Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Raihan Imani Setiawan
"Dinamika hukum yang terus berkembang dan juga menimbulkan kompleksitas permasalahan yang ada di dalam masyarakat memerlukan adanya kepastian hukum, khususnya dalam hal perlindungan hukum terhadap pemegang Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum pembeli atas dasar PPJB tanah dan bangunan terhadap objek tanah yang telah dijaminkan oleh penjual kepada bank dan mengetahui apakah pertimbangan hakim telah tepat dalam memberikan perlindungan hukum kepada pembeli atas dasar PPJB berdasarkan putusan No. 751 PK/PDT/2019 dengan metode penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada aturan hukum yang berlaku dan diperluas dengan teori-teori hukum yang telah ada. Penelitian dilaksanakan dengan mengkaji bahan-bahan perpustakaan hukum yang relevan dengan topik yang dibahas dalam skripsi penulis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum pembeli terhadap objek tanah dan/atau bangunan yang dijaminkan penjual kepada bank adalah sah dan mengikat apabila telah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan dengan izin dari pihak bank. Adapun pertimbangan hakim telah tepat dalam memberikan perlindungan hukum kepada pembeli atas dasar PPJB berdasarkan Putusan Nomor 751 PK/Pdt/2019 yang dimana sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016.

The dynamic and evolving nature of the law, which also gives rise to complexities in societal issues, requires legal certainty, especially concerning the legal protection for parties involved in a Sale and Purchase Agreement (PPJB). The purpose of this paper is to understand the legal position of the buyer based on a PPJB for land and buildings concerning the land that has been used as collateral by the seller to a bank. Additionally, it aims to determine whether the judge’s considerations were appropriate in providing legal protection to the buyer based on the PPJB, as per the verdict Number 751 PK/Pdt/2019. The research method employed is a normative juridical study, based on the prevailing laws and expanded with existing legal theories. The research is conducted by examining relevant legal library materials that are related to the topic discussed in this thesis. The results of this study indicate that the legal position of the buyer regarding the land and/or building object mortgaged by the seller to the bank is valid and binding when it meets the valid agreement requirements as regulated in Article 1320 of the Civil Code and with the permission of the bank. The judge's consideration in providing legal protection to the buyer based on the Sale and Purchase Agreement is deemed appropriate in accordance with the Decision Number 751 PK/Pdt/2019, which is in line with the Circular Letter of the Supreme Court Number 4 of 2016 regarding the Implementation of the Formulation of the Results of the Supreme Court Plenary Session in 2016."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ma’wa Naomi Alatas
"Keadaan tidak hadir merupakan keadaan seseorang yang sudah tidak diketahui lagi keberadaannya dan tidak memberikan kuasa atau menunjuk orang lain untuk mewakilinya. Atas keadaan yang demikian maka terjadi ketidakpastian hukum bagi dirinya sendiri dan pihak yang berkepentingan, karena keadaan tersebut tidak menghilangkan kedudukannya sebagai subjek hukum. Untuk itu, di dalam KUHPerdata terdapat ketentuan tentang penetapan seseorang dalam keadaan tidak hadir guna menunjuk wakilnya dalam mengurus segala urusannya termasuk juga harta benda orang tersebut, tepatnya dalam Buku Kesatu BAB XVIII tentang Keadaan Tak Hadir. Penulisan skripsi ini akan membahas tentang penerapan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam KUHPerdata untuk menentukan seseorang dalam keadaan tidak hadir pada suatu penetapan pengadilan dan akibatnya terhadap hak pengurusan harta bersama. Penulis menganalisis tiga penetapan yang menggunakan dasar hukum Pasal 467-470 KUHPerdata sebagai landasan untuk menentukan seseorang dalam keadaan tidak hadir atau mungkin telah meninggal dunia. Walaupun merujuk pada ketentuan yang sama, dalam praktiknya masing-masing Hakim memberikan pertimbangan hukum yang berbeda tentang jangka waktu dan panggilan umum yang merupakan syarat penetapan seseorang mungkin dalam keadaan telah meninggal dunia dalam Pasal 467-470 KUHPerdata. Untuk tiap-tiap penetapan, terdapat akibat yang berbeda dalam hal pengurusan harta bersama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif dengan jenis data berupa data sekunder yang didukung dengan data primer dengan metode pengumpulan melalui studi dokumen dan analisis data dengan metode kualitatif. Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa diperlukannya pengaturan lebih lanjut berkaitan dengan syarat-syarat untuk menetapkan seseorang dalam keadaan tidak hadir serta diperlukannya kecermatan serta ketelitian pengadilan untuk mengeluarkan penetapan keadaan tidak hadir seseorang.

