Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan
"Masalah dasar penelitian ini adalah pelestarian lingkungan pada masyarakat jawa kuna. Masyarakat yang diteliti dibatasi pada masyarakat Jawa dari abad ke-8 hingga ke 16. Data diperoleh melalui prasasti, naskah, dan literatur karya para ahli epigrafi. Dalam penelitian ini metode yang dipakai adalah metode induktif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penterjemahan terhadap seluruh dan sebagian dari bagian-bagian prasasti dan naskah. Penelitian ini berakhir pada tingkat dekripsi.
Hasil penelitian ini telah dapat mengungkapkan hal-hal sebagai berikut:
a. Telah terjadi upaya--upaya dari masyarakat Jawa kuna yang dapat diartikan sebagai kegiatan pelestarian lingkungan yaitu (1) penjagaan satu daerah dari kerusakan akibat tanaman liar, (2) pembatasan perburuan dan perlindungan binatang buruan, (3) perlindungan terhadap tanaman tertentu, pembuatan hutan dan aturan-aturan pemanfaatannya, dan adanya aturan-aturan berkenaan dengan pengelolaan lingkungan.
b. Pengelolaan lingkungan diatur oleh para pejabat yaitu: (I) para abdi dalam raja/keraton yanga bertugas menangani masalah kehutanan disebut Pasuk Alas (petugas kehutanan)"
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1990
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Pojoh, Ingrid Harriet Eileen
"ABSTRAK
Belakangan ini masalah gender menjadi bahasan yang tampaknya tidak habis-habis. Persoalannya sekarang adalah, apakah isu gender ini yang menempatkan perempuan subordinat terhadap laki-laki memang sudah ada sejak dahulu, ataukah baru belakangan ini bersamaan dengan berjalannya pembangunan nasional. Dalam pendidikan sejarah Indonesia, umumnya kita dikenalkan dengan raja-raja besar yang berkelamin laki-laki, misalnya Airlangga, Pu Sindok, Daksa, Kertanagara, Hayam Wuruk, dan lain-lain. Padahal, data sejarah masa Jawa Kuna mencatat tentang pernah adanya raja atau penguasa berkelamin perempuan di masa lalu, ataupun perempuan yang menjalankan peran-peran dalam kehidupan sosial, politik, agama, ekonomi, dan hukum. Catatan-catatan seperti ini memang tidak kita temukan dalam buku-buku pelajaran sejarah. Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kedudukan-kedudukan dan peran-peran apa raja yang pernah dipegang perempuan di masa lalu, khususnya di Jawa.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa prasasti, karya sastra, dan gambar pahatan yang merupakan tinggalan dari masa Jawa Kuna. Periode Jawa Kuna, yang juga dikenal sebagai masa pengaruh agama Hindu dan Budha di Jawa, mencakup waktu yang sangat panjang, yaitu sekitar 10 abad. Walaupun cukup banyak prasasti yang ditinggalkan dari masa ini, tidak semuanya digunakan melainkan hanya yang memuat keterangan tentang perempuan. Karya sastra yang dipakai dalam penelitian ini sangat terbatas, karena memang karya sastra tertua barn ada pada masa Kadiri. Akan halnya gambar pahatan, yang diambil sebagai sumber data adalah gambar-gambar pahatan yang ada pada bangunan-bangunan suci yang sudah jelas masanya.
Pembacaan prasasti tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui alih-aksaranya yang sebagian besar sudah dilakukan oleh ahli-ahli epigrafi, yang dihimpun dalam Oud Javaansche Oorkonden (disingkat OJO). Bersamaan dengan pembacaan tersebut, diperhatikan juga koreksi-koreksi yang pernah dilakukan oleh ahli-ahli sejarah kuna. Bagian prasasti yang menjadi pusat penganalisaan adalah sambandha-nya, yaitu bagian inti yang memuat alasan-alasan prasasti dibuat, pejabat-pejabat yang menghadiri, dan pihak-pihak yang menerima pasekpasuk (hadiah dari raja). Dalam bagian yang membicarakan tentang pejabat desa serta penerima pasdk pask itu, pada beberapa prasasti tercantum nama-nama perempuan atau kata sandang jenis feminin, yang dapat dikenal dari penulisan huruf vokal terakhir sebagai vokal panjang [a) atau [1]. Untuk mengetahui kedudukan perempuan yang namanya tercantuin dalam prasasti, selain diketahui dari jabatannya (apabila disebutkan dalam prasasti) juga dengan memperhatikan konteks kalimat lainnya.
