelompok, perilaku pengasuhan bermain oleh induk betina tidak ditemukan. Penelitian mengenai ketiadaan jantan terhadap perilaku pengasuhan induk betina belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pola pengasuhan induk betina owa ungko tanpa kehadiran jantan dan menganalisis pengaruh intervensi pengunjung terhadap pola pengasuhan infant. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah focal animal sampling dengan dua kelompok penelitian. Kelompok kandang 1 terdiri atas induk betina 1 (B1), induk jantan 1 (J1) dan anak 1 (A1), sedangkan kelompok kandang 2 terdiri atas induk betina 2 (B2) dan anak 2 (A2). Perilaku yang diamati meliputi perilaku menyusui, memberi makan, menggendong, menelisik, dan bermain. Perilaku pengunjung yang diamati meliputi aktivitas pengunjung, kepadatan, dan kebisingan. Hasil uji t (independent t-test dengan tingkat kepercayaan 0,05 menunjukkan terdapat perbedaan perilaku pengasuhan oleh induk B1 dan B2. Hasil pengamatan menunjukkan aktivitas pengunjung tidak berpengaruh terhadap perilaku pengasuhan induk betina B1 dan B2 di Taman Satwa Taru Jurug Surakarta. ......Agile gibbon (Hylobates agilis) is a primate that can be found in Sumatra, Kalimantan and Malaysia. They have monogamous mating system and biparental parenting behavior. Previous research has shown that if the male parent is separated from the group, the parenting behavior of playing by the female parent is not found. However, research on the absence of males in the parenting behavior of females has never been done. Therefore, this study aims to analyze the parenting pattern of female agile gibbon without the presence of males and analyze the effect of visitor intervention on infant care patterns. The method used in this research is focal animal sampling with two research groups. Group 1 consists of female 1 (B1), male 1 (J1), and infant 1 (A1) who is less than 1 year old. Group 2 consists of female 2 (B2), and infant 2 (A2). The observed behaviors included lactating, feeding, carrying, allogrooming, and playing. Observed visitor behavior included visitor activity, density, and noise. The independent t-test results at a significance level of 0,05 showed differences in parenting behavior between B1 and B2 parents. The observation result showed that visitor activities did not affect the parenting behavior of B1 and B2 females at Taman Satwa Taru Jurug, Surakarta.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Nur Muhammad Yahya
Abstrak :
Keberadaan burung pada suatu ekosistem merupakan salah satu indikator penting dalam keberlangsungan ekosistem tersebut. Pohon merupakan komponen penting bagi habitat burung, pohon dimanfaatkan sebagai tempat berlindung, beristirahat, penyedia makanan, dan membuat sarang. Pohon Jeungjing (Paraserianthes falcataria) dan pohon Kluwih (Artocarpus camansi) merupakan tumbuhan yang banyak digunakan oleh masyarakat, baik pohon Jeungjing maupun pohon Kluwih memiliki manfaat dari segi manusia juga segi alam. Hingga kini, belum banyak penelitian yang membahas asosiasi antara burung dengan pohon sebagai habitatnya, khususnya pohon Jeungjing dan pohon Kluwih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi antara komunitas burung dengan pohon Jeungjing dan pohon Kluwih serta perbedaan populasi burung pada kedua pohon. Asosiasi dicari menggunakan uji G-test, analisis perbedaan jumlah populasi burung pada kedua pohon dicari menggunakan uji-t dua sampel independen. Berdasarkan hasil yang didapatkan, seluruh populasi burung yang ditemukan pada lokasi pengamatan tidak memiliki asosiasi dengan pohon Jeungjing dan pohon Kluwih. Perbedaan jumlah populasi burung dihitung menggunakan populasi Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier) yang terdistribusi normal pada kedua pohon. Hasil analisis uji-t dua sampel independent menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan jumlah populasi Merbah Cerukcuk pada pohon Jeungjing dan pohon Kluwih. ......The presence of birds in an ecosystem is one of the important indicators in the sustainability of the ecosystem. Trees are an important component for bird habitats, trees are used as places to shelter, rest, provide food, and make nests. Jeungjing tree (Paraserianthes falcataria) and the Kluwih tree (Artocarpus camansi) is a plant that is widely used by the community, both Jeungjing and Kluwih trees have benefits from a human perspective as well as a natural one. Until now, not many studies have discussed the association between birds and trees as their habitat, especially Jeungjing trees and Kluwih trees. This study aims to determine the association between bird communities and Jeungjing and Kluwih trees and differences in bird populations in both trees. Associations were searched using the G-test, analysis of differences in the number of bird populations in the two trees was searched using the t-test of two independent samples. Based on the results obtained, all bird populations found at the observation site had no association with Jeungjing and Kluwih trees. The difference in the number of bird populations was calculated using the Merbah Cerukcuk population (Pycnonotus goiavier) which is normally distributed in both trees. The results of the t-test analysis of two independent samples showed that there was no significant difference in the number of Merbah Cerukcuk populations in Jeungjing and Kluwih trees.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fairuz Husna
