Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Wahyunianto Hadisantoso
"Latar Belakang: Mutasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) merupakan prediktor keberhasilan terapi TKI pada non-small cell lung cancer (NSCLC). Ras Asia, perempuan, bukan perokok, tipe histologis adenokarsinoma adalah karakteristik klinikopatologis yang diketahui memiliki asosiasi dengan mutasi EGFR pada NSCLC. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian yang membuktikan asosiasi tersebut di tengah keterbatasan sumber daya dan fasilitas pemeriksaan biomolekuler untuk medeteksi mutasi EGFR.
Metode: Desain studi adalah potong lintang. Subjek dikumpulkan secara konsekutif dari pasien adenokarsinoma paru stadium lanjut Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional yang memeriksakan status mutasi EGFR di Laboratorium Kalbe Genomics dalam kurun waktu Januari 2010 hingga Desember 2013. Dari rekam medis pasien ditelusuri data umur, jenis kelamin, status merokok, diagnosis dan status mutasi EGFR. Uji chi-square dilanjutkan regresi logistik digunakan untuk menilai asosiasi jenis kelamin dan status merokok terhadap status mutasi EGFR.
Hasil: Studi melibatkan 51 subjek dan didapatkan proporsi mutasi EGFR sebesar 47,1% (IK 95% = 33,4% – 60,8%). Uji bivariat menunjukkan perempuan (RO=4,80; IK 95%=1,12-20,61) dan bukan perokok (RO=4,00; IK 95%=1,23-13,06) memiliki asosiasi dengan mutasi EGFR, namun pada uji multivariat hanya status bukan perokok yang masih bermakna (RO=4,00; IK 95%=1,22-13,06).
Simpulan: Proporsi mutasi EGFR pada kelompok pasien adenokarsinoma paru stadium lanjut 47,1%. Hanya status bukan perokok yang memiliki asosiasi independen dengan mutasi EGFR.

Background: Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) mutation is predictor for successful TKI therapy in non-small cell lung cancer (NSCLC) patient. Asian, women, non-smoker, and histology of adenocarcinoma are the clinicopathological characteristics associated with EGFR mutation in NSCLC patient. In Indonesia, no research has been performed to confirm association between those characteristics while the resources and facilities to detect EGFR mutation are lacking.
Method: A cross sectional study was performed in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital and Dharmais Hospital National Cancer Center from January 2010 to December 2013. Subjects were collected consecutively from advanced lung adenocarcinoma patients who underwent examination for EGFR mutation in Kalbe Genomics Laboratory during study period. From medical records, information about age, gender, smoking status, diagnosis, and EGFR mutation status were collected. Chi square and logistic regression analysis were performed to assess association between variables.
Results: From 51 subjects participated in this study, proportion of EGFR mutation was 47.1% (CI 95% = 33,4% – 60,8%). Bivariate analysis revealed that women (OR=4,80; CI 95%=1,12-20,61) and non-smoker (OR=4,00; CI 95%=1,23-13,06) were associated with EGFR mutation. While in multivariate analysis, non-smoker status was the only significant clinical factor associated with EGFR mutation (OR=4.00; CI 95%=1.22-13.06).
Conclusion: Proportion of EGFR mutation in advanced lung adenocarcinoma patients is 47,1%. Non-smoker status is the only clinical factor associated with EGFR mutation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mirna Nurasri Praptini
"Latar Belakang: Usia lanjut dan hubungannya dengan kesintasan kanker paru karsinoma bukan sel kecil sudah diteliti sebelumnya, namun kesintasannya di rumah sakit di Indonesia belum diteliti. Belum banyak penelitian lain yang memperhitungkan faktor perancu antara lain derajat keparahan penyakit, status fungsional, komorbiditas, dan indeks massa tubuh dalam meneliti pengaruh pertambahan usia dengan kesintasan kanker paru karsinoma bukan sel kecil.
