Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ulaan, Ronald
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Kusmana
"Pada saat ini alat kontrasepsi untuk wanita cukup tersedia dan bervariasi, sedangkan alat kontrasepsi bagi pria masih sangat terbatas jenisnya. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk mendapatkan metode kontrasepsi bagi pria lebih banyak lagi. Alat kontrasepsi tersebut sebaiknya mudah digunakan, efektif, aman, efek samping sangat minimal, tidak toksik, bersifat reversibel, dan tidak mengurangi kenyamanan saat melakukan senggama (Swerdloff, dkk, 1993). Metode kontrasepsi yang telah dilakukan untuk kaum pria antara lain secara mekanis melalui kondom, secara operatif melalui vasektomi, dan secara hormonal untuk menghambat produksi dan pematangan spermatozoa (Tadjudin, 1985; Swerdloff , dkk., 1993).
Penggunaan hormon pada kontrasepsi pria dimaksudkan untuk menghambat proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis (Bremner & De Kretser, 1976; Wu, 1988). Metode pendekatan semacam ini didasarkan pada pengetahuan, bahwa kelangsungan spermatogenesis sangat tergantung pada sekresi hormon gonadotropin, yaitu LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) oleh kelenjar hipofisis (Sutyarso, 1997).
Harmon LH menginduksi sel Leydig untuk memproduksi testosteron, sedangkan FSH diperlukan untuk mengontrol fungsi sel Sertoli guna memproduksi zat-zat makanan yang diperlukan untuk perkembangan normal sel-sel germinal selama proses spermatogenesis dan menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) (Soeradi, 1987; Moeloek, 1991). Selama proses spermatogenesis, hormon FSH dan testosteron intratestikular yang bekerja secara sinergis diperlukan untuk proliferasi dan diferensiasi sel-sel germinal sampai terbentuk spermatozoa yang fungsional. Di samping itu, testosteron intratestikular, diperlukan untuk pembelahan reduksi serta proses pematangan spermatozoa baik selama berada di dalam tubulus seminiferus atau di dalam epididimis (Johnson & Everitt, 1980). Dengan demikian kontrasepsi hormonal bertujuan menghambat produksi hormon gonadotropin, dan diharapkan akan berpengaruh pula terhadap produksi dan kualitas spermatozoa.
Matsumoto (1988) melaporkan bahwa pemberian testosteron enantat (TE) dosis tinggi pada pria normal secara intra muskular dapat menimbulkan oligozoospermia. Penurunan jumlah sperma tersebut terjadi dari 78 + 15 x 106/m1 menjadi 2,0 + 8 x 106/ml. Temyata kualitas spermatozoa dari semen oligozoospermia tersebut mengalami penurunan, yaitu pada motilitas dan morfologi sperma bentuk ovalnya. Selanjutnya World Health Organization (WHO, 1990) mengkoordinasikan data dari 10 pusat studi yang ada di tujuh negara dengan hasil, bahwa pemberian hormon TE sebanyak 200 mg/minggu pada 271 pria sehat dan fertil menyebabkan 157 (65%) pria tersebut mengalami azoospermia setelah 6 bulan perlakuan?"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
D509
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marina Lubniar Sartono
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian:
Berbagai amcam cara dilakukan orang untuk menghilangkan kelelahan setelah bekerja keras, antara lain dengan berendam diri dalam air hangat dalam waktu tertentu, atau mandi sauna. Jika peerjaan ini dilakukan berulang kali, suhu sekitar testis akan seringkali mengalami peninhkatan. Proses spermatogenesis berlangsung normal bila suhu testis lebih rendah dari suhu badan. Kerusakan akibat peningkatan suhu testis in vivo bersifat selektif terhadap tingkat perkembangan sel-sel germinal, sehingga proses spermatogenesis terganggu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah pemanasan testis mencit in vivo, masing-masing pada suhu air 40, 41, dan 42 deraat C selama 10 menit yang diulang tiga kali dengan selang waktu satu siklus epitel seminiferous, akan berpengaruh terhadap fertilitas mencit. Penelitian dilakukan dalam 5 kelompok, masing-masng 10 ekor mencit jantan. Kelompok I, kontrol tanpa perlakuan; kelompok II, kontrol hanya dibius; kelompok III, dibius + 40 derajat; kelompok IV, dibuis + 41 C; kelompok V, dibius + 42 C. perlakuan ini dilakukan selama 10 menit yang diulang tiga kali dengan selang waktu satu siklus epitel seminiferous.
