Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Budiman
"Mengetahui proporsi gangguan fungsi paru pada remaja jalanan perokok dan hubungan antara perilaku merokok dengan gangguan fungsi paru.
Metode: Studi potong lintang pada 317 anak jalanan, usia 10-18 tahun, terdiri dari perokok dan bukan perokok. Uji fungsi paru dilakukan pada subjek dengan menilai FEV1/ FVC, FEV1, FVC, V50 dan V25.
Hasil: Subjek perokok sebanyak 182 remaja jalanan (57,4%), sebagian besar merupakan perokok kadang-kadang (53%), lama merokok 1-2 tahun (54%), jenis rokok yang digunakan adalah rokok filter (58%), dan jumlah rokok yang dikonsumsi 1-10 batang per hari (93%). Rerata parameter fungsi paru subjek perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok, dengan perbedaan bermakna pada nilai FEV1 dan FVC (p<0,05). Rerata nilai FEV1 dan FVC subjek perempuan perokok berbeda bermakna dengan bukan perokok, begitupun dengan rerata nilai FVC subjek lelaki (p<0,05). Proporsi gangguan fungsi paru subjek perokok berbeda bermakna dengan bukan perokok (p=0,016). Terdapat hubungan antara jenis rokok dengan gangguan fungsi paru (p<0,001), dimana pengguna rokok kretek paling banyak mengalami gangguan. Terdapat hubungan antara derajat perilaku merokok dengan gangguan fungsi paru (p=0,046).
Simpulan: Rerata parameter uji fungsi paru (FEV1 dan FVC) pada remaja jalanan perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Proporsi gangguan fungsi paru pada remaja jalanan perokok 26,5%, terdiri dari campuran (16,1%), restriktif (8,2%) dan obstruktif (2,2%). Jenis rokok dan derajat perilaku merokok memiliki hubungan dengan kejadian gangguan fungsi paru.

Street children and smoking prevalence are highly increasing. Studies on pulmonary function among adolescent street children smokers are still limited with controversial result.
Objective: To determine proportion of pulmonary dysfunction among adolescent street children smokers and to evaluate relation between smoking behaviour with pulmonary dysfunction.
Methods: A cross sectional study among 317 street children, aged 10-18 years old, including smokers and non-smokers which were recruited consecutively. Subjects undergone pulmonary function test which measured FEV1/ FVC, FEV1, FVC, V50 and V25.
Results: Subject smokers were 182 children, most of them were occasional smokers (53%), smoking period around 1-2 years (54%), using filtered cigarettes (58%), and consuming 1-10 cigarettes per day (93%). Mean pulmonary function parameter values of smokers were lower than non-smokers, significant difference for FEV1 and FVC (p<0.05). Mean FEV1 and FVC between smoking and nonsmoking girls were significant difference, and also mean FVC of boys (p<0.05). There was significant difference in proportion of pulmonary function abnormalities between smokers and non-smokers (p=0.016). There was relation between types of cigarettes with pulmonary dysfunction (p<0.001), the abnormalities mostly impact to kretek smokers. There was relation between smoking behaviour with pulmonary function abnormalities (p=0.046).
Conclusion: Mean pulmonary function parameter values (FEV1 and FVC) of smokers were lower than non-smokers. Pulmonary dysfunction proportion among adolescent street children smokers was 26.5%, consist of combined disorder (16.1%), restrictive (8.2%) and obstructive (2.2%). There was relation between types of cigarettes and smoking behavior with pulmonary function abnormalities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Srisadono Fauzi Adiprabowo
"Mortalitas pneumonia anak masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia hingga saat ini. Bayi dengan penyakit jantung bawaan pirau kiri kanan (PJB L-R) berisiko menderita pneumonia. Data mortalitas pneumonia pada PJB L-R dan faktor-faktor yang memengaruhi belum banyak diketahui. Penelitian kohort retrospektif ini membandingkan mortalitas pneumonia dengan PJB L-R dengan tanpa PJB. Sebanyak 129 subyek dengan rentang usia 1 bulan - 7 tahun dengan diagnosis primer pneumonia, 54 subyek dengan PJB L-R dan 75 subyek tanpa PJB. Proporsi mortalitas pneumonia dengan PJB L-R lebih banyak (57,1%) dan risiko mortalitas lebih besar (OR 2,35; IK 95% 1,06 sampai 5,18) dibandingkan pneumonia tanpa PJB. Status gizi kurang/buruk, pneumonia rekuren, dan pneumonia terkait rumah sakit (HAP) lebih banyak secara signifikan pada pneumonia dengan PJB L-R. Sedangkan, tingkat keparahan dan anemia tidak berbeda bermakna di kedua kelompok. Pneumonia dengan tingkat keparahan berat memengaruhi mortalitas secara bermakna (OR 3,24; IK95% 1,16 sampai 9,08). Pneumonia rekuren, status gizi kurang/buruk, status imunisasi tidak lengkap, anemia, dan HAP tidak terbukti berhubungan dengan mortalitas pneumonia dengan PJB L-R.