Hal yang sama dilakukan terhadap karya sastra. Bedanya dari prasasti adalah bahwa dalam karya sastra jelas disebutkan apakah seseorang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dengan demikian, untuk mengenali tokoh perempuan tidak sulit. Sementara itu, untuk mengetahui kedudukannya, sering dalam karya sastra disebutkan apa pekerjaan atau fungsi seseorang, apakah is seorang dayang-dayang, abdi, atau pendeta perempuan. Terhadap gambar pahat, pengenalan penggambaran figur perempuan diketahui dari ciri pinggang yang lebih kecil dibandingkan pinggul, payudara, dan kadang-kadang pakaiannya. Untuk mengetahui aktivitas perempuan yang digambarkan pada gambar pahatan, sesekali digunakan karya sastra yang kisahnya merupakan alur cerita gambar pahat. Baik terhadap isi prasasti, karya sastra, dan gambar pahatan, ketiganya dianggap sebagai wacana sehingga dapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan kritik teks.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di masa pengaruh agama Hindu dan Budha, perempuan mempunyai kedudukan yang baik, yang diperolehnya secara tergariskan (ascribed) maupun dengan upaya (achieved). Di kalangan golongan bangsawan, melalui garis kekerabatan, kesempatan untuk memegang kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan golongan bukan bangsawan, karena kedudukan tersebut merupakan kedudukan yang digariskan. Contohnya adalah putri raja dari permaisuri yang bisa menjadi putri mahkota (prasasti Cane, Munggut, Kakurugan, Baru, dan Kamalagyan) dan menjadi ratu (prasasti Pucangan). Seorang cucu perempuan raja yang diperolehnya dari anak selir maupun adik perempuan seorang raja bisa menjadi penguasa daerah (bhre, bhra i) di negara bawahan (punpunan) sebagaimana bisa diketahui dari kitab Nagarakertagama. Kerabat raja lainnya, seperti nenek raja/ratu, ibu, maupun selir mempunyai kedudukan yang penting pula karena mereka sesekali dipercayai oleh raja untuk meresmikan penetapan sima (prasastiprasasti Rukam, Poh, Sukun).
Hasil lainnya menunjukkan bahwa ternyata perempuan Jawa di masa pengaruh agama Hindu dan Budha sudah menjalankan perannya di bidang sosio-ekonomi, hukuxm, dan keagamaan. Perempuan bukan hanya melulu bertanggungjawab atas urusan domestik, melainkan juga menjadi salah satu pihak yang menanggung ekonomi rumahtangga, dibuktikan oleh adanya pedagang, penari dan pesinden, dan petani. Begitu pula ternyata di masa itu, seorang perempuan bisa menjadi salah satu pihak pengambil keputusan pengadilan (prasasti Guntur).
Tampaknya, pembedaan gender yang terjadi sekarang tidak bisa dilepaskan dari latar agama yang dianut masyarakat kita. Dalam masa pengaruh agama Hindu dan Budha, yang mengenal tokoh dewi sebagai pasangan dews, kedudukan perempuan tidak dibedakan dari saki-laki. Masuknya Islam maupun Kristen yang bernuansa patriakhat menyebabkan "pembedaan gender" antara perempuan dan laki-laki, yang pada akhirnya menjadi semacam "norma" dalam tatanan masyarakat kita. Sesungguhnya pembedaan itu tidak perlu karena sejarah telah memberikan bukti kepada kita bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang sama dengan lakilaki. Hanya saja, yang terjadi sekarang adalah, bahwa perempuan jarang diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki.

