Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur`aini Ahmad
"Tulisan ini membahas " PENDIDIKAN AKHLAQ MENURUT ALGHAZALI." Ia mengatakan Akhlaq adalah suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa hams direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan jiwa itu menghasilkan amal-amal yang baik dan terpuji menurut akal syari'ah, maka ini disebut akhlaq yang baik. Sebaliknya jika amal-amal tercela yang muncul dalam keadaan kemantapan itu, maka itu dikatakan akhlaq yang buruk.
Orang yang berakhlaq mulia adalah orang yang sanggup mengatasi tiga kekuatan yang ada dalam jiwanya yaitu 1) kekuatan rasional; 2) gahdabiyah dan 3) seksual, Ketika kekuatan-keuatan ini benar-benar telah dikendalikan dengan cara yang diinginkan, dan kekuatan gahdabiyah Berta nafsu dapat ditundukan oleh kekuatan rasional (yang dibimbing wahyu) maka keadilan akan menjelma.
Sumber pemikiran al-Ghazali didasarkan kepada al-Qur'an dan al-Hadist, sama seperti para pemikir-lain layaknya. Ia juga dipengaruhi pemikiran filosofis al-Farabi, Ibn Sina terutama yang berkenaan dengan manusia. Selain itu juga dipengaruhi oleh pemikiran Socrates, Plato, Aristoteles, terutama mengenai pandangannya mengenai "keutamaan" (ummahat al fadha). Pandangan al-Ghaza1i yang berasal dari filosof lain adalah Logika dan Etika
A1-Ghazali telah berhasil mengalihkan Umat Islam, terutama Dunia Sunni kepada pentingnya logika. Para pengikutnya menganggap bahwa mempelajari logika sebagai fardhu kifayah (kewajiban bersifat kolektij). Usaha al-Ghazali merupakan titik balik sikap umat Islam kepada logika Aristoteles. Sebelumnya pars Ahli Fiqih menganggap logika sebagai barang hina dan haram. Logika bagi al-Ghazali sebagai prasyarat yang harus dimiliki bagi setiap ilmuan dalam bidang apa saja, tetapi logika tidak bisa menjangkau persoalan metafisika, yaitu dalam hal yang berkaitan dengan masalah ketuhannan dan 'aqidah. Disinilah letak perbedaan antara al-Gha7h'li dengan para filosof Islam lainnya seperti al-Farabi dan Ibn Sind dimana mereka percaya secara mutlak akan kebenaran logika. Bagi al-Ghazali sekalipun logika akal lebih tinggi dalam pencapaian kesimpulan dan paling sah dari persepsi inderawi, tetapi pada saat yang sama merupakan tingkatan yang paling rendah dari penyingkapan (kasyj) kesufian.
Konsep manusia menurut al-Ghazali tidak berbeda dengan konsep ajaran Islam, karena ia mendasarkan pemikirannya kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Menurutnya manusia tersusun dari unsur jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah Allah di muka burni. Hakikat manusia adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-rnakhluk Allah lainnya. Ia membagi fungsi jiwa dalam 3 bagian, yaitu 1) jiwa tumbuh-tumbuhan, 2) hewan, dan 3) manusia. Akhlaq dan sifat manusia tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Penekanan unsur jiwa tidaklah berarti is mengabaikan unsur jasmani, kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik.
Tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan yang mungkin diperoleh dan dirindukan oleh setiap manusia. Tujuan hidup muslim tersebut yaitu mencapai kebahagiaan akhirat. Ada empat keutamaan yang berkaitan dengan upaya mencapai tujuan hidup:1) Keutamaan-keutamaan jiwa, 2) keutamaan--keutamaan badan, 3) keutamaan-keutamaan luar, dan 4) keutamaan-keutamaan taujiq. Usaha mewujudkan keutamaan-keutamaan yang lain adalah untuk mencapai keutamaan jiwa, sehingga manusia melalui jiwanya mencapai tujuan hidupnya. Etikal akhlaq menurut al-Ghazali adalah jalan menuju akhirat. Etika al Ghazali mengajarkan bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, kerena itu etika nya disebut etika mistik yang bercorak teleologis.
