Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anik Farida
Abstrak :
Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana bentuk kekerasan terhadap perempuan buruh migran/PBM, dan bagaimana bentuk upaya survival PBM dalam menghadapi dan menyikapi kekerasan. Kemiskinan merupakan alasan utama yang mendorong perempuan desa tergerak untuk meninggalkan kampung halaman bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Masuknya perempuan dalam pasar kerja yang berarti telah terjadi pergeseran peran perempuan dari sektor domestik ke sektor publik, yang diasumsikan akan membawa kemajuan bagi perempuan, tidak serta membebaskan perempuan dari tindak kekerasan. Kekerasan terjadi sejak awal hingga akhir siklus kerja: masa persiapan di kampung halaman dan tempat penampungan PJTKI, masa penempatan di Arab Saudi, masa kepulangan di bandana Soekarno Hatta dan di kampung halaman. Kekerasan mengambil beragam bentuk, yakni ekonomi, psikologis, fisik, dan seksual. Kekerasan muncul tidak bersifat tunggal, melainkan multilapis. Artinya, seorang PBM dapat mengalami 2 hingga 4 bentuk kekerasan sekaligus. Kekerasan terjadi berkaitan dengan 3 faktor, yakni gender, kelas, dan ras, sebagaiman posisi PBM, yakni sebagai perempuan. pembantu rumah tangga, dan pendatang. Kekerasan bersifat interaktif dan struktural, karena pelaku kekerasan bisa individu, juga kolektif. Secara individual, pelaku adalah oknum aparat desa, calo/sponsor, suami atau ayah, majikan atau pegawai PJTKI, dan majikan. Secara kolektif atau kelembagaan, aktor yang terlibat adalah PJTKI, pemerintah dalam hal ini Depnaker dan KBRI atau Konsulat Jenderal, serta negara. Di balik duka nestapa akibat kekerasan yang dialami, PBM memiliki bentuk upaya survival. Bentuk upaya survival yang dilakukan adalah bertahan/coping dan perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance). Terdapat bentuk variasi coping, yaitu: diam, berlari atau bersembunyi, dan menghindari sumber kekerasan. Perlawanan sehari-hari dilakukan dengan cara sabotase, berpura-pura sakit/pingsan, memperlambat pekerjaan, menggosip, dan berkorespondensi secara sembunyi-sembuyi. Terkadang bentuk perlawanan sehari-hari bisa menunjukkan tingkat yang lebih serius, yakni perang mulut dan adu fisik diperlengkapi senjata ala kadarnya. Meskipun bentuk upaya survival tergolong parsial dan sederhana, tidak terwadahi dalam organisasi formal, dan tidak terkoordinasi dengan baik, namun secara nyata memiliki efek katarsist meringankan, memperbaiki posisi tawar dalam hubungan dengan PJTKI dan majikan, menumbuhkan kesadaran kritis dan militansi, mempertahankan semangat perlawanan kolektif dan organisasional, serta berkontribusi bagi lahirnya aktifis perempuan buruh migran di level grassroot. ......Women Migrants Workers in the Midst of Violence: Study on Survival of Women Migrant Workers as Maidservant in Confronting and Reacting ViolenceIn brief, this research explain violence against women of migrant labor (PBM) and what the survival effort of PBM in confronting and reacting violence. Poverty is major basic that motives village women to leave their home to work as maidservant in Arab Saudi. Women's participation in the job market mean that there is occurred a forward movement of women's role from domestic to public sector and it is assumed that it would bring any progress for women; however, that freedom of violence not come all of a sudden for women. Violence against women is existed since the beginning to the end of the job cycle i.e. during the preparation phase in the homegrown and in the accommodating place of PJTKI, during the locating phase in Arab Saudi, the returning phase in Airport of Soekarno-Hatta and at their homegrown again. Violence against women takes any shape such as economy, psychological, physical, and sexual. Violence not emerge in one-man doer, but multilevel. Meaning, a PBM could face two or four kind of violence all at once. Violence is occurred in related to three factor i.e. gender, class, and race as well as the women's role as women, maidservant and newcomer. Violence against women is interactive and structural because the doer of violence could be individual or collective. Individually, the doer of violence is the village staff with bad manner, sponsor, husband or father, the employer or staff of PJTKI, and the boss. Meanwhile, the involved actors collectively or institutionally are PJTKI, the government in this case is Depnaker (Ministry of Men-power) and the representative office of RI or General Consulates, and the country. Behind the miserable as result of violence, PBM has such survival effort i.e. coping and everyday forms of resistance. Coping includes silent, run or hidden, and stay away the sources of violence. Everyday forms of resistance are such as sabotage, pretend to be ill or unconscious, slow down works, disseminate rumor and chitchat, secret correspondence. Occasionally, such everyday forms of resistance could show a more serious i.e. verbal dispute and trial of physical, completed with any of available weapon. Although such survival effort are partial and simple, not including in formal organization, and not coordinate well, however, it has effect of catharsis to relieve, improve the bargaining position in relation to PJTKI and the employer, develop ethical awareness and militancy, maintain the spirit of collective resistance and organizational and contribute the emergence of PBM activist at grassroots level.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11846
