Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erlin Listiyaningsih
"Epidemi HIV di negara-negara Asia terjadi lebih Lambat bila dibandingkan dengan negara-negara belahan dunia yang lain. Sejak mulai ditemukan kasusnya yang pertama (tahun 1987), epidemi HIV di Indonesia relatif stabil. Namun, sejak kurang lebih empat (4) tahun yang lalu (tahun 1998) menurut laporan Ditjen P2MPLP DepKes RI telah terjadi lonjakan insiden kasus HIV positif per tahun secara mengkhawatirkan terutama pada kelompok resiko tertular secara kontak seksual. Beberapa hasil penelitian akhir-akhir ini mengatakan adanya kondisi `emerging epidemic' HIV pada kelompok resiko heteroseksual.
Untuk lebih dapat meningkatkan upaya pencegahan penularan dan penatalaksanaan penderita, serta memperkirakan kelanjutan epidemi yang akan terjadi, perlu dilakukan karakterisasi epidemi HIV yang sedang berlangsung di Indonesia pada beberapa periode terakhir terutama dalam hubungannya dengan terjadinya kenaikan tajam kasus-kasus yang telah dilaporkan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode Case-Series, berlangsung selama tujuh tahun mulai tahun 1993 hingga 2000, dengan populasi sampel adalah individu-individu yang telah terinfeksi HIV dari daerah epidemi Jakarta, Papua, Bali, dan beberapa kasus dari daerah epidemi lain. Kasus-kasus HIV positif tersebut sebagian besar (66 %) berasal dari suku Jawa, 13 % dari suku Papua asli, dan 11 % dari suku Bali, dan hampir semua berada pada usia reproduktif yang tertular HIV dengan cara kontak seksual (98 %), dengan proporsi kasus laki-laki (56 %) sedikit lebih tinggi dari pada proporsi kasus perempuan (44 %).
Hasil pemeriksaan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RT-PCR (Reverse Transcryption Polymerase Chain Reaction) diketahui bahwa di Indonesia, dalam masa penelitian terjadi pergeseran corak subtipe. Pada awal penelitian hanya ditemukan subtipe B, kemudian berkembang dengan ditemukannya subtipe E maupun subtipe BIB dengan proporsi yang terus meningkat. Analisa keserupaan genetik dengan menggunakan teknik Heteroduplex Mobility Assay (HMA) menunjukkan bahwa HIV-1 di Indonesia mempunyai keserupaan genetik dengan strain referensi HIV-1 dari Thailand, USA, Central African Republic, Brazil, dan India.
Untuk melihat hubungan antara subtipe HIV-1 dengan variabel-variabel penelitian dilakukan analisa statistik bivariat dan multivariat. Subtipe HIV-1 pada populasi kasus HIV positif pada penelitian ini berhubungan statistik bermakna dengan lokasi penemuan kasus, tetapi tidak dengan suku, umur maupun jenis kelamin. Populasi kasus HIV positif dari lokasi Papua berpeluang 6,4 kali (95% CI = 1,52 - 26,98) untuk memiliki subtipe E HIV-1, tetapi 0,05 kali peluangnya untuk memiliki subtipe B HIV-I, bila dibandingkan dengan populasi kasus HIV positif dari lokasi Bali. Populasi kasus HIV positif bersuku Papua mempunyai kemungkinan 3,06 kali lebih tinggi (95 % CI = 0,823 --11,375) memiliki subtipe E HIV-1, dan 0,24 kali lebih rendah (95 % CI 0,02 - 1,24) memiliki subtipe B HIV-1 dari pada populasi HIV positif bersuku bukan Papua. Peluang untuk mencapai status AIDS pada kasus HN positif dengan subtipe E lebih rendah 0,21 kali (95% CI = 0,046 -- 0,959) bila dibandingkan dengan peluang kasus HIV positif dengan subtipe B. Progresifitas kearah AIDS pada kasus-kasus HIV pada penelitian ini memiliki hubungan statistik yang bermakna dengan subtipe HIV-I, tetapi tidak dengan lokasi penemuan, suku, umur, maupun jenis kelamin kasus.
Daftar bacaan : 109 (1987-2002)

Subtype Variability of Human Immunodeficiency Virus Type-1 and Their Relationship to the Demographic Characterictic of Indonesian HIV Cases, from 1993 to 2000HIV epidemic in Asia arrived relatively late, and HIV infection is still confined largely to population known to be at high risk (MU, sex workers, and men who have sex with men). However there is dramatic increase of the HIV infection incidence rate among high-risk population in several Asian Countries since past few years, Indonesia is the one example. While HIV-1 subtype E is the most prevalent strain than other subtype circulating in Southeast Asia, little is known about genetic subtype of HIV-1 responsible for the fulminating epidemic in Indonesia.
Here we gp4l env RT-PCR and gp120 env HMA subtyped the isolates of a case-series of 255 HIV cases identified in high prevalence regions of Indonesia between 1993 and 2000, and then investigated the correlation between genetic subtype to multiple demographic characteristics and disease progression using bivariate and multivariate analysis. Most (98%) of the cases resulted from sexual contact, and 2% from vertical transmission; 56% are male and 44% are female. The ethnicity of the cases is Javan (66%), Balinese (11%) and Papuan (13%). 67% of the female cases and 14% percent of the male cases were commercial sex workers. 14% of the male cases were military and 8 % of the female cases were housewives.
In 1993/94 only subtype-B viruses were observed, but by 1996 subtype-E had become, and remains, the major circulating subtype. It is suggested that HIV-1 subtype circulates in Indonesia has shifted from HIV-1 subtype B to HIV-1 subtype-E, indicate that HIV-1 subtype-E is the most transmissible and prevalent HIV-I subtype through heterosexual contact in Indonesia. However, subtype-B virus remains the most prevalent in Bali. HMA analysis identified isolates having homology to subtype-B isolates BR20 (Brazil), TH14 (Thailand) and SF162 (USA) during 1993/94, then broadening to include subtype-E isolates TH22 (Thailand), TH06 (Thailand) and CAR7 (Central African Republic). In 2000, two isolates homologous to IN868 (India) were identified in Papuan samples.