Non-appearance is a condition where a person’s existence is no longer known and this person did not authorize or choose another person to represent them.This condition gives legal uncertainty for him/herself and a third party, because the non-appearance condition does not eliminate his/her position as a legal subject. For that reason in KUHPerdata, there are provisions regarding the determination of someone’s absence and choosing another person to present his/her and also managing all his/her affairs including that person's property, to be precise in Book 1 of CHAPTER XVIII concerning Absence. This thesis will discuss the application of the non-appearance regulation in KUHPerdata and the legal consequences for the right to matrimonial assets. The author analyzes three determinations that use the legal basis of Article 467-470 KUHPerdata. Although referring to the same provisions, in practice each judge gives different legal considerations regarding the time period and the general summons, which are conditions for determining that someone may have died in Article 467-470 KUHPerdata.That determination also has different consequences in terms of managing matrimonial assets. This thesis uses the juridical-normative research methodology; the kind of data used is secondary data that is supported by primary data; the method of data collecting is document analysis; and the method of data analysis is qualitative. The results of this thesis indicate that further arrangements are needed relating to the conditions for determining someone’s absence and the need for accuracy and thoroughness for the court to issue the determination for someone’s absence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demi Narendra Soegandhi
"Tulisan ini mengkaji pengaturan hukum jaminan benda bergerak di Indonesia serta permasalahannya, dengan membandingkannya dengan Personal Property Securities Act di Selandia Baru dan UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transactions. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Hukum jaminan benda bergerak di Indonesia saat ini terfragmentasi dalam berbagai peraturan seperti KUHPerdata, UU Jaminan Fidusia, dan UU Sistem Resi Gudang, dengan masalah utama biaya tinggi, sistem pendaftaran terpisah, pembatasan objek jaminan, dan hambatan eksekusi. Personal Property Securities Act dan UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transactions menawarkan solusi melalui kerangka hukum terpadu berbasis security interest yang mengintegrasikan berbagai jenis hak jaminan. Personal Property Securities Act, misalnya, berhasil menyederhanakan sistem hukum, menciptakan aturan prioritas yang jelas, dan memperkenalkan sistem registrasi elektronik terpusat. Reformasi ini meningkatkan kepastian hukum, efisiensi transaksi, serta akses terhadap kredit, khususnya bagi usaha kecil dan menengah. Hal ini terlihat dari skor B-READY Selandia Baru sebesar 85,04, jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang berada di kuintil terbawah dengan skor 56,51. Reformasi hukum jaminan benda bergerak di Indonesia perlu mengadopsi pendekatan terpadu seperti dalam Personal Property Securities Act dan UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transactions. Langkah-langkah yang direkomendasikan meliputi integrasi kerangka hukum berbasis security interest, penyederhanaan prosedur pembebanan, pengembangan sistem registrasi elektronik, pengaturan hak mendahului yang jelas, serta fleksibilitas dalam eksekusi jaminan. Dengan reformasi ini, Indonesia dapat meningkatkan akses kredit, mendukung inklusi keuangan, memperbaiki iklim bisnis, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

This paper examines the regulation of security over movables in Indonesia and its associated issues by comparing it with the Personal Property Securities Act in New Zealand and the UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transactions. The research is conducted using a doctrinal research method. Currently, the law on movable collateral in Indonesia is fragmented across various regulations such as the Civil Code, the Fiduciary Security Law, and the Warehouse Receipt System Law, with key issues including high costs, separate registration systems, limitations on collateral types, and obstacles in enforcement. The Personal Property Securities Act and the UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transactions offer solutions through an integrated legal framework based on security interests that consolidates various types of collateral rights. For example, the PPSA has successfully simplified the legal system, created clear priority rules, and introduced a centralized electronic registration system. These reforms have improved legal certainty, transaction efficiency, and access to credit, particularly for small and medium-sized enterprises. This is reflected in New Zealand's B-READY score of 85.04, which is much higher than Indonesia’s score of 56.51, placing it in the lowest quintile. Reform of movable collateral law in Indonesia should adopt an integrated approach similar to the Personal Property Securities Act and the UNCITRAL Legislative Guide on Secured Transactions. Recommended steps include integrating a security interest-based legal framework, simplifying encumbrance procedures, developing an electronic registration system, establishing clear rules with regard to priority rights, and providing flexibility in collateral enforcement. With these reforms, Indonesia could improve credit access, support financial inclusion, enhance the business climate, and promote sustainable economic growth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Altis Safitri
