Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lingnawati
"Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di sebagian negara berkembang. Pasien IMA dengan penyakit ginjal kronis (PGK) mempunyai risiko tinggi terjadinya luaran major adverse cardiac events(MACE) dan mortalitas. Infark miokardium terjadi akibat erosi, maupun ruptur plak aterosklerotik, yang memicu oklusi arteri koroner. Sel yang nekrosis akan melepaskan komponen intraseluer seperti enzim creatine kinase(CK), maupun isoenzim CK-MB, serta protein struktural, seperti troponin ke dalam sirkulasi sistemik. Troponin sebagai baku emas penanda jantung dalam diagnosis IMA, mengalami penurunan spesifisitas, seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus pada pasien PGK sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai diagnostik CK total dan aktivitas CK-MB sebagai penanda alternatif dalam diagnosis IMA, serta nilai prognostiknya terhadap kejadian MACE pada pasien sindrom koroner akut (SKA) dengan PGK. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai peran pemeriksaan CK total dan aktivitas CK-MB dalam diagnosis IMA, serta desain nested case controluntuk memprediksi kejadian MACE dalam kurun waktu 30 hari. Sejumlah 109 pasien yang memenuhi kriteria, diikutsertakan ke dalam penelitian ini. Pemeriksaan CK total mempunyai luas area under curve(AUC) 81,9% dengan cut-offbatas atas nilai rujukan, yaitu 171 U/L untuk laki-laki, dan 145 U/L untuk perempuan (sensitivitas 76,3%; spesifisitas62,5%), sedangkan pemeriksaan aktivitas CK-MB mempunyai luas AUC 95,2% dengan cut-off14,55 U/L (sensitivitas 92,5%; spesifisitas 87,5%) dalam diagnosis IMA. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara nilai CK total [OR= 0,99; p= 0,98], dan aktivitas CK-MB [OR= 1,31; p= 0,58] dengan kejadian MACE pada pasien SKA dengan PGK. Berdasarkan hasil tersebut, maka pemeriksaan CK total pada batas atas nilai rujukan, dan aktivitas CK-MB pada titik potong 14,55 U/L dapat digunakan sebagai penanda biokimia jantung alternatif dalam diagnosis IMA pada pasien SKA dengan PGK, namun tidak dapat memprediksi luaran kejadian MACE.

Acute myocardial infarction (AMI) is one of the major health problems in some developing countries. Acute myocardial infarction patients with chronic kidney disease (CKD) have a high risk of developing major adverse cardiac events (MACE) and high mortality. Myocardial infarction which results either from erosion or atherosclerotic plaque rupture may triggers coronary artery occlusion. The necrotic cells release intracellular components like creatine kinase (CK) enzyme and CK-MB isoenzyme as well as structural proteins like troponin into the systemic circulation. Troponin, as the gold standard for cardiac markers in the diagnosis of AMI, has decreased specificity along with the decrease in glomerular filtration rate in CKD patients. Therefore, this study aims to obtain a diagnostic value of total CK and CK-MB activity as an alternative marker in the diagnosis of AMI, and to obtain its prognostic value for the occurrence of MACE in acute cardiovascular disease (ACD) patients with CKD. This study uses a cross-sectional design to assess the role of total CK assay and CK-MB activity in AMI diagnosis, as well as a nested case control design to predict the occurrence of MACE within 30 days. A total of 109 patients who met the criteria were included in this study. The total CK assay has an area under the curve (AUC) of 81.9% with cut-off at the upper limit of the reference value at 171 U/L for men, and 145 U/L for women (sensitivity 76.3%; specificity 62.5%), while the assessment of CK-MB activity has an AUC of 95.2% with a cut-off of 14.55 U/L (sensitivity 92.5%; specificity 87.5%) in the diagnosis of AMI. Statistically, there was no significant relationship found between the total CK value [OR= 0.99; p= 0.98] and CK-MB activity [OR= 1.31; p= 0.58] with the occurrence of MACE in ACS patients with CKD. Based on these results, the total CK assay at the upper limit of the reference value, and CK-MB activity at the 14.55 U/L cut point can be used as an alternative biochemical cardiac markers in the diagnosis of AMI in ACS patients with CKD, but cannot predict the outcome of MACE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tammy Nurhardini
"ABSTRAK
Kanker kolorektal menempati urutan ketiga terbanyak dari kasus kanker pada laki-laki
dan menempati urutan kedua pada wanita di seluruh dunia. Karakteristik enzimatik
kanker kolorektal menunjukkan adanya peningkatan enzim M2PK tumor. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi pemeriksaan M2PK tumor pada feses pasien tersangka
keganasan kolorektal dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku
emas, menggunakan nilai titik potong baru dan nilai titik potong berdasarkan manufaktur.