Tujuan: Mengetahui adakah perbedaan kesintasan satu tahun pasien kanker paru karsinoma bukan sel kecil usia lanjut dan bukan usia lanjut yang diterapi di semua stadium dengan mempertimbangkan functional status, indeks massa tubuh, dan komorbiditas.
Metode: Kohort retrospektif dengan pendekatan analisis kesintasan terhadap 227 pasien kanker paru karsinoma bukan sel kecil yang berobat jalan maupun rawat inap di RS Cipto Mangunkusumo dan RS Kanker Dharmais tahun 2002-2012, terbagi 2 kelompok berdasarkan usia saat diagnosis (<60 tahun dan >60 tahun). Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk mengetahui kesintasan satu tahun masingmasing kelompok. Analisis bivariat menggunakan uji log-rank, analisis multivariat menggunakan cox proportional hazard regression. Besarnya hubungan variabel usia dengan kesintasan dinyatakan dengan crude HR dan IK 95% serta adjusted HR dan IK 95% setelah dimasukkan variabel perancu.
Hasil dan Pembahasan: Terdapat 227 pasien adalah kanker paru karsinoma bukan sel kecil yang diterapi dimana karakteristik kedua kelompok (<60 tahun dan >60 tahun) sebanding kecuali jenis kelamin, merokok, ada tidaknya komorbiditas, dan jumlah komorbiditas. Persentase mortalitas satu tahun adalah 68,0% dan 61,9% untuk kelompok usia <60 dan >60 tahun dengan median kesintasan 8 dan 9 bulan bulan. Analisis bivariat tidak menunjukkan hubungan bermakna antara usia dengan kesintasan satu tahun.
Simpulan: Tidak ada pengaruh usia terhadap kesintasan satu tahun pasien kanker paru karsinoma bukan sel kecil yang diterapi di RS Cipto Mangunkusumo dan RS Kanker Dharmais di semua stadium dengan mempertimbangkan functional status, indeks massa tubuh, dan komorbiditas.

Background: Old age and its relations to non-small cell lung carcinoma survival has been studied before but its survival in Indonesia has not been studied before. Not many studies that have considered confounders, such as stage, functional status, comorbidities and body mass index, in the study between advancing age and non-small cell lung cancer carcinoma survival.
Aim: To evaluate differences of treated non-small cell lung carcinoma one year survival between non-elderly and elderly considering stages, functional status, body mass index and comorbidities.
Methods: Retrospective cohort design and survival analysis were used to 227 patients with non-small cell lung cancer that being treated at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital between 2002 and 2012 that divided into 2 groups according to age at diagnosis (<60 years and >60 years). Kaplan-Meier curve was used to evaluate the one year survival of each group. Bivariate analysis was conducted using log-rank test, multivariate analysis was conducted using cox proportional hazard regression. The extend of relation between advancing age and survival was expressed with crude HR with 95% CI and adjusted HR with 95% CI after adjusting for confounders.
Results and Discussion: There were 227 non-small cell lung carcinoma being treated whereas the characteristics between two groups (<60 years and >60 years) were the same except for sex, smoking status, comorbidities and number of comorbidities. One year mortality percentage were 68.0% and 61.9% to <60 years and >60 years groups, respectively, with the survival median of 8 and 9 months. Bivariate analysis didn’t find statistically significant relation between age and one year survival.
Conclusion: Age didn’t influence one year survival of treated non-small cell lung carcinoma at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital considering stage, functional status, comorbidities and body mass index.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khairida Riany
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lesi litik dan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multipel dan faktor yang ikut mempengaruhi hubungan antara lesi litik dengan kalsium. Penelitian retrospektif menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder bone survey dan hasil pemeriksaan kadar kalsium darah dari 45 pasien mieloma multipel yang menjalani pengobatan di RS Kanker Dharmais, dari Januari 2007 sampai Januari 2014. Dilakukan uji statistik chi-square untuk mengetahui hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara lesi litik dengan kadar kalsium darah pada pasien mieloma multiple sehingga tidak dapat ditentukan faktor yang mempengaruhinya. Terdapat hubungan antara lesi litik dengan terjadinya fraktur pada pasien multipel mieloma. Didapatkan pula distribusi lesi litik paling sering ditemukan pada 4-6 tulang dengan lokasi tersering di tulang kalvaria, osteoporosis derajat 3 menurut indeks Singh dan derajat 4 menurut indeks Saville. Fraktur patologis yang paling sering ditemukan merupakan faktur kompresi pada korpus vertebra lumbal.

This study aims to determine the relationship between lytic lesions and blood calcium levels in patients with multiple myeloma and the factors that influence the relationship between lytic lesions with calcium. A retrospective study using cross-sectional design with secondary data survey and examination of bone calcium blood levels of 45 multiple myeloma patients who undergo treatment Dharmais Cancer Hospital, from January 2007 to January 2014. This study use Chi-square statistical test to determine the relationship between lytic lesion with blood calcium levels.
The results showed there was no correlation between lytic lesion with blood calcium levels in patients with multiple myeloma and can not be determined the factors that influence it. There is a relationship between a lytic lesion of fractures in patients with multiple myeloma. The lytic lesions most often found in 4-6 bone with the most common sites in the calvaria bones, osteoporosis grade 3 according to the index Singh and 4 degrees according to Saville index. Pathologic fractures are most commonly found an invoice compression on the lumbar vertebral bodies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mizanul Adli
"ABSTRAK
Latar Belakang: EORTC menekankan pentingnya menilai kualitas hidup pasien kanker. Saat ini, di Indonesia, belum ada kuesioner yang reliabel dan valid untuk menilai kualitas hidup pasien kanker payudara secara akurat. Tujuan: membuktikan bahwa EORTC-QLQ-BR23 merupakan kuesioner yang reliabel dan valid digunakan di Indonesia Metode: Penelitian dimulai dengan menerjemahkan EORTC-QLQ-BR23 ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian diujicobakan pada 10 responden. Setelah itu, EORTC QLQ-BR23 hasil terjemahan digunakan pada penelitian utama. Test-retest dinilai dengan Intraclass Correlation Coeficient (ICC). Konsistensi internal dinilai dengan cronbach alpha. Construct validity dinilai dengan multi-trait scaling analysis. Validitas kriteria dinilai dengan melihat korelasi antara domain EORTC-QLQ-C30 dan EORTC-QLQ-BR23 dengan SF36. Hasil: Telah dilakukan pengambilan data terhadap 100 pasien kanker payudara dari September ? Oktober 2015. Nilai ICC (interval 1 jam) pada semua domain sangat baik (ICC > 0,8). Nilai cronbach alpha > 0,7 pada hampir semua domain. Multi-trait scaling analysis menunjukkan korelasi cukup tinggi antara skor pertanyaan dengan skor domainnya sendiri. Uji validitas kriteria, didapatkan 19 korelasi dengan r > 0,3 antara domain EORTC-QLQ-C30 dan EORTC-QLQ-BR23 dengan SF36. Simpulan: EORTC-QLQ-BR23 merupakan kuesioner yang reliabel dan valid digunakan di Indonesia.ABSTRACT
Background: EORTC emphasize the importance of assessing quality of life in cancer patients. In Indonesia, there has been no reliable and valid questionnaire to assess quality of life of breast cancer patients accurately. Objective: To prove that EORTC-QLQ-BR23 is reliable and valid questionnaire used in Indonesia. Methods: Study began with the EORTC-QLQ-BR23 translated into Indonesian and then tested on 10 respondents. Indonesian version of EORTC-QLQ-BR23 is used in main study. Test-retest was assessed with intraclass correlation coeficient (ICC). Internal consistency was assessed by Cronbach alpha. Construct validity was assessed by multi-trait scaling analysis. Criteria validity assessed by looking at correlation between EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Results: Data collection were done on 100 breast cancer patients from September to October 2015. ICC value (1 hour interval) in all domains of EORTC-QLQ-BR23 is very good (ICC> 0.8). Cronbach alpha values >0.7 in almost all EORTC-QLQ-BR23 domains. Multi-trait scaling analysis showed a high correlation between scores of questions with a score of his own domain. Criteria validity test, obtained 19 correlation with r>0,3 between domains EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Conclusion: EORTC-QLQ-BR23 is a reliable and valid questionnaire used in Indonesia.;Background: EORTC emphasize the importance of assessing quality of life in cancer patients. In Indonesia, there has been no reliable and valid questionnaire to assess quality of life of breast cancer patients accurately. Objective: To prove that EORTC-QLQ-BR23 is reliable and valid questionnaire used in Indonesia. Methods: Study began with the EORTC-QLQ-BR23 translated into Indonesian and then tested on 10 respondents. Indonesian version of EORTC-QLQ-BR23 is used in main study. Test-retest was assessed with intraclass correlation coeficient (ICC). Internal consistency was assessed by Cronbach alpha. Construct validity was assessed by multi-trait scaling analysis. Criteria validity assessed by looking at correlation between EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Results: Data collection were done on 100 breast cancer patients from September to October 2015. ICC value (1 hour interval) in all domains of EORTC-QLQ-BR23 is very good (ICC> 0.8). Cronbach alpha values >0.7 in almost all EORTC-QLQ-BR23 domains. Multi-trait scaling analysis showed a high correlation between scores of questions with a score of his own domain. Criteria validity test, obtained 19 correlation with r>0,3 between domains EORTC-QLQ-C30 and EORTC-QLQ-BR23 with SF36. Conclusion: EORTC-QLQ-BR23 is a reliable and valid questionnaire used in Indonesia."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Salman Paris
"ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu modalitas terapi untuk kanker paru stadium lanjut jenis Non-Small Cell (NSC) adalah kemoterapi. Jenis kemoterapi yang sering digunakan di Indonesia adalah Cisplatin-Etoposide (EC) dan Cisplatin-Docexatel (DC). Tolak ukur keberhasilan pengobatan adalah kesintasan dan Progression Free Survival (PFS). Keberhasilan kemoterapi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti dosis obat, intensitas pemberian, jenis kemoterapi, jenis histologi, stadium, perfoma status, komorbiditas dan sosial ekonomi. Di Indonesia pendanaan dan jenis rejimen kemoterapi masih merupakan masalah terdahap keberhasilan terapi.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kesintasan 2 tahun dan PFS antara pasien kanker paru jenis NSC yang diterapi menggunakan EC dibandingkan dengan DC.
Metode: Penelitian desain kohort retrospektif dengan analisis kesintasan. Pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah pasien kanker paru stadium lanjut (minimal stadium IIIa) jenis NSC, yang datang ke RSKD dan RSCM pada Januari 2006 – Desember 2010 yang baru pertama kali dikemoterapi sampai selesai, sebanyak 6 kali dan dilakukan pengamatan 2 tahun. Data dianalisis dengan program SPSS 16.0, dilakukan analisis cox regression dan ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier.
Hasil: Didapatkan hasil 55 pasien diberikan cisplatin-etoposide dan 55 pasien diberikan cisplatin-docexatel. Kesintasan 1 tahun EC sebesar 30,9% dan DC sebesar 47,3%, (p=0.030). Kesintasan 2 tahun EC sebesar 0% dan DC sebesar 5,5%, (p 0.003). Median time survival antara EC selama 27 minggu dengan DC selama 38 minggu (p< 0,016). Dibandingkan DC, kemoterapi EC dapat meningkatkan risiko kematian dengan HR 1,684 (IK95% 1,010-2,810). Kelompok subyek yang menggunakan rejimen kemoterapi DC memiliki PFS 20,1 minggu, sedangkan kelompok subyek yang menggunakan rejimen kemoterapi EC memiliki PFS 16,8 minggu (p=0,022).
Kesimpulan: Kesintasan cisplatin-docexatel lebih baik bila dibandingkan dengan cisplatin-etoposide, demikian juga dengan progression free survivail.