Childhood pneumonia is still a worldwide problem with high mortality. Infants with left to right shunt congenital heart disease (L-R CHD) are at risk of developing pneumonia. Pneumonias mortality in L-R CHD and its influencing factors are not well known. This retrospective cohort study analyzed mortality of pneumonia with L-R CHD with and without CHD. There were 129 subjects (age range of 1 month up to 7 years 11 months) with pneumonia as the primary diagnosis, consisting of 54 subjects with L-R CHD and 75 subjects without CHD. Mortality rate in children with L-R CHD was higher than those without CHD group (57.1%). The risk of mortality was greater (OR 2.35; 95% CI 1.06 to 5.18) compared to pneumonia without CHD. Moderate to severe malnutrition, recurrent pneumonia, and hospital acquired pneumonia (HAP) are significantly higher in L-R CHD group. Meanwhile, pneumonia severity and anemia were not significantly different in both groups. Severe pneumonia significantly affected mortality (OR 3.24; 95% CI 1.16 to 9.08). Recurrent pneumonia, moderate-to-severe malnutrition, incomplete immunization status, anemia, and HAP have not been proven to be associated with pneumonia mortality with L-R CHD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Shandi Laila
"Latar Belakang: Low cardiac output syndrome (LCOS) adalah salah satu komplikasi berat yang sering terjadi pascabedah jantung terbuka dengan insidens 25-32%. LCOS dapat terjadi akibat proses inflamasi melalui jalur inflamasi dan komplemen setelah pintas jantung-paru (PJP). Diperlukansuatu marker inflamasi yang dapat memprediksi terjadinya LCOS. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan rasio neutrofil-limfosit (neutrophil lymphocyte ratio, NLR) yang merupakan marker inflamasi sederhana dan rutin dilakukan, tetapi penggunaannya sebagai prediktor dalam menentukan LCOS belum banyak dilaporkan.
Tujuan: Mengetahui peran NLR prabedah dan 0, 4, dan 8 jam pascabedah sebagai prediktor kejadian LCOS pascabedah jantung terbuka anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB).
Metode: Penelitian menggunakan uji prognostik dengan desain kohort prospektif, dilaksanakan pada 1 Desember 2020 hingga 30 Juni 2021 di cardiac intensive care unit (CICU) Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Hasil: Dari 90 subyek didapatkan 25 subyek (27,8%) mengalami LCOS. Nilai NLR prabedah berperan dalam memprediksi kejadian LCOS (AUC 70), dengan cut off ≥0,88 (p=0,027) didapatkan sensitivitas dan spesifisitas 64% dan 64,62% (IK 95%, 57-83). Sedangkan NLR 0 jam pascabedah memiliki nilai prediksi yang baik (AUC 81) terhadap kejadian LCOS, dengan cut off ≥4,73 (p<0,0001) didapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 80% (IK 95%, 69-94). Selanjutnya NLR 4 dan 8 jam pascabedah memiliki nilai prediksi yang sangat baik (AUC 97 dan 98) terhadap kejadian LCOS, dengan cut off berturut-turut adalah ≥6,19 (p<0,0001) dan ≥6,78 (p<0,0001) didapatkan sensitivitas dan spesifisitas berturut-turut adalah 92% dan 96% (IK 95%, 92-100), serta 92% dan 96,92% (IK 95%, 94-100).
Kesimpulan: NLR prabedah dan 0, 4, dan 8 jam pascabedah terbukti berperan sebagai prediktor kejadian LCOS pascabedah jantung terbuka anak dengan PJB.

Background: Low cardiac output syndrome (LCOS) is a severe complications that often occurs in children after open heart surgery, with an incidence 25-32%. It can occur as a result of inflammatory response involving the inflammatory and complement pathways after cardiopulmonary bypass (CPB). An inflammatory marker is needed to predict the occurrence of LCOS. In this study, an examination of the neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) which is a simple and routine marker of inflammation is carried out, but its use as a predictor in determining LCOS has not been widely reported.
Objective. We aimed to explore the role of preoperative and 0, 4, and 8 hours postoperative NLR as a predictor of LCOS after open heart surgery in children with congenital heart disease (CHD).
Methods: This study used a prognostic test with a prospective cohort design, was done from 1st December 2020 until 30 th June 2021 at cardiac intensive care unit (CICU) Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Results: From 90 subjects, 27.8% (25 subjects) had LCOS. Preoperative NLR had a fair predictive value (AUC 70) for the incidence of LCOS, with a cut off value ≥0.88 (p=0.027) having a sensitivity and specificity of 64% and 64.62% (CI 95%, 57-83).While the NLR 0 hours post-operative also had a good predictive value (AUC 81) for the incidence of LCOS, with a cut off value ≥4.73 (p<0.0001) having a sensitivity and specificity of 80% (CI 95%, 69-94), respectively. Furthermore, NLR 4 and 8 hours post-operative had a very good predictive value (AUC 97 and 98) for the incidence of LCOS, with cut off value ≥6.19 (p<0.0001) and ≥6.78 (p<0.0001), having a sensitivity and specificity of 92% and 96% (CI 95%, 92-100), as well as 92% and 96.92% (CI 95%, 94-100).
Conclusion: Preoperative and 0, 4, and 8 hours postoperative NLR can be a predictor of LCOS after open heart surgery in children with CHD.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Maharani Pramudya
"Latar belakang. Jumlah pasien keganasan anak di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara dan pneumonia merupakan komplikasi infeksi tersering serta memiliki luaran yang lebih berat. Namun, hingga saat ini belum ada penelitian mengenai prevalens, karakteristik, dan faktor risiko kejadian pneumonia pada pasien keganasan anak di Indonesia
Tujuan. Mengetahui prevalens, karakteristik, dan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia pada pasien keganasan anak di RSCM.
Metode. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan metode potong lintang retrospektif menggunakan data rekam medis pasien. Subjek yang diteliti ialah seluruh pasien keganasan berusia 1 bulan-18 tahun yang dirawat inap di IGD, PICU, dan bangsal anak RSCM dari Januari 2021 sampai Desember 2023. Faktor risiko yang dianalisis, antara lain usia, jenis keganasan, status imunisasi, status gizi, tipe terapi keganasan, neutropenia, dan riwayat rawat inap ≥ 14 hari.
Hasil. Terdapat 162 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian. Prevalens pneumonia pada pasien keganasan anak di RSCM sebesar 43,2% (70/162) subjek, terdiri dari 78,5% (55/70) kasus pneumonia terkait RS dan 21,4% (15/70) kasus pneumonia komunitas. Karakteristik subjek dengan pneumonia, antara lain median usia 5,3 tahun (min-mak 0,2-17,5 tahun), median usia awitan keganasan 4,7 tahun (min-mak 0-17,3 tahun), jenis kelamin lelaki 57,1% subjek, pengidap leukemia 55,7% subjek, imunisasi tidak lengkap 38,6% subjek, status gizi kurang/buruk 54,3% subjek, terapi keganasan berupa kemoterapi 61,4% subjek, neutropenia 65,7% subjek, dan riwayat rawat inap ≥14 hari 34,3% subjek. Profil klinis dan pemeriksaan penunjang pada subjek dengan pneumonia, yakni 37,1% subjek mengalami pneumonia sangat berat, terapi oksigen dengan kecepatan  >6 lpm 40% subjek, 52,8% subjek tidak terdapat leukositosis, kadar CRP meningkat pada 80% subjek, kadar PCT meningkat pada 71,4% subjek, dan rontgen dada kesan sugestif pneumonia pada 82,9% subjek. Hasil analisis multivariat faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia dan pneumonia terkait RS adalah status gizi kurang/buruk (AOR 3,24; IK 95% 1,49-7,05; p=0,003 dan AOR 2,98; IK 95% 1,24-7,17; p=0,015), neutropenia (AOR 4,15; IK 95% 1,94-8,84; p<0,001 dan AOR 4,59; IK 95% 1,94-10,86; p<0,001), serta riwayat rawat inap (AOR 8,48; IK 95% 2,63-27,31; p<0,001 dan AOR 12,34; IK 95% 3,71-41,09; p<0,001).