Abstrak :
Keanekaragaman burung di suatu wilayah menjadi perhitungan dalam peran burung sebagai bioindikator. Penelitian mengenai keanekaragaman burung di hutan kota di Pontianak telah dilakukan, khususnya di Arboretum Sylva Universitas Tanjungpura. Meskipun demikian, masih sedikit penelitian mengenai keanekaragaman burung di Pontianak dan di luar Arboretum Sylva Untan. Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan komposisi jenis burung di Arboretum Sylva Untan dan Pendopo Gubernur Kalimantan Barat sebagai pembanding, serta menganalisis perbedaan keanekaragaman burung di dua hutan kota berbeda beserta faktor penyebab perbedaannya. Pengamatan dilakukan pada pagi dan sore hari dengan metode point count. Data yang dianalisis berupa indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemerataan, dan indeks dominansi. Dilakukan uji t Hutchinson terhadap indeks keanekaragaman Shannon-Wiener kedua lokasi. Hasil yang diperoleh yaitu jenis-jenis burung yang ditemukan di Arboretum Sylva Untan dan Pendopo Gubernur Kalimantan Barat memiliki perbedaan. Kedua lokasi memiliki jumlah jenis Passer montanus tertinggi. Terdapat beberapa jenis yang hanya teramati di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat, yaitu Anthreptes malacensis, Eurystomus orientalis, dan Amaurornis phoenicurus. Jenis Anthreptes rhodolaemus, Geopelia striata, dan Dinopium javanense hanya teramati di Arboretum Sylva Untan. Hasil uji t Hutchinson kedua lokasi pengamatan menunjukkan nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang signifikan berbeda, dengan nilai indeks tertinggi ditemukan di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena banyaknya orang yang berlalu lalang di lokasi pengamatan serta preferensi habitat jenis-jenis burung yang bermukim. ......Bird Diversity Comparison Between Arboretum Sylva Untan and Pendopo Gubernur Kalimantan Barat, Pontianak, Kalimantan Barat
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Utaminingsih
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian terhadap empat individu lutung jawa (Trachypithecus auratus) jantan dan betina di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati interaksi individu jantan dan betina lutung jawa serta menganalisis kondisi pengelolaannya berdasarkan indikator kesejahteraan satwa di Taman Margasatwa Ragunan. Interaksi yang diamati adalah interaksi dari lima pasangan, yaitu P1 (jantan 1 dan betina 1), P2 (jantan 2 dan betina 2), P3 (jantan 1 dan betina 2), P4 (jantan 2 dan betina 1), serta P5 (jantan 1 dan jantan 2).  Pengamatan interaksi dilakukan dengan metode scan sampling dan ad libitum dalam interval waktu 5 menit tanpa jeda. Kondisi kesejahteraan dilihat berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara. Berdasarkan hasil pengamatan frekuensi interaksi perilaku afiliatif dan seksual paling besar terjadi pada pasangan jantan 1 dan betina 1, sedangkan interaksi perilaku agonistik paling sering terjadi antara jantan 1 dan jantan 2. Kesejahteraan lutung jawa di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margsatwa Ragunan termasuk sangat baik, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti luas kandang peragaan dan konsistensi jenis serta berat pakan sesuai untuk menghindari konflik antara individu. Jumlah pengunjung tidak memiliki korelasi signifikan dengan sebagian besar perilaku lutung jawa. Berdasarkan hasil Uji Korelasi Jenjang Spearman, jumlah pengunjung hanya berkorelasi signifikan terhahap perilaku sitting close dan allogrooming (sig.< 0,05). ...... Research has been carried out on four Javan langurs (Trachypithecus auratus) at the Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan. This study was conducted to observe the interaction of individual male and female javan langurs and analyze the management conditions based on animal welfare indicators in the Taman Margasatwa Ragunan. The interactions observed were the interactions of five pairs, namely P1 (male 1 and female 1), P2 (male 2 and female 2), P3 (male 1 and female 2), P4 (male 2 and female 1), and P5 (male 1 and male 2). Interaction observations were carried out using scan sampling and ad libitum methods at 5 minute intervals without pause. Welfare conditions are seen based on direct observations and interviews. Based on the observation, highest frequency of the interaction of affiliative and sexual behavior occurred in the male 1 and female 1 pair, while the agonistic behavior interaction occurred most frequently between male 1 and male 2. The welfare of the Javan langur at the Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan is very good, but there are several things that need to be considered such as the area of ​​the display cage and the consistency of the type and weight of the feed to avoid conflict between individuals. The number of visitors doesn’t have significant correlation with most behaviors of javan langurs. According to the result of Spearman Rank Correlation test, number of visitors was significantly correlated only with sitting close and allogrooming behavior (sig. < 0,05).