No correlation was observed between gp4l-established subtype and age, gender, or ethnicity, but location. The probability of having HIV-1 subtype-E among HIV infected people in Papua was measured to be 6.4 times greater (95% CI = 1,52 - 26,98) than in Bali, whereas the probability of having HIV subtype-B among HIV infected people in Bali is 20 times greater than in Papua and 4.7 times greater than Jakarta. Papuans were observed to have 3.06 times greater probability (95% CI = 0.823 - 11.375) of having a subtype-E infection than non-Papuan, and smaller probability (OR = 0.24 ; 95% CI = 0.054 - 1.769) of having a subtype-B infection than non-Papuans.. HIV cases with subtype-E HIV-1 were observed to have 0,21 times probability to progress to AIDS (95% CI = 0.046 - 0.959) than probability of HIV cases with subtype B HIV-1 in Indonesia. Disease progression was observed to correlate to HIV-1 subtype, but not age, gender, ethnicity, nor location
Reference : 109 (1987-2002)"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T4037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasul Alim
"Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia, khususnya di daerah transmigrasi dan daerah endemis malaria yang didatangi penduduk baru dari daerah non-endemik. Sering terjadi letusan atau wabah yang banyak menimbulkan kematian. Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau merupakan kecamatan pemekaran dan daerah transmigrasi, sehingga sering terjadi pembukaan lahan baik oleh perusahaan maupun perorangan termasuk masyarakat tempatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lamanya tinggal di ladang berpindah dengan kejadian malaria di Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau.
Rancangan penelitian adalah kasus kontrol. Kasus dan kontrol adalah subjek yang tinggal di ladang berpindah berturut-turut minimal 9 (sembilan) hari dan maksimal 3 (tiga) bulan terakhir yang berkunjung ke pelayanan kesehatan dalam wilayah Kecamatan Kemuning. Kasus disertai gejala klinis malaria (demam panas, sakit kepala dan menggigil secara berkala) dengan pemeriksaan sediaan darah plasmodium di laboratorium hasilnya positif. Kontrol tanpa gejala klinis malaria (demam panas, sakit kepala dan menggigil secara berkala) dengan pemeriksaan sediaan darah plasmodium di laboratorium hasilnya negatif,
Hasil penelitian dengan alpha 5% terdapat perbedaan bermakna antara rata-rata lama tinggal di ladang berpindah dengan kejadian malaria. Nilai OR hasil analisis multivariat 14,26 (95% CI, 6,72 - 22,40), maka responden yang lebih lama tinggal di ladang berpindah lebih dari 26 hari akan terinfeksi malaria 14,26 kali dibanding yang tinggal kurang dari 26 hari setelah dikontrol variabel pemakaian repellent. Persamaan regresi logistik ganda menunjukkan peluang sebesar 19% yang lebih lama tinggal di ladang berpindah dan tidak memakai repellent terkena malaria.
Disarankan kepada petugas kesehatan melakukan penyuluhan upaya pencegahan penularan penyakit malaria. Disarankan kepada masyarakat saat tidur di ladang selalu memakai kelambu dan bila keluar pada malam hari menggunakan repellent secara teratur. Bagi yang mempunyai ternak hendaknya membawa dan mengkandangkan ternaknya di ladang berpindah.
Penanggung jawab program dapat kiranya membuat dan merencanakan kegiatan pemberantasan nyamuk malaria dengan program pemolesan kelambu dengan insektisida yang sesuai dan stimulan pengadaan dan penggunaan repellent.

The Relationship of Living in The Shifting Cultivation Lands and Malaria Infected in The Sub District of Kemuning Indragiri Hilir Regency in The Province of Riau In 2002Malaria still acts as one of crucial public health problems in Indonesia, especially in transmigration areas and other endemic areas malaria, which or inhabited by the new comers from non-endemic areas which often suffer this disaster. That has caused much mortality. Kemuning is a new sub-district and a transmigration area. The opening of new lands either by the company or individuals including by the local people often occurred here.
This study aimed to measure the relation of living period in the shifting cultivation lands and malaria incidents in The Sub District of Kemuning Indragiri Hilir Regency in The Province of Riau.
The design of the study was a case control design. The cases and control were subjects living in the shilling cultivation lands recently and continuously for at least 4 (four) days, and at length 3 (three) months who visited the Kemuning sub-district's area health services. Cases with malaria clinical symptoms (high fever, headache and periodic cold), and whose availability of plasmodium blood were positive after the checking up at the laboratory. The controls without malaria clinical symptoms (high fever, headache and periodic cold), and whose availability of plasmodium blood were negative after the checking up at the laboratory.
The result of the study by using alpha was 5% of significant difference between average living lengths in the shifting cultivation lands to be infected by the malaria. The OR value result of multivariate analysis showed that was 14.26 (95% CI, 6,72 - 22,40), therefore the respondent with length of living ? 26 days in the shifting cultivation lands could be infected by the malaria for 14.26 times in the comparison with the one whose length period of living < 26 days with the malaria incidents after being would controlled by the variable of using repellent. The equation of multiple logistic regression showed that the probabilities was 19% in the shifting cultivation lands and not using repellent would be infected by malaria, in contrast only 1.85% would be infected by malaria and using repellent.
It is suggested to the health personal to provide guidance to the people about the importance of malaria preventive. It is suggested that as steeping to use mosquito bed net during night staying in the land, if going out at night use the repellent routinely. To this people who owned livestock could take their animals with them and encage in the land.
The program coordinator should make and plan the activities of malaria mosquito controls by of the polishing the mosquito bed net with the appropriate insecticides and the stimulant using repellent programs."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 11360
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariani
"Makanan modern seperti fried chicken, hamburger, pizza, spaghety,dll disukai oleh banyak kalangan terutama anak-anak dan remaja karena makanan modern mempunyai daya pikat selain praktis, cepat dalam penyajian dan mengandung gengsi bagi kalangan tertentu. Disisi lain makanan tersebut mengandung tinggi lemak, protein, gula dan garam tetapi miskin serat. Jika sering dikonsumsi secara berkesinambungan dan berlebihan dapat menimbulkan munculnya masalah gizi lebih yaitu obesitas.