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengalihan piutang menggunakan prinsip subrogasi dalam penyelesaian perjanjian kredit, dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 58/Pdt.G/2020/PN Cbi. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode doktrinal. Sejatinya, subrogasi diatur dalam KUHPerdata yaitu penggantian hak pada pihak yang berpiutang kepada pihak ketiga yang membayarkan kepada pihak yang berpiutang yang disebabkan atas suatu perjanjian maupun undang-undang. Lebih lanjut, subrogasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk penyelamatan kredit. Dalam kasus ini, subrogasi mengalihkan kedudukan hukum dari PT CIMB Niaga Tbk. sebagai kreditur awal kepada PT. Bumi Serpong Damai Tbk. sebagai kreditur baru. Hal ini menjadikan PT. Bumi Serpong Damai Tbk. memperoleh hak penuh untuk menuntut pelunasan utang debitur (Elpah), termasuk hak atas bunga, denda keterlambatan, dan eksekusi jaminan berupa ruko yang dijadikan agunan kredit. Di sisi lain, kewajiban debitur tidak berubah, memberikan kelangsungan hukum dan kepastian bagi hubungan kontraktual tersebut. Putusan pengadilan dianggap sesuai dengan hukum positif Indonesia. Penelitian ini juga membahas upaya hukum yang dilakukan oleh PT. Bumi Serpong Damai Tbk. selaku kreditur baru dalam rangka memperoleh hak-hak materilnya setelah pengalihan piutang melalui subrogasi.

This research aims to analyze the transfer of receivables using the principle of subrogation in the settlement of credit agreements, with a case study of District Court Decision Number 58/Pdt.G/2020/PN Cbi. The research was conducted using the doctrinal method. Indeed, subrogation is regulated in the Civil Code, namely the replacement of rights on the part of the debtor to the third party who pays the debtor caused by an agreement or law. Furthermore, subrogation can be utilized to rescue credit. In this case, subrogation transfers the legal position of PT CIMB Niaga Tbk. as the original creditor to PT Bumi Serpong Damai Tbk. as the new creditor. This makes PT Bumi Serpong Damai Tbk. obtain full rights to demand the repayment of debtors' debts (Elpah), including the right to interest, late fees, and the execution of collateral in the form of shop houses used as credit collateral. On the other hand, the debtor's obligations remained unchanged, providing legal continuity and certainty to the contractual relationship. The court's decision was deemed to be in accordance with Indonesian positive law. This research also discusses the legal efforts made by PT Bumi Serpong Damai Tbk. as the new creditor to obtain its material rights after the transfer of receivables through subrogation.  "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aridho Dzilfy Taukhid
"Penelitian ini menganalisis bagaimana keabsahan pengesahan perkawinan dan pengesahan anak yang dilakukan setelah kematian pewaris serta implikasinya terhadap pembagian harta warisan, khususnya didasarkan pada Putusan Nomor 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pengesahan perkawinan dan pengesahan anak merupakan sarana untuk memperjelas status suami, istri, dan anak dalam perkawinan sehingga dapat memperoleh hak keperdataan, termasuk hak waris. Namun, terdapat kasus di mana pengesahan perkawinan dan pengesahan anak dilakukan setelah kematian pewaris. Pengesahan perkawinan dan pengesahan anak yang dilakukan setelah kematian pewaris adalah mungkin untuk dilakukan. Pengesahan perkawinan dapat dilakukan setelah kematian pewaris melalui permohonan ke pengadilan negeri dengan membuktikan bahwa perkawinan tersebut telah sah secara hukum agama. Begitu juga terkait pengesahan anak setelah kematian pewaris dapat dilakukan melalui permohonan ke pengadilan negeri dengan membuktikan bahwa perkawinan kedua orang tua anak luar kawin telah sah secara hukum agama dan hukum negara, serta harus dibuktikan juga bahwa anak luar kawin dan ayahnya memiliki hubungan darah, baik berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Adapun implikasi dari pengesahan perkawinan setelah kematian pewaris adalah perkawinan tersebut menjadi diakui oleh hukum negara, sehingga pasangan yang masih hidup berhak menjadi ahli waris suami atau istri yang hidup terlama dalam ikatan perkawinan. Sedangkan, implikasi dari pengesahan anak setelah kematian pewaris adalah anak luar kawin akan berubah statusnya menjadi anak sah, sehingga ia berhak menjadi ahli waris anak sah. Implikasi dari pengesahan perkawinan dan pengesahan anak setelah kematian pewaris terhadap pembagian harta warisan dapat dilihat pada Putusan Nomor 552/Pdt.G/2018/PN Medan.

