Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cynthia Nikopama
"Uap logam merupakan agen penyebab atopi golongan berat molekul rendah yang menyebabkan terjadinya Metal Fume Fever(MFF). Adanya mekanisme alergi pada MFF belum diketahui dengan jelas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran atopi dan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya MFF. Desain potong lintang dengan analisis komparatif digunakan untuk mengetahui hubungan atopi serta faktor lain terhadap terjadinya MFF pada pekerja las.Subjek penelitian adalah 234 pekerja las di industri suku cadang otomotif PT X di Bekasi, Indonesia.Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, pemeriksaan klinis, uji tusuk kulit, serta pengukuran arus puncak ekspirasi. 108 dari 234 sampel (46%) mengalami MFF.Tidak ditemukan adanya perbedaan proporsi yang bermakna antara subjek dengan atopi dan subjek tanpa atopi terhadap terjadinya MFF. Berdasarkan RRsuaian dengan melakukan penyesuaian antar variabel yaitu atopi, masa kerja dan APD tidak diperoleh adanya variabel yang merupakan faktor determinan, walaupun pada perhitungan RRkasar ditemukan masa kerja > 5 tahun dan tidak menggunakan APD meningkatkan risiko MFF dengan masing-masing RRkasar (1.46, 95%IK=1.03-2.09) dan (1.5, 95%IK=1.05-2.15). Sebagai simpulan yaitu prevalensi MFF pada pekerja las sebesar 46%. Tidak terdapat perbedaan secara statistik antara proporsi subjek dengan faktor atopi untuk mengalami MFF dengan subjek tanpa faktor atopi.

Metal fume is low molecular weight atopy agent which cause Metal Fume Fever (MFF). The allergic mechanisms of MFF is still unclear. This study aims to determine role of atopy and other factors influence MFF.This was a cross-sectional study with a comparative analysis to determine assosiation between atopy and other influencing factors with occurrence of MFF on welder. Subjects were 234 workers in PT X an automotive sparepart industry in Bekasi, Indonesia. Data collected through questionnaires, clinical examination, skin prick test and peak expiratory flow measurements. 108 of 234 samples (46%) experienced MFF. There were no significant differences proportion between subjects with atopy and non atopy to the occurrence of MFF. Based on adjusted Relative Risk (adjusted RR) by making adjustments between variables atopy, working period and usage of PPE, this study wasn?t obtained the existance of a variable which act as determinant factor. Although crude relative risk analysis was found work period over 5 years and not using PPE increases the risk of MFF, which for working periode (RRcrude=1.46; 95%CI=1:03-2:09) and a habit of not using Personal Protective Equipment (PPE) (RRcrude =1.5; 95%CI=1:05-2:15).The prevalence of MFF on welder was46%. No statistic significant differance between proportion of subjects with atopy and subjects without atopy for experiencing MFF."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Yulianti
"Latar belakang. CAPD merupakan modalitas dialisis yang berkembang di Indonesia. Status nutrisi dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien CAPD. Indonesia belum memiliki data mengenai status nutrisi pasien CAPD, serta faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada kelompok pasien tersebut.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD.
Metode. Penelitian potong lintang dilaksanakan di poliklinik CAPD RSCM dan RS PGI Cikini bulan Desember 2012 sampai Mei 2013. Status nutrisi dinilai dengan Malnutrition Inflammation Score. Inflamasi didapatkan dari pemeriksaan hsCRP. Asidosis metabolik didapatkan dari pemeriksaan HCO3 vena. Asupan energi dan protein harian didapatkan dari analisis food record dengan menggunakan program FP2. Usia dan lama menjalani CAPD didapatkan dari kartu identitas dan rekam medis. Analisis bivariat dilakukan dengan metode Pearson atau Spearman/Kendall. Analisis tidak dilanjutkan ke analisis multivariat karena distribusi status nutrisi sebagai variabel tergantung tidak normal.
Hasil. Dari 44 subjek penelitian, didapatkan 75% subjek penelitian memiliki status nutrisi baik. Rerata usia 48,4+12,6 tahun. Median lama menjalani CAPD adalah 20,5 bulan (2-94 bulan) dan median kadar hsCRP sebesar 2,8 mg/L (0,2-204,2 mg/L). Rerata kadar HCO3 sebesar 25,2+2,3 mEq/L. Rerata asupan energi adalah 37,3+ 9,3 kkal/kg/hari dan rerata asupan protein 1,0+ 0,3 gram/kg/hari. Faktor inflamasi berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD (r=0,433; p=0,003).
Simpulan. Faktor yang berkorelasi dengan status nutrisi pada pasien CAPD adalah inflamasi. Korelasi antara usia, lama menjalani CAPD, asupan energi dan protein serta asidosis metabolik dengan status nutrisi belum dapat dibuktikan pada penelitian ini.

Background. CAPD is a developing dialysis modality in Indonesia. Nutritional status is considered as one of determinant factor in CAPD patients survival. There is no data regarding nutrional status and correlated factors with nutritional status in CAPD patients in Indonesia.
Objectives. To know correlated factors with nutritional status in CAPD patients.
Methods. A cross sectional study was conducted in CAPD clinic at Cipto Mangunkusumo and Cikini Hospital during December 2012 until May 2013. Nutritional status was determined by Malnutrition Inflammation Score, inflammation by hsCRP and metabolic acidosis by vein HCO3. DEI and DPI were determined by food record analysis by using FP2 program. Age and dialysis vintage were based on identity card and medical record. Statistical analysis was performed by using Pearson or Spearman/Kendall methods. Multivariat analysis can't be done in this study because of the distribution abnormality of nutritional status as independent variable.
Results. Out of 44 subjects, the nutritional status of 75% subjects was found good. Mean age was 48.4+12.6 years old. Dialysis vintage median was 20.5 (2-94) months and hsCRP level median was 2.8 (0.2-204.2) mg/L. Mean HCO3 level was 25.2+2.3 mEq/L. Mean DEI was 37.3+9.3 kcal/kg/d and mean DPI was 1.0+0.3g/kg/d. Inflammation is correlated with nutritional status in CAPD patients (r=0.433 ; p=0.003).
Conclusion. Factors that correlated with nutritional status in CAPD patients is inflammation. Correlation between age, dialysis vintage, DEI, DPI and metabolic acidosis with nutritional status can not be determined yet in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Tesiman
"Pendahuluan: Infeksi HIV menyerang pusat kontrol dari sistem imun yang mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, keganasan dan kematian. Disregulasi dari sistem imun memegang peranan penting dalam progresifitas penyakit HIV. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pasien-pasien HIV mempunyai kecendrungan untuk menderita penyakit alergi seperti sinusitis, asma dan dermatitis atopik. Juga dilaporkan terjadinya peningkatan kadar serum imunoglobulin E dan peningkatan prevalensi atopi. Tujuan Penelitian: 1. Diketahuinya angka kejadian atopi pada pasien HIV dan non HIV. 2.Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin, penggunaan obat intravena, riwayat alergi di keluarga dan jurnlah limfosit CD4 dengan kejadian atopi. 3. Diketahuinya korelasi antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar IgE total Metode Penelitian: Dilakukan penelitian potong lintang terhadap 92 orang dengan infeksi HIV / AIDS dan 90 orang non HIV. Adanya atopi dinyatakan berdasarkan pemeriksaan uji tusuk kulit dengan menggunakan enam macam aeroalergen yang umurn di lingkungan. Terhadap pasien-pasien dengan HIV/AIDS yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan konfirmasi dengan ELISA 3 kali ataupun pemeriksaan Western Blot dilakukan pemeriksaan kadar imnuoglobulin E total, jumlah limfosit CD4 serta dilakukan pengambilan anamnesis. Hasil Penelitian: Dari sembilan puluh dua pasien dengan infeksi mv dan sembilan puluh orang non HIV yang diteliti, didapatkan terdiri atas 65 laki-laki (70.7%) dan 27 perempuan (29.3%) pada kelompok HIV, sedangkan pada kelompok non HIV terdiri atas 40 laki-laki (44.4%) dan 50 wanita ( 55.6%). Umur subjek penelitian berkisar antara 20 sampai dengan 55 tahun dengan rerata 29.325.7 tahun pada kelompok HIV, sedangkan rerata umur kelompok kontrol adalah 27.9 ± 4.5 tahun. Berdasarkan rute transmisi HIV didapatkan sebanyak 52 orang adalah pengguna obat-obatan intravena (56.5%), 35 orang melalui transmisi seksual (38%) sedang sisanya 5 orang (5.5%) mempunyai risiko keduanya. Jumlah limfosit CD4 berkisar 2 sampai 674 selluL dengan median 160 selluL. Kadar imunoglobulin E total berkisar dari 3 sampai dengan 20.000 IU/mL dengan median 283.5 ID/mL. Lima puluh orang dengan HIV dinyatakan atopi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001) Aeroalergen tersering yang menimbulkan sensitasi adalah D farinae sebanyak 50% dan D pteronyssinus (30%). Kami juga mendapatkan adanya korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunoglobulin E total. Kami tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, rute transmisi, riwayat alergi di keluarga serta jumlahlimfosit CD4 dengan kejadian atopi. Kesimpulan: Terjadi peningkatan prevalensi atopi pada pasien-pasien dengan HIV/AIDS serta terdapat korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunogobulin E total. Oleh karena itu merupakan hal yang penting untuk melakukan evaluasi status atopi pasienHIV I AIDS untuk mencegah timbulnya penyakit alergi pada pasien terse but yang dapat mempercepat progresifitas penyakitnya melalui disregulasi dari sistem imun.

Background: HIV infection attacks the centre of immune control system resulting opportunistic infection, malignancy and death. Dysregulation immune system plays the central role in the progression of the disease. Some studies have reported HIV -infected patient prone to have allergic disease such as sinusitis, asthma and atopic dermatitis. Elevated serum immunoglobulin E (Ig E) and increased prevalence of atopy also had been reported in HIV infected patient Objective: I.To determine and compare the prevalence of atopy among HIV infected/AIDS patient with non HIV patients and investigate its predictors. 2. To investigate the relationship between CD4 cell count, Ig E level and atopy Methods: A cross sectional method study was performed to 92 HIV infected/AIDS patient and 90 non HIV patients. They were studied for the presence of atopy based on the immediate hypersensitivity to six common aeroallergens by skin prick test. CD 4 cell count, total serum immunoglobulin level and medical history were taken. The HIV infected patients had been confirmed by the presence of antibody determined by ELISA method done three times or by western blot methods. Result: Ninety-two HIV infected patients and ninety non HIV patients had been studied, they were 65 males (70.7%) and 27 female (29.3%) in HIV arm and 40 males (44.4%), 50 females (55.6%) in non mv group. Subject's age between 20 to 55 years old. (mean: 29.3±5.7years) in HIV ann and 27.9 ± 4.5 years old in control group. Belonging to HIV route transmission: 52 intravenous drug users (56.5%), 35 heterosexual partners of HIV infected patients (38%) and 5 subjects who have both risks (5.5%). CD4 cell count of the subjects range from 2 to 674 cells, median 160 cellslmm3 . The total of immunoglobulin E level range from 3 to 20,000 IU/mL with median 283.5 IU/mL. 50 subjects with HIV + were identified as atopic higher than in non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001). The most common aeroallergen is D farinae (50% subjects of atopy shown positive result) and D pteronyssinus (30%). We also found a significant negative correlation between CD4 count and Total immunoglobulin E level (r= -0.544, p=O.OOO), but there is no relationship between gender, allergic history in family, route of transmission, and CD4 count with atopy. Conclusion: There is an increase prevalence of atopy among HIV I AIDS patients and negative correlationship between CD4 count and total Imunnoglobulin E level. It is important to evaluate the atopic state in HIV patient to prevent the patients from allergic diseases which could accelerate HIV infection by dysregulation of immune system."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T57662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Ayu Putu Yunihati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit
autoimun multisistem mengenai multiorgan akibat produksi antibodi dan kompleks
imun. Memiliki mortalitas 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum dimana
saat awal berkaitan dengan infeksi dan inflamasi, sedangkan jangka panjang
berkaitan dengan aterosklerosis. Adapun aterosklerosis yang terjadi timbul lebih
cepat dan faktor risiko tradisional (diabetes melitus, hipertensi, hiperkolesterol,
obesitas, merokok dan lainnya) dan terapi steroid belum dapat menjelaskan hal ini.