Bersamaan dengan itu, menurut hasil survei dan beberapa laporan penelitian di Indonesia menunjukan bahwa masalah obesitas sudah mulai tampak pada populasi usia sekolah dan prevalensinya cenderung meningkat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola konsumsi makanan modern terhadap kejadian obesitas pada remaja SLTP Kesatuan Kota Bogor Jawa Barat tahun 2003. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain `case control'. Yang menjadi kasus (obes) adalah remaja kelas I - kelas III dengan IMT 95 percentil, sebagai kontrol (non obes) adalah remaja kelas I - kelas III dengan IMT 5 - 85 percentil, dengan jumlah sampel sebanyak 140 (70 kasus dan 70 kontrol), ditetapkan nilai kemaknaan dengan 95 % CI kemudian ditelusuri pengaruh paparan pola konsumsi makanan modern (variabel independen) terhadap kejadian obesitas (variabel dependen) dengan mengontrol covariat (jenis kelamin, aktifitas olah raga, asupan zat gizi, tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, status gizi orang tua dan pendapatan orang tua. Penelitian ini menggunakan analisis bivariat dengan chi square Mantel Haenszel dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda.
Secara statistik didapatkan nilai p < 0,05 yang artinya pola konsumsi makanan modern berpengaruh terhadap kejadian obesitas, didapatkan nilai OR 2,96 maka dapat disimpulkan bahwa remaja yang sexing mengkonsumsi makanan modern memiliki resiko 3 kali untuk mengalami obesitas dibanding remaja yang jarang mengkonsumsi. Diketahui pola bahwa jenis kelamin aktifitas olah raga, asupan zat gizi, tingkat pendidikan ibu, dan status gizi orang tua merupakan confounder, artinya variabel tersebut turut berperanan terhadap hubungan pola konsumsi makanan modern dan obesitas.
Hasil analisis bivariat membuktikan makanan modern yang berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada remaja SLTP Kesatuan adalah fried chicken dan chicken nugget. Ditemukan pula dose-response relationship pada analisis ini yaitu semakin tinggi frekuensi konsumsi semakin besar risiko untuk mengalami obesitas.
Mengingat dampak obesitas yang terjadi, maka diperlukan perhatian yang serius dari pemerintah dalam upaya menurunkan prevalensi obesitas dikalangan remaja, melalui upaya promotif dengan memasang poster di sekolah tersebut berisi tentang makanan modern yang perlu diwaspadai dan dibatasi dan pedoman umum gizi seimbang untuk remaja. Penyuluhan pada guru perlu dilakukan. Sosialisasi pengukuran IMT pada tim UKS sekolah tersebut agar dapat mengidentifikasi obesitas. Peran orang tua khususnya ibu sangat penting dalam memilih atau menentukan jenis makanan yang baik untuk dikonsumsi. Perlunya penelitian lanjutan untuk mengetahui secara spesifik pengaruh tiap jenis makanan modern terhadap obesitas pada populasi remaja yang lebih luas, terutama untuk mengetahui masalah gizi yang terjadi pada populasi etnik Cina dengan melengkapi variabel dalam penelitian ini dan memilih desain yang lebih tepat.

The Effect of Modern Food Consumption Pattern for Incidence of Obesity on Adolescent of SLTP Kesatuan in the Bogor City the Year of 2003 Modern food such as fried chicken, hamburger, pizza, spaghetti, etc. preferred by most people especially the children and adolescent since it is practical, fast served and had a relative prestige for some people. Even so, these sort of food present high fat, protein, sugar, and salt but less in fiber. When this condition done continually and in excessive way it might cause nutrition problem that is obesity.
That simultenously, survey and researches conducted reveals that the problem of obesity in Indonesia arise in schooling age and it prevalence trends to rise.
The purpose of this study was to know the effect of modern food consumption pattern for incidence obesity in adolescent of SLTP Kesatuan in the Bogor city, West Java, year of 2003. The method of research used is case control design, the case group are adolescent from the class 1 to 3 who have BMI > 95 percentiles, as control are adolescent class l to 3 who have BMI 5 - 85 percentiles, the size of samples are 140 (70 cases and 70 controls), determined meaning value with 95% .Cl then inspected the influence of modem food consumption (independent variable) for incidence of obesity (dependent variable) by controlling covariate (gender, exercises, nutrient intake, mother's level of education, mother's occupation status, nutrition status of parent's, and parent's income. This research used the bivariat analysis with Mantel Haenszei's Chi Square and multivariate with multiple logistic regression analysis.
Statistically the p value < 0,05 obtained, meant that the modern food consumption pattern does have effect on obesity, adolescent that frequently consumed modern food had relative risk 3 times of getting obesity compared to those that consumed it rarely (value of Odds Ratio was 2,96). It is also obtained that the gender, exercises, nutrient intake, mother's level of education, nutrition status of parent's as a confounder; or means that then have implication on the relationship of modern food and the obesity an adolescent of SLTP Kesatuan.
The bivariate analysis proved that the modern food which effected of obesity on adolescent of SLTP Kesatuan are fried chicken and chicken nugget it is also obtained that dose-response relationship in this analysis, which higher consumption frequency effect higher risk of becoming obesity.
Concerning obesity effect that occurs, it would take serious concern from the government to decreased obesity prevalence on adolescent, such promotive effort can be done through wall poster in the school, about modern food must be limited and warn, and also contained the general guidelines of balanced nutrition for adolescent. Health promotion to teacher also need to be done, in other that the teacher can be role for giving information about nutrition, especially modern food which affected on obesity.
Socialization regarding BMI Measurement to UKS team of schools for identify obesity. The role of parent, especially mother are very important in choosing and deciding good food to consumes. There is a need of further study to examine specifically the effect of each modem food on obesity toward a larger adolescent population, especially to know the nutrition problem on Chinese population by completing variables in this study and choosing a proper design method.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melda Suryana
"Latar belakang Infeksi malaria dalam kehamilan berefek serius terhadap ibu hamil maupun janin. Di Purworejo, Jawa Tengah dimana transmisi malaria terjadi sepanjang tahun dan tergantung musim, program pencegahan malaria belum difokuskan pada wanita hamil. Penelitian mengenai infeksi malaria dalam kehamilan masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.
Tujuan : Mengetahui karakteristik kasus malaria pads wanita usia reproduksi dan hubungan yang valid antara kehamilan dengan infeksi malaria pada wanita usia reproduksi di Indonesia. Metode: disain penelitian Studi Kasus Kontrol tidak berpadanan. Responden adalah wanita usia 15-49 tahun yang datang ke tempat pelayanan kesehatan di 9 kecamatan endemis di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan bulan Juni-Juli 2003 dengan metode wawancara dan pengambilan sediaan apus darah tebal dan tipis.