This research analyzes the validity of marriage legitimization and child legitimization conducted after the deceased's death and their implications for the division of inheritance, particularly based on Decision Number 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. This research employs doctrinal legal research. Marriage legitimization and child legitimization are means to clarify the status of the husband, wife, and child in a marriage, enabling them to obtain civil rights, including inheritance rights. However, there are cases where marriage legitimization and child legitimization are carried out after the deceased's death. Marriage legitimization and child legitimization conducted after the deceased's death are possible. Marriage legitimization can be performed after the deceased's death through a petition to the district court by proving that the marriage was valid under religious law. Similarly, child legitimization after the deceased's death can be carried out through a petition to the district court by proving that the marriage of the out-of-wedlock child’s biological parents was valid under religious and state law, along with evidence that the out-of-wedlock child and their father share a blood relationship, supported by scientific and technological methods and/or other evidence admissible by law. The implication of marriage legitimization after the deceased’s death is that the marriage becomes recognized under state law, granting the surviving spouse the right to become the heir as the longest-living spouse in the marital bond. Meanwhile, the implication of child legitimization after the deceased’s death is that the status of the out-of-wedlock child changes to that of a legitimate child, granting them the right to become the heir as a legitimate child. The implications of marriage legitimization and child legitimization after the deceased’s death on the division of inheritance can be seen in Decision Number 552/Pdt.G/2018/PN Mdn. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ainurrifqy
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk memaparkan pengaturan hukum terkait tanggung jawab pelaku usaha atas produk tidak halal yang tersembunyi, dalam hal ini pengaturan tanggung jawab pelaku usaha dimuat dalam beberapa peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitan Doktrinal dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis peraturan yang ada terkait tenggung jawab pelaku usaha atas produk tidak halal yang tersembunyi , bahwa kesimpulan pada penelitian ini adalah bahwa pengaturan hukum yang ada di Indonesia telah memberikan landasan yang kuat untuk mengatur tanggung jawab pelaku usaha terkait produk halal. mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kehalalan produk melalui sertifikasi, pencantuman label halal maupun non halal dan penerapan sistem jaminan halal yang komprehensif. Selain itu juga penekanan kepada pelaku usaha atas informasi yang benar dan jujur, mengetahui dan sengaja menyembunyikan status tidak halal produknya, sanksi yang dikenakan cenderung lebih berat, meliputi sanksi administratif berat hingga pidana sesuai kerugian yang dialami konsumen.