ABSTRACT
The Status And Roles Of Women In The Hindu Buddhist PeriodThe issue of gender has become very favourite lately. The problem we face now is whether this issue - which put women subordinative to men - is really a matter of recent problem or not. In schools wherein ancient history was taught under the subject Ancient History of Indonesia, students are acquainted to our (an ecx tecx t kings such as Airlangga, Pu Sindok, Daksa, Krtanagara, Hayam Wuruk whose sex are all male. Actually, in historical data we find female kings or female rulers which unfortunately never been put in the astory of ancient history°. We also find in such data about the roles conducted by women during the old Javanese period. This research is about that, focusing on the identification of the status and roles of women in the old Javanese periode which is also known as the Hindu-Budhist period of Java.
Data used in this research are inscriptions (especially those which contain informations connected to women), literary-text and story-reliefs engraved in chandi or pethirtan from old Javanese period. In reading the inscriptions, we used those that already transcripted (from Old javanese to Latin) and compiled in Oud Javaansche Oorkonden.
Analysing is focused at the part of the inscriptions known as sambandha, in which we can find the names of rulers or persons who received tokens (pasek-pasek) from the king at the ceremony of establishing a lima. The difference between male-ruler and female-ruler written on inscriptions is known from the long vowel [I] or [a] at the end of a name. Differentiating male from male in literary-text is not as difficult as in inscriptions. Since literary-text is a narrative-text, it is clearly written whether a person is a male or female. On the other side, identificating the difference between male figure and female figure in story-reliefs is based on this criteria: waist, chest, and clothes. Female waist is carved smaller than the hips while in men it's almost the same, male chest is flat while female has their breast, underpart-cloths [kain, sarungj are mostly longer at female compared to men. Content analysing and text critiques are used in analysing the content of the three kinds of data: incriptions, literary-text and story-reliefs. This analysing technique is possible to be used since the content of these data is treated as a discourse.
The result of this research shows us that women of the old-Javanese period had a good status and played important roles in socio-political, socio-economical, socio-religuous and law lives. Some of the status they got by gynealogical line (ascribed-status) as shown in the Cane inscription, Munggut inscription, Kamalgyan inscriptions, etc.; but some are achieved.
The problem of gender we are facing now seemingly is caused by the social structure, which is "patriarchy-based". It could be possible that the religious institutions (pranata instead of institusi) had played its role in the making of social structure where we are in now. It seems that during the old-Javanese period, where dewa and dewi were put at the same level, either women or men could have the same status and played the same role except for reproduction role which is only belong to women. This is not the same to the recent condition. Although some women may already have jobs with good pay (that means the may play the public role), but stil we find differences since we still hear the saying about 'because women are powerless than men so not all men's work is appropriate for women". In this case, maybe we should believe what Jungh said about women: " women have the same capability as men"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Mundardjito
"ABSTRAK
Majapahit dikenal sebagai kerajaan Hindu-Budha terbesar yang pernah berperan dalam abad 13-15 di wilayah Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Namun kebesaran tersebut umumnya dikaitkan dengan aspek sejarah, geo-politik, agama maupun kesenian, sedangkan gambaran tentang permukimannya masih sedikit sekali diketahui. Padahal sebagaimana dikemukakan Gordon R. Willey:
"....settlement patterns are, to a large extent, directly shaped by widely
held cultural needs, they offer a strategic starting point for the functional interpretation of archaeological cultures.... " (Willey 1953)
Dengan ungkapan tokoh arkeologi permukiman tersebut jelaslah bahwa pola permukiman merupakan awal yang strategis untuk memahami berbagai aspek budaya dari masyarakat pendukungnya, meliputi sistem teknologi, sistem sosial, dan sistem ideologi. Pala permukiman merupakan wilayah kajian yang diteliti oleh berbagai disiplin selain arkeologi, seperti: antropologi, sejarah, sosiologi, dan arsitektur. Dengan kata lain kajian permukiman merupakan tempat bertemunya berbagai peniikiran dari sejumlah disiplin. Sifat multidisipliner inilah yang mengharuskan arkeologi menggali dan menjajikan data dari kebudayaan mesa lalu untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh berbagai disiplin lain.
