Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Syafi`i Anwar
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini pada dasarnya berusaha mengungkapkan dinamika sosial politik dan perkembangan sosio-historis hubungan cendekiawan muslim dengan birokrasi Orde Baru, dalam kurun waktu 1966 1993. Pokok bahasannya adalah artikulasi dan pengaruh pemikiran serta perilaku politik cendekiawan Muslim terhadap umat Islam maupun pemerintah.

Sebagai sebuah studi kualitatif, tesis ini berusaha membuat pemetaan dan analisa politik terhadap format hubungan cendekiawan Muslim dengan birokrasi Orde Baru dalam kurun waktu tersebut.

Studi ini mengungkapkan temuan bahwa pada kurun waktu 1966-1970-an, format hubungan bersifat hegemonik-antagonistik. Hubungan seperti ini bisa terjadi karena dalam memberikan respon kepada modernisasi yang dijalankan oleh rezim Orde Baru, beberapa kelompok dan eksponen umat Islam, termasuk para tokoh dan kaum cendekiawannya, bersikap reaktif dan bahkan menolak modernisasi.

Sikap reaktif terhadap modernisasi itu membawa implikasi bagi lahirnya ketegangan antara Islam dan pemerintah Orde Baru. Kenyataan ini telah menimbulkan keprihatinan pada sejumlah cendekiawan muda Islam. Berbeda dengan para seninrnya, para cendekiawan muda tersebut memilih memberikan respon intelektual dan bersikap pro-aktif terhadap modernisasi, antara lain dengan mencetuskan "Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam".

Pada dekade 1980-an, hubungan antara cendekiawan Muslim dan Orde Baru berkembang ke arah tumbuhnya saling pengertian di antara kedua belah pihak. Negara makin responsif terhadap pengembangan infra struktur dan wajah sosiokultural Islam. Sementara cendekiawan Muslim makin partisipatif terhadap pembangunan nasional. Dekade 1980-an juga ditandai dengan naiknya kelas menengah santri baru dan maraknya intelektualisme Islam. Selain itu, khasanah intelektual Islam diperkaya lahirnya pemikiran politik dengan berbagai tipologinya dari sejumlah cendekiawan Muslim.

Dalam banyak hal, perkembangan yang terjadi dalam dekade 1980-an itu telah semakin mendekatkan hubungan antara cendekiawan Muslim dan birokrasi Orde Baru.

Akhirnya, dekade 1990-an hubungan antara cendekiawan Muslim dan birokrasi Orde Baru bersifat saling mengakomodasi. Hal ini ditandai dengan semakin responsifnya birokrasi dalam memenuhi beberapa aspirasi politik umat Islam, antara lain dengan lahirnya sejumlah kebijakan politik yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Salah satu di antaranya, yang mendapatkan perhatian luas, adalah persetujuan bagi lahirnya ICMI pada tahun 1990.

Namun dalam perkembangannya, ICMI tidak Iepas dari problema yang menyangkut eksistensi dan artikulasi politiknya, hubungannya dengan pemerintah, dan masa depannya sendiri dalam pentas politik nasional. Tesis ini diakhiri dengan sebuah rekomendasi terhadap ICMI, khususnya dalam merumuskan artikulasi politik yang tepat di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M.A. Tihami
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya ketertarikan pada masih lekatnya sebutan kyai dan jawara sebagai pemimpin bagi orang Banten. Beberapa literatur yang ditulis oleh orang Belanda, seperti Meijer (1949) den Loze (1933), dan yang ditulis oleh orang Indonesia, seperti Sartono Kartodirdjo (1966) dan A. Hamid (1987), memperlihatkan bahwa kedua pemimpin tersebut telah berpengaruh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan dalam cerita rakyat dikatakan, kedua pemimpin tersebut ada sejak zaman kesultanan Banten yang pertama (kira-kira pada abad ke-16). Keberadaannya yang sudah lama, dan tetap sampai sekarang, menunjukkan betapa lestarinya kedua pemimpin tersebut. Kelestarian inilah yang menjadi pendorong untuk segera dicaritahu mengapa-nya. Kemudian dipilihlah desa Pasanggrahan sebagai lokasi penelitian, karena di desa ini pernah ada kyai (meninggal tahun 1985) pendiri Satuan Karya Ulama Indonesia dan ada jawara pendiri Persatuan Pendekar Persilatan Banten. Dalam struktur organisasi Satuan Karya (Satkar) Ulama itu terdapat Departemen Pemuda dan Pendekar, yang berarti sebagai isyarat adanya kesatuan antara kyai (ulama) dan jawara (pendekar). Kelestarian kyai dan jawara dalam kepemimpinan masyarakat diduga mempunyai kaitan dengan keseluruhan pengetahuan masyarakat tentang agama dan magi yang diacunya. Kepemimpinan kyai tentu berkaitan dengan agama; dan kepemimpinan jawara tentu berkaitan dengan magi, sebab magi menjanjikan kekuatan yang dibutuhkan oleh jawara. Untuk memperoleh jawaban dari mesalah tersebut dilakukanlah pendekatan struktural fungsional, yaitu pendekatan yang memandang sistem-sistem sosial budaya yang menekankan bahwa struktur-struktur yang diamati itu menunjukkan fungsi-fungsi dalam suatu struktur tertentu. Artinya, elemen-elemen dalam suatu struktur terjalin dalam suatu jaringan sistem. Dan setiap elemen terdiri dari elemen-elemen yang lebih kecil yang juga terjalin dalam suatu jaringan sistem. Dalam hal ini, agama dan magi dipandang sebagai elemen-elemen yang satu sama lain saling memberi dan menerima sumbangan, sehingga elemen-elemen tersebut terjaring dalam satu jaringan sistem (sistem budaya). Kemudian, berdasarkan teori aksi (theory of action) menurut Talcott Parsons, hubungan sistem tersebut diturunken pada sistem sosial yang ternyata diperlihatkan oleh perilaku kepemimpinan kiyai dan jawara. Jadi sistem sosial (perilaku kepemimpinan) ini ternyata ditentukan oleh sistem budaya; namun juga sistem sosial mempengaruhi sistem budaya. Hubungan antara sistem budaya dan sistem sosial ini disebut dengan hubungan sibernetik. Jadi kelestarian kepemimpinan kiyai dan jawara itu disebabkan karena perilaku keduanya dalam kepemimpinan, masing-masing merupakan elemen dalam sistem sosial yang mempunyai hubungan sibernetik dengan agama dan magi dalam sistem budaya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library