Simpulan.Faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia, khususnya pneumonia terkait RS pada pasien keganasan anak adalah status gizi kurang/buruk, neutropenia, dan riwayat rawat inap ≥ 14 hari.

Background. The number of pediatric malignancies in Indonesia is the highest in Southeast Asia. Pneumonia is the most common infection in childhood cancer and also has more severe outcomes than normal children. However, there has been no research regarding the prevalence, characteristics, and risk factors influencing pneumonia in pediatric patients with malignancy in Indonesia
Objectives. To determine the prevalence, characteristics, and risk factors influencing pneumonia in pediatric patients with malignancy at RSCM.
Method. This research was a descriptive-analytical study with a retrospective cross-sectional design using medical records. The subjects studied were all malignancy patients aged 1 month-18 years who were hospitalized in the ER, PICU, and RSCM pediatric wards from January 2021 to December 2023. The risk factors which studied were age, type of malignancy, immunization status, nutritional status, type of malignancy therapy, neutropenia, and a history of hospitalization ≥ 14 days.
Result. 162 subjects met the inclusion and exclusion criteria in the study. The prevalence of pneumonia in pediatric malignancy patients at RSCM was 43,2% (70/162) subjects, consisting of 78,5% (55/70) cases of hospital-acquired pneumonia and 21,4% (15/70) cases of community-acquired pneumonia. Basic characteristics of the subjects, including median age 5,3 years (min-max 0,2-17,5 years), median age of malignancy onset 4,7 years (min-max 0-17,3 years), male 57,1% subjects, leukemia 55,7% subjects, incomplete immunization 38,6% subjects, malnutrition 54,3% subjects, chemotherapy in 61,4% subjects, neutropenia in 65,7% subjects, and history of hospitalization ≥ 14 days in 34,3% subjects. The clinical profiles and laboratory examinations in subjects with pneumonia, including 37,1% subjects had very severe pneumonia, 40% subjects had oxygen therapy >6 lpm, 52,8% subjects had no leukocytosis, CRP level increased in 80% subjects, PCT level increased in 71,4% subjects, and chest x-ray impression suggestive of pneumonia in 82,9% subjects. Multivariate analyses result of risk factors influencing pneumonia and hospital-acquired pneumonia are moderate/severe malnutrition (AOR 3,24; 95% CI 1,49-7,05; p = 0,003 and AOR 2,98; 95% CI 1,24-7,17; p = 0,015), neutropenia (AOR 4,15; 95% CI 1,94-8,84; p <0,001 and AOR 4,59; 95% CI 1,94-10,86; p <0,001) and history of hospitalization (AOR 8,48; 95% CI 2,63-27,31; p <0,001 and AOR 12,34; 95% CI 3,71-41,09; p <0,001).