This research aims to explain the legal regulations regarding the responsibility of business actors for hidden non-halal products, in this case the regulation of the responsibility of business actors is contained in several regulations, namely Law Number 6 of 2023 concerning Job Creation, Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantees, Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Government Regulation Number 39 of 2021 concerning Implementation of Halal Product Guarantees. The research method used is a doctrinal research method using a qualitative descriptive approach, namely research that aims to analyze existing regulations regarding the responsibility of business actors for hidden non-halal products. The conclusion of this research is that the existing legal regulations in Indonesia have provided a basis for strong authority to regulate the responsibilities of business actors regarding halal products. requires business actors to guarantee the halalness of products through certification, inclusion of halal and non-halal labels and implementation of a comprehensive halal guarantee system. Apart from that, there is also an emphasis on business actors on correct and honest information, knowing and deliberately hiding the non-halal status of their products, the sanctions imposed tend to be more severe, including heavy administrative sanctions to criminal sanctions according to the losses experienced by consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soroinda, Anandri Annisa Rininta
"Anak luar kawin lahir akibat dari suatu hubungan di luar perkawinan yang sah, baik menurut agama maupun negara. Setiap anak, tanpa memandang statusnya, memiliki hak atas identitas yang diwujudkan dalam bentuk akta kelahiran. Perbedaan status antara anak
luar kawin dengan anak sah menjadikannya memiliki kedudukan yang berbeda dalam memiliki hubungan perdata dengan orang tuanya. Dalam akta kelahiran anak luar kawin hanya tertulis nama ibu saja, sehingga anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Pada praktiknya, banyak ayah yang merasa tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi maupun memenuhi hak-hak anak luar kawin lainnya karena tidak dicantumkan namanya pada akta kelahiran anak luar kawin. Padahal, setiap anak juga berhak untuk dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Tidak adanya hubungan perdata antara ayah dengan anak luar kawin menyebabkan hak-hak anak tersebut berkurang ataupun hilang, salah satunya ialah hak waris. Sehingga, apabila ingin memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya, maka ayah tersebut harus melakukan pengakuan anak luar kawin yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018, yakni dengan mengajukan permohonan ke pengadilan dengan menyertakan bukti yang menunjukkan kebenaran adanya hubungan darah yang umumnya dilakukan dengan tes DNA atau deoxyribonucleic acid. Permohonan pengakuan anak luar kawin dapat pula diajukan oleh ibu kandung dari anak maupun anak itu sendiri. Pencantuman nama ayah pada akta kelahiran anak luar kawin merupakan hasil penetapan pengadilan dari permohonan pengakuan anak luar kawin. Permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah mengenai akibat hukum yang akan terjadi terhadap anak maupun ayahnya dengan dicantumkannya nama ayah pada akta kelahiran anak luar kawin. Selain itu, dengan
timbulnya hubungan perdata dengan anak luar kawinnya akankah menimbulkan dampak bagi keluarga lain dari ayah apabila ayah tersebut memiliki istri maupun anak sah. Penelitian ini akan menjawab permasalahan tersebut dengan menganalisis kasus pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara Penetapan Nomor 726/Pdt.P/2022/PN Jkt.Utr.

Children out of wedlock are born as a result of a relationship outside of marriage that deemed according to religion and state. Every child, regardless of their status, has the right to identity which manifested in the form of a birth certificate. The difference of status between children out of wedlock and legitimate children makes them have a different position in having civil relations with their parents. In the birth certificate of a child out of wedlock only the mother's name is written, so that a child out of wedlock only has a civil relationship with his mother. In practice, many fathers feel they have no
obligation to support or fulfill the rights of their children out of wedlock since their names are not listed on the birth certificates of children out of wedlock. In fact, every child also has the right to be raised by both parents. The absence of a civil relationship between father and child out of wedlock causes the child's rights to decrease or even disappear, one of which is the inheritance rights. However, if someone wants to have a civil
relationship with their biological father, the father must acknowledge an illegitimate child as stipulated in Presidential Regulation Number 96 of 2018, namely by submitting an application to the court and showing evidence of a blood relationship which is generally carried out by blood test DNA or deoxyribonucleic acid. An application for acknowledgement of a child out of wedlock can also be submitted by the biological mother of the child or even the child himself. The inclusion of the father's name on the birth certificate of a child out of wedlock is the result of a court determination on an application for the acknowledgement of a child out of wedlock. The problems that underlies this research is regarding the legal consequences that will occur to both the child and the father by including the father's name on the birth certificate of a child out of wedlock. Moreover, the emergence of a civil relationship with illegitimate child will have an impact on other families from the father if the father has a wife or legitimate children. The research will answer these problems by analyzing the case at the North Jakarta District Court Determination Number 726/Pdt.P/2022/PN Jkt.Utr.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnaz Adiguna Kuntadi
"ABSTRACT
Sharia Banking is a bank which operates using Islamic legal principles, which refers to the provisions of the Quran and Hadith. In its products, Sharia Banking generally uses profit sharing system. Where it can be in the form of channeling of funds, fund raising and services. Whereas in order to apply those products, there what is called agreements aqd that bind the parties. Where in this case, there are three agreements that occur. First, a debt and account receivable agreement. Second, addendum of mudharabah financing agreement aqd and the last one is the corporation of lending land certificate agreement. But the problem is that in the process of making the addendum of mudharabah financing agreement aqd there are tricks, deceptions and threat. Therefore, this case will be analyzed based on the applicable law in Indonesia which is Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah PERMA No. 2 Tahun 2008 by using research method of literature study with secondary data by using qualitative analysis method. The conclusion of this analysis is that in order for an agreement to be valid and can be executed properly, it must be accordance with Islamic Sharia and also fulfill the pillars and provisions already established in law applicable in Indonesia. Where the agreement is to be made voluntarily and free from coercion, threat or deception. If it does not meet the above provisions, then an agreement will be void and the infringing parties in the agreement are required to take responsibility for the misconduct.