Hasil : Terdapat 1065 subjek terdiri dari 64 kasus (4531% adalah wanita hamil) dan 1001 kontrol (33,17% hamil). Jenis parasit malaria menginfeksi adalah Pfalciparum (46.88%) dan sisanya P.vivax. kasus malaria asimptomatik terdapat pada 24 kasus (37.40%) dan dari 29 kasus wanita hamil sebanyak 44.83% asimptomatik. Wanita yang tinggal di daerah LCI dan tidak beraktivitas keluar rumah di malam hari bila hamil memiliki OR 6.42 (CI 95 % 1.34-30.79) dibandingkan wanita tidak hamil. Wanita hamil yang tinggal di daerah LCI namun beraktivitas keluar rumah di malam hari akan meningkat risikonya secara bermakna menjadi 27 kali (OR 27.39; CI 95 % 4.79-156.44) dibandingkan wanita tidak hamil yang tinggal di daerah dan memiliki aktivitas yang sama. Wanita yang tinggal di daerah dengan tingkat transmisi sedang (MCI) dan keluar rumah di malam hari, bila hamil memiliki OR 5.35 (CI 95 % 1.85-1232) dibandingkan wanita tidak hamil.
Kesimpulan : Kehamilan meningkatkan resiko untuk terkena malaria pada wanita usia reproduksi dan efeknya bcrbeda menurut aktivitas dan tingkat transmisi malaria daerah tempat tinggal. Program malaria perlu dimasukkan dalam pelayanan ANC pada program KIA.

Pregnancy as a Risk Factor of Malaria Infection among Women at Reproductive Age in Purwerejo Distric, Central Java, 2003Background : Malaria in pregnancy has serious effect for pregnant women and the fetus. In Purworejo where malaria is perennial and highly seasonal, malaria's program not yet focusing on pregnant women. Recently study about malaria and pregnancy still rare in Indonesia. Objective : To examine the characteristic of malaria cases among women at reproductive age and to prove the valid relationship between pregnancy and malaria infection among them.
Methods : Unmatched case control study. Subjects were collected from women (15-49 years old) who visited primaries health cares in 9 endemic subdistricts in Purworejo district, Central Java. Research was held on June - July 2003, by interviewing respondent using questionnaire and taking thick and thin blood smears.
Results: There were 64 cases (45.31% were pregnant) and 1001 controls (33.17% were pregnant). 46.88% cases were infected by P. falciparum and the rest were by P.vivax. There were 37.40% asymptomatic cases from all cases and 44.83% asymptomatic cases from 29 eases who were pregnant. Compare with nonpregnant women who lives in LCI areas and has no outdoor activity at night, pregnant woman who lives in the same areas and same activity, have risk 6 times fold to have malaria infection (OR 6.42; CI 95 % 1.34-30.79). But if pregnant woman, who lives in LCI areas, has outdoor activity at night then the risk become 27 times fold (OR 27.39%; CI 95 % 4.79-156.44) compare to nonpregnant women who lives in the same area and same activity. Woman who lives in MCI areas and has outdoor activity at night, if she become pregnant then she will have OR 5.35 (CI 95 % 1.85-12.72) than nonpregnant woman.
Conclusion: Pregnancy has a significant effect with malaria infection and the effect depend on the outdoor activity at night and level of malaria transmission of the living area.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munaya Fauziah
"Vaginosis bakterial merupakan ISR semakin menjadi perhatian terutama oleh bidang kebidanan dan kandungan setelah ditemukannya hubungan antara vaginosis bakterial pada perempuan hamil dengan kejadian prematuritas atau endometritis pasca persalinan. Vaginosis bakterial ditemukan berhubungan dengan kelahiran preterm pada bayi BBLR dan keguguran pada kehamilan sebelumnya, dapat menjalar ke traktus genitalis bagian atas dan menyebabkan penyakit radang panggul dan dihubungkan dengan selulitis pada pasien pasca histerektomi jika sebelumnya dijumpai vaginosis bakterial. Vaginosis bakterial juga berkaitan erat dengan kejadian infeksi menular seksual yang perlu menjadi perhatian terutama pada era infeksi HIV saat ini. Sekitar 50% perempuan seksual aktif menderita vaginosis bakterial. Penelitian dengan desain potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemakaian AKDR dengan kejadian infeksi vaginosis bakterial pada klien klinik mobil Yayasan Sehati di Bali tahun 1998-2000.
Hasil penelitian pada 308 pasien menunjukkan prevalensi vaginosis bakterial sebesar 36,7% dan persentase pengguna AKDR 45,5%. Dari seluruh sampel, prevalensi trikomoniasis sebesar 15,9%, gonore 0,3%, klamidia 7,8% dan kandidiasis 7,8%. Sedangkan persentase pasien yang melakukan bilas vagina sebesar 5,5% dan suami/partner yang memiliki pasangan seks >1 dalam 3 bulan terakhir 15,3%.
Dari hasil analisis bivariat, terdapat empat variabel yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna terhadap infeksi vaginosis bakterial yaitu: 1) AKDR (POR=1,72; 95% CI: 1,08-2,75), 2) Kandidiasis (POR=0,07; 0,01 - 0,50), 3) Klarnidia (POR= 2,18; 95%CI: 0,94 - 5,03), 4) Bilas vagina (POR= 0,22; 95% CI: 0,05-0,96).
Hasil analisis multivariat menunjukkan tidak ada interaksi antara variabel independen utama AKDR dengan kovariat lain dan tidak ditemukannya variabel confounding pada hubungan antara penggunaan AKDR dengan kejadian infeksi vaginosis bakterial. Kesimpulan dari penelitian ini penggunaan AKDR berhubungan dengan peningkatan peluang infeksi bakterial vaginosis (POR=1,72; 95%CI: 1,08-2,75). Secara statistik hubungan ini bermakna dengan nilai-p=0,023.
Mengingat dampaknya yang cukup serius maka perlu dilakukan pelatihan pelatihan secara terus menerus untuk upaya deteksi dan penatalaksanaan ISR khususnya vaginosis bakterial pada tenaga kesehatan yang bertugas dalam pelayanan KB. Saran kepada petugas pelayanan kesehatan reproduksi agar dilakukan upaya skrining pada saat pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim maupun pada saat dilakukannya kontrol. Saran kepada para peneliti agar melakukan penelitian dengan menggunakan desain yang lebih kuat dalam mengukur sebab akibat seperti desain cohort dan mencari faktor-faktor lain yang memiliki kemungkinan hubungan dengan vaginosis bakterial yang belum diteliti pada penelitian ini serta melakukan penelitian secara luas pada IMS lain.