Conclusion. Moderate/severe malnutrition, neutropenia, and a history of hospitalization ≥14 days are risk factors for pneumonia, especially hospital-acquired pneumonia in pediatric patients with malignancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew Renato Nafarin
"ABSTRAK
Latar belakang: Sakit perut berulang SPB merupakan penyebab terbanyak dari sakit kronis pada anak. Irritable bowel syndrome IBS merupakan salah satu penyebab terbanyak dari SPB, ditandai oleh nyeri/ rasa tidak nyaman pada perut dan perubahan fungsi saluran cerna. Patofisiologi IBS saat ini banyak dihubungkan dengan gangguan pada mikroflora usus. Belum ada data tentang mikroflora usus pada anak dengan IBS di Indonesia.Tujuan: Mengetahui pola mikroflora saluran cerna pada anak penderita IBS dan anak sehat berusia 13-18 tahun di Indonesia.Metode: Penelitian kasus-kontrol dilakukan pada 22 anak penderita IBS dan 28 kontrol pada anak usia 13-18 tahun di SMP dan SMA di Jakarta Pusat. Diagnosis IBS menggunakan kriteria Rome III. Usia, jenis kelamin, pendidikan dicatat saat awal penelitian. Spesimen feses dikumpulkan lalu diperiksa jumlah Bifidobacterium dan Enterobacteriaceae.Hasil: Penderita IBS terbanyak dari perempuan 17/22 dengan median usia 16 tahun. Nilai median Bifidobacterium spp sebesar 138,95 rentang 0,2 ndash;22.735,8 pada kelompok IBS dan 232,5 rentang 1,9 ndash;38.985,6 CFU/gram pada kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan bermakna Bifidobacterium antara kedua kelompok p=0,493 . Nilai median Enterobacteriaceae sebesar 58,9 rentang 2,5 ndash;9.577,8 CFU/gram pada kelompok IBS dan 85 rentang 12,1 ndash;3.139,4 CFU/gram pada kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan bermakna Enterobacteriaceae antara kedua kelompok p=0,938 .Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara jumlah Bifidobacterium dan Enterobacteriaceae pada kelompok IBS maupun kontrol. Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah Enterobacteriaceae pada kelompok IBS dan peningkatan jumlah Bifidobacterium pada kelompok kontrol.Kata kunci: irritable bowel syndrome, mikroflora usus, Bifidobacterium, Enterobacteriaceae
"hr>"
"ABSTRACT
"
Background Recurrent abdominal pain RAP is the most frequent cause of chronic pain in children. Irritable bowel syndrome IBS is one of the most occuring type of RAP, marked with abdominal pain discomfort and changes in bowel movement. The current pathophysiology of IBS is associated with alterations of gut microflora. Currently, there is no data about gut microflora in children with IBS in Indonesia.Aim To evaluate gut microflora in healthy children and children with IBS aged 13 18 years old in Indonesia.Methods A case control study was conducted to 22 IBS children and 28 healthy subjects aged 13 18 years old at junior high school and senior high school in Central Jakarta. Irritable bowel syndrome diagnosed using Rome III criteria. Age, sex, and level of education were recorded. Stool samples were collected and investigated for Bifidobacterium and Enterobacteriaceae.Result Most of the IBS subjects were females 17 22 with a median age 16 years old. The median value of Bifidobacterium spp was 138.95 range 0.2 ndash 22,735.8 for the IBS subjects and 232.5 range 1.9 ndash 38,985.6 CFU gram on healthy subjects with no statistical difference p 0,493 . The median value of Enterobacteriaceae was 58.9 range 2.5 ndash 9,577.8 on IBS subjects and 85 range 12.1 ndash 3,139.4 CFU gram on healthy subjects with no statistical difference p 0,938 .Conclusion There was no statistical difference for Bifidobacterium and Enterobacteriaceae on either IBS or healthy subjects. There was an increasing tendency of Enterobacteriaceae on IBS subjects and increasing tendency of Bifidobacterium on healthy subjects.Keywords irritable bowel syndrome, gut microflora, Bifidobacterium, Enterobacteriaceae"
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Hotber Edwin Rolan
"Latar belakang : Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam penatalaksanaan renjatan hypovolemik pada penderita sakit kritis. Pada umumnya pemberian cairan dalam jumlah besar dan waktu secepatnya sesuai dengan protokol early goal directed therapy EGDT . Pemberian cairan dalam jumlah yang besar dan waktu secepatnya diketahui dapat berkontribusi terhadap terjadinya hypervolemik. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemeriksaan yang dapat mengetahui bahwa resusitasi cairan yang sedang diberikan tidak menyebabkan hipervolemik.
Tujuan : 1 Melihat hubungan antara kadar troponin-i dengan resusitasi hipervolemik pada hewan model dan 2 Melihat hubungan antara troponin-i dengan kontraktilitas jantung pada hewan model.