ABSTRAK
Perbankan Syariah merupakan bank yang beroperasi menggunakan prinsip hukum Islam, dimana hal ini mengacu pada ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadits. Dalam operasionalnya, Bank Syariah umumnya menggunakan pola bagi hasil dalam berbagai produknya. Produknya tersebut dapat berbentuk penyaluran dana, penghimpunan dana dan jasa. Dimana untuk menerapkan produk-produk tersebut ada yang dinamakan dengan perjanjian aqd yang mengikat para pihak. Dalam kasus ini, ada tiga perjanjian yang terjadi pada para pihak. Yang pertama adalah perjanjian utang piutang, yang kedua adalah perjanjian addendum pembiayaan mudharabah dan yang terakhir adalah kerjasama peminjaman sertifikat. Namun permasalahannya disini adalah bahwa dalam proses pembuatan akad pembiayaan mudharabah oleh para pihak tersebut terdapat akal-akalan, tipu muslihat dan ancaman atau paksaan sehingga perjanjian aqd tersebut tidak sah. Oleh karena itu, kasus ini akan dianalisis menggunakan hukum perjanjian aqd yang berlaku di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah PERMA No. 2 Tahun 2008. Dengan menggunakan metode penilitian diantaranya seperti studi kepustakaan dengan mencari data sekunder yang terdiri dari sumber primer dan sekunder dengan metode analisis qualitative. Dimana kesimpulan dari analisis ini adalah bahwa agar sebuah perjanjian aqd mejadi sah dan dapat dilaksanakan dengan baik, haruslah sesuai dengan syariat Islam dan juga memenuhi rukun dan ketentuan yang sudah ditetapkan dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Dimana perjanjian aqd tersebut harus dilakukan secara sukarela dan bebas dari paksaan, ancaman maupun tipuan. Apabila tidak memenuhi ketentuan diatas, maka sebuah perjanjian aqd haruslah menjadi batal dan pihak-pihak yang melanggar dalam perjanjian tersebut diharuskan untuk bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. "
2017
S67613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meidyca Febriandila
"ABSTRAK
Pembiayaan merupakan salah satu produk dari bank syariah. Namun, permasalahan muncul ketika sengketa pembiayaan macet pada bank syariah diselesaikan di pengadilan niaga yang bukan merupakan lembaga pengadilan Islam. Dari masalah ini analisis difokuskan pada bagaimana pembiayaan pada bank syariah ditinjau dari hukum Islam, bagaimana penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada bank syariah, serta apakah penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada bank syariah di pengadilan niaga tersebut sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Penelitian pada skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode tinjauan kepustakaan. Menurut hukum Islam, penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada bank syariah di pengadilan niaga tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam karena dalam UU Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat unsur riba dan maisir. Namun, lembaga kepailitan dan PKPU yang menjadi kewenangan pengadilan niaga dapat ditemukan konsep dasarnya dalam hukum Islam, sehingga kepailitan dan PKPU sesuai dengan hukum Islam. Maka, bank syariah dan nasabah dapat menyelesaikan sengketa pembiayaan macet secara kepailitan maupun PKPU namun tidak di pengadilan niaga, melainkan di pengadilan agama. Namun, kekosongan hukum mengenai aturan dan panduan penyelesaian sengketa kepailitan syariah di pengadilan agama membuat masih banyaknya bank syariah dan nasabah yang membawa perkara mereka ke pengadilan niaga. Di sini dibutuhkan peran pemerintah untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.

