Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Pradifta
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai kontribusi dan peran sebuah penerbit bernama Pustaka Jaya dalam penerbitan buku-buku sastra serta upayanya mengimbangi bacaan populer yang merebak luas di masyarakat. Skripsi ini merupakan penelitian sejarah di bidang kebudayaan, secara spesifik termasuk dalam kajian sejarah penerbitan. Pustaka Jaya, dalam hal ini, merupakan penerbit yang fokus pada penerbitan buku-buku sastra. Berdiri pada 1971 atas gagasan sebuah eksperimen menghadapi tantangan budaya populer yang marak pada masa itu. Buku maupun bacaan sastra dianggap mampu mengimbangi segala jenis bacaan populer yang beredar luas di masyarakat. Tujuan lainnya agar mampu mengembalikan kehormatan sastra nasional di tengah pertentangan dan polarisasi kebudayaan pada satu dekade sebelumnya. Pergolakkan buku pada masa itupun tak hanya berkutat pada pertentangan ideologis melainkan kondisi krisis perbukuan serta krisis kertas yang melanda industri penerbitan. Proyek-proyek pengadaan buku pun hanya menjadi sarana penyimpangan oknum dan upaya bertahan hidup beberapa penerbit. Kondisi seperti itu yang menyebabkan krisis perbukuan semakin bertambah pelik sehingga mengakibatkan banyak penerbit pailit. Pustaka Jaya memberi harapan terhadap penerbit lain agar tidak bergantung pada proyek buku Inpres serta sebagai bentuk legitimasi bahwa buku-buku sastra yang berkualitas masih laku dijual. ......This thesis discusses the contribution and the role of publisher named Pustaka Jaya in publishing literary books and its efforts to balance the popular reading that spread widely in the society. This thesis is a historical research in field of culture, specifically included in the study of publishing history. Pustaka Jaya, in this case, is a publisher focusing on publishing literary books. Was founded in 1971 on the idea of an experiment facing the challenges of popular culture that were rife in those days. Book and literary readings are considered able to offset all kinds of popular reading widely circulated in the society. Another goal to be able to restore literary honor amid cultural opposition and polarization a decade aerlier. The upheavel of the book at that time not only focused on ideological contradictions but the conditions of the book crisis as well as the paper crisis that plagued the publishing industry. Book procurement projects are only means of perversion and the survival of some publishers. Conditions like that caused the crisis of the book ingcreasingly complicated, resulting in many publishers bankrupt. Pustaka Jaya gives hope to other publishers not to rely on th Inpres book project and as a form of legitimacy that quality literary books still sell.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichsan Husayfi
Abstrak :
Try Sutrisno memimpin PBSI selama 2 masa yaitu 1985-1989 dan 1989-1993. Pada periode pertama, kepengurusan bulutangkis Indonesia dibenahi secara sistematis . Kemudian, regenerasi pemain mulai dilakukan dan hasilnya dapat dilihat pada periode kedua. Berbagai ajang mulai memberikan hasil positif, tidak terkecuali dua emas pertama dari Olimpiade, melalui Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti. ...... Try Sutrisno lead PBSI during the second period,  from 1985 to 1989 and 1989 to 1993. In the first period, the renegeration of the players was adjusted soon after the management of Indonesian badminton was reorganized systematically. Then, the regeneration of the players started to do and the results can be seen in the second period. Various events began to give positive results, not least the two first gold of the Olympic Games, through Alan Budi Kusuma and Susi Susanti.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Hermanto
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang munculnya konflik tanah antara warga Mesa Mulyadadi dan pengelola Perkebunan Karet Ciseru-Cipari yang memuncak dalam bentuk tindakan kolektif warga berupa penebangan pohon dan perusakan asset perkebunan pada tanggal 14 dan 15 Desember 1999. Selain itu juga menjelaskan proses pengorganisasian dan mobilisasi massa yang dilakukan warga desa untuk memperjuangkan kembalinya tanah yang dikuasai pengelola kebun dan penyelesaian yang dicapai dari konflik yang terjadi. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan didasarkan pada sumber-sumber tertulis dan lisan baik primer maupun sekunder. Dengan pendekatan strukturistik, penelitian ini menitikberatkan pada peran individu atau kelompok di dalam struktur sosial yang memungkinkan terjadinya peruhahan sosial. Para petani yang terlibat dalam sengketa tanah menghimpun diri dalam organisasi Ketanbanci yang dipimpin oleh Radjiman Tirtadikrama. Dengan menggunakan "kendaraan" Ketanbanci mereka di era Reformasi berjuang mengambil kembali hak atas tanah yang dikuasai pengelola kebun selama masa Orde Baru. Analisis terhadap apa yang disebut sebagai insiden 14 dan 15 Desember 1999, menggunakan teori tindakan kolektif untuk menjelaskan hubungan-hubungan sosial organisasi petani Ketanbanci dengan berbagai kelompok selama konflik berlangsung baik dalam aspek kepentingan, organisasi, mobilisasi, maupun menemukan peluang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus tanah di Mulyadadi pada dasarnya bersumber dari adanya perbedaan persepsi mengenai bukti kepemilikan tanah antara warga petani desa dan Perkebunan Karet Ciseru-Cipari. Perbedaaan persepsi tersebut ditimbulkan oleh rendahnya tingkat pendidikan warga desa ditambah kurangnya pemahaman warga terhadap regulasi pertanahan. Protes warga petani desa dipicu oleh munculnya ketimpangan sosial yaitu adanya ketidakadilan dalam ganti rugi dan distribusi tanah (lahan) pengganti di tahun 1973, yaitu sejak pengelola Perkebunan Ciseru-Cipari mengambil alih tanah warga. Praktek penguasaan tanah warga oleh pengelola kebun yang tidak dibenarkan oleh aturan hukum menyebabkan banyak warga yang kehilangan lahan garapan sebagai penopang hidup. Terbentuknya perkumpulan petani Ketanbanci di awal era Reformasi merupakan peluang bagi warga untuk menyalurkan aspirasi dan tuntutan terhadap perlakuan tidak adil itu. Atas dasar senasib dan sependeritaan, Ketanbanci terbukti menjadi wadah perjuangan yang efektif bagi warga Mulyadadi untuk mengambil tanah yang dahulu terampas. Namun, dalam perjalanannya, perjuangan warga tersebut berbenturan dengan kepentingan perkebunan yang bersikukuh mempertahankan tanah warga. Perbenturan inilah yang kemudian menimbulkan insiden 14 dan 15 Desember 1999.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25181
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
Abstrak :
Disertasi ini menunjukkan dinamika politik lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat sebagai akibat dari kebijakan politik kolonial Belanda antara 1851-1915. Fokus kajian disertasi ini adalah menganalisis sikap Kerajaan Larantuka terhadap kebijakan politik kolonial Belanda, Misi Katolik Belanda, penduduk negeri pegunungan, dan kerajaan lokal sekitarnya.Kerajaan Larantuka yang dipimpin oleh raja-rajanya melakukan strategi politik sekutu dan seteru dalam mempertahankan kedaulatannya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Selama Abad ke-17 hingga abad ke-18, Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis dan para Kapiten Mayor dari keluarga Portugis Hitam, keluarga da Hornay dan da Costa untuk menghadapi kekuatan Belanda VOC dan Kerajaan Muslim Lima Pantai Solor Watan Lema. Pada abad ke-19, Kerajaan Larantuka dipaksa menerima hasil perjanjian Portugal dan Belanda yang dimulai sejak 1851 dan disetujui pada 20 April 1859. Perjanjian tersebut berisi penyerahan wilayah Flores dan Kepulauan Solor-Alor kepada Belanda. Sejak saat itu, Kerajaan Larantuka menjadi kerajaan bawahan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda kemudian mengikat kontrak dengan Kerajaan Larantuka pada 28 Juni 1861, namun Korte Verklaring tersebut masih memberikan keleluasaan Kerajaan Larantuka untuk menjalankan pemerintahan secara otonom/zelfbesturende.Raja-raja Larantuka sejak 1851 melakukan perubahan strategi politik sekutu dan seterunya sebagai upaya tetap mempertahankan kedaulatannya. Perubahan kebijakan politik sekutu dan seteru yang dilakukan oleh Kerajaan Larantuka itu berbeda dengan periode pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Kerajaan Larantuka pada periode 1851-1915, menjalankan politik sekutu dan seterunya dengan tidak menetap. Kerajaan Larantuka bersekutu dengan penguasa lokal Belanda, dengan meminta bantuan Residen Timor dan daerah Taklukannya untuk menghadapi seterunya, yaitu Kerajaan Lima Pantai. Kebijakan bersekutu dengan Belanda juga dilakukan oleh Kerajaan Larantuka ketika menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya di pegunungan yang mengancam wilayah inti kerajaan di sekitar Larantuka. Dalam beberapa kasus yang lain Kerajaan Larantuka justru bersekutu dengan Kerajaan Muslim Lima Pantai untuk menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya sendiri, di Solor dan Adonara. Dalam menghadapi kebijakan politik kolonial Belanda yang menjadi seteru karena masalah intervensi Residen dan pejabat sipil Belanda di Larantuka, Raja Larantuka bersekutu dan bekerjasama dengan pihak misi Katolik Belanda di Larantuka, meskipun dalam kasus lain Raja dan pihak misi Katolik berseteru terutama tentang masalah poligami raja dan perilaku raja yang masih menjalankan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang yang dianggap lsquo;kafir