Metode Penelitian : Penelitian ini adalah penelitian pre dan post intervention. Penelitian telah dilaksanakan pada 8 ndash; 18 juni 2017 di FKH IPB Bogor. Hewan model renjatan adalah 10 ekor Sus Scrofa jantan usia 6-8 minggu. Renjatan dilakukan dengan metode fixed pressure hemorrhage. Resusitasi pertama dilakukan dengan jumlah cairan sesuai darah yang dikeluarkan resusitasi normovolemik , dilanjutkan dengan 40 ml/kg resusitasi hipervolemik-1 dan 40 ml/kg yang kedua resusitasi hipervolemik-2 . Pengukuran kontraktilitas jantung dengan menggunakan parameter DPmax pada PiCCO dan Kadar troponin-i diukur dengan menggunakan alat iStat dari Abbott.
Hasil Penelitian : Terdapat peningkatan kadar troponin-i pasca resusitasi cairan hipervolemik p = 0,005 . Terdapat penurunan kontraktilitas jantung pasca resusitasi hipervolemik. Penurunan kontraktilitas jantung berhubungan dengan peningkatan troponin-i r=0,72; p=0,02
Simpulan : Pada hewan model terdapat hubungan antara hipervolemik dengan peningkatan troponin-i. Terdapat hubungan antara penurunan kontraktilitas jantung dengan peningkatan kadar troponin-i.

Background: Fluid resuscitation is fundamental to the acute shock hypovolemic of critically ill patient. In general, however, early and appropriate goal directed fluid therapy EGDT contributes to a degree of fluid hypervolemic in most if not all patients. Propose that assessment of hypervolemic should be considered as potentially biomarker of critical illness.
Objective : 1 To investigating the effect of fluid resuscitation in animal model with special concern on troponin-i value, 2 To investigating the corelation myocard contractility with troponin-i level.
Methods : This study is pre and post intervention. Were did at June 2017 8st ndash; 18st at FKH-IPB Bogor. Animal model were 10 male domestic pigs, 6-12 weeks old. The shock was induced with fixed pressure hemorrhage method. Fluid resuscitation was done in 2 phase. On the first attempt we replaced total number of blood that withdrawn normovolemic resuscitation . The second attempt, we gave 40 ml/kg resuscitation fluids hypervolemic resuscitation . Cardiac contractility meassurements were done with DPmax the part of PiCCO parameter.
Results: We found that serum troponin-i increase after hypervolemic resuscitation r=0,81;p=0,005 . DPmax decrease significantly after the second resucitation attempt r = 0,72; p=0,02 .
Conclusions: Hypervolemic resucitation in this animal model produced significantly troponin-i elevated. There is a corelation between cardiac contractility decrease with troponin-i level elevated."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putria Rayani Apandi
"Latar Belakang: Regurgitasi pulmoner berat pasca-bedah korektif TF berdampak sebagai beban berlebih pada ventrikel kanan dan akan mempengaruhi ukuran dan fungsinya.
Tujuan: Mengetahui faktor yang berperan terhadap regurgitasi pulmoner berat pasca-bedah korektif TF dan dampaknya pada ventrikel kanan.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang di Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada pada April-Mei 2019. Kriteria inklusi adalah pasien TF yang menjalani koreksi TF dalam 5 tahun terakhir. Data demografi dan kuantitatif ekokardiografi diambil dengan pemeriksaan ekokardiografi. Analisis bivariat faktor risiko regurgitasi pulmoner berat yang bermakna dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik multipel. Hasil analisis multivariat dilaporkan sebagai odds ratio (OR).
Hasil: Terdapat 50 pasien yang sesuai kriteria inklusi. Sebanyak 22 pasien (44%) mengalami regurgitasi pulmoner berat dan 28 pasien (56%) mengalami regurgitasi pulmoner ringan sedang. Analisis multivariat regresi logistik menunjukkan indeks Nakata > 250 mm2/m2bermakna menimbulkan 15,1 kali risiko untuk menjadi regurgitasi pulmoner berat [OR 15,1 (IK 95% 3,1-72,6), p=0,001]. Analisis bivariat untuk ukuran dan fungsi ventrikel kanan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok.
Simpulan: Indeks Nakata > 250 mm2/m2berisiko terjadi regurgitasi pulmoner berat pada pasca- bedah korektif TF. Pada pemantauan 4 tahun, belum ada dampak dilatasi dan penurunan fungsi ventrikel kanan

Background: Repaired tetralogy of Fallot (TF) result pulmonary regurgitation. Impact of severe pulmonary regurgitation were right ventricular (RV) volume overload predisposing dilatation and dysfunction of RV. Diameter pulmonary artery, McGoon ratio, Nakata index pre-operation, surgery technique can contribute to severe pulmonary regurgitation in the absence of an effective valve.
