Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisa Harlean
"Latar Belakang: Cedera kepala dikaitkan dengan aktivasi kaskade koagulasi dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini berhubungan dengan hasil akhir atau keluaran yang tidak baik pada pasien. Deteksi dini dan evaluasi berkala faktor hemostasis dibutuhkan pada pengelolaan pasien cedera kepala sedang dan berat dalam memperbaiki hasil keluaran perawatan pasien cedera kepala.
Tujuan: Diketahuinya angka kejadian prevalensi koagulopati pada pasien cedera kepala sedang berat dan hubungan gangguan hemostasis tersebut dengan hasil keluarannya.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi ?nested case control?. Studi ini bersarang pada penelitian awal yang berupa studi komparasi potong lintang. Data hemostasis diperiksa pada hari pertama(<24 jam dari kejadian) saat di Instalasi Gawat Darurat(IGD) RSCM. Pasien cedera kepala sedang dan berat ini nantinya akan diikuti sampai akhir perawatan inap dan dinilai hasil keluaran perawatannya. Koagulopati adalah gangguan status koagulasi, dapat berupa hiperkoagulasi atau hipokoagulasi
Hasil: Terdapat 76 sampel, 38 sampel memiliki keluaran baik dan 38 sampel memiliki keluaran buruk. Pria(81,6%) lebih banyak dari wanita. Sebagian besar subjek berusia 18-50 tahun(81,6%). Koagulopati terjadi pada 34,2% pasien. Koagulopati merupakan faktor prediksi keluaran buruk pada cedera kepala (OR 4,429; 95%IK 1,569 ? 12,502; p=0,004). Hasil analisis multivariat menunjukkan urutan prioritas kemaknaan faktor yang mempengaruhi keluaran subjek cedera kepala yang terkuat berturut-turut di penelitian ini adalah usia (50,271), derajat cedera kepala (46,522), dan koagulopati (5,409). Terdapat hubungan bermakna antara beratnya derajat cedera kepala dengan terjadinya koagulopati p= 0,009.
Kesimpulan: Prevalensi koagulopati pada cedera kepala sedang berat cukup tinggi. Pasien dengan koagulopati memiliki keluaran yang lebih buruk

Background: Brain injury is associated with activation of the coagulation cascade, contributing to coagulopathy. This condition is correlated with unfavorable outcome. Early detection and evaluation of hemostatic factors are needed in treatment of moderate-severe traumatic brain injury (TBI) to improve patient outcome.
Objectives: To determined the number of prevelence coagulopathy in moderate severe TBI and the relationship of the hemostatic disorder with outcome.
Materials and Method: We did the nested case control study. Hemostatic parameters were recorded from emergency departement (ED) not exceeding 24 hours from onset of accident. Moderate-severe TBI patients were followed until the patients discharged and we assessed the outcome. Coagulopathy was defined as hypocoagulopathy or hypercoagulopathy.
Results: From 76 subjects, 38 subjects were favorable outcome and 38 subjects had unfavorable outcome. Men were higher than women (81,6%), mostly subjects were in range 18-50 years(81,6%). Coagulopathy occured in 36% of all patients. Coagulopathy was the predictor of unfavorable outcome for TBI (OR 4,429; 95%CI 1,569 ? 12,502; p=0,004). From the multivariate analysis, the priority level for TBI outcome, in order of strongest to weakest correlation, were age (50,271), severity of traumatic brain injury(46,522) and coagulopathy(5,409). There was significant correlation between severity of traumatic brain injury and coagulopathy (p= 0,009).
Conclusions: Our study confirmed a quite high prevalence of coagulopathy in patients with moderate-severe TBI. Patients with coagulopathy had poorer outcome compared to non-coagulopathy
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sucipto
"Latar belakang: Infeksi intrakranial merupakan masalah yang menjadi tantangan berat bagi setiap dokter yang merawat. Tingkat kematian saat rawat inap pasien infeksi intrakranial sangat tinggi. Walaupun pasien infeksi intrakranial dapat keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup, namun berbagai komplikasi dan masalah paska rawat inap yang kompleks dapat menyebabkan kematian pasien saat rawat jalan.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif untuk mengetahui kesintasan 180 hari pada pasien infeksi otak yang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo. Populasi penelitian ini adalah subjek dari penelitian Optimization of Diagnosis and Treatment of Tuberculous Meningitis ODT-TBM selama periode Januari-Desember 2015. Keluaran 180 hari subjek diketahui dengan penelusuran data kunjungan rawat jalan melalui rekam medis, telepon, pesan singkat atau kunjungan rumah. Analisis kesintasan Total survival rate dilakukan dengan menggunakan analisis cox regression baik univariat maupun multivariat. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva kaplan meier.
Hasil: Didapatkan 218 pasien dengan diagnosis akhir infeksi intrakranial. Berdasarkan status HIV, didapatkan 47,7 subjek HIV positif dan 52,3 HIV negatif. Tingkat kesintasan 180 hari pasien infeksi intrakranial di RSCM secara umum adalah 43,5. Kesintasan pada kelompok HIV positif 32,7 secara bermakna p 0,005; Rasio Hazard 1,695 1,177-2,442 lebih buruk daripada HIV negatif 53,5. Faktor lain yang mempengaruhi kesintasan adalah usia, papiledema, suhu aksila awal, SKG awal, anemia, hiponatremia, gambaran herniasi serebri pada pencitraan otak, rasio glukosa CSS/serum, dan kadar protein CSS.
Kesimpulan : Tingkat kesintasan 180 hari pasien infeksi intrakranial pada penelitian ini rendah. Infeksi HIV secara bermakna mempengaruhi kesintasan pasien infeksi intrakranial.

Background: Managing brain infection patients is a challenge for every physician. Beside a very high in hospital mortality, many complexes problems and complications can cause patient die after discharge.
Methods: This is a retrospective cohort research to find 180 days outcomes of brain infection patients that admitted in Cipto Mangunkusumo Hospital. The study population is Optimization of Diagnosis and Treatment of Tuberculous Meningitis ODT TBM research subject that admitted in 2015. Health records, phone calls, short message or home visit is done to find patient rsquo s outcome. Total survival rate analysis is done with univariate and multivariate cox regression analysis. The comparison of survival rates between 2 groups is presented by Kaplan Meier curve.
Results: A total of 218 subjects were included in this study. There were 47,7 subjects with HIV positive and 52,3 HIV negative. Overall 180 days survival rates is 43,5. HIV status is strongly influenced the survival rate of brain infection patients in this study p value 0,005 Hazard Ratio 1,695 1,177 2,442. The survival rate of HIV negative subjects was 53,5 that significantly higher than HIV positive subjects 32,7. Other factors that influenced the survival rate in this research are age, papil edema, early axial temperature, Glasgow coma scale, anemia, hyponatremia, imaging of brain herniation, blood CSF glucose ratio and CSF protein.
Conclusion: The survival rate of brain infection patients in this research is low. HIV infection significantly influenced patients rsquo survival rates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Sugiono
"Latar Belakang. Stroke iskemik dan gagal jantung merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Keduanya memiliki faktor risiko yang sama sehingga sering muncul bersamaan sebagai komorbid. Keduanya juga dikaitkan dengan gangguan viskositas darah dan luaran fungsional yang lebih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbandingan nilai viskositas darah dan luaran fungsional pasien stroke iskemik subakut dan kronis dengan dan tanpa komorbid gagal jantug.
Metode. Penelitian ini menggunakan desian case control yang dilakukan di klinik rawat jalan Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret dan April 2023. Analisis univariat, bivariat dan multivariat dilakukan sesuai kebutuhan.
Hasil. Penelitian ini melibatkan 24 pasien stroke iskemik subakut dan kronis dengan komorbid gagal jantung dan 24 pasien stroke iskemik subakut dan kronis tanpa komorbid gagal jantung. Tidak didapatkan perbedaan rerata pada semua variabel penelitian yang terdiri dari nilai viskositas darah (5,45±0.77poise vs 5,50±0,77poise, p = 0,85); nilai viskositas plasma (1,78±0,31poise vs 1,80±0,32poise, p = 0,87); kadar hematokrit (38,42±4,78% vs 40,43±4,25%, p = 0,13); kadar fibrinogen (401,03±121,18mg/dL vs 346,49±70,07mg/dL); dan nilai mRS (2(0-4) vs 1(0-3), p = 0,37).
Kesimpulan. Tidak ada perbedaan rerata nilai viskositas darah, viskostias plasma, kadar hematokrit, kadar fibrinogen, dan nilai mRS yang bermakna secara statistik pada stroke iskemik subakut dan kronis dengan dan tanpa komorbid gagal jantung. Perlu penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Background. Ischemic stroke and heart failure are major health problems in the world. Both have the same risk factors so they often appear together as comorbidities. Both are also associated with impaired blood viscosity and worse functional outcomes. This study aims to assess the comparison of blood viscosity values and functional outcomes of subacute and chronic ischemic stroke patients with and without heart failure.