rsquo; oleh misi Katolik Larantuka. Secara umum persekutuan antara raja Larantuka dan para pastor Katolik Belanda pada akhirnya menunjukkan persekutuan yang lsquo;abadi rsquo; sampai diasingkannya Raja Don Lorenzo II DVG pada tahun 1904, yang dianggap membangkang terhadap kebijakan kolonial Belanda. Strategi sekutu dan seteru juga dipengaruhi oleh mitos konflik Demon-Paji, konflik dua bersaudara di jaman dahulu akibat bermacam sebab, tetapi terutama karena konflik memperebutkan istri, sehingga muncul istilah ldquo;Perang Tikar Bantal rdquo;. Demon menurunkan penduduk Kerajaan Larantuka yang beragama Katolik sedangkan Paji menurunkan penduduk Kerajaan Lima Pantai yang beragama Islam. Kedaulatan kerajaan-kerajaan di kawasan Flores dan Kepulauan Solor berakhir dengan adanya penataan wilayah yang dilakukan Belanda dengan mengintegrasikannya ke dalam Keresidenan Timor dan daerah Taklukannya pada tahun 1915. ...... The dissertation discusses the dynamic of local politics in East Flores region, Solor Islands and West Timor as a result of Dutch Colonial political policies between 1851 1915. The focus of dissertation is to analyze the response of Larantuka Kingdom about the policy of Dutch colonial politics, Dutch Catholic Mission, the people of Mountain country and surrounding local kingdom.The Kingdom of Larantuka that led by several kings conducted allied and enemy political strategy to defense the kingdom in fighting againts other powers that threatened their sovereignty. During the 17th until 18th century, the Kingdom of Larantuka allied with Portuguese and a couple of local commanders from black Portuguese family, da Hornay and da Costa to fight againts the VOC and Kingdom of Lima Pantai Solor Watan Lema. In 19th century, Kingdom of Larantuka was forced to accept the result of Portuguese and Dutch agreement which was started since 1851 and was ratified on April 20, 1859. The agreement was about the transfer of Flores region and Solor Alor Islands from Portuguese to the Dutch. Since the ratification of the agreement, the Kingdom of Larantuka became one of Dutch colonial government conquered areas. Subsequently, the colonial government binded a political contract with the Kingdom of Larantuka on June 28, 1861, however, the contract or Korte Verklaring still provided discretion to the kingdom to run autonomous administration or zelfbesturende. Since 1851, the Kings of Larantuka Kingdom conducted some changes of their allied and enemy political strategy as efforts to maintain the kingdom sovereignty. The change of the strategy was different with the policies which were taken by the kingdom in 17th and 18th centuries. During 1851 1915, the Kingdom of Larantuka applied temporary allied and enemy political strategy. The Kingdom of Larantuka allied with local Dutch rulers and asked for Resident of Timor and with their conqured areas to fight againts their enemies, Kingdoms of Lima Pantai. The allied policy with the Dutch was also conducted with the Kingdom of Larantuka when they overcame the rebellion of their vassals in mountain that threatened the center of the kingdom area around Larantuka. However, later in some cases, precisely the Kingdom of Larantuka allied with Kingdoms of Lima Pantai to fight against the rebellion of their vassals in Solor and Adonara. To response the Dutch colonial political policies that became the enemy because of Resident and Dutch civil officers intervention in Larantuka, the King of Larantuka allied and cooperated with Dutch Catholic Mission party in Larantuka although in other case the king and Catholic Mission had different opinion especially about the king poligamy and the king behavior who still practised their achestor beliefs that were considered lsquo heathen rsquo by Larantuka Catholic Mission. In general, the ally between the King of Larantuka and Dutch Catholic priests finally showed forever ally until the excile of the King Don Lorenzo II DVG in 1904 who was considered to resist to Dutch colonial policy. The strategy of allied and enemy was also influenced by myth of Demon Paji conflict. The conflict was about the two brothers in ancient time because of various causes, especially the rivalry to get wife that rose the term of lsquo the war of sleeping met and pillow rsquo. Demon desecended Catholic people of Larantuka Kingdom and Paji descended Islamic people of the Lima Pantai Kingdoms. The sovereignty of kingdoms in Flores region and Solor Islands came to end with the existence of the region structuring that was conducted by the Dutch colonial government by integrating the areas into the Residency of Timor and its conqured areas in 1915.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2355
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library