Daftar Bacaan: 58 (1982-2004)

The Association of Intrauterine Device Use and Vaginosis Bacterial Infection Among Clients of Mobile Clinic of Sehati Foundation, Bali 1998-2000Bacterial vaginosis have been associated with prematurity and endometritis and become major concern particularly by obstetric and gynecology division. The presence of bacterial vaginosis was related to preterm delivery low birth weight infant, and the loss of an earlier pregnancy and infection of upper genital tract. Bacterial vaginosis was related to sexually transmitted disease, which become major concern in the era of HIV/IDS nowadays. About 50% sexually active women infected with bacterial vaginosis. The goal of this cross sectional study design is to know the effect of intrauterine device to bacterial vaginosis among clients of Sehati Foundation mobile clinic in Bali 1998-2000.
This study found that among total sample (308), the prevalence of bacterial vaginosis is 36,7% and proportion intrauterine device use is 45,5%. Prevalence of trichomoniasis is 5,9%, gonorrhea is 0,3%, chlamydia is 7,8% and candidiasis is 7,8%. Women who douch is 5,5% and husband/partner who have more than one sexual in the past three months is 15,3%.
Bivariat analysis show 4 variable which have significant association with bacterial vaginosis, they are: I) IUD (POR=1,72; 95% CI: 1,08-2,75), 2) Candidiasis (POR=0,07; 0,01 - 0,50), 3) Chlamydia (POR= 2,18; 95%CI: 0,94 - 5,03), 4) Douch (POR= 0,22; 95% CI: 0,05-0,96).
The result of the study that IUD uses is associated with the raise of bacterial vaginosis infection risk (POR=1,72; 95%CI: 1,08-2,75). This association significant statistically with p-value =0,023. In a multivariate analysis there is no association between IUD and other covariates and there are not variables, which confound the relation between IUD and bacterial vaginosis.
Based on the result above, it is recommended to do a sustainable training on detection program on sexually transmitted infection particularly bacterial vaginosis to the health official in the family planning clinic. The health official before IUD insertion and when it is controlled should do screening. Future study should be done to review the variable which have not study in this research with design which can give more strength association to estimate the causal and effect relation, for example is cohort study, and to review sexually transmitted infection comprehensively.
References: 58 (1982-2004)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Kurniawati
"Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara Asean. Sekitar 40 % kematian bayi terjadi pada masa neonatal (bulan pertama kehidupan bayi). Tetanus neonatorum masih merupakan salah satu penyebab tersering kematian neonatal. di Indonesia. Dari 126.000 kematian neonatal, sekitar 50.000 diantaranya meninggal karena tetanus neonatorum. Bangsa Indonesia telah bertekad untuk mengeliminasi tetanus neonatorum di pulau Jawa dan Bali pada akhir tahun 1995 dan di seluruh Indonesia pada tahun 2000.
Kejadian tetanus neonatorum di Kabupaten Serang masih cenderung tetap tinggi, sehingga perlu diperoleh informasi hubungan faktor-faktor risiko tertentu dengan kejadian tetanus neonatorum di Kabupaten Serang. Faktor-faktor risiko yang diteliti meliputi: karakteristik ibu hamil (umur, pendidikan, paritas); kondisi kehamilan (status imunisasi Tetanus Toxoid ibu hamil); kondisi persalinan (penolong persalinan, sterilitas alat pemotong tali pusat, tenaga perawat tali pusat, obat/bahan perawatan tali pusat).
Disain penelitian ini adalah kasus kontrol. Kasus adalah penderita tetanus neonatorum yang pernah dirawat di RSU Kabupaten Serang maupun yang ditemukan dari pelacakan dan laporan masyarakat periode Januari 1994 - Desember 1995, sedangkan kontrol adalah bayi neonatus yang tidak menderita tetanus neonatorum yang lahir pada periode Januari 1994 - Desember 1995 yang bertempat tinggal di RT yang sama dengan kasus. Jumlah kasus dan kontrol masing-masing 79. Tidak dilakukan matching pada penelitian ini. Untuk mengetahui besarnya hubungan faktor-faktor risiko dengan kejadian tetanus neonatorum dilakukan perhitungan Odds Ratio melalui analisis regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi Tetanus Toxoid ibu hamil dengan kejadian tetanus neonatorum. Ibu hamil yang tidak pernah menerima imunisasi Tetanus Toxoid dan imunisasi Tetanus Toxoid tidak lengkap masing-masing mempunyai peluang bayinya mengalami kejadian tetanus neonatorum 10,98 kali dan 5,70 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memperoleh imunisasi Tetanus Toxoid lengkap. Alat pemotong tali tali pusat yang tidak steril memberikan risiko 3,14 kali lebih besar untuk kejadian tetanus neonatorum dibandingkan alat pemotong tali pusat yang steril.
Mengingat hasil penelitian yang diperoleh, penulis menyarankan untuk dilakukan peningkatan cakupan imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu hamil disertai dengan pengembangan imunisasi Tetanus Toxoid pada calon pengantin wanita serta anak-anak wanita Sekolah Dasar kelas VI. Juga perlu dilakukan sweeping imunisasi Tetanus Toxoid pada wanita usia subur terutama di desa kasus dan di daerah risiko tinggi, dengan memanfaatkan momentum PIN (Pekan Imunisasi Nasional). Disamping itu juga perlu meningkatkan kemitraan antara dukun bayi dan bidan desa dalam hal pertolongan persalinan, bimbingan teknis dalam bentuk on the job training kepada dukun bayi serta meningkatkan penyuluhan kesehatan masyarakat kepada ibu hamil, calon pengantin khususnya yang tingkat pendidikannya rendah.

Among Asean countries, infant mortality rate in Indonesia is high enough. Approximately 40 % of infant mortality occurred in the neonatal phase (the first month of infant life). Tetanus neonatorum still is one of the causes of neonatal mortality in Indonesia. From 126.000 neonatal mortality 50.000 is approximately caused by tetanus neonatorum. The Government of Indonesia have targeted to eliminate tetanus neonatorum in Java and Bali at the end of 1995 and all over Indonesia in 2000.