Methods. This study used a case-control design which was conducted at the Neurology outpatient clinic at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in March and April 2023. Univariate, bivariate, and multivariate analyzes were carried out as needed.
Result. In this study, there were 24 subacute and chronic ischemic stroke patients with concomitant heart failure and 24 such patients without such a condition. There are no means differences in all of the study variables, which included blood viscosity values (5.45 0.77 poise vs. 5.50 0.77 poise, p = 0.85; plasma viscosity values (1.78 0.31 poise vs. 1.80 0.32 poise, p = 0.87); hematocrit levels (38.42 4.78% vs. 40.43 4.25%, p = 0.13); fibrinogen levels (401.03±121.18mg/dL vs 346.49±70.07mg/dL); and mRS value (2(0-4) vs 1(0-3), p = 0.37).
Conclusion. There were no statistically significant differences in mean blood viscosity, plasma viscosity, hematocrit levels, fibrinogen levels, and mRS values in subacute and chronic ischemic stroke with and without comorbid heart failure. Further research is needed with a larger sample.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eny Nurhayati
"Latar belakang: Pentoksifilin belum memberikan hasil yang konsisten pada pasien stroke iskemik akut sehingga pada penelitian ini dipakai suatu penanda spesifik untuk melihat efektifitas terapi yaitu adanya hiperviskositas darah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal. Pasien stroke iskemik akut onset kurang dari 72 jam yang mengalami hiperviskositas darah diacak menjadi kelompok perlakuan n=22 dan kontrol n=22 . Terapi standar stroke akut diberikan pada semua subyek. Kelompok perlakuan mendapat terapi tambahan berupa pentoksifilin 1.200mg/hari intravena selama lima hari dan dilanjutkan dosis oral 2x400mg per hari selama 23 hari setelahnya. Pemeriksaan viskositas darah dan interleukin-6 dilakukan pada hari pertama dan ketujuh perawatan. Luaran klinis dinilai dengan menggunakan national institute of health stroke scale NIHSS , modified rankin score mRS dan indeks barthel pada hari ketujuh dan juga pada hari ke-30.
Hasil: Kadar viskositas darah seluruh subyek mengalami penurunan pada hari ketujuh dan ketiga puluh. Pada kelompok perlakuan, rerata penurunan viskositas darah memiliki perbedaan bermakna pada subyek dengan faktor risiko merokok dan dislipidemia. Tidak didapatkan penurunan kadar interleukin-6 pada kedua kelompok. Kelompok perlakuan memiliki perbaikan defisit neurologis sebesar 32 risiko relatif [RR]1,00; 95 interval kepercayaan [IK] 0,421-3,556; p = 1,00 . Disabilitas dan kemandirian fungsional yang baik didapatkan pada 67 kelompok perlakuan RR 1,026; 95 IK 0,656-1,605; p = 0,9 . Pada kelompok perlakuan, luaran klinis berbeda bermakna pada subyek yang memiliki sakit jantung dan diabetes melitus.
Kesimpulan: Setelah pemberian pentoksifilin didapatkan penurunan kadar viskositas dan perbaikan luaran klinis. Studi lanjutan dibutuhkan dengan kriteria yang lebih spesifik dan jumlah sampel yang lebih besar.

Background: The role of pentoxifylline in acute ischemic stroke lacks objective markers of its efficacy. Therefore, we used blood viscosity to determine the efficacy of pentoxifylline.
Method: This was a randomized single blind, controlled trial. Acute ischemic stroke patients with blood hyperviscosity within 3 day onset were randomly allocated to the study n 22 or control n 22 group. All subjects received a standard treatment for acute ischemic stroke. The study group was administered with intravenous pentoxifylline 1,200 mg day for five consecutive days and continued with oral 800 mg in two divided doses for next twenty three days. Blood viscosity and interleukin 6 IL 6 were evaluated at the first and seventh day. Clinical outcomes were measured using the National Institutes of Health Stroke Scale NIHSS, modified Rankin Scale mRS, and barthel index BI at the seventh and thirtieth day.
Result: The level of blood viscosity of all subjects tends to be decreased on the seventh and thirtieth day. In study group, the decrement of blood viscosity was significant for smoking and dyslipidemic subject. There was no decrement of the IL 6 on both group. The improvement of NIHSS in study group was 32 relative risk RR 1,00 95 CI 0,421 3,556 p 1,00 . At 1 month follow up, 67 of study group had a good functional outcome RR 1,026 95 CI 0,656 1,605 p 0,9 and the good functional outcome was statistically significant for diabetes mellitus and heart disease subject.
Conclusion The decrement of blood viscosity and the improvement of clinical outcome were seen after pentoxifylline administration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library