ABSTRACT
Financing rsquo s one of sharia bank rsquo s product. However, the problem arises when a non performing finance dispute is settled in commercial court that rsquo s not an Islamic court institution. From this issue, the three main focuses of the analysis rsquo re how Islamic law defines finance in sharia bank, how to resolve the dispute of non performing finance in sharia bank, and whether the settlement of the non performing finace in bank sharia on the commercial court rsquo s in accordance with the provisions of Islamic law or not. This thesis rsquo s research rsquo s a normative juridical research, and done by using literature preview method. According to Islamic law, the settlement of non performing finance on sharia banks in commercial court is wrong because UU No. 37 year 2004 about bankruptcy postponement of debt payment obligations PKPU contains riba and maisir. However, the concept of bankruptcy and PKPU institutions which are commercial court rsquo s jurisdiction can be found in Islamic law, Thus, sharia banks and customers can resolve non performing finance disputes with bankruptcy or PKPU institutions but not in commercial courts, in Islamic court instead. However, there rsquo s no regulations for Islamic bankruptcy causing people chooses commercial court over Islamic court. Here it takes the role of government to fill that legal void."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prananda Meta Wikanti
"ABSTRAK
Hukum Islam membolehkan adanya poligami. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila ingin melakukan poligami. Tetapi di dalam syarat tersebut apabila ingin melakukan poligami, hukum Islam tidak mencantumkan syarat untuk izin terhadap istri terdahulunya. Dalam hukum perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami. Namun dalam asas monogami ini terdapat beberapa pengecualian sehingga tidak bersifat monogami mutlak. Dalam beberapa keadaan poligami dapat dilakukan. Poligami tersebut diakui oleh peraturan perkawinan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan poligami, timbul dua permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini. Pertama, apa saja aturan perizinan poligami dalam hukum Islam dan peraturan perkawinan di Indonesia, kedua apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bantul dalam Putusan No. 1121/Pdt.G/2016/PA.Btl dan Mahkamah Syariah Bireuen dalam Putusan 147/Pdt.G/2013/MS-Bir telah sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perkawinan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penulisan ini skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam melakukan analisis dipergunakan metode pendekatan kualitatif yang menghasilkan sifat deskriptif analitis. Berdasarkan penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak perlu adanya izin kepada istri terdahulunya apabila suami ingin berpoligami. Tetapi dalam peraturan perkawinan di Indonesia adanya syarat dan prosedur yang harus dipenuhi guna mendapatkan izin poligami dari Pengadilan Agama. Kemudian putusan Pengadilan Agama Bantul dan Mahkamah Syariah telah sesuai dengan peraturan perkawinan di Indonesia. Namun Hakim kurang melihat fakta-fakta di dalam persidangan. Seharusnya hakim lebih teliti dan tidak langsung percaya dengan keterangan para pihak tanpa ada bukti yang autentik dan yang sah.

ABSTRACT
Islamic law permits polygamy. There are conditions that must be met if you want to do polygamy. But under these conditions if you want to do polygamy, Islamic law does not include a condition for permission to his previous wife. In marriage law in Indonesia basically adheres to the principle of monogamy. But in this monogamous principle there are some exceptions, but not absolute monogamy. In some circumstances polygamy can be done. Polygamy is recognized by marriage rules in Indonesia. In relation to polygamy, two issues arise which will be examined in this paper. First, what are the rules of licensing of polygamy in Islamic law and marriage regulation in Indonesia, second what is the consideration of Religious Judge of Bantul Court in Decision No. 1121 Pdt.G 2016 PA.Btl and the Bireuen Sharia Court in its Decision 147 Pdt.G 2013 MS Bir have been in accordance with Islamic law and marriage regulations in Indonesia. The method used in this paper this thesis is to use normative juridical research methods. The data used are secondary data using primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. In conducting the analysis used qualitative approach method that produces analytical descriptive nature. Based on these studies can be concluded that there is no need for permission to the wife of his predecessor if the husband wants to polygamy. But in marriage regulations in Indonesia there are conditions and procedures that must be met in order to obtain polygamy permits from the Religious Courts. Then the verdict of the Bantul Religious Court and the Shariah Court have been in accordance with the marriage regulations in Indonesia. But the Judge did not see the facts in the trial. The judges should be more conscientious and indirectly believe in the statements of the parties without any authentic and legitimate evidence."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>