Desain penelitian adalah desain potong lintang dengan penyajian data secara deskriptif
analitik. Subjek penelitian terdiri dari 86 pasien dewasa yang menjalankan kolonoskopi.
Pemeriksaan M2PK tumor pada feses dilakukan menggunakan kit ScheBo Tumor M2-
PK Stool Test dengan metode ELISA. Proporsi M2PK tumor pada feses pasien
tersangka kanker kolorektal pada penelitian ini didapatkan sebesar 72,09%. Nilai titik
potong baru untuk pemeriksaan M2PK tumor didapatkan sebesar 14,18 U/ml dengan
sensitivitas 59,26%, spesifisitas 59,32%, NPP 40,00% dan NPN 76,09%. Hasil uji
diagnostik menggunakan nilai titik potong M2PK berdasarkan manufaktur (≥4 U/ml)
didapatkan sensitivitas 92,59%, spesifisitas 37,29%, NPP 40,32%, dan NPN 91,67%.
Berdasarkan hasil tersebut, maka pemeriksaan M2PK tumor pada feses dengan nilai titik
potong 4 U/ml dapat digunakan, terutama sebagai uji penapisan (screening) kanker
kolorektal, sedangkan pemeriksaan M2PK sebagai uji diagnostik kanker kolorektal masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chyntia Octaviani
"Latar Belakang: Infeksi Helicobacter pylori merupakan infeksi kronis bakterial yang berhubungan dengan penyakit gastroduodenal. Berdasarkan konsensus Bangkok, pemeriksaan diagnostik infeksi H.pylori hendaknya dilakukan pada semua pasien dispepsia kronis. Urea breath test (UBT) merupakan pemeriksaan referens non-invasif dengan biaya cukup mahal. Rapid test antigen feses merupakan pemeriksaan yang praktis dengan biaya lebih terjangkau. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi peran diagnostik rapid test antigen H.pylori dalam feses terhadap UBT pada pasien dispepsia.
Metode: Penelitian ini merupakan uji potong lintang terhadap pasien dispepsia di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama bulan Agustus-Oktober 2018. Sebanyak 70 subjek diambil secara consecutive sampling dan dilakukan pemeriksaan rapid test SD Bioline H.pylori Ag® dan Urea [13C] Breath Test Kit-Heliforce®.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 46,2 ± 14,23 tahun (18-70 tahun) dan terdapat 17,14% subjek positif terinfeksi H.pylori berdasarkan hasil UBT. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif rapid test secara berurutan adalah 41,67%, 100%, 100%, dan 89,23%.
Simpulan: Rapid test antigen H.pylori dalam feses memiliki sensitvitas yang kurang baik tetapi memiliki spesifisitas, NPP, dan NPN yang cukup baik; praktis digunakan; dan harganya jauh lebih terjangkau sehingga masih dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada daerah dengan keterbatasan ekonomi dan fasilitas.

Background: Helicobacter pylori infection is a chronic bacterial infection associated with gastroduodenal diseases. Based on the Bangkok consensus, a diagnostic test of H.pylori infection should be carried out in all patients with chronic dyspepsia. Urea breath test (UBT) is a non-invasive reference test with a fairly expensive cost. Stool antigen rapid test is a practical test with a more affordable cost. We aimed to evaluate the diagnostic role of the H.pylori stool antigen rapid test against UBT in dyspeptic patients.