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahendra Primajati
Abstrak :
Deforestasi merupakan masalah konservasi global, khususnya di hutan tropis. Analisis spasial dan temporal diperlukan untuk menentukan pola dan penyebab deforestasi serta memandu intervensi yang efektif. Pulau Sumatera di Indonesia telah mengalami laju deforestasi tinggi, dan bentang alam Kerinci Seblat menjadi salah satu kawasan hutan terpenting yang tersisa. Penelitian ini menggunakan data pemantauan hutan spasial dan temporal dari dataset European Commission's Tropical Moist Forest, dan data validasi lapangan untuk mengkarakterisasi deforestasi menggunakan sembilan variable prediktor: zonasi di Taman Nasional Kerinci Seblat, deforestasi sekitar, konsesi kehutanan, ketinggian tempat, rute patroli, perhutanan sosial, titik api, jarak dari pemukiman, dan konsesi pertambangan. Data deforestasi historis digunakan pada tahun 1986-2015, dan deforestasi pada tahun 2016-2020 digunakan sebagai variabel respon. Studi ini menggunakan kerangka pemodelan GLM di R dalam menemukan model terbaik untuk proyeksi deforestasi di Lanskap Kerinci Seblat dari tahun 2020 hingga 2045. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deforestasi semakin cenderung menurun dan terjadi di dekat aktivitas manusia dan pemukiman. Efektivitas kegiatan patroli dalam mencegah deforestasi menunjukkan perlunya pengerahan sumber daya yang lebih strategis. Perhutanan Sosial, konsesi pertambangan dan kehutanan di sekitar kawasan lindung Taman Nasional Kerinci Seblat berkontribusi signifikan terhadap deforestasi, sehingga menekankan pentingnya praktik berkelanjutan dan intervensi konservasi alam yang lebih luas. ......Deforestation is a worldwide conservation problem in tropical forests. Conducting spatial and temporal analysis is necessary to identify the trends and causes of deforestation. Sumatra, an island in Indonesia, experienced significant deforestation, with the Kerinci Seblat landscape being one of the few crucial forests. This study utilizes spatial and temporal forest monitoring data from the Tropical Moist Forest dataset, along with field validation data, to analyze and describe deforestation. The analysis is based on nine predictor variables, namely Kerinci Seblat National Park zonation, deforestation neighbourhood, forestry concessions, altitude, patrol routes, social forestry, fire hotspots, distance from settlements, and mining concessions. The study utilized historical deforestation data from 1986 to 2015, with deforestation from 2016 to 2020 being analyzed as the response variable. This study employs the Generalized Linear Modeling framework in the R programming language to identify the optimal model for predicting deforestation in the Kerinci Seblat Landscape between the years 2020 until 2045. The study findings indicate that deforestation tends to decline and mostly transpires near human activities and communities. The efficacy of patrol operations in forestalling deforestation highlights the necessity for a more strategic allocation of resources. The presence of social forestry, mining, and forestry concessions in the vicinity of Kerinci Seblat National Park has a substantial impact on deforestation. This emphasizes the need for sustainable practices and more comprehensive interventions for environment protection.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfi Sophian
Abstrak :
Ayam nisi merupakan salah satu spesies ayam lokal asli Indonesia yang berasar dari Gorontalo. Di daerah Gorontalo sendiri, ayam nisi dikenal dengan istilah “maluo nisi/ maluo diti” yang berarti ayam kecil. Keterbatasan informasi mengenai ayam ini membuat penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan sehingga dapat menjadi salah satu sumber informasi dalam mendukung penelitian mengenai keanekaragaman ayam lokal di Indonesia. Hasil analisis morfometrik menunjukkan bahwa bahwa hubungan sangat erat atau dekat terjadi antara pada lebar paha (0,942) dengan lingkar lutut (0,898) karna terletak pada satu kuadran yang sama, yaitu kuadran 1. Kemudian hubungan dekat juga terjadi pada variabel Panjang tubuh (0,864) dengan lebar dada (0,865). Lalu kedekatan antara variabel panjang paha (0,850) dengan panjang sayap (0,833). Kemudian lingkar paha (0,817) dengan lingkar dada (0,812), lalu hubungan dengan panjang rusuk (0,741) dengan panjang jari ke- 3 (0,668) dan terakhir hubungan kedekatan antara panjang mulut (0,636) dengan panjang leher (0,702). Hasil analisis bioakustik menunjukkan nilai durasi kokok pada sampel yang terdiri dari 30 ayam jantan menunjukkan rata- rata 1,9837 detik, Frekuensi rata-rata sebesar 733,89 Hz dan jumlah suku kata berjumlah 7 suku kata. Hasil analisis jarak genetik menunjukkan bahwa kekerabatan paling dekat dimiliki oleh ayam ketawa dengan ayam kampung (0,0840). Ayam nisi dan ayam ketawa memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat (2,7258) dibandingan hubungan kekerabatan antara ayam nisi dan ayam kampung. Kedekatan ayam nisi dan ayam ketawa ditunjukkan dengan jarak genetik sebesar (3.5491). Berdasarkant kajian dari tiga masalah tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap upaya konservasi dan penelitian untuk mengungkap informasi ayam nisi sehingga studi lanjutan bermunculan untuk mengungkap keberadaan ayam nisi. Studi ini diharapkan dapat menjadi pembuka jalan agar ayam nisi dapat dikenali secara luas dan sebagai upaya untuk melestarikan ayam nisi yang informasi dan keberadaannya sangat sulit untuk ditemukan. ......Nisi chicken is one of the native Indonesian native chicken species from Gorontalo. In the Gorontalo area itself, nisi chicken is known as "maluo nisi/maluo diti" which means small chicken. Limited information about this chicken makes this research important to do so that it can be a source of information to support research on the diversity of local chickens in Indonesia. The results of the morphometric analysis show that there is a very close or close relationship between thigh width (0.942) and knee circumference (0.898) because they are located in the same quadrant, namely quadrant 1. Then a close relationship also occurs in the body length variable (0.864) with chest width (0.865). Then the closeness between the variable thigh length (0.850) and wing length (0.833). Then the circumference of the thigh (0.817) and the circumference of the chest (0.812), then the relationship between the length of the ribs (0.741) and the length of the 3rd finger (0.668) and finally the close relationship between the length of the mouth (0.636) and the length of the neck (0.702). The results of the bioacoustic analysis showed that the duration of the crow in the sample consisting of 30 roosters showed an average of 1.9837 seconds, an average frequency of 733.89 Hz and a total of 7 syllables. The results of genetic distance analysis show that the closest kinship is between the laughing chicken and the native chicken (0.0840). Nisi chicken and laughing chicken have a closer kinship (2.7258) than the kinship between nisi chicken and native chicken. The closeness between nisi and laughing chickens is indicated by a genetic distance of (3.5491). Based on the study of these three problems, it is hoped that this research can contribute to conservation and research efforts to uncover information on nisi chickens so that further studies emerge to reveal the existence of nisi chickens. This study is expected to pave the way so that nisi chickens can be widely recognized and as an effort to preserve nisi chickens whose information and whereabouts are very difficult to find.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuliyanto Zakaria
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi batas-batas fauna pada tarsius di semenanjung utara Sulawesi serta mengukur dampak perubahan habitat khususnya aktivas perkebunan skala kecil dalam beberapa tahun terakhir terhadap keberlangsungan hidup tarsius. Studi dibagi menjadi tiga makalah yakni: 1) Analisis Kuantitatif Duet call Tarsius dari Survei Lapangan Mengungkap Bentuk Akustik Baru di Gorontalo (Indonesia); 2) Kerapatan Relatif Tarsius supriatnai pada Habitat Perkebunan dan Hutan Sekunder Bentang Alam Popayato-Paguat (Gorontalo, Indonesia); dan 3) Preferensi Habitat dan Site Fidelity Tarsius supriatnai di Area Perkebunan dan Hutan