Hasil dan kesimpulan:
Kelompok III tidak menunjukkan pengaruh bermakna terhadap berat testis, jumlah sperma motil, persentase sperma abnormal, maupun jumlah anak yang dilahirkan dibandingkan dengan kontrol. Kelompok IV menunjukkan penyusutan berat testis, umlah sperma motil, peningkatan persentase sperma abnormal, dan penurunan jjumlah anak yang bermakna dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok V, selain penyusutan berat testis ang bermakna, tidak didapatkan spema dalam tubulus seminiferous. Jadi kesimpulannya, pemanasan 40 derajat C tidak berpengaruh terhadap fertilitas mencit, sedahkan pemanasat 41 dan 42 berpengaruh terhadap fertilitas mencit.

ABSTRACT
Scope and Method of study:
Several traditional habits are applied to refresh the body, releasing fatigue or stiffness after working hard all day, e.g. by soaking the body in warm water or by taking sauna. If performed frequently, the temperature around the testis should increase and it might cause a selective demage to germinal cells, disturbing the process of spermatogenesis. The purpose of this study was to evaluate the fertility of mice after application of heat on the testis. Mice were divided randomly into 5 groups of 10 mice each. The first group served as untreated control, with no treatment at all. The second group was a treated control, treated with anesthetic, but not exposed to hear the treated groups were anesthetized, and the testis exposed to temperature of 40 C (3rd group), 41 C (4th Group), and 42 C (5th group), respectively, for 10 minutes each in a special devides water bath. The treatment was repeated 3 times at an interval of 9 days or one cycle of the seminiferous epithelium.
Findings and conclusions:
The result showed that in the 3rd group no significant effect of heat was found on the weight of the testis, the number of motile sperm, percentage of abnormal sperm, and noumber of offspring comparet to the control group. In the 4th gorup, however the weight of testis, number of motile sperm, and mean number of offspring were significantly reduced. The percentage of abnormal sperm was significantly increased as compared to control groups. It is interesting to note that in the 5th group of mice, no sperm was found in the seminiferous tubules. In conclusion, there was no effect on the fertility of mice by heating the testis to a temperature of 40 C. however, the fertility was decreased significantly after exposure to 41 and 42 C."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Maria Sidharta
"Latar belakang: Otot rangka adalah jaringan yang dinarnis. Proses perkembangan dan regenerasinya dipengaruhi oleh berbagai faktor pertumbuhan, antara lain tenasln-C. Tenasin-C adalah suatu glikoprotein heksabrakion matriks ekstrasel yang mempunyai subunit EGF-like. Tenasin-C berfungsi sebagai regulator berbagai fungsi seL Ekspresinya dapat dilihat dengan cara imunohisto kimia dan dinilai secara semikuantitatif dengan estimasi visual. Belum dtketahui ekspresi tenasin-C pada jaringan otot rangka berkaitan dengan proses perkembangan dan korelasinya dengan jumlah dan diameter serat otot rangka. Dlduga seiring bertambahnya usia akan terjadi penunman ekspresi tenasin-C dan bertambahnya jumlah dan diameter serat otot. Diharapkan di kemudian hari dapat dikembangkan terapi kerusakan atau kelainan otot meJalui optimalisasi regenerasi sentt otot dengan pemberian tenasin-C eksogen.
Metode: Desain penelitian ini adalah perbandingan potong lintang dengan subyek tikus Sprague-Dawley jantan usia l-4 hari, 3-4 bulan, dan 12-16 bulan. Sediaan mikroskopik diwarnal dengan hematoksilin eosin TNC. Fotomikrograf dianalisis dengan Digimizer Image Analyzer. Anaiisis imunoreaktivltas TNC dilakukan berdasarkan intensitas pewamaan dan pola ekspresi.