Methods: This was a cross-sectional study of dyspeptic patients at RSUPN Cipto Mangunkusumo during August-October 2018. A total of 70 subjects were taken by consecutive sampling method and tested with rapid test SD Bioline H.pylori Ag® and Urea [13C] Breath Test Kit-Heliforce®.
Results: The mean age of the subjects was 46.2 ± 14.23 years (18-70 years) and there were 17.14% subjects positively infected with H.pylori based on UBT results. Sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of the rapid test were 41.67%, 100%, 100%, and 89.23% respectively.
Conclusion: Helicobacter pylori stool antigen rapid test had poor sensitivity but had a good specificity, PPV, and NPV; practical use; and more affordable price so that it could still be considered to be used in areas with economic and facilities limitations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Marsudidjaja
"Latar Belakang: Pre-eklampsia adalah suatu sindrom yang berhubungan dengan kehamilan yang disebabkan oleh kecacatan dalam pembaharuan arteri spiral dalam pembentukan jaringan plasenta. Sebagai hipotesis utama, telah diusulkan bahwa pre-eklampsia terjadi akibat iskemia seluler di placenta. Dimana, hal itu mengarah ke produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang dapat menganggu fungsi jaringan plasenta. Superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu mekanisme pertahanan yang melindung sistem vaskular placenta terhadap ROS.
Metode: Sebanyak 28 sampel jaringan plasenta (terdiri dari kehamilan normal, pre-eklampsia awal dan pre- eklampsia lambat) telah dihomogenisasi dan dipelajari untuk menguji aktivitas enzim SOD. Aktivitas spesifik SOD diukur dengan xanthine, xanthine oksidase (XOD) dan INT dimana aktivitas SOD dihitung melalui tingkat penghambatan atas reaksi superoksida (dihasilkan oleh substrat xanthine) dengan INT untuk membentuk warna formazan merah. Lalu, jumlah zat warna yang dihasilkan tersebut dihitung dengan spektrofotometri UV (505 nm).
Hasil: Rata-rata log aktivitas spesifik SOD untuk kehamilan normal, pre-eklampsia lambat dan pre-eklampsia awal masing-masing adalah 6.43 U/mg, 3.46 U/mg dan -0.18 U/mg. Analisis statistik juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara aktivitas SOD dalam onset pre-eklampsia (dini dan akhir) dan juga antara kedua onset pre-eklampsia dengan kehamilan normal.
Kesimpulan: Aktivitas SOD pada pre-eklampsia awal mempunyai nilai terendah diikuti oleh nilai aktivitas SOD pada pre-eklampsia lambat. Dengan demikian, jaringan plasenta dalam pre-eklampsia awal memiliki stres oksidatif tertinggi dibanding dengan dalam kehamilan normal dan pre-eklampsia lambat.

Background: Pre-eclampsia is a pregnant-related syndrome caused by a defect in spiral arterial remodeling in placenta formation. It has been proposed as central hypothesis that pre-eclampsia is a product of cellular ischemia in the placenta. Therefore, leading to production of Reactive Oxygen Species (ROS) which began the disruption of the placental function. Superoxide dismutase (SOD) is one of the defense mechanism that protect the placental vascular system against ROS.
Method: A total of 28 placenta tissue samples (consist of normal pregnancy, early pre-eclampsia and late pre- eclampsia) were homogenized and studied for SOD enzyme activity assay. The specific activity of SOD was measured by xanthine, xanthine oxidase (XOD) and INT as the SOD activity is calculated by degree of inhibition of reaction of generated superoxide (produced by xanthine substrate) with INT to form red formazan dye. In which, the amount of dye is calculated by spectrophotometry UV (505 nm).
Result: The average log of specific activity of SOD is 6.43 U/mg, 3.46 U/mg and -0.18 U/mg for normotensive pregnancy, late pre-eclampsia and early pre-eclampsia respectively. The statistical analysis also revealed that there is significant difference between SOD activities of onset of pre-eclampsia (early and late) and also between both onset of pre-eclampsia with normal pregnancy (p<0,05).