The incidence of tetanus neonatorum in Serang District is still high, so that we need to get information of particular risk factors related to the incidence of tetanus neonatorum in this district. The risk factors that will be studied: the characteristic of pregnant mothers (age, education, parity); pregnant condition (the status of Tetanus Toxoid immunization of pregnant mothers); delivery condition (birth attendant, sterilization of the umbilical cord cutter, nurses for the umbilical cord, medicine/material of the umbilical cord intensive care).
Research design is case-control. Cases are tetanus neonatorum patients who already have been intensive care in Serang Public Hospital, observation finding, and public report during January 1994 to December 1995. Controls are neonatus infants who are free of tetanus neonatorum and born during January 1994 to December 1995 in the same location of the cases. There are no matching in this research. This research used Odds Ratio calculation with regression logistic multivariate analysis.
The result of the research indicates that there are positive relationship between the status of Tetanus Toxoid immunization of pregnant mothers and tetanus neonatorum incidents. Pregnant women who never and incomplete geting Tetanus Toxoid immunization have possibility suffering tetanus neonatorum I0,98 and 5,70 times more than pregnant women who get complete Tetanus Toxoid immunization. Non sterilized umbilical cord cutter will give risk to the incidence of tetanus neonatorum 3,14 times than the sterile one.
Based on the study result, we suggest to increase the coverage of Tetanus Toxoid immunization for pregnant mothers and also develop Tetanus Toxoid immunization for the coming bride and school age girls (elementary VI grade). It is necessary as well to do Tetanus Toxoid immunization sweeping for fertile age women, especially in the case village and in the area of high risk, using PIN (Pekan Imunisasi Nasionall National Immunization Week) moment. In addition, it is necessary to increase partnership between traditional birth attendant and trained birth attendant in helping the birth, technical assistant in the form of on the job training to the traditional birth attendant, and increase the community health information to pregnant mothers, the coming brides, particularly those with lower educational level.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Rezkita Andrea
"ABSTRAK
Dimulai dari data SDKI yang pertama yaitu tahun 1987 hingga yang kelima yaitu SDKI 2002-2003, terjadi peningkatan prevalensi operasi sesar, hingga pada SDKI yang terakhir (2002-2003) prevalensi operasi sesar adalah 4,1%, data tersebut diambil dari data wanita yang bersalin dalam 5 tahun terakhir (1997-2003). Berdasarkan data tersebut belum terdapat keterangan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan melalui operasi sesar.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berbubungan dengan kejadian persalinan melalui operasi sesar (Sectio Cesarian) di Indonesia selama kurun waktu 1997-2003.
Studi ini merupakan analisis data sekunder dari data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003. Desain yang digunakan adalah desain potong lintang (cross sectional).
Dari basil analisis diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan persalinan melalui operasi sesar di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun (1997-2003) adalah usia ibu < 20 tahun dan > 35 tahun (OR=2.0, 95%CI: L5-2.6), primipara (OR= 1.4, 95%CI: 1.1-1.8), adanya komplikasi kehamilan (OR=3.5, 95%Cl: 2.7-4.5), adanya komplikasi persalinan (OR= 2.2, 95%CI: 1.8-2.8). Pada variabel pendidikan ibu terlihat adanya dose response relationship SMP (OR= 1, 95%Cl: 0.7-1.4), SMU (OR=1.7, 95%Cl: 1.2-2.3) yang tertinggi adalah tingkat Perguruan Tinggi (OR=2.5, 95%CI: 1.8-16), Pada variabel status ekonomi terindikasi adanya interaksi dengan fasilitas kesehatan (rumah sakit) dan terlihat adanya dose response relationship baik persalinan yang dilakukan di rumah sakil pemerintah maupun swasta. Jika persalinan dilakukan di rumah sakit pemerintah maka peluang untuk dilakukannya persalinan melalui operasi sesar adalah sebagai berikut: niiai OR di rumah sakit swasta meningkat sesuai dengan peningkatan status ekonominya (OR rendah :12; 95%C1; 6.4-22.6; OR menengah: 14.6; 95%CI: 8.0-27.0 dan OR tinggi: 25; 95%CI: 16.9-36.9) . Demikian juga dengan OR di rumah sakit pemerintah (OR rendah: LO; OR menengah: 2.8; 95% CI: 1.8-4.4; OR tinggi: 5.0; 95% CI: 15-7.4). Dan variabel pendidikan ibu terlihat pula adanya dose rensponse relationship, makin tinggi pendidikan ibu, maka peluang untuk dilakukan persalinan melalui operasi sesar makin tinggi (OR1: 1.0; 95%CI: 0.7-1.4; OR2: 1.7; 95%CI: 1.2-2.3; OIU: 2.5; 95%CI: 1.8-3.6).
Dari penelitian ini dapat disimpuikan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan melalui operasi sesar di Indonesia dalam kurun waktu 1997-2003 adalah umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun, paritas, adanya komplikasi kehamilan dan komplikasi persalinan, tingkat pendidikan ibu, serta joint effect antara status ekonomi responden dengan fasilitas rumah sakit yang digunakan.
Penulis menyarankan agar peneltian ini dapat dilanjutkan pada penelitian yang lebih spesifik, hubungan antara operasi sesar dengan status ekonomi responden dan keterjangkauan akses pelayanan kegawatdaruratan obstetri serta lebih mendalam dalam menganalisa statistiknya.

ABSTRAK
Starting from the first IDHS in 1987 to the fifth IDHS 2007-2003, the prevalence of sectio cesarean is increasing. The last IDHS (2002-2003) shows a prevalence of 4.1% in the last five years period (1997-2003). The data did not explain about factors related to sectio cesarean.
The objective of this study is to understand factors related to sectio cesarean in Indonesia during 1997-2003 period.
This study is an analysis of secondary data gathered through Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2002-2003. Design of the study is cross sectional.