AI-Ghazali menekankan pokok-pokok keutamaan akhlaqnya kepada ` pertengahan. Pengertian ` pertengahanljalan tengah"tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlaq secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Penekannan itu lebih bersifat individu.
Konsep Pendidikan Akhlaq al-Ghazal" berhubungan dengan konsepnya tentang manusia. Bagaimana konsepnya tentang manusia begitulah konsep pendidikan yang diinginkannya.. Maka pendidikan akhlak adalah mengembangkan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia, agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam hubungan guru dan murid al-Ghazali" memberikan perhatian yang penuh terhadap murid mengasihi dan menyangi murid-murid. Guru harus menjadi tauladan yang baik dan meniru sifat nabi, sederhana dalam bertindak, tidak memungut uang dari murid. Murid harus patuh kepada guru dan meminta petuah/nasehat guru.
Demikian juga orang tua jangan sampai memberikan fasilitas yang berlebihan kepada anak sehingga anak terbiasa dengari bermewah-mewah dan tanpa peduli dengan kehidupan lingkungannya. Anak-anak dari kecil ditanamkan keimanan (pendidikan agama), bergaul dengan orang yang baik-baik, sehingga sifat-sifat balk itu dapat ditiru oleh anak."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus
"Penulisan tesis ini sengaja penulis angkat dengan alasan sebagai berikut :
1. Penulis merasa bahwa pemikiran Ibn Rusyd tentang filsafat masih sangat relevan untuk dikaji pada saat sekarang ini.
2. Dari beberapa karyanya penulis banyak termotivasi untuk menemukan argumen-argumen yang subtansial terhadap pokok-pokok ajaran agama Islam
Maksud dari judul tesis tersebut adalah : kegiatan yang bertujuan untuk menekankan suatu ajaran/ tradisi. Peripatetisme adalah sebuah nama aliran dalam filsafat yang mengikuti pemikiran Aristoteles.
Kenapa hal tersebut sampai dilakukan oleh Ibn Rusyd ?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ibn Rusyd dikenal sebagai seorang komentator dari karya-karya Aristoteles. la melihat bahwa ajaran-ajaran murni dari Aristoteles telah tercampur baur dengan ajaran Neoplatonisme. Sebagaimana yang saya pelajari bahwa aliran Neoplatonisme menganggap bahwa deduksi dan pemikiran rasional tidak cukup untuk studi filsafat, terutama tentang kebijakan lllahiyyah.
Dan karena pembauran itulah terjadi kekacauan dalam berpikir terutama dikalangan muslim. Dari hal itu yang menjadi kritik tajam al-Ghazali kepada para filsuf yang berfikiran menyimpang itu, terutama pemikiran Aristoteles yang di kembangkan oleh al-Farabi dan Ibn Sina.
Serangan serta kecaman al-Ghazali yang bertubi-tubi itu menyebabkan kemandekan dalam mempelajari filsafat di kalangan muslim. Bahkan filsafat menjadi barang haram untuk dipelajari. Hal itu ia ungkapkan dalam karyanya ?Tahafut al Falasifa." Di dalam buku itu ada dua puluh persoalan yang disorot al-Ghazali di mana hal tersebut dapat membawa kepada kesesatan. Dari dua puluh itu ada tiga persoalan yang dapat membawa manusia kepada kekafiran bila dipelajari. (lihat hal. 6-7).
Atas kejadian itu Ibn Rusyd merasa terpanggil untuk mengklarifikasikan persoalan -persoalan itu semua dalam kitabnya " Tahafut at -Tahafut,? dan ?Fashl al Magal Fi Ma Bain al- I-likmah Wa al Syarr'ah Min al-Wishe.?