Conclusion: SOD activity in early pre-eclampsia has the lowest value, seconded by late pre-eclampsia. Thus, placenta of early pre-eclampsia has the highest oxidative stress compare to in normal pregnancy and in late pre- eclampsia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurul Istiqomah
"Gangguan metabolisme mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) merupakan salah satu komplikasi yang ditemukan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis (PGK-HD). Manifestasi GMT-PGK dapat merupakan kelainan sistemik ataupun hanya ditemukan di tulang yang disebut sebagai renal osteodystrophy(ROD). Risiko kematian akibat GMT-PGK mencapai 17,5%. Di Indonesia, pemeriksaan penanda tulang terkait GMT-PGK belum secara rutin dikerjakan karena belum tercakup dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tujuan penelitian ini menganalisis profil kalsium, fosfat, PTH, dan vitamin D 25(OH) pada pasien PGK-HD. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 124 pasien hemodialisis rutin di Unit Hemodialisis RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober 2022. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari semua pasien hemodialisis yang memiliki data jenis kelamin, usia, durasi HD, fosfat, kalsium total, vitamin D 25(OH), dan PTH. Profil parameter tulang di dominasi turnover tinggi (75,8%), normokalsemia (78%), hiperfosfatemia (57,3%), dan status defisiensi vitamin D (82,3%). Pada penelitian ini didapatkan korelasi hanya pada parameter durasi HD dan PTH. Profil kelainan tulang berdasarkan penelitian ini lebih didominansi kelainan turnover tinggi sehingga dapat menjadi dasar untuk pemberian suplementasi analog vitamin D dan atau kalsimimetik dalam pengendalian peningkatan PTH pada pasien HD. Hiperfosfatemia masih mendominasi proporsi pasien HD sehingga tatalaksana terhadap hiperfosfatemia perlu lebih ditingkatkan dan disarankan untuk pemeriksaan berkala.

Chronic kidney disease–mineral and bone disorder (CKD-MBD) is one of the complications found in CKD patients undergoing hemodialysis (CKD-HD). Manifestations of CKD-MBD can be a systemic disorder or only found in the bone which is known as renal osteodystrophy (ROD). The risk of death from CKD-MBD reaches 17.5%. In Indonesia, examination of bone markers related to CKD-MBD has not been routinely carried out because it has not been covered by the National Health Insurance financing. The aim of this study was to analyze the profile of calcium, phosphate, PTH, and vitamin D 25(OH) in patients with chronic kidney disease undergoing routine hemodialysis. This research is a cross-sectional study involving 124 routine hemodialysis patients at the Hemodialysis Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) which took place from June to October 2022. This study used secondary data from all hemodialysis patients who had data on gender, age, duration of HD, phosphate, total calcium, vitamin D 25(OH), and PTH. Bone parameter profile was dominated by high turnover (75.8%), normocalcemia (78%), hyperphosphatemia (57.3%), and vitamin D deficiency status (82.3%). In this study, correlation was found only on the HD and PTH duration parameters. The profile of bone abnormalities based on this study is more dominated by high turnover disorders so it can be a basis for administering supplementation of vitamin D analogues and or calcimimetics in controlling increased PTH in HD patients. Hyperphosphatemia still dominates the proportion of HD patients so that the management of hyperphosphatemia needs to be further improved and periodic checks are recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Novita
"ABSTRAK
Latar belakang : Etiologi trombositopenia sangat beragam sehingga sulit untuk
diidentifikasi. Sangat penting mengetahui penyebab terjadinya trombositopenia
karena berhubungan erat dengan rencana penatalaksanaan yang diberikan. Belum
tersedia tes diagnostik sederhana, cepat dan mudah untuk mengetahui aktivitas
trombopoiesis. Immature platelet merupakan trombosit muda yang berhubungan
erat dengan aktivitas trombopoiesis. Diharapkan pengukuran persentase immature
platelet dapat membedakan etiologi trombositopenia yang terjadi karena
gangguan produksi megakariosit di sumsum tulang atau karena meningkatnya
destruksi di perifer sehingga dapat menghindari tindakan pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan menilai pemeriksaan IPF sebagai penanda
aktivitas trombopoiesis pada pasien trombositopenia. Mendapatkan nilai rujukan
parameter IPF pada orang dewasa normal di Jakarta menggunakan alat sel hitung
otomatik Sysmex XE-5000. Mendapatkan nilai cutt-off IPF untuk membedakan
trombositopenia yang disebabkan oleh gangguan produksi atau gangguan
destruksi.