Sekunder Bentang Alam Popayato-Paguat (Gorontalo, Indonesia). Hasil analisis makalah pertama menemukan empat kelompok akustik yakni: Manado (Tarsius spectrumgurskyae), Gorontalo (T. supriatnai), Tinombo (T. wallacei) dan kelompok yang sebelumnya tidak diketahui tersebar di antara Manado dan Gorontalo, yang dinamakan Labanu. Hasil analisis menunjukkan batas fauna di sepanjang pantai selatan yakni Sungai Bone (antara bentuk akustik Manado dan Labanu), Sungai Paguyaman (antara bentuk Labanu dan Gorontalo), Sungai Palasa (antara bentuk Gorontalo dan Tinombo). Di sepanjang pantai utara ditemukan zona kontak melalui identifikasi kelompok sosial heterospesifik dalam satu spektogram. Hasil makalah kedua menunjukkan bahwa kerapatan relatif di habitat perkebunan adalah 0,38 kelompok/ha dan 0,70 kelompok/ha di hutan sekunder, kepadatan substrat pergerakan, NDSI dan ACI tertinggi ditemukan di hutan sekunder, sedangkan kelimpahan serangga paling banyak ditemukan di habitat perkebunan. Hasil makalah kedua menunjukkan bahwa Tarsius supriatnai dapat beradaptasi dengan habitat perkebunan dengan kepadatan yang jauh lebih rendah. Hasil makalah ketiga menunjukkan bahwa pada habitat perkebunan, tumbuhan dengan INP tertinggi bukan merupakan pohon sarang. Sementara pada hutan sekunder, tumbuhan dengan INP tertinggi pada tipe pertumbuhan pohon (Ficus virens) adalah pohon sarang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa T. supriatnai sebagian besar menggunakan pohon sarang Bambusa vulgaris (26,32%) di areal perkebunan dan Schizostachyum lima dan Calamus zollingeri (28,57%) di hutan sekunder. Hasil survei juga menemukan bahwa 42,9% pohon sarang yang ditemukan pada tahun 2018 masih terus digunakan oleh T. supriatnai dalam lima tahun terakhir. ......This study aims to validate the boundaries of the tarsier fauna on the northern peninsula of Sulawesi and measure the impact of changes in habitat, especially small-scale plantation activities in recent years, on the survival of tarsiers. The study is divided into three papers, namely: 1) Quantitative Analysis of Tarsier Duet Calls from Field Surveys Reveals a New Acoustic Form in Gorontalo (Indonesia; 2) Relative Density of Tarsius supriatnai in Agricultural Habitat and Secondary Forest in the Popayato-Paguat Landscape (Gorontalo, Indonesia); and 3) Habitat Preference and Site Fidelity of Tarsius supriatnai in Agricultural Areas and Secondary Forest in the Popayato-Paguat Landscape (Gorontalo, Indonesia). The results of the analysis in the first paper found four acoustic groups, namely: Manado (Tarsius spectrumgurskyae), Gorontalo (T. supriatnai), Tinombo (T. wallacei) and a previously unknown group spread between Manado and Gorontalo, called Labanu. The results of the analysis show that the faunal boundaries along the south coast are the Bone River (between the Manado and Labanu acoustic forms), the Paguyaman River (between the Labanu and Gorontalo forms), the Palasa River (between the Gorontalo and Tinombo forms). Along the north coast, contact zones were found through the identification of heterospecific social groups in one spectrogram. The results of the second paper show that the relative density in agricultural habitat is 0.38 groups per ha and 0.70 groups per ha in secondary forest; the highest density of substrate movement, NDSI and ACI is found in secondary forest, while the abundance of insects is most commonly found in agricultural habitat. The results of the second paper show that Tarsius supriatnai can adapt to agricultural habitats with much lower densities. The results of the third paper show that in agricultaral habitats, plants with the highest IVI are not nest trees. Whereas in secondary forest, the plants with the highest IVI for tree growth species (Ficus virens) were nest trees. The results also showed that T. supriatnai mostly used bamboo nest trees (26.32%) in plantation areas and Schizostachyum lima and Calamus zollingeri (28.57%) in secondary forests. The survey results also found that 42.9% of the nest trees found in 2018 were still used by T. supriatnai in the last five years.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library