Dari kitab-kitab itu Ibn Rusyd mencoba mengembalikan ajaran murni dan Aristoteles yang menjadi sorotan al-Ghazali. Adapun yang dimumikan Ibn Rusyd dari ajaran Aristoteles adalah :
1. Tentang keselarasan antara agama dan filsafat.
2. Tentang 3 (tiga) persoalan yang dikafirkan oleh al-Ghazali, yaitu :
a. Tentang Qodimnya Alam
b. Tentang pengetahuan Tuhan yang Juziyyat
c. Tentang Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Arti dari semuanya itu selain untuk mengembalikan posisi filsafat pada tempat semula dan memurnikan ajaran filsafat Aristoteles yang benar. Dan menurut analisa penulis bahwa konfik itu terjadi karena adanya beda persepsi yang dilakukan oleh al-Ghazali dengan para filsuf sebelumnya terutama (al-Farabi dan Ibn Sina) mengenai pengfsjran ayat-ayat Mutasyabihat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T1764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Supriyanto
"Usul fikih, yang merupakan metodologi perumusan fikih atau hukum Islam, disusun secara konseptual dan sistematis pertamakali oleh Imam Syafi'i. Dalam proses perumusan usul fikihnya itu, Al-Syafi'i melakukan sintesis terhadap dua pemikiran usul fikih sebelumnya yang is kuasai kedua-duanya dengan baik : pemikiran yang bercorak rasional (ahl al-ra?y) yang diimami oleh Imam Abu Hanifah, dan pemikiran yang bercorak tradisional (ahl al-hadits) yang dimotori oleh Imam Malik. Metodologi ilmiah yang berhasil disusun Al-Syafi'i tersebut kemudian diikuti dan digunakan tidak saja oleh para ilmuwan hukum Islam, tetapi juga digunakan dalam disiplin ilsnu keislaman lain, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu logika (mantik), ilmu bahasa dan sastra Arab, dan sebagainya. Ini dikarenakan apa yang telah berhasil dibangun Al-Syafi'i tersebut merupakan kerangka epistemologis yang bersifat dasar yang bisa digunakan secara umum.
Selain berhasil menyusun metodologi perumusan fikih, Al-Syafi'i juga berhasil menunuskan sutuber hukum Islam yang tersusun secara hirarkis, yaitu : AI-Qur'an, Al-Hadis, Ijmak, dan Qiyas. Dua somber hukum pertama masuk kategori wahyu (divine revelation), sementara dua sumber hukum berikutnya masuk kategori akal (human reason). Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa Al-Syafi'i telah berhasil mengintegrasikan atau mensintesiskan wahyu di satu sisi, dan akal di sisi lain. Hanya saja, akal ditempatkan Al-Syafi'i di bawah wahyu, yang kebebasannya dibatasi dan digunakan hanya sekadar untuk mengokohkan wahyu. Ini bisa dibuktikan terutama oleh pandangannya yang menganggap qiyas sebagai satu-satunya metode ijtihad, dan menolak metode lain yang relatif memberikan ruang yang lebih luas bagi akal, seperti istihsan (preferensi juristik) dan istislah (keniaslahatan juristik).
Pemikiran panting lain, yang juga dibangun pertama kali oleh Al-Syafi'i, yang kemudian dijadikan referensi panting dalam perumusan metode ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu keistaman, adalah upayanya melahirkan konsep Al-bayan. Al-bayan (secara harfiah berarti `penjelasan'), yang diuraikannya dalam karya usul fikihnya yang begitu monumental, Al-Risalah, pada awalnya memang merupakan analisis tekstual (kebahasaan) sebagai upaya metodis memahami Al-Qur'an. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, al-bayan digunakan sebagai kerangka epistemotogis dan metode ilmiah tidak saja bagi ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu pengetahuan pada umumnya, terutama ilmu sosial, budaya, dan humaniora."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T13374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sobri Washil
"Untuk mempelajari Filsafat perlu dilakukan langkah-langkah melalui jalur; pertama, sejarah atau langkah diagroni. Kedua, jalur sistimatika atau jalur pemetaan dengan langkah sinkroni. Ketiga, jalur tematis, dan keempat melalui jalur system-sistem filsafat atau gagasan. Jalur pertama atau jalur sejarah dapat dilakukan dengan pembahasan mengenai filsafat Yunani dan abad pertengahan, filsafat modern dan filsafat kontemporer. Di mana sebenarnya pembagian-pembagian ini didasarkan kepada fokus pertanyaan-pertanyaannya, yang dari waktu ke waktu mengalami pergeseran-pergeseran. Namun demikian, pergeseran-pergeseran tersebut senantiasa tetap berada di dalam kajian filsafat yang meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Kalau filsafat Yunani dan abad pertengahan berkisar pada pertanyaan-pertanyaan kosmologis dan teologis dengan titik tekan pada bidang ontologi atau aksiologi, maka filsafat modern dan kontemporer berkisar kepada pertanyaan-pertanyaan antropologis dan penekanan di bidang epistemologi.