Metode : Desain penelitian adalah potong lintang. Menggunakan 256 orang
peserta medical check up di RS MMC dan 203 pasien trombositopenia yang
berasal dari RSCM dan RS MMC.
Hasil : Nilai rujukan IPF orang dewasa di Jakarta menggunakan Sysmex XE-
5000 sebesar 0.64-3.20%. Nilai cutt-off IPF untuk membedakan trombositopenia
dengan aktifitas trombopoiesis meningkat atau trombositopenia dengan aktifitas
trombopoiesis normal atau rendah sebesar 7.65% dengan sensitivitas 91% dan
spesifisitas 92%.
Kesimpulan : Kami menyimpulkan bahwa IPF dapat dijadikan salah satu
penanda aktivitas trombopoiesis pada pasien trombositopenia sehingga dapat
membedakan penyebab trombositopenia karena gangguan produksi trombosit di
sumsum tulang atau gangguan destruksi perifer.

ABSTRACT
Background: It is difficult to identify the etiology of thrombocytopenia due to its
various types. A simple, fast and easy diagnostic test is not available yet to
identify thrombopoiesis activity. Immature Platelet Fraction is an
evaluation/assessment of immature platelet, which represents the state of
thrombopoiesis. It is expected that the immature platelet measurement will be able
to distinguish the etiology of current thrombocytopenic caused by defect
megakaryocytic production in the bone marrow or by the increased peripheral
platelet destruction, thereby avoiding the need for bone marrow aspiration
examination.
Aims: The IPF examination is a marker of thrombopoiesis activity on patients
with thrombocytopenia. This study was performed to establish reference range
of IPF on healthy adults in Jakarta and its cut-off values to distinguish
thrombocytopenia caused by production disturbance or destruction by using
Sysmex XE-5000 automated hematology analyzer.
Method: Cross-sectional study in thrombocytopenic patients. We have analyzed
IPF in 256 people who undergo medical check-up at MMC Hospital and 203
thrombocytopenia patients from RSCM and MMC Hospital.
Results: The reference range of adult IPF was 0.64-3.20%. The IPF cut-off to
distinguish thrombocytopenia caused by increasing thrombopoiesis activity or
thrombocytopenia with normal or low thrombopoiesis activity was 7.65% and its
sensitivity and specificity were 91% and 92% respectively.
Conclusions: We conclude that IPF can be used as thrombopoiesis activity
marker in thrombocytopenic patients; hence, it can distinguish the cause of
thrombocytopenia caused by platelet production disorder in the bone marrow or
peripheral destruction."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arleen N. Suryatenggara
"Infeksi yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) telah menyebabkan beban mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Mengingat hal tersebut, sangat penting untuk dapat mendeteksi MRSA dengan cepat dan akurat. Saat ini deteksi MRSA dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode fenotipik dan genotipik. Pada penelitian ini, metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin, sementara metode genotipik dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR) gen nuc dan mecA. Gen nuc merupakan penanda genetik S. aureus, sedangkan gen mecA adalah gen yang mengkode penicillin-binding protein 2a (PBP2a). Protein ini memiliki afinitas rendah terhadap antibiotik β-laktam, sehingga menyebabkan resistensi terhadap antibiotik seperti metisilin, oksasilin, dan sefoksitin.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode fenotipik terhadap metode genotipik yang merupakan baku emas dalam mendeteksi MRSA. Sebanyak 136 isolat S. aureus diikutsertakan dalam penelitian ini. Dilakukan PCR untuk mengamplifikasi gen nuc dan mecA dengan hasil: 37 sampel terdeteksi sebagai MRSA (nuc+, mecA+), 96 sampel sebagai methicillinsensitive Staphylococcus aureus atau MSSA (nuc+, mecA-), and 3 sampel sebagai bukan S. aureus (nuc-). Persentase MRSA yang dideteksi dengan metode genotipik adalah sebesar 27,8%.