The analysis shows that variables related to sectio cesarean-are mothers age <20 years and >35 years (OR 2.0; 95% CI 1.5-2.6), primipara 95%CI: 1.1-1.8), pregnancy complications (OR-3.5, 95%CI: 2.7-4.5), delivery complications (OR-2.2, 95%CI: 1.8-2.8). There is dose response relationship in mother education variable, junior high school (OR= 1, 95%CI: 0.7-1.4), senior high school (OR-1.7, 95%CI:--L2-2.3) and univeristy (Oft-2.5, 95%CI: 1.8-3.6). Socioeconomic status variable indicated an interaction with health care facility (hospital) and shows dose response relationship in oath public and private hospitals. OR in private hospitlas increased in acoordance to the increase of socioeconomic status: low socioeconomic status (OR:12; 95%CI; 6.4-22.6); middle (OR:14.6; 95%CI: 8.0-27.0) and high (OR 25; 95%CI: 16.9-36.9). Similar situation also occured at public hospital (OR low: 1.0; OR middle: 2.8; 95% CI: 1.8-4.4; OR high: 5.0; 95% CI: 3.5-7,4). Dose response relationship also appear in mother education variable, the higher mother education the higher the chance of having sectio cesarean (OR 1: 1.0; 95%CI: 0.7-1.4; OR2: 1.7; 95%Cl: 1.2-2.3: OR3: 2.5; 95%CI: 1.8-3.6 3.
This study concludes that factors related sectio cesarean in Indoneisa in the 1997-2003 period arc mothers age <20 years and >35 years, parity, pregnancy complications and delivery complications, mothers education, and joint effect between socioeconomic status and hospital facility.
It is suggested to continue the study into a more specific research on sectio cesarean and socioeconomic status and access to obstetric emergency care using a more sophisticated statistical analysis.;Starting from the first IDHS in 1987 to the fifth IDHS 2007-2003, the prevalence of sectio cesarean is increasing. The last IDHS (2002-2003) shows a prevalence of 4.1% in the last five years period (1997-2003). The data did not explain about factors related to sectio cesarean.
The objective of this study is to understand factors related to sectio cesarean in Indonesia during 1997-2003 period.
This study is an analysis of secondary data gathered through Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2002-2003. Design of the study is cross sectional.
The analysis shows that variables related to sectio cesarean-are mothers age <20 years and >35 years (OR 2.0; 95% CI 1.5-2.6), primipara 95%CI: 1.1-1.8), pregnancy complications (OR-3.5, 95%CI: 2.7-4.5), delivery complications (OR-2.2, 95%CI: 1.8-2.8). There is dose response relationship in mother education variable, junior high school (OR= 1, 95%CI: 0.7-1.4), senior high school (OR-1.7, 95%CI:--L2-2.3) and univeristy (Oft-2.5, 95%CI: 1.8-3.6). Socioeconomic status variable indicated an interaction with health care facility (hospital) and shows dose response relationship in oath public and private hospitals. OR in private hospitlas increased in acoordance to the increase of socioeconomic status: low socioeconomic status (OR:12; 95%CI; 6.4-22.6); middle (OR:14.6; 95%CI: 8.0-27.0) and high (OR 25; 95%CI: 16.9-36.9). Similar situation also occured at public hospital (OR low: 1.0; OR middle: 2.8; 95% CI: 1.8-4.4; OR high: 5.0; 95% CI: 3.5-7,4). Dose response relationship also appear in mother education variable, the higher mother education the higher the chance of having sectio cesarean (OR 1: 1.0; 95%CI: 0.7-1.4; OR2: 1.7; 95%Cl: 1.2-2.3: OR3: 2.5; 95%CI: 1.8-3.6 3.
This study concludes that factors related sectio cesarean in Indoneisa in the 1997-2003 period arc mothers age <20 years and >35 years, parity, pregnancy complications and delivery complications, mothers education, and joint effect between socioeconomic status and hospital facility.
It is suggested to continue the study into a more specific research on sectio cesarean and socioeconomic status and access to obstetric emergency care using a more sophisticated statistical analysis.
"
2007
T19075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suherni
"Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Pengobatan massal filariasis merupakan salah satu pilar program eliminasi filariasis yang bertujuan untuk memutuskan rantai penularan filariasis sehingga terjadi pengurangan drastis mikrofilaria dalam darah tepi dan dengan demikian mengurangi potensi penularan oleh nyamuk. Dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis di daerah endemis filariasis, obat filariasis dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Namun demikian masih ada saja masyarakat yang menolak untuk minum obat filariasis. Belum diketahuinya faktor yang mempengaruhi perilaku minum obat filariasis merupakan perumusan masalah penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran perilaku minum obat filariasis serta mengetahui beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat tahun 2007. Rancangan penelitian mengunakan studi cross sectional dengan metode cluster sampling yang diadopsi dari EPI WHO menggunakan data primer. Besar sampel sebanyak 264 responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan April - Juli 2008 di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penduduk di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang berusia di atas 14 tahun dan merupakan kelompok sasaran pengobatan massal filariasis dipilih sebagai populasi studi.
Rata-rata umur responden adalah 38,32 tahun, dengan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (79,2%). Responden sebagian besar bersuku sunda (91,7%), 83% responden berpendidikan rendah, 55,3% responden tidak bekerja dan 67,4% responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang filariasis. Sebanyak 98,5% responden menerima obat filariasis dengan pendistribusian obat filariasis melalui pendekatan pos pengobatan massal (47,7%) dan pendekatan datang ke rumah (47,7%). Sebanyak 78,4% responden mengatakan di daerahnya tersedia TPE filariasis. 57,2% responden tidak dikontrol petugas pemberi obat filariasis. Responden yang menerima sosialisasi pengobatan massal filariasis sebanyak 99,6% dan sebagian besar responden menerima sosialisasi pengobatan massal filariasis melalui komunikasi interpersonal (55,9%).
Faktor risiko penentu yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis adalah pendistribusian obat filariasis dan jenis sosialisasi pengobatan massal filariasis. Responden yang memperoleh obat melalui pendekatan selain rumah ke rumah (puskesmas, pos pengobatan, pengajian) berisiko untuk tidak minum obat filariasis 0,26 kali dibanding responden yang memperoleh obat filariasis melalui pendekatan rumah ke rumah, OR = 0,26 (95% CI : 0,07 - 0,98). Responden yang memperoleh sosialisasi pengobatan massal filariasis melalui selain komunikasi intepersonal (penyuluhan massal, media cetak) berisiko untuk tidak minum obat filariasis 0,1 kali dibanding responden yang memperoleh sosialisasi pengobatan massal filariasis melalui komunikasi intepersonal, OR = 0,1 (95% CI : 0,01 - 0,07).