Sumber-sumber sejarah seperti karya sastra, prasasti, berita asing dan relief relief pada candi memang telah membantu kita mengetahui sebagian kecil atau beberapa hal mengenai permukiman di Majapahit, tetapi gambaran tersebut hanyalah bersifat umum dan belum tentu terkait dengan pemukiman di situs Trowulan. Oleh sebab itu untuk memperoleh bukti konkret yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable) mengenai permukiman Majapahit di situs Trowulan diperlukan tipe penelitian arkeologi dengan cara ekskavasi (digging research).
Situs Trowulan yang letaknya lebih kurang 10 km di sebelah tenggara Mojokerto adalah sebuah situs yang berdasarkan penelitian regional terakhir (Mundardjito dkk. 1995) memiliki luas lebih kurang 9 x 11 km. Sedemikian luasnya sehingga dapat difahami jika sites ini dikategorikan oleh para peneliti sebagai situskota. Kitab Nagarakertagama memberikan gambaran umum tentang pola perkotaan ibukota Majapahit, tetapi struktur setiap satuan bangunannya atau gugusannya tidak dapat diketahui secara pasti. Relief-relief candi memberi bantuan untuk memahami bentuk umum suatu satuan bangunan, tetapi sifatnya yang terbatas tidak memungkinkannya untuk memberikan rincian dari unsur-unsur bangunan itu.
Selain data sejarah (historical record) kita masih dapat memanfaatkan data lain, yaitu artefak-artefak, untuk memahami secara lebih faktual dan jelas mengenai pola permukiman masyarakat Majapahit. Sebagaimana diketahui Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buda terakhir yang berkuasa sekitar 200 tahun (1293-1478), dan sites Trowulan adalah satu-satunya contoh situs-kota dari masa Hindu-Buda yang sisa-sisa pemukimannya masih dapat kita lihat sekarang (Bandingkan dengan lokasi sejumlah situs-kota yang sampai kinibelum diketahui seperti dari: kerajaan Mulawarman abad 5 di Kalimantan Timur, Tarumanagara abad 6 di Jawa Barat, Sriwijaya abad 7 di Sumatera, Mataram abad 7--10 di Jawa Tengah, Kediri abad I I dan Singhasari abad 12 di Jawa Timur). Di situs Trowulan, yang merupakan wakil utama dari sisa kegiatan manusia Majapahit, ditemukan sejumlah indikator penting yang dapat membantu kita memahami aspek-aspek permukiman dalam skala mikro secara lebih jelas. Indikator tersebut antara lain berupa sisa-sisa struktur, bailk dari sebuah unit bangunan (household) maupun dari gugusan bangunan (household cluster). Sebagai suatu himpunan temuan data tersebut sesungguhnya mencerminkan satu bagian dari suatu sistem yang kompleks, yaitu sistem kehidupan masyarakat kota Majapahit yang lebih menyeluruh. ltulah sebabnya usaha penelitian yang diawali dari data arkeologi yang paling dasar dalam skala mikro, dapat memberikan sumbangan yang sangat penting untuk memberi isi kepada gambaran dari satuan pemukiman yang lebih besar.
Usaha untuk merekonstruksi pola permukiman ibukota Majapahit telah dilakukan. Namun usaha-usaha tersebut dihadapkan pada banyak masalah. Bukti-bukti fisik yang hingga kini diyakini sebagai sisa ibukota Majapahit tidak menunjukkan kesesuaian dengan uraian sumber-sumber tertulis mengenai tempat tersebut. Usaha untuk menjawab masalah-masalah tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan seketika, melainkan memerlukan perencanaan penelitian bertahap dan perlu melibatkan sejumlah disiplin. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Achadiati Ikram, 1930-
Jakarta: Museum Nasional Indonesia, 2015
411 ACH i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library