Menurut Susanne Langer dalam Philosophy in A New Key, sejarah Filsafat dibagi atas enam tahapan, dua di antaranya 1) dikenal dengan tahap kebangkitan Filsafat, dimulai oleh tokoh-tokoh seperti Thales, Anaximandros, Heraklitos, Phytagoras, Parminedes dan Demokritos. Pada tahap ini Para filsuf alam mencoba memahami kosmos dengan penalaran-penalaran. Pemahaman tentang alam bergeser dari pemahaman mitologis kepada pemahaman filosofis. Dan tahapan berikutnya 2) dikenal dengan filsafat manusia dengan tokohnya seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Pada tahap ini kesadaran dan pemahaman filsafat mengalami pergeseran yang relatif lebih radikal, di mana pemahaman terhadap alam bergeser kepada kehidupan sosial masyarakat yang cenderung antropometrik. Yang perlu dicatat pada tahap ini adalah adanya perbedaan tajam dan mendasar antara Plato dan Aristoteles, karena paham kedua tokoh tersebut selanjutnya menjadi world-view yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat berikutnya, terbukti dengan lahirnya Platonisme atau Neoplatonisme di satu sisi, dan Aristotelisme atau Peripatetikisme di sisi lain.
Untuk dua nama isme yang disebutkan pertama, Platonisme dan Aristotelisme, keduanya cenderung lebih original dan konsisten di dalam berpegang kepada masing-masing soko-gurunya. Platonisme berpaham terhadap dunia idea sebagai realitas yang mutlak, tidak berubah-ubah, dan dunia jasmani hanyalah cermin darinya. Sedangkan Aristotelisme berpendapat bahwa realitas sebenarnya adalah bersatunya bentuk dan materi. Realitas (dunia fisik) ada secara aktual bila materi dan bentuk hadir secara bersama dalam satu wujud. Alibi salah satunya menjadikan bentuk atau materi hanya dalam potensial semata.
Sedangkan Neoplatonisme dan Peripatetik (Islam) tidak lagi berada sepenuhnya di dalam konsistensi masing-masing. Salah satu bias terhadap yang lain. Memang para filsuf Peripatetik (Islam) ketika "berkutat" dengan filsafat Alam, cenderung konsisten sebagai ciri Aristotelian, namun setelah memasuki wilayah kajian metafisika dan teologi, unsur Aristotelisme, Platonisme, dan ortodoksi berbaur menjadi poin-poin kesimpulan filsafat, sebagai ciri Neoplatonis.
Jadi pada kondisi demikian, maka Peripatetikisme bias dengan Neoplatonisme, dan al-Ghazali hadir dengan kritiknya berusaha menjelaskan tahafut al Falasifah (inkonsistensi para Filsuf). Namun harus digarisbawahi, bahwa kritiknya bukan untuk bangunan filsafat secara keseluruhan, tapi hanya ditujukan terhadap para filsufnya, dan itupun terbatas pada poin-poin kesimpulan filsafat yang mengandung kadar inkonsistensi yang tinggi, baik bias dari piranti berpikir Aristoteles, maupun bias dari ajaran batang tubuh ortodoksi (Islam).
Secara tegas tulisan ini akan berpijak pada analisa sejarah, dimulai dari tahap SPA, pasca-Aristoteles sampai abad pertengahan di dunia Islam, untuk dapat menemukan gambaran tentang latarbelakang dan world view yang mempengaruhi beberapa pandangan filsafat. Analisa Sejarah seperti yang diuraikan di awal abstrak ini, dimungkinkan akan mampu memposisikan masing-masing "polemik" secara wajar dan semestinya, tanpa terjebak kepada permasalahan pro dan kontra, seperti yang biasa dilakukan di dalam menyikapi antara pandangan filsafat Peripatetik (Islam) di satu sisi, dan kritik al-Ghazali pada sisi lain. Padahal masing-masing adalah absah secara (hukum) ilmu dan filsafat."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T9710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library