Kesimpulan: Variabel pendistribusian obat filariasis dan jenis sosialisasi pengobatan massal filariasis merupakan faktor risiko utama yang mempengaruhi perilaku minum obat filariasis. Saran: Perlu dilakukan penyegaran pelatihan kepada Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) filariasis dan melakukan sosialisasi pengenalan pengobatan massal filariasis kepada masyarakat serta melakukan penelitian lebih lanjut tentang perilaku minum obat filariasis dengan menggunakan besar sampel yang lebih besar dan desain penelitian yang lebih baik."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Fitrania
"Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan peningkatan kadar gula darah secara menahun disertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi menahun pada berbagai organ target. Laporan data epidemiologi Mc Carty dan Zimmer menunjukkan bahwa jumlah penderita DM di dunia dari 110,4 juta pada tahun 1994 melonjak 1,5 kali lipat (175,4 juta) pada tahun 2000, dan akan melonjak dua kali lipat (239,3 juta) pada tahun 2010 (Tjokroprawiro, 2006). International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa pada tahun 2005 di dunia terdapat 200 juta (5,1 %) orang dengan diabetes (diabetisi) dan diduga 20 tahun kemudian yaitu tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta (6,3 %) orang. Negaranegara seperti India, China, Amerika Serikat, Jepang, Indonesia, Pakistan, Banglades, Italia, Rusia, dan Brazil merupakan 10 besar negara dengan jumlah penduduk diabetes terbanyak.
Penelitian ini merupakan penelitian mengenai gambaran epidemiologi hiperglikemia dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hiperglikemia pada jamaah Majelis Dzikir SBY Nurussalam wilayah Jakarta yang dilaksanakan di Jakarta pada bulan Mei-Juli tahun 2008 dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional yang meneliti exposure dan outcome secara bersamaan. Data yang dipakai merupakan data sekunder hasil pemeriksaan deteksi dini yang dilakukan oleh Subdit Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Departemen Kesehatan RI terhadap jamaah Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang berdomisili di Jakarta tahun 2008.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa Prevalensi kejadian hiperglikemia pada jamaah Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang melakukan pemeriksaan deteksi dini adalah sebesar 10,1% dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 66,9%. 64% responden merupakan jamaah dengan umur 45 tahun ke atas. 35,4% responden tidak bekerja atau pensiunan. Status pernikahan responden sebagian besar yaitu sudah menikah sebesar 88,8%. Tingkat pendidikan responden sebagian besar memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu sebesar 59,0%. Sebagian besar responden tidak melakukan aktivitas fisik dan olahraga yaitu sebesar 34,3%. Jumlah responden yang tidak merokok adalah 83,1%. Sebagian besar responden memiliki status gizi obesitas yaitu sebesar 60,1%. Responden yang memiliki status hipertensi normal sebesar 60,1%. Responden yang memiliki kadar kolesterol tinggi berjumlah 42,1%. Sebagian besar responden memiliki kadar HDL normal yaitu sebesar 69,1%.
Pada analisis bivariat diantara faktor-faktor demografi hanya variabel umur yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian hiperglikemia pada jamaah Majelis Dzikir SBY Nurussalam tahun 2008. sedangkan variabel lain yang diteliti tidak memiliki hubungan yang bermakna. Pada faktor demografi lainnya walaupun secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian hiperglikemia, akan tetapi nilai PR yang diperoleh menunjukkan bahwa pada jamaah yang bekerja mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita hiperglikemia. Pada analisis hubungan antara variabel aktivitas fisik, kebiasaan merokok, status gizi, hipertensi, kolesterol dan HDL dengan kejadian hiperglikemia, didapatkan hasil bahwa variabelvariabel tersebut tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian hiperglikemia.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka peneliti menyarankan agar Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam mengadakan penyuluhan tentang diabetes mellitus terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor risikonya baik faktor risiko yang tidak dapat diubah maupun faktor risiko yang dapat diubah agar baik penderita diabetes mellitus maupun bukan penderita diabetes mellitus dapat memproteksi dirinya terhadap penyakit diabetes mellitus tersebut. Sedangkan untuk Departemen Kesehatan disarankan agar sebelum dilakukan pemeriksaan tekanan darah, gula darah, HDL, kolesterol, dan sebagainya, sebaiknya menanyakan terlebih dahulu kepada responden tentang hal-hal yang mempengaruhi hasil pemeriksaan seperti riwayat penyakit, kebiasaan makan, aktivitas fisik sehingga dapat menegakkan diagnosis dengan tepat. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hiperglikemia sehingga diharapkan dapat menemukan hubungan yang lebih kuat antara faktor-faktor yang diteliti dengan kejadian hiperglikemia melalui desain penelitian dan cara pengumpulan data yang berbeda maupun penggunaan kuesioner yang lebih disempurnakan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Herdiana Christanty
"Skripsi ini membahas gambaran kasus menopause osteoporosis di MTIE FK UI tahun 2006-2008. Penelitian ini bersifat deskriptif, menggunakan desain studi serial kasus. Hasil penelitian ini total kasus 98, kasus terbanyak di tahun 2006 (54,08%) dan bertempat tinggal di Jakarata Selatan (25,23%). Mean umur 65,90 tahun, median 65,5 tahun; modus 63 tahun. Mean paritas 4,33; median 4; modus 4. Proporsi riwayat konsumsi pil KB 44,44%; sudah menopause 94,90%; lama menopause >10 tahun 79,57%; tidak berolahraga 68,18%; memiliki riwayat penyakit kronis 28,57%. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan kausal antara kejadian menopause osteoporosis dengan faktor-faktorrisiko tersebut.

This thesis explains about description of Menopause Osteoporosis at Makmal Terpadu Imunoendokrinologi of Medical Faculty University of Indonesia in 2006- 2008. This is descriptive research with case series study. The result of this research are total cases 98, most case found in 2006 (54.08%) and in South Jakarta (25.23%). Mean of age is 65.90 years old; median is 65.5 years old; mode is 63 years old. Mean of parity is 4.33; median is 4; mode is 4. Proportion of oral contraception consumption history is 44.44%; having menopause 94.90%; having menopause more than 10 years is 79.57%; not doing exercise 68.18%; having history of chronic disease 28.57%. Therefore, further research must b e done to see the causal association of menopause osteoporosis with those risk factors.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>