Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lu Li Qian Qian
Abstrak :
Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan meningkatnya fenomena Rising China, terjadi peningkatan jumlah sekolah yang mengajarkan pelajaran bahasa Mandarin. Peningkatan ini sebagian juga disebabkan oleh berakhirnya periode Orde Baru yang membuka luas kesempatan bagi keturunan etnis Tionghoa untuk mendapat pendidikan bahasa Mandarin. Tren tersebut memunculkan pertanyaan, apakah terbukanya kembali kesempatan belajar bahasa Mandarin pada etnis Tionghoa tersebut menimbulkan adanya re-asersi ke-'Tionghoa'-an di antara etnis Tionghoa di Indonesia yang berorientasi akhir pada 'negeri leluhur' (Tiongkok) atau lebih didasarkan pada pandangan kosmopolitan yang tidak mempertimbangkan batasan lintas etnis sebagai bagian penting dari identitas mereka? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan etnografis, observasi dan survei terhadap para orangtua siswa etnis Tionghoa (baca: Indonesia-Tionghoa) yang lahir pada periode Orde Baru. Para responden yang diobservasi tersebut telah menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang mempunyai kurikulum pelajaran bahasa Mandarin. Observasi dilakukan di tiga kota terbesar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Medan. Alat analisis yang digunakan adalah teori identitas, fenomena resinisisasi, konsep esensialisme dan stereotip, kosmopolitan dan globalisasi yang akan digunakan sebagai kerangka utama untuk membahas masalah ini. Temuan penelitian ini adalah, melalui pembelajaran bahasa Mandarin, telah terjadi re-(posisi) identitas. Identitas yang masih melekat kuat adalah identitas etnis dan identitas historis. Sementara itu, identitas komunal masih terlihat, tetapi relatif sedikit muncul pada sebagian responden. Dari deretan identitas tersebut, identitas yang begitu kuat muncul adalah identitas etnis dan identitas historis, yang tercermin melalui orientasi dan motivasi untuk meningkatkan ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Ketiga orientasi ini merupakan bagian dari identitas historis yang melekat pada orang Tionghoa, seperti rajin mencari uang dan mudah adaptasi di mana pun. Sementara itu identitas etnis digambarkan melalui keinginan kuat untuk belajar berbahasa Mandarin dengan tujuan baru yaitu melihat peluang-peluang dari fenomena 'Rising China' dan unggul dalam peradaban melalui teknologi. Temuan-temuan dari penelitian juga menunjukkan bahwa (1) sebagian besar responden merasa bangga akan negeri leluhur, tetapi mereka tidak ingin pindah ke negeri Tiongkok, (2) mereka mempunyai nama Tionghoa tapi sudah tidak menggunakannya di dalam dokumen resmi. (3) ketika di luar negeri, mereka lebih ingin diidentifikasi sebagai orang Indonesia-Tionghoa. Berdasarkan temuan tersebut, terlihat bahwa fenomena resinisisasi yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya merupakan koneksi sosio-kultural dan bukan politis. Pandangan esensialisme dan stereotip memang membentuk rasa bangga terhadap negeri leluhur, tetapi hal tersebut tidak signifikan terlihat. Selain itu, gagasan kosmopolitan dan globalisasi yang dinamis dapat lebih membantu untuk mendefinisikan identitas orang Indonesia-Tionghoa Bahasa Mandarin dan pembelajaran bahasa Mandarin di Indonesia oleh orang Indonesia-Tionghoa tidak hanya sebagai bentuk resinisisasi etnis, tetapi juga re-posisi peran bahasa Mandarin sebagai bagian dari identitas budaya kosmopolitan.
In Indonesia, there has been an increase in the number of schools that offer Mandarin language lessons in recent years, alongside the increasing 'Rising China' phenomenon. This increase was also partly due to the collapse of Indonesia's New Order government which opened opportunities for Chinese-Indonesian descendants to obtain Mandarin education. The trend raises the question, whether the reopening of opportunities to learn Mandarin has led to the reassertion of 'Chinese-ness' for Chinese-Indonesians which is oriented towards the 'ancestral homeland' (China), or is it based on a cosmopolitan view that considers cross-ethnic boundaries as an important part of their identity? This study uses qualitative method, ethnographic approaches, observations and surveys of parents of students (Chinese-Indonesian) who were born and raised during the New Order period. Respondents are the ones that have sent their children to schools that have a Mandarin language curriculum. The research was carried out in the three largest cities in Indonesia, namely Jakarta, Surabaya and Medan. The analytical tool used is identity theory, the phenomenon of re-sinicization, the concept of essentialism and stereotypes, cosmopolitanism and globalism, which will be used as the main framework to discuss the issues. The findings of this study show through learning Mandarin, there has been a re-positioning of identities. Identities that are still inherently strong are ethnic identity and historical identity. Meanwhile, though communal identity is still visible, it only appears in relatively few respondents. From the aforementioned identities, identities that seems to be strong are ethnic identity and historical identity, which are reflected through orientation and motivation to improve economy, education and access to technology. Meanwhile, ethnic identity is portrayed through a strong desire to learn Mandarin with a new goal of seizing the opportunities offered by the 'Rising China' phenomenon and excelling through the mastery of technology. The