ABSTRACT
Background: One of the therapy for the advanced Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) is chemotherapy. The most frequent regiment used in Indonesia is Cisplatin-Etoposide (EC) and Cisplatin-Docetaxel (DC). The success of chemotherapy is measured with the 1-year survival, 2-year survival, and the Progression Free Survival (PFS) rate. The success is influenced by many factors, such as the dosage, administer intensity, chemotherapy regiment, type of histology, stage, performance status, comorbidity, and social economic. In Indonesia, funding and chemotherapy regiment are the common problems for the success of chemotherapy.
Goal: To determine the 2-year survival rate and PFS rate differences between EC against DC of advanced NSCLC patients.
Method: The study is a retrospective Cohort study with survival analysis. The Patients included to this study were the advanced NSCLC (At least Stadium IIIa) who came to RSKD and RSCM during January 2006 – December 2010 for their first chemotherapy until finished the cycle (6 times) and had 2-year monitoring. Data was analyzed by SPSS 16.0 by cox regression analysis, and featured on the Kaplan Meier Curve.
Result: Fifty five patients were given EC and the other 55 patients were given DC. One year survival rate of EC was 30,9% and DC was 47,3%, (p=0.030). Two year survival rate of EC was 0% and DC was 5.5% (p 0.003). The median time survival of EC was 27 weeks and DC was 38 weeks (p<0.016). Compared to DC, EC chemotherapy increased the death risk by HR 1,684 (CI 95% 1,010-2,810). The PFS rate of the subjects who were given EC chemotherapy regimen was 20.1 weeks, while the patients who were given DC chemotherapy regimen was 16.8 weeks (p=0.022).
Conclusions: The survival with cisplatin-docexatel was better compared to cisplatin-etoposide, this applies to PFS as well."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Prasaja
"Penggunaan cisplatin masih merupakan lini pertama penanganan tumor padat walaupun dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Salah satu penanganan nefrotoksisitas cisplatin adalah pemberian hidrasi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi ginjal serta mengevaluasi penggunaan volume hidrasi pada pasien yang mendapatkan regimen cisplatin di RS Dharmais. Desain penelitian adalah potong lintang dengan menggunakan data rekam medik pasien. Sampel adalah seluruh pasien kanker dewasa yang mendapatkan cisplatin dosis 60mg/m2 minimal selama empat siklus periode Agustus 2011-November 2013. Klirens kreatinin digunakan sebagai parameter penurunan fungsi ginjal. Pasien yang mendapatkan cisplatin selama empat siklus sebanyak 88 orang, sedangkan pasien yang mendapatkan cisplatin selama enam siklus sebanyak 56 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi nefrotoksisitas cisplatin setelah enam siklus kemoterapi sebesar 92,90% dengan rata-rata persentase penurunan fungsi ginjal sebesar 40,97±17,34% (n=56). Prevalensi nefrotoksisitas cisplatin setelah empat siklus kemoterapi sebesar 75,00% dengan rata-rata persentase penurunan fungsi ginjal sebesar 26,52±19,43% (n=88). Volume hidrasi rata-rata per siklus selama enam siklus kemoterapi cisplatin adalah 6168,46±2866,84 ml tapi ternyata tidak mempengaruhi penurunan fungsi ginjal. Faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi ginjal pasien dalam penelitian ini adalah usia (p<0,05). Nefrotoksisitas cisplatin terjadi sejak siklus pertama kemoterapi. Tingkat kerusakan ginjal semakin tinggi seiring dengan penggunaan berulang cisplatin pada siklus-siklus berikutnya.