Hasil: Terdapat penambahan jumlah dan diameter sera! otot rangka dari kelompok usia 1-4 hari sampai kelompok usia 12-16 bulan. Ekspl}'Si TNC ditemukan pada otot rangka semua kelompok umur. Ekspresi kuat terhadap TNC paling sering ditemukan di kelompok usia l-4 hari. Ekspresi negatif dan ekspresi lemah paling sering ditemukan di kelompok usia 12-16 bulan.

Background: Skeletal muscle is a dynamic tissue. Its development and regeneration processes are influenced by various growth factors. Amongst those factors is tenascin C 1NC is one of the extracellular matrix glycoprotein with EGF-like subunit. TNC acts as regulator for several cell functions. Its expression can be detected immunohistochernically and analyzed semiquantitatively using visual estimation. TNC expression in skeletal muscle related with developmental process and its correlation with skeletal muscle fiber number and diameter is, to date, not yet known. The preferred hypothesis is with increasing age. there wi11 be decreasing TNC expression and increment of skeletal muscle fiber number and diameter.
Methods: This is a comparative cross-sectional study. Subjects are male Sprague-DawJey rats, divided into 3 age groups: l-4 days, 3-4 months. and 12-16 months. Microscopic specimens were made and stained with hematoxylin-eosin and TNC immunohistochemistry. Microphotographs: were analysed using Digimizer Image Analyzer. Immunoreactivity of TNC was classified based on staining intensity and expression pattern.
Result: There is an increase in skeletal muscle fiber number and diameter from 1 day to 16 months. TNC expression was positive in all age groups. Strong TNC expression was found in 1-4 day-oJd group. Negative and weak expressions were found mostly in adult group. 'There is a positive correlation between TNC extracell expression pattern with muscle fiber number and diameter, and also between TNC weak expression with muscle fiber number and diameter."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32394
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Bekti Subakir
"ABSTRAK
Kontrasepsi hormonal merupakan jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pada wanita yang menggunakan kontrasepsi yang hanya berisi preparat progestin, sering terdapat gangguan pola menstruasi, yang berupa menoragia, bercak-bercak perdarahan, perdarahan tak teratur dan amenorea. Perdarahan endometrium yang berupa perdarahan lama dan perdarahan tak teratur merupakan alasan utarna peserta KB untuk menghentikan penggunaan kontrasepsi tersebut. Hal ini merupakan suatu problem penting bagi program Keluarga Berencana, terutama di negara yang sedang berkembang.
Endometrium merupakan jaringan yang secara siklis mengalami perdarahan, hemostasis, dan regenerasi. Perubahan siklis ini dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron Estrogen merangsang pertumbuhan endometrium dan pembentukan reseptor progesteron. Progesteron merangsang sekresi kelenjar endometrium dan pertumbuhan pembuluh darah endometrium (Sherwood, 1993). Progesteron juga menghambat pembentukan reseptor estrogen, yang mengakibatkan hambatan pertumbuhan endometrium dan penurunan pembentukan reseptor progesteron.
Lapisan fungsional endometrium dipendarahi oleh arteri spiralis dan cabang-cabangnya. Penurunan kadar progesteron secara mendadak pada endometrium yang telah terpapar estrogen ('estrogen primed') akan menimbulkan perdarahan menstruasi (Smith, 1990). Regenerasi endometrium setelah menstruasi dimulai pada hari ke-dua dan selesai pada hari ke 5-6. Regenerasi sistem pembuluh darah dimulai saat relaksasi arterial spiralis yang semula konstriksi. Pembentukan kapiler baru dimulai, pada bagian bawah lapisan fungsional endometrium dan dari pembuluh kapiler yang masih ada di lapisan epitel yang tidak ikut terkelupassaat menstruasi.Regenerasi endometrium merupakan salah satu mekanisme untuk menghentikan perdarahan menstruasi.Regenerasi dan pertumbuhan pembuluh darah sejalan dengan regenerasi jaringan endometrium .
Mekanisme perdarahan endometrium pada penggunaan kontrasepsi progestin jangka panjang belum jelas. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab antara lain: ketidak-seimbangan sekresi estrogen dan progesteron yang menyebabkan endometrium rapuh, kelainan faktor pembekuan darah di endometrium, dan gangguan regenerasi jaringan termasuk gangguan proses angiogenesis di endometrium."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D375
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library