Objective: The aim of this study was to identify predictors of severe pulmonary regurgitation and the impact to the RV.
Methods: A cross sectional study of repaired TF in children at the integrated cardiovascular services (PJT) Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta from April-Mei 2019. The inclusion criteria included children underwent repaired TF in the last 5 years after minimal 6 months post repaired TF. Demographic data and echocardiography data were collected. Logistic regression analysis were used to identify the predictor for severe pulmonary regurgitation.
Results: A total of 50 patients were enrolled to the study. There were 22 children (46%) with severe pulmonary regurgitation and 28 children (56%) with mild-moderate pulmonary regurgitation. Logistic regression analysis showed Nakata index showed Nakata index > 250 mm2/m215,1 times greater risk for severe pulmonary regurgitation [OR 15,1 (CI 95% 3,1-72,6), p=0,001]. Bivariate analysis for RV size and function showed no significant difference between the group.
Conclusions: Nakata index > 250 mm2/m2was predictor for severe pulmonary regurgitation after TF repair. RV size and function showed no abnormality in 5 years follow up after TF repair.
"
2019: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Raditha
"Latar belakang: : Gangguan spektrum autisme (GSA) adalah gangguan
neurodevelopmental yang menyebabkan gangguan komunikasi sosial, interaksi serta
perilaku restriktif dan repetitif yang meliputi gangguan sensori. Gangguan pemrosesan
sensorik menimbulkan kesulitan dalam meregulasi respons terhadap sensasi dan stimulus
spesifik sehingga membatasi kemampuan berpartisipasi dalam rutinitas harian normal.
Terapi okupasi sensori integrasi (TO-SI) digunakan untuk meningkatkan kemampuan
untuk memproses dan mengintegrasi informasi sensorik. Penelitian menunjukkan bukti
ilmiah rendah hingga sedang pada anak usia lebih besar. Berdasarkan pengalaman klinis
Pusponegoro, TO-SI dapat meningkatkan perilaku positif anak GSA terutama pada usia
di bawah 5 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh TO-SI dalam
meningkatkan perilaku positif anak usia 2 sampai 5 tahun dengan GSA.
Metode: Penelitian pra-eksperimen di klinik Check My Child (CMC) dan Klinik Anakku
Kelapa Gading pada bulan Maret-Oktober 2019. Populasi penelitian adalah anak baru
dengan GSA usia 2-5 tahun berdasarkan DSM-5. Subyek dikumpulkan secara konsekutif
sampling. Pelaksanan TO-SI yaitu dua kali seminggu selama 12 minggu (24 kali), 60
menit untuk setiap sesi. Profil perilaku dinilai berdasarkan Vineland Adaptive Behavior-
II sebelum dan sesudah TO-SI.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 36 subjek, 38,9% berusia 3 tahun diikuti usia 2 tahun
(33,3%), rasio lelaki dibandingkan perempuan 3 : 1. Sebelum TO-SI, perilaku positif
berada pada kategori rendah. Setelah TO-SI, terdapat peningkatan bermakna domain
komunikasi, subdomain ekspresif, reseptif dan tertulis (p<0,001; p<0,001; p<0,001; p
0,035) terutama pada kelompok usia 2-4 tahun. Domain sosialisasi, subdomain hubungan
interpersonal serta subdomain waktu luang dan bermain juga meningkat bermakna (p
0.001; p<0.001; p,0.001) terutama pada kelompok usia 2 tahun. Tidak terdapat
peningkatan bermakna pada subdomain kemampuan coping, serta domain dan subdomain
keterampilan aktivitas harian.