Deteksi MRSA dengan metode fenotipik dilakukan dengan uji kepekaan antibiotik menggunakan oksasilin dan sefoksitin. Tidak terdapat perbedaan hasil uji kepekaan antara kedua antibiotik tersebut. Secara keseluruhan, hasil deteksi MRSA dengan metode fenotipik konsisten dengan metode genotipik, dengan dideteksinya MRSA sebesar 27,8%. Hal tersebut mengartikan bahwa sensitivitas dan spesifisitas metode fenotipik terhadap metode genotipik adalah sebesar 100%.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection has caused significant morbidity and mortality burden. Therefore, detecting MRSA accurately as early as possible is very important. There are two methods used in detecting MRSA, which are phenotypic and genotypic methods. In this study, phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin, while genytopic method was carried out by amplifying nuc and mecA gene with polymerase chain reaction (PCR). Nuc gene is a genetic marker for S. aureus, and mecA gene is responsible in the coding of penicillin-binding protein 2a (PBP2a). This protein has a low affinity to β-lactam antibiotics, thus causing antibiotic resistance to the antibiotics, such as methicillin, oxacillin, and cefoxitin.
This study was aimed to compare phenotycipic method to genotypic method as the gold standard, to detect MRSA. There were 136 S. aureus isolates included in this study. PCR to amplify nuc and mecA gene was conducted with the results of the following: 37 samples detected as MRSA (nuc+, mecA+), 96 samples as methicillin-sensitive Staphylococcus aureus or MSSA (nuc+, mecA-), and 3 samples as non-S. aureus (nuc-). The percentage of MRSA detected by genotypic method was 27,8%.
The detection of MRSA through the phenotypic method was done by antibiotic susceptibility test using oxacillin and cefoxitin. Susceptibility test between these antibiotics showed no difference in result. In general, the result of phenotypic method was consistent to the results from the genotypic method, by detecting 27,8% MRSA. Therefore, the sensitivity and specificity of phenotypic method compared to the genotypic method were 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Sagran
"Pendahuluan: Thalassemia adalah suatu kelainan genetik akibat kegagalan sintesis rantai globin, mengakibatkan terjadinya anemia berat akibat peningkatan aktivitas eritropoiesis yang inefektif dan hemolisis. Peningkatan aktivitas eritropoiesis akan memacu peningkatan absorpsi besi di usus sehingga terjadi kelebihan besi dalam tubuh. Transfusi darah dilakukan secara berkala untuk mengatasi anemia yang timbul pada pasien thalassemia mayor. Pemberian transfusi berulang akan mempercepat terjadi secondary iron overload, untuk mengatasinya diberikan terapi kelasi rutin.
Tujuan : Mendapatkan perubahan nilai indeks transferin, saturasi transferin, dan feritin sebelum dan sesudah transfusi dan juga sebelum dan sesudah terapi kelasi pada pasien thalassemia mayor. Mendapatkan perbedaan indeks transferin dan saturasi transferin, dan feritin sebagai parameter untuk menilai perubahan status besi pada pasien thalassemia mayor pasca transfusi dan terapi kelasi.
Metode: Desain penelitian kohort prospektif. Subjek penelitian terdiri dari 35 pasien thalassemia mayor usia 7-18 tahun yang mendapat transfusi berulang dan kelator besi rutin. Dilakukan pemeriksaan kadar besi serum, UIBC, TIBC, feritin, transferin, saturasi transferin dan indeks transferin pre transfusi, pasca transfusi dan pasca terapi kelasi.
Hasil: Rerata indeks transferin pasca transfusi 124±22 % lebih rendah secara bermakna dari pre transfusi dengan nilai p=0,016, sedangkan pasca kelasi 123 ± 34.5 % (p=0,045). Saturasi transferin pasca transfusi 96 (51 – 100)% meningkat secara bermakna dibangdingkan pre transfusi 87(69-100)% dengan nilai p=0,026, namum tidak berbeda bermakna pada pasca kelasi 87 (39-100). Kadar feritin serum pasca transfusi 3737 (649 -17.094) mg/dL, meningkat secara bermakna dibandingkan pre transfusi 3315 (544,7-14.964) mg/dL (p=0,018). Perbedaan indeks transferin dan saturasi transferin pre transfusi 45(22-153)% lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pasca transfusi 35(6-89)% dengan nilai p=0,000, sedangkan pasca kelasi adalah 41±25 dengan nilai p=0,036.
Kesimpulan: pemeriksaan indeks transferin untuk pemantauan efektifitas terapi kelasi pada pasien thalasemia mayor dapat dipertimbangkan.

Introduction: Thalassemia syndromes are a group of hereditary disorder characterized by genetic deficiency in the synthesis of β-globin chains. It is associated in severe anemia caused by an increase in ineffective erythropoiesis activity and hemolysis. Erythropoiesis activity will spur increased iron absorption in the intestine so there will be an excess of iron in the body. Blood transfusion is used routinely to treat anemia arising in patients with thalassemia major. Repeated transfusion will accelerate occur secondary iron overload, to solve given chelation therapy routine.
Objective: To know the index value changes transferrin, transferrin saturation, and ferritin before and after transfusion and also before and after chelation therapy in patients with thalassemia major. To know difference transferrin index and transferrin saturation, and ferritin as a parameter to assess changes iron status in patients thalassemia major post-transfusion and chelation therapy.
Methods: This was prosphective cohort, There were 35 patients with thalassemia major who receive repeated transfusions and iron kelator routine, with age 7-18 years. Examination of serum iron levels, UIBC, TIBC, ferritin, transferrin, transferrin saturation and transferrin index before transfusion, after transfusion, and after chelation therapy.
Results: Mean transferrin index post-transfusion 124±22% was significantly lower than pre transfusion (p=0.016), as well as post-chelation 123±34.5% with a value of p=0.045. Transferrin saturation post-transfusion 96 (51-100)% increased significantly with pre transfusion 87 (69-100)% with a value of p=0.026, However no significant difference were observed in post chelation therapy 87 (39-100). Post-transfusion serum ferritin level 3737 (649-17094) mg/dL, increased significantly compared to pre transfusion 3315 (544.7-14,964) mg/dL (p=0.018). Differences transferrin index and transferrin saturation pre transfusion was 45 (22-153)% significantly higher than the post-transfusion 35 (6-89)% with a value of p=0.000, while the post chelation thyrapy was 41±25% (p=0.036).
Conclusion: Transferrin index can be considered for monitoring the effectiveness of chelation therapy in patients with thalassemia major.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Putri Tungga Dewi
"ABSTRAK
Secondary iron overload pada thalassemia mayor terjadi karena eritropoiesis inefektif dan tranfusi berkala. Besi melebihi transferin sehingga banyak non transferin bound iron NTBI yang mengkatalisasi terjadinya ion radikal bebas yang merusak jaringan. Pengendapan besi pada saluran cerna mengakibatkan perubahan fungsi, kerusakan organ, gangguan ketersediaan asam amino. Iron overload dikurangi dengan kelasi besi. Transferin merupakan kelator alami tubuh terdiri asam amino dominan alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Berdasarkan penelitian, pasien iron overload memiliki transferin lebih rendah dibandingkan non iron overload. Penelitian bertujuan mengetahi perubahan status besi, profil asam amino dan hubungan iron overload dengan profil asam amino. Parameter yang diteliti : besi serum, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , feritin, saturasi transferin, indeks transferin, alanin, leusin, glisin, asam aspartat. Desain penelitian kohort dengan 21 subjek, yaitu 13 thalassemia beta mayor dan 8 thalassemia beta HbE. Hasil penelitian didapatkan perubahan status besi bermakna yaitu peningkatan feritin pasca transfusi, penurunan feritin pasca kelasi 1 bulan, peningkatan kadar besi pasca kelasi 3 bulan. Perubahan asam amino bermakna yaitu penurunan alanin, leusin, serta peningkatan glisin pasca kelasi 1 bulan Terdapat hubungan kuat, bermakna searah antara indeks transferin dan alanin pre transfusi. Terdapat hubungan kuat, bermakna, searah antara indeks transferin dengan alanin dan glisin pasca transfusi.

ABSTRACT
Secondary iron overload in thalassemia major occurs due to ineffective erythropoiesis and periodic transfusions. The excess of iron exceed transferrin so there are many non transferrin bound iron NTBI that induce tissue damaging free radical ion. Accumulation of iron in intestine can lead to changes in the function, organ damage, lack of amino acid availability. Iron overload can be reduced by iron chelation. Transferrin is the body 39 s natural chelator comprising of dominant amino acid alanine, leucine, glycine, aspartic acid. Research found that transferrin were lower in iron overload patients. This study aims to acquire the changes of iron status, amino acid profile, and correlation between iron overload and amino acid profile. Studied parameter were serum iron, unsaturated iron binding capacity UIBC , total iron binding capacity TIBC , ferritin, transferrin saturation, transferrin index, alanine, leucine, glycine, aspartic acid. The study design were cohort with 21 subjects consisted of 13 beta major thalassemia and 8 beta Hbe thalassemia. The result showed significant iron status changes ferritin increased post transfusion, ferritin decreased after 1 month chelation and serum iron increased after 3 months chelation. Significant amino acid profile changes decreased of alanine and leucine, and glycin increased after 1 month chelation. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine pre transfusion. There rsquo s significant correlation between transferrin index and alanine, glycine after 3 month chelation. "
2017
T55642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Handayani
"Resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah besar dunia, berdampak pada penatalaksanaan pasien lebih sulit, lamanya perawatan di rumah sakit, dan meningkatnya mortalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi mortalitas pasien yang terinfeksi kuman MDR, XDR, dan panresisten, mengetahui jenis kuman penyebab MDR, XDR, dan panresisten, serta jenis spesimen apa saja ditemukan kuman MDR, XDR, dan panresisten pada pasien yang mengalami mortalitas. Data penelitian didapatkan dari hasil kultur dan resistensi pasien di Laboratorium Mikrobiologi RSUPNCM mulai Juli 2015, dan dicari data mortalitasnya pada rekam medik.
Pada penelitian ini didapatkan proporsi mortalitas pasien yang terinfeksi kuman MDR adalah 24.8, jenis kuman terbanyak pasien yang terinfeksi kuman MDR yang meninggal adalah Klebsiella pneumoniae, dan jenis spesimen terbanyak adalah sputum. Untuk kuman XDR didapatkan proporsi mortalitas 40.4, jenis kuman terbanyak pada pasien yang meninggal adalah Acinetobacter baumannii anitratus, dan spesimen terbanyak adalah sputum. Pada penelitian ini tidak didapatkan pasien yang terinfeksi kuman panresisten.

Resistance to antibbiotics is a major world problem, have an impact on patient management that more difficult, lenght of hospitalization, and increased mortality. This study aimed to determine the proportion of the mortality of patient infected by MDR, XDR, and panresistant bacteria, knowing the bacteria that cause MDR, XDR, an panresistant, as well as any type of specimen discovered MDR, XDR, and panresistant bacteria in patients with mortality. The data obtained from culture and resistante results patients in the Laboratory of Microbiology RSUPNCM began in July 2015, and requested the mortality data on medical records.
In this study, the proportion of the mortality of patients with MDR bacteria is 24.8, Klebsiella pneumoniae is the most type of bacteria in patients who died with MDR bacteria, and sputum is the most common specimen. The proportion of of the mortality of patients with XDR bacteria is 40.4, Acinetobacter baumannii anitratus is the most type of bacteria in patients who died with XDR bacteria, and sputum is the most common specimen. In this study, no patients get infected by panresistant bacteria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>