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zubaidah
Abstrak :
Penelitian ini mengangkat peran organisasi perempuan Aceh di tengah konflik Aceh yang didominasi oleh kelompok laki-laki. Peran mereka adalah pemberdayaan perempuan, advokasi dan investigasi perempuan korban konflik. Selain itu, dilakukan pemberdayaan ekonomi, advokasi kebijakan, dan penanganan perempuan di pengungsian. Penelitian ini menggunakan teori Ethics of care dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode wawancara mendalam dan analisis data sekunder. Narasumber penelitian sebanyak 15 organisasi yaitu Flower Aceh, KKTGA, YPW. MiSPI, RPuK, Daulat Remaja, Matahari, Balai Syura Inong Aceh, Data Lajuna. ORPAD, Srikandi Aceh, SpuRA, Lampuan Aceh, PIIA dan Perempuan Merdeka. Temuan lapangan menunjukkan bahwa peran mereka yang lebih dominan adalah menangani dampak konflik. Implikasinya adalah tercipta koalisi perempuan yang kuat di tingkat pusat dan akar rumput; pelibatan perempuan dalam kehidupan sosial dan politik mulai menjadi wacana, munculnya data perempuan sebagai korban konflik; lahirnya revisi kebijakan yang berperspektif perempuan, dan menawarkan alternatif lain dalam penyelesaian konflik Aceh, yaitu pendekatan kepedulian yang tidak melahirkan kekerasan.
The Role Of Acehnese Women Organizations in Armed-Conflict Resolution in AcehThis research investigates the roles of non-governmental Acehnese women's organizations in handling the impacts of armed-conflicts in Aceh. Employing qualitative approach, data are gathered through in-depth interviews and secondary sources and are analyzed against Ethics of Care. Fifteen (I5) women's organizations are selected as subjects: Flower Aceh, KKTGA, YPW, MiSPI, RPuK, Daulat Remaja, Matahari, Balai Syura inong Aceh, Dara Lajuna, ORPAD, Srikandi Aceh, Spurs, Lampuan Aceh, PHIA, and Perempuan Merdeka. The roles taken by these women's organizations among others are empowering women especially in terms of economics, investigating and advocating women victims of conflicts, taking parts in public policy making process, and tackling women's problems in refugee's (IDPs) camps. Study concludes that they are more intensely involved in addressing the various impacts of the armed-conflicts. This leads to a stronger coalition between women's organizations both in upper and grass root levels; emerging discourse on women's participation in social and political arena; availability of data of women as victims; more women's perspective policy-makings, and most important, the possibility of using Care approach instead of repressive and violent one to resolve the existing conflicts.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11871
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyulina
Abstrak :
Permasalahan utama penelitian ini adalah bagaimana kondisi buruh perempuan di perusahaan dan apa strategi buruh perempuan untuk mempertahankan hidup keluarganya dalam krisis ekonomi. Teori yang digunakan adalah teori marginalisasi, status dan peran, serta pendekatan pembagian karja berdasarkan gender. Penelitian ini dilaksanakan pada PT. Tesa (nama samaran) di Mataram, Provinsi NTB menggunakan metode kualitatif berperspektif feminis. Subjek penelitian sebanyak 20 orang, terdiri dari 10 buruh harian dan 10 buruh borongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buruh perempuan termarginalisasi di perusahaan dan tersubordinasi di dalam keluarga. Peran mereka sebagai faktor penentu kualitas produk dan dominasi jumlah mereka tidak sebanding dengan status mereka yang rendah. Akibatnya, dalam krisis ekonomi perusahaan dengan mudah mengistirahatkan mereka tanpa jaminan upah. Namun, mereka tetap mencari pendapatan di luar perusahaan untuk mempertahankan hidup keluarganya. Berbagai aktivitas mencari pendapatan dan memutuskan untuk kembali bekerja pada saat dipanggil oleh perusahaan pada saat krisis ekonomi, merupakan wujud dari peran perempuan yang sangat strategis dalam keluarga.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T10864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Niswati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mengungkap: faktor yang mendorong dan mempertahankan mappasitaro (perjodohan) di kalangan bangsawan Bugis, peran orang tua, kerabat, dan bagaimana anak perempuan dilibatkan; dampak dan gambaran strategi yang digunakan anak perempuan dalam menghadapi masalah yang ditimbulkan budaya mappasitaro.