findings of the study also showed that (1) most respondents felt proud of their ancestral homeland, but they did not want to move to China, (2) they had Chinese names but did not used them in official documents. (3) when abroad, they would rather be identified as Chinese-Indonesians. Based on these findings, it can be seen that the phenomenon of re-sinicization that occurred amongst the Chinese-Indonesians in general is a socio-cultural and not political phenomenon. While essentialism and stereotypes indeed form a sense of pride for the ancestral homeland, this is not significant. In addition, the idea of cosmopolitanism and x dynamic globalism help redefine the identity of Chinese-Indonesians. Mandarin language learning in Indonesia by Chinese Indonesians is not only a form of re-sinicization, but also a re-positioning of the role of the Mandarin language as part of a cosmopolitan cultural identity.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2639
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Kristina Wulandari
Abstrak :
Sun Wukong-孙悟空 adalah tokoh utama dalam novel klasik Cina abad ke-16 berjudul Kisah Perjalanan ke Barat- Xīyóu jì 西游记. Sun Wukong semakin populer sejak kemunculannya pada tahun 1926 dalam film-film adaptasi perjalanan ke barat. Disertasi ini menganalisis sosok Sun Wukong sebagai representasi ideologi Impian Cina. Korpus yang digunakan adalah penokohan Sun Wukong dalam tujuh film adaptasi perjalanan ke barat yang dirilis pada periode 2013 hingga 2018, dengan box office rate di atas US$ 100 juta. Analisis dibagi kedalam tiga bagian, konteks, korpus, dan ideologi. Konsep dan teori adaptasi digunakan untuk melihat mitologisasi monyet Sun Wukong sejak era klasik hingga diadaptasi dalam film masa kini sebagai konteks. Analisis korpus secara naratif dan sinematik dilakukan menggunakan skema monomyth hero’s journey dari Joseph Campbell (2010), dan visual penokohan berdasarkan Fictional and dramatic elements dari Dennis W. Petrie dan Joseph M. Boggs (2012). Rekontekstualisasi Sun Wukong sebagai ekspresi diskursif dan reproduksi ideologi, dilakukan dengan cara mengkritisi penempatannya dalam film sebagai bentuk ideologi Impian Cina yang relevan dengan konteks zaman. Disertasi ini membaca Impian Cina sebagai ideologi berdasarkan definisi yang dijelaskan oleh Terry Eagleton (1991) dan Teun A. van Dijk (1998), ideologi sebagai seperangkat gagasan dan keyakinan yang menentukan praktik sosial masyarakat. Konsep Impian Cina memperlihatkan impian bangsa Cina tentang kondisi kehidupan material dan spiritual yang lebih baik. Konsepsi Impian Cina pada era Xi Jinping melebur bersama ideologi negara dalam wacana Chinese Dream-Zhōngguó mèng中国梦, membentuk wacana besar yang berkarakteristik Cina. Secara epistemologi dan ontologi, kerangka teori dan metodologi yang digunakan disertasi ini, menghadirkan kebaruan dalam pembacaan sistematis dan kritis tentang sosok Sun Wukong terkait dengan ideologi Impian Cina. Disertasi ini memperlihatkan transformasi ketiga sosok monyet SWK, yaitu ‘from hero to superhero,’ dan relevansinya dengan konteks Cina kontemporer, khususnya era Xi Jinping. Kata Kunci: Sun Wukong 孙悟空; Kisah Perjalanan ke Barat西游记; Impian Cina中国梦; Ideologi; Monomyth; Film Cina. ......Sun Wukong-孙悟空 is the main character in Wu Cheng'en's 16th-century Chinese classic novel, Journey to the West- Xīyóu jì 西游记. Sun Wukong has been popular since in 1926 in the film adaptation of journey to the west. This dissertation analyzes the figure of Sun Wukong as a representation of the Chinese Dream ideology. The corpus is the characterization of Sun Wukong in seven film adaptations of the journey to the west which were released in the period 2013 to 2018 and hit a box office rate of over US$ 100 million. The analysis is divided into three parts, context, corpus, and ideology. The concept and theory of adaptation are used to look at the mythologization of the monkey Sun Wukong from the classical era to being adapted in nowadays films as a context. Narrative and cinematic aspects are analyzed using the monomyth hero's journey scheme by Joseph Campbell (2010), and visual characterizations based on Fictional and dramatic elements by Dennis W. Petrie and Joseph M. Boggs (2012). The recontextualization of Sun Wukong as a discursive expression and reproduction of ideology is analyzed by criticizing his placement in the film as a form of Chinese Dream ideology that is relevant to the current context. This dissertation reads the Chinese Dream as an ideology based on the definition explained by Terry Eagleton (1991) and Teun A. van Dijk (1998), ideology is a set of ideas and beliefs that determine people's social practices. The concept of the Chinese Dream shows the Chinese people's dream of better material and spiritual living conditions. The conception of the Chinese Dream in the Xi Jinping era merged with the state ideology in the discourse of the Chinese Dream-Zhōngguó mèng中国梦, forming an extensive discourse with Chinese characteristics. Epistemologically and ontologically, the theoretical framework and methodology present a novelty in a systematic and critical reading of the figure of Sun Wukong in relation to the ideology of the Chinese Dream. This dissertation shows the third transformation of Sun Wukong monkey figures, 'from hero to superhero,' and his relevance to the contemporary Chinese context, particularly the Xi Jinping era.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library