Diduga kompleks OxLDL/β2GP1 memainkan peranan dalam proses imunopatologi
terjadinya aterosklerosis dan trombosis yang dimediasi oleh adanya penyakit
autoimun.
Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang. Subyek penelitian adalah
pasien LES poliklinik Imunologi RSUPN Ciptomangunkusomo Jakarta yang telah
dilakukan pemeriksaan Carotid Duplex dan Transcranial Doppler, serta memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek diperoleh secara konsekutif. Pada subyek
dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan fisik umum dan neurologi,
dan pengambilan darah vena untuk diperiksa kompleks OxLDL/β2GP1. Dilakukan
analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0
Hasil. Diperoleh 40 subyek pasien LES wanita tanpa drop out. Kadar kompleks
OxLDL/β2GP1 pada pasien LES dengan aterosklerosis dan tanpa aterosklerosis
masing-masing meannya 0,37 unit/ml dan 0,31 unit/ml. Berdasarkan beberapa faktor
risiko tradisional aterosklerosis (usia, LDL, DM, hipertensi dan obesitas) didapatkan
kadar kompleks OxLDL/β2GP1 pada pasien aterosklerosis maupun tidak, memiliki
mean >0,25 unit/ml.
Kesimpulan. Pasien LES dengan atau tanpa aterosklerosis memiliki kadar kompleks
OxLDL/β2GP1 lebih dari 0,25 unit/ml namun tidak terdapat perbedaan bermakna.
Demikian pula pada aterosklerosis yang disertai atau tanpa disertai faktor risiko
tradisional.

ABSTRACT
Background. Systemic Lupus Erythematous (SLE) is a multisystem autoimmune
disease that can affect various organs due to production of antibodies and immune
complexes. The mortality rate of SLE patients is three times higher than the general
population. In early disease, mortality is related to infection and inflammation,
whereas in advanced stage it is related to atherosclerosis. In SLE, atherosclerosis
occurs faster; however the traditional risk factors (diabetes mellitus (DM),
hypertension, hypercholesterolemia, obesity, smoking, etc.) and steroid therapy
have not been able to explain this phenomenon. It is hypothesized that the
OxLDL/β2GP1 complexes play roles in the immunopathological process of
atherosclerosis and thrombosis that is mediated by the presence of autoimmune
disease.
Method. A cross-sectional study was conducted. The study subjects were SLE
patients from immunology clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta who
previously have underwent carotid duplex and transcranial Doppler examination and
also met the inclusion and exclusion criteria. Subjects were obtained consecutively;
they were interviewed, asked to fill questionnaire, underwent general and
neurological physical examination, and their venous blood samples were collected.
Data analysis were done by using SPSS 17.0.
Result. A total of 40 SLE patients were included in this study; all subjects were
female and there were no drop out cases. The mean of OxLDL/β2GP1 complexes
level in SLE patients with and without atherosclerosis were 0,37 unit/ml and 0,31
unit/ml, consecutively. Based on several traditional risk factors for atherosclerosis
(age, LDL, DM, hypertension and obesity), the mean of OxLDL/β2GP1 complexes
level in patients with and without atherosclerosis is > 0,25 unit/ml.
Conclusion. SLE patients with or without atherosclerosis have level of
OxLDL/β2GP1 complexes of more than 0,25 unit/ml, but there were no significant
difference. Similar results were found in atherosclerosis with or without traditional
risk factors."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library