Teori yang digunakan adalah: budaya patriarki dan bias jender yang tersistematisasi pada sosialisasi anak dalam keluarga, pengaruh budaya patriarki dan bias jender juga dilihat pada sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial masyarakat Bugis; dan konsep pemilihan jodoh dikaitkan dengan Undang-Undang Perkawinan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berperspektif perempuan. Studi kasus digunakan untuk mengungkap beberapa kasus rumah tangga bermasalah, perceraian, kawin lari, dan bunuh diri. Sejarah mappasitaro ditelusuri melalui lontara, sure?, dan wawancara dengan tokoh budaya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya patriarki dalam masyarakat Bugis melahirkan sosialisasi yang bias jender dalam mewujudkan harapan tentang peran dalam hal pekerjaan dan perkawinan. Mappasitaro identik dengan pemaksaan sehingga anak perempuan yang menjalaninya mengalami kekerasan fisik, psikis, dan subordinasi ganda. Hal itu kurang terungkap dan tetap membelenggu kehidupan anak perempuan terutama di kalangan bangsawan karena adanya budaya siri? ?malu? dan harga diri? dalam masyarakat Bugis. Selain itu, ditemukan ketiadaan perlindungan hukum terhadap kekerasan yang terjadi. Bahkan, norma agama pun sering disalahtafsirkan untuk melegitimasi budaya patriarki.
ABSTRACT
This study reveals factors contributing to and defending mappasitaro (matrimony) among Bugis Aristocrats; roles of parents, friends, and how an daughter is involved; impacts and strategic description the daughter uses to face problems arising from mappasitaro culture.

The theory applied is Patriarchal culture and gender-bias systematized on children socialization in the family; effects of patriarchal culture and gender-bias also appear in the kinship system and social stratification of Bugis Community; and concept of selecting mate related to the Marriage Laws.

This study employs woman-centered Qualitative Research Method. Case Study is applied to consider such cases as problematic household, divorce, kcrwin larE (elopement), and self-suicide. History of mappasitaro is reviewed through ¡onlara sure? and interview with culture figures.

Results of this research indicate that patriarchal culture in Bugis community derives a gender-bias based socialization to realize role expectation in work and marriage. Mappasitaro is identical to coercion, that the daughter involved experiences physical, psychic violence, and doubl&subordination. It appears subordinately and constantly shackles a daughter?s life eminently among aristocrats subject to sin? malu and harga din? culture (self-shame and self-esteem) in the Bugis community. Additionally, legal protection lacks over coercion or violence. Even, religious norms are generally misinterpreted to legitimate patriarchal culture.
2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Tini Astuti
Abstrak :
Penelitian ini mencoba mengkaji keterkaitan antara fenomena penjual atau pelayan minuman dengan praktek perdagangan perempuan untuk tujuan pelacuran. Mengingat bahwa fenomena penjual/pelayanan minuman ringan merupakan suatu praktek pelacuran terselubung. Fokus utama dari penelitian ini adalah perempuan penjual minuman ringan di sepanjang rel kereta api Manggarai Jatinegara, Jakarta. Hasil penelitian memperoleh temuan bahwa ada keterkaitan antara praktek pelacuran terselubung dengan modus perempuan penjual minuman ringan dengan praktek perdagangan perempuan dan ada empat perempuan penjual minuman ringan yang menjadi korban perdagangan perempuan. Artinya mereka mengalami tiga unsur penting dalam praktek perdagangan perempuan yaitu proses, cara dan tujuan. Pada kegiatan proses, korban melewati proses perekrutan dengan cara iming-iming dan janji palsu untuk tujuan eksploitasi seksual. Temuan lain dalam penelitian ini adalah adanya faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan korban terjerat dalam praktek perdagangan. Faktor-faktor pendorong lain adalah marjinalisasi perempuan dalam ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, konflik dalam keluarga, pernikahan dini yang berakhir dengan perceraian, dan stigma sosial negatif terhadap perempuan yang berstatus janda, dan budaya konsumerisme masyarakat. Sedangkan faktor penarik adalah maraknya bisni seks itu sendiri yang memberikan banyak keuntungan bagi berbagai pihak kecuali perempuan penjual minuman. Temuan akhir yang saya peroleh adalah kondisi kerja anak perempuan penjual/pelayan minuman. Mereka mengalami kekerasan phisik dan psikis dari mucikari. Korban juga mengalami kekerasan phisik, psikis dan seksual dari tamu laki-laki, aparat yang sering merazia mereka. Mereka juga mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat sekitar dan masyarakat dari daerah korban berasal. Kondisi kerja para perempuan penjual minuman sangat memprihatinkan. Mereka harus bekerja selama 10 jam setiap hari dari jam 7 hingga 5 dini hari. Mereka juga terjebak oleh lilitan hutang yang tidak ada habisnnya.
The main focus of this research is the phenomenon of drinks seller girls along the rail way in Jakarta. This research explores the relation between drinks seller girls with the phenomenon of human trafficking, because the drinks seller girls phenomenon is a form of hidden prostitution. Based on the finding of this research, there is a relation between drinks seller girls with human trafficking and four respondents are the victims of human trafficking for sexual exploitation. This is because there the three main things to indicate the human trafficking. There are process, methods and purpose. The next finding is there are pull and push factors in human trafficking. The pull factor is the sex business itself that can profit a lot of people who are in the network. The push factors are poverty, education, family conflicts, early marriage, social stigma, and consumerism. The last finding is the condition of drinks seller girls. They have experienced physical violence, psychology violence, and sex abuse from the pimps, customers, and the officers. They also have to work 10 hours a day. Debt bondage is a way to keep the victims working for the pimps.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25540
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library