Kesimpulan: Kami menemukan bahwa TO-SI dengan kepatuhan teori Ayres yang baik
dalam 60 menit, dua kali seminggu selama 12 minggu dapat meningkatkan perilaku
positif anak GSA usia dini terutama usia 2 hingga 5 tahun

Background: Autism spectrum disorder (ASD) is a complex neurodevelopmental
disorder in social communication, interaction, and restrictive, repetitive pattern of
behavior (including sensory disorder). Sensory processing disorder yields difficulty in
regulating responses to sensation and spesific stimuli which limits the ability to
participate in normal life routines. Sensory integration occupational therapy (SI-OT) is a
method to increase ability to process and integrate sensory information. Most studies
showed that SI-OT has low to moderate evidence in older children. Based on clinical
experience of Pusponegoro, SI-OT might be useful for ASD treatment for children under
5 years old. We conducted a study to evaluate the effect of SI-OT in improving positive
behavior of children aged 2 to 5 years old with ASD.
Methods: A pre-post one group pre-experimental study conducted in Check My Child
clinic (CMC) and Klinik Anakku Kelapa Gading on March-October 2019. Study
population were recently diagnosed ASD children aged 2 to 5 years old. Subjects were
collected with consecutive sampling. The SI-OT were applied twice a week for 12 weeks
(24 times), 60 minutes for each session. Pre and post SI-OT evaluation of positive
behavior profiles were assessed with Vineland Adaptive Behavior Scale-II tool.
Results: A total of 36 ASD subjects aged 2 to 5 years old were studied. Most subjects
were 3 years old followed by 2 years old (38.9%; 33.3%), boys to girl ratio were 3 to 1.
The characateristics of positive bahaviors were all in low category before SI-OT. After
SI-OT, communication domain and subdomains (expressive, receptive, written
subdomain) were improved significantly (p<0.001; p<0.001; p<0.001; p 0.035). These
improvement were available in age group of 2,3, and 4 years old. Significant
improvements were also achieved in socialization domain (p 0.001) including
interpersonal relationship subdomain (p<0.001), play and leisure time sudomain
(p<0.001), especially in age group of 2 years old. In contrary, subdomain coping skill,
daily living skills domain and subdomains were not improving significantly.
Conclusions: Good fidelity of Ayres theory SI-OT in 60 minutes, twice a week for 12
weeks could improve positive behavior, in communication domain (expressive, receptive,
written subdomain) aged 2-4 years old, and socialization domain (interpersonal
relationship, play and leisure time) aged 2 years old."
2020: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Striratnaputri
"Patogenesis sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) belum diketahui secara menyeluruh. Antioksidan seperti enzim glutation peroksidase (GPx) dan kofaktornya yaitu selenium diperkirakan berpengaruh dalam menghambat progresivitas penyakit sindrom nefrotik (SN). Namun sampai saat ini belum ada studi yang menilai peran selenium dalam patogenesis terjadinya SNRS dan SNSS. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar selenium pada pasien SNSS dan SNRS menggunakan studi potong lintang. Penelitian dilakukan pada 81 pasien SNRS dan SNSS berusia 2-18 tahun yang datang ke poliklinik rawat jalan nefrologianak RSUPNCM pada bulan November-Desember 2019 dengan metode consecutive sampling. Hasil penelitan menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kadar selenium pada kedua kelompok. Peran selenium sebagai antioksidan terhadap patogenesis SNRS dan SNSS sulit dibuktikan karena patogenesis penyakit ini bersifat multifaktorial. Penelitian lanjutan dengan desain penelitian kasus kontrol dan pengukuran selenium serial diperlukan untuk memastikan hal ini.

The pathogenesis of steroid resistant nephrotic syndrome (SRNS) and steroid sensitive nephrotic syndrome (SSNS) has not yet been fully known. Antioxidants such as glutathione peroxidase enzyme (GPx) and its cofactor, selenium, are thought to have an effect of slowing down the progress of nephrotic syndrome (NS). However, until now, there are no studies that evaluate the role of selenium in SNRS and SNSS’s pathogenesis. The purpose of this research is to compare the selenium levels of SNRS and SNSS patients using a cross-sectional study. This research was conducted on 81 SNRS and SNSS patients ages 2 to 18, who visited RSUPNCM’s pediatric nephrology outpatient clinic in November 2019 to December 2019, using consecutive sampling method. The result shows that there’s no significant difference in the selenium levels of both groups. Selenium’s role as an antioxidant for the pathogenesis of SNRS and SNSS is hard to prove because it is multifactorial. Advance research using a case-control study and a serial of selenium examination is needed to confirm this."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>