Cisplatin had been using as the first line for solid tumor although its nephrotocixity. Hydration is one of strategies to handle cisplatin nephrotoxicity. The goals of this research were to evaluate the factors that affect the decrease of renal function and to evaluate hydration volume on patients treated with cisplatin in Dharmais Cancer Hospital. The design was cross-sectional by using patients medical record. Subjects were all adult cancer patients who treated with cisplatin
dose 60mg/m2 minimum for four chemotherapy cycles from August 2011 to November 2013. Creatinine clearance was used as a renal function parameter. Patients who treated with cisplatin for four chemotherapy cycles were 88 persons and for six cycles were 56 persons. The prevalence of cisplatin nephrotoxicity after six cycles of chemotherapy was 92.90% with average decrease of renal function was 40.97±17.34 % (n=56). The prevalence of cisplatin nephrotoxicity after four cycles of chemotherapy was 75.00% with average decrease of renal function was 26.52 ± 19.43% (n=88). The average of hydration volume per cycle after six chemotherapy cycles was 6168.46 ± 2866.84 ml but it did not affect cisplatin nephrotoxicity. The only factor that affects this toxicity was patient?s age (p<0.05). Nephrotoxicity could be observed after the first cycle of chemotherapy. The degree of nephrotoxicity was higher after repeated use of cisplatin in the next cycles."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T39340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maifitrianti
"Doksorubisin masih banyak digunakan di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Efek samping doksorubisin terhadap jantung yang dapat ditandai dengan adanya penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri perlu mendapatkan perhatian khusus. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh faktor-faktor risiko yang mempengaruhi penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi doksorubisin di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan cross sectional. Data diperoleh dari rekam medis pasien. Populasi adalah pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi doksorubisin periode Oktober 2011-Oktober 2013 di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebanyak 77 pasien. Faktor-faktor risiko yang dievaluasi adalah jenis kelamin, usia, kombinasi kemoterapi, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung, radiasi pada dada kiri dan penggunaan obat kardiotoksik lain. Penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri setelah kemoterapi doksorubisin terjadi pada 84,5% pasien: penurunan fraksi ejeksi <10% pada 48,1% pasien dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥10% pada 36,4% pasien. Hipertensi berpengaruh terhadap penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥10% secara bermakna (p=0,032). Jenis kelamin laki-laki dan radiasi pada dada kiri menunjukkan adanya kecenderungan berhubungan dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥10% (p=0,095 dan p=0,051). Penderita hipertensi yang mendapatkan doksorubisin berpotensi mengalami penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri.

Doxorubicin was still widely used in Dharmais Cancer Hospitals. The side effect of doxorubicin to the heart which can be characterized by a decline of left ventricular ejection fraction (LVEF) should received special attention. The aim of this study was to determine risk factors associated with the incidence of LVEF decline in cancer patients treated with doxorubicin at Dharmais Cancer Hospital. The study design was cross sectional. Data was collected from patient?s medical record. The populations were cancer patients who got doxorubicin on October 2011-October 2013 at Dharmais Cancer Hospital. The Samples which fulfilled the inclusion and exclusion criteria were 77 patients. Gender, age, chemotherapy combination, hypertension, diabetes mellitus, cardiac diseases history, left chest wall irradiation and the used of other drugs-induced cardiotoxicity were evaluated as risk factors. The amount of patient that declined their LVEF after doxorubicin chemotherapy was 84.5%, consist of 48.1% patients have ejection fraction fall <10%, and 36.4% patients have ejection fraction fall ≥10%. Hypertension significantly related with decline of LVEF ≥10% (p=0.032). Male sex and left chest wall irradiation showed a trend decline of LVEF ≥10% (p=0.095 and p=0.051). Patients with hypertension who got doxorubicin potentially had declined LVEF."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T38691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philip Waruna
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Kanker payudara merupakan kanker yang menempati urutan pertama dari keseluruhan kanker pada perempuan di Indonesia dan menurut data dari Indonesia Journal of Cancer 2012 menyebabkan kematian sebesar 458.000 perempuan. Kepadatan payudara merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker payudara yang dipicu oleh adanya estrogen yang menjadi prekursor jaringan fibrogladular menjadi padat. Pada perempuan dengan kanker payudara dan densitas payudara yang tinggi ditemui juga adanya perlemakan hati yang tinggi. Hubungan antara pasien dengan kanker payudara dengan densitas payudara yang tinggi dan perlemakan hati masih belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kepadatan jaringan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat hubungannya dengan estrogen reseptor yang diperiksa dengan immunohistokimia.
Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder ultrasonografi abdomen dan mammografi dari sistem PACS RS Kanker Dharmais. Penilaian yang dilakukan dengan melihat derajat kepadatan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan derajat perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat status estrogen reseptor dari immunohistokimia pada pasien kanker payudara tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengelompokan kepadatan payudara sampai 50 % dan kelompok lain dengan kepadatan lebih dari 50% dan membandingkan dengan perlemakan hati ringan dan berat.
Hasil: Pengelompokan pasien dengan kepadatan payudara sampai 50% menunjukkan terdapat banyak perlemakan hati berat, demikian juga pada kepadatan payudara yang lebih besar dari 50% menunjukkan terdapat lebih banyak lagi perlemakan hati derajat berat namun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan Nilai Odds Ratio (OR) = 0.60 dengan 95% Interval Kepercayaan 0.12 – 3.01.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan antara kepadatan jaringan payudara yang tinggi dengan perlemakan hati yang juga tinggi walaupun secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

ABSTRACT
Background and Objectives: Breast cancer are the most common cancer and the first in all cancer that affected women in Indonesia and the data from Indonesian Journal of Cancer 2012 said, it cause death for about 458.000 women. Breast density are one of the risk factor that cause breast cancer and estrogen are the precursor for high density of the fibroglandular tissue. Women with breast cancer and high breast density are found to have a high degree of fatty liver. The relationship between breast cancer with high breast density and high fatty liver was unknown. The aim of these research wants to evaluation the breast density on mammography and fatty liver on ultrasound and the relationship with estrogen reseptor which was examined with immunohistochemistry.
Method: A cross sectional research is perform using mammography and ultrasound from PACS system. These research wants to evaluation the high breast density with mammograms and fatty liver with ultrasound and their relationship with estrogen receptor by immunohistochemistry. Data was merged in to two groups, one group with breast density until 50% and the other group was breast density more than 50% and compared it with mild and severe fatty liver.
Result: Patient with breast density until 50% showed more severe fatty liver as well as patient with breast density more than 50% had more severe fatty liver, although statistically had no significant relationship with Odds Ratio (OR) = 0,60 and confidence interval 0,12-3.01.
Conclusion: There are tendency relationship between higher breast density and higher fatty liver although statistically showed no significant relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indria Purnama Sari
"Tujuan: Menentukan hubungan ukuran tumor dan derajat histopatologi dengan metastasis tulang pada pasien kanker payudara berusia dibawah 40 tahun di RS Kanker Dharmais, membantu meningkatkan kualitas tatalaksana bagi klinisi.
Metode: Analisa menggunakan data sekunder. Hasil ukuran tumor dikelompokkan menjadi ≤ 5 cm dan > 5 cm berdasarkan AJCC TNM staging system diperoleh melalui pencitraan radiologi payudara dari sistem PACS dan derajat histopatologi menurut derajat histopatologi Nottingham kombinasi diperoleh dari hasil ekspertise patologi anatomi, serta evaluasi metastasis tulang menggunakan skintigrafi tulang berdasarkan total populasi pasien kanker payudara berusia dibawah 40 tahun.
Hasil: Jumlah subyek penelitian 32 perempuan kanker payudara berusia dibawah 40 tahun periode Januari 2011 hingga Juli 2014 di RS Kanker Dharmais. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ukuran tumor dengan metastasis tulang (P= 0,715 (Fisher exact test), OR=1,71 (0,32-9,36)). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat histopatologi dengan metastasis tulang (P=0,010, P < 0,05).Dari 10 subyek derajat histopatologi tinggi, ternyata semua subyek mengalami metastasis tulang negatif. Pada subyek dengan derajat histopatologi sedang didapatkan 8 dari 15 subyek yang mengalami metastasis tulang. Pada subyek penelitian dengan derajat histopatologi rendah didapatkan 6 dari 7 subyek mengalami metastasis tulang negatif. Rerata usia 33,2 tahun dan simpang baku 3,7 tahun memiliki kejadian metastasis tulang lebih tinggi (P=0,024). Terdapat data tambahan dan ditemukan hubungan yang bermakna antara Cerb-b2/HER-2 positif dengan metastasis tulang (P=0,049 (P < 0,05), Odds Ratio=5,67 (0,84 ? 43,16)).Prevalensi metastasis tulang yaitu sebesar 28,1%.
Kesimpulan: Pasien kanker payudara berusia dibawah 40 tahun dengan ukuran tumor besar tidak memiliki kejadian metastasis tulang lebih tinggi. Pasien dengan derajat histopatologi tinggi tidak memiliki kejadian metastasis tulang lebih tinggi, namun ditemukan angka kejadian metastasis tulang lebih tinggi pada derajat histopatologi sedang. Terdapat dua faktor lain yang juga mempunyai hubungan dengan kejadian metastasis tulang yaitu usia dan Cerb-br/HER-2. Rerata usia 33,2 tahun dengan simpang baku 3,7 tahun pada pasien kanker payudara berusia di bawah 40 tahun memiliki kejadian metastasis tulang lebih tinggi. Cerb-b2/HER-2 positif pada pasien kanker payudara berusia di bawah 40 tahun memiliki kejadian metastasis tulang lebih tinggi dengan resiko kejadian sebesar 5,67 kali. Prevalensi metastasis tulang cukup tinggi pada pasien kanker payudara berusia dibawah 40 tahun yaitu sebesar 28,1%.

Objective: Determine the relationship of tumor size and histopathology grade with bone metastases in breast cancer patients under 40 years old in Dharmais Cancer Hospital, to help improve the quality of management of the clinician.
Methods: Analysis using secondary data. The results of tumor size are grouped into ≤ 5 cm and> 5 cm based on the AJCC TNM staging system from PACS system, obtained through breast radiology imaging and histopathologic grade according to histopathological Nottingham combination obtained from the anatomical pathology expertise, the evaluation of bone metastases using bone scintigraphy. These analyses are based on the total population of breast cancer patients under 40 years old.
Results: The study subjects are 32 female breast cancer under 40 years old from January 2011 to July 2014 Dharmais Cancer Hospital. There is no significant relationship between the tumor size with bone metastasis (P = 0.715 (Fisher exact test), OR = 1.71 (0.32 to 9.36)). There is a significant relationship between the histopathology grade with bone metastases (P = 0.010, P <0.05). From 10 subjects with high grade histopathology, all subjects have no bone metastases. In subjects with moderate grade histopatholog, 8 of 15 subjects have bone metastases. In subjects with a low grade histopathology showed 6 of 7 subjects have no bone metastases. The mean age of 33.2 years and standard deviations of 3.7 years had a higher incidence of bone metastases (P = 0.024). There are additional data and found a significant association between Cerb-b2 / HER-2 positive patients with bone metastases (P = 0.049 (P <0.05), odds ratio = 5.67 (0.84 to 43.16)). The prevalence bone metastasis is equal to 28.1%.
Conclusion: Breast cancer patients under 40 years with large tumor size did not have a higher incidence of bone metastases. Patients with a high grade histopathology do not have higher incidence of bone metastases, but found the incidence of bone metastases was higher in moderate grade histopathology. There are two other factors that also have a relationship with the incidence of bone metastases, that are age and Cerb-br / HER-2. The mean age of 33.2 years with standard deviations of 3.7 years in patients with breast cancer under 40 years old have a higher incidence of bone metastases. Cerb-b2 / HER-2 positive breast cancer patients under 40 years old have a higher incidence of bone metastases with the risk of occurrence 5.67 times. The prevalence of bone metastases in breast cancer patients under the age of 40 years is quite high equal to 28.1%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>