Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gitta Nur Wulan
"Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi merupakan salah satu urusan pemerintahan konkuren yang didapatkan secara atribusi dengan bersumber pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Atas dasar hal tersebut, Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang Transportasi pada pelaksanaannya dapat dibagi dalam kewenangan perencanaan; kewenangan penyelenggaraan dan kewenangan evaluasi. Dalam perkembangannya, permasalahan transportasi Jakarta yang kompleks dan terhubung dengan daerah sekitarnya membutuhkan penanganan yang terpadu dan komprehensif, sehingga pemerintah pusat membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) melalui Perpres No. 103 Tahun 2015 tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. BPTJ melaksanakan tugas dengan mengacu pada Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Oleh karena kewenangan BPTJ yang lintas daerah dalam wilayah Jabodetabek, maka kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi tidak mengalami perubahan secara substansial, melainkan hanya terdapat perubahan terkait koordinasi pelaksanaan kewenangan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap berwenang dalam pengelolaan transportasi di lingkup wilayahnya yang didasarkan atas kewenangan atributif dari pembagian urusan pemerintahan di bidang perhubungan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan jenis eksplanatoris, sehingga akan menghasilkan suatu penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan secara mendalam terkait suatu gejala atau permasalahan dengan menggunakan data sekunder berupa norma hukum tertulis. Dalam praktik pelaksanaannya masih terdapat potensi tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan BPTