Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Haris Sanjaya
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis secara kriminologis adanya paradoks diversi yang melibatkan anak dalam kasus tawuran di Jakarta dengan menggunakan teori paradoks dan konsep-konsep kriminologi. Berdasarkan analisis pada data kualitatif deskriptif, temuan empiris mendapati bahwa kebijakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) bergantung konteks masalah. Sedangkan tawuran yang terjadi lebih sering dipicu oleh tindakan balas dendam antar-kelompok yang mengarah pada perilaku geng. Penelitian juga menemukan paradoks dalam cara berpikir antara cara pandang formal dengan cara pandang kontekstual dalam memahami diversi pada anak dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA). Temuan cara pandang ini berujung pada temuan bahwa adanya paradoks diversi di tingkat implementasi (mikro), aturan hukum (meso), dan konsep (makro). Melalui telaah teoritis penelitian akhirnya memunculkan konsep penamaan ‘antinomi diversi’, yaitu tentang dua pernyataan yang seolah divalidasi oleh nalar, namun pada akhirnya membuahkan kegagalan. Atas dasar temuan ini, penelitian menindaklanjutinya dengan melakukan analisis peramalan kebijakan SPPA dan analisis strengths, weaknesses, opportunities, dan threats. Hasil analisis secara keseluruhan merekomendasikan perlunya stakeholders mencari solusi praktis secara berkala setiap tahun untuk mengatasi kasus tawuran anak di Jakarta yang mengarah kepada perilaku kelompok geng. Kemudian penting untuk pemerintah melakukan telaah ulang kebijakan yang memunculkan permasalahan paradoks diversi dalam penanganan ABH dalam SPPA di semua tingkatan. ......This study analyses criminologically the paradox of diversion involving children in brawl cases in Jakarta using paradox theory and criminological concepts. Based on the analysis of descriptive qualitative data, the empirical findings found that the diversion policy for children in conflict with the law (ABH) depends on the context of the problem. Meanwhile, brawls that occur are more often triggered by inter-group revenge actions that lead to gang behaviour. The research also found a paradox in the way of thinking between a formal perspective and a contextual perspective in understanding diversion for children in the juvenile criminal justice system (SPPA). The findings of this perspective lead to the finding that there is a paradox of diversion at the implementation (micro), rule of law (meso), and concept (macro) levels. Through theoretical analysis, the research finally came up with the concept of naming the 'antinomy of diversion', which is about two statements that seem to be validated by reason, but ultimately result in failure. Based on these findings, the research followed up by conducting a SPPA policy forecasting analysis and a strengths, weaknesses, opportunities, and threats analysis. The results of the overall analysis recommend the need for stakeholders to find practical solutions periodically every year to overcome cases of child brawls in Jakarta that lead to gang behaviour. Then it is important for the government to review policies that raise paradoxical problems of diversion in handling ABH in SPPA at all levels.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arijani Lasmawati
Abstrak :
Penelitian ini berupaya mengubah perspektif umum terhadap kelompok remaja di fase usia remaja akhir yang terlibat dalam tindak pidana terorisme dari non victim menjadi designated victim. Merujuk pada Strobl, designated victim merupakan kondisi dimana seseorang yang tidak menganggap dirinya sebagai korban, tetapi dianggap sebagai korban oleh individu/kelompok lain (Strobl, 2010). Melalui in-depth interview, focus group discussion, dan Analytical Hierarchy Process yang melibatkan informan utama, pendukung, dan pakar, penelitian ini menemukan bahwa posisi remaja sebagai designated victim dapat dijelaskan melalui relasi kerentanan, viktimisasi struktural, radikalisme dan terorisme, dan risk society. Relasi keempat faktor ini terepresentasi dalam 8 konteks sosial yang menjadi latar masa perkembangan remaja, yakni: konstruksi eksklusivitas beragama dalam sosialisasi primer dan sekunder, kontribusi konflik keluarga, sifat altruisme sebagai perwujudan solidaritas in-group, paparan konten radikal secara intensif dalam media sosial, keterlibatan kelompok radikal, definisi situasi yang berbeda terhadap radikalisme dan terorisme, propaganda dalam peristiwa politik lokal dan global, dan kebijakan yang bersifat intoleran. Relasi ini menempatkan para remaja pada realitas berbeda dimana nilai dan norma yang diyakini oleh mereka berbeda dengan nilai dan norma yang berlaku umum, sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah korban atau designated victim. Untuk itu, dibutuhkan strategi di level mikro, meso, hingga makro dalam agenda pencegahan dan penanggulangan pelibatan remaja dalam radikalisme dan terorisme di Indonesia kedepannya sebagai bentuk perlindungan hak remaja sebagai individu yang masih dalam proses perkembangan. ......This study aims to transform the general perception of late adolescent terrorist participants from non-victims to designated victims. Referring to Strobl (2010), designated victim is a situation where a person does not regard himself/herself as a victim but is regarded as a victim by relevant others. Through in-depth interviews, focus group discussions, and the Analytical Hierarchy Process involving key informants, supporters, and experts, this study found that adolescents as designated victims can be explained through relations of vulnerability, structural victimization, radicalism and terrorism, and risk society. The relationship between these four factors is represented in eight social contexts that serve as the background in adolescent development as follows: 1) the construction of religious exclusivity in primary and secondary socialization; 2) the role of family conflict; 3) the altruism as an embodiment of in-group solidarity; 4) high exposure to radical content on social media; 5) the involvement of radical groups; 6) different definitions of situations against radicalism and terrorism; 7) propaganda in local and global political events; and 8) intolerant policies. This relationship placed adolescents in a different reality where their belief about values and standards are differ from generally accepted values and standards, and as a result, they are unaware that they are victims or designated victims. In order to safeguard the rights of adolescents as individuals who are still developing, strategies at the micro, meso, and macro levels are required in the agenda of preventing and overcoming adolescent involvement in radicalism and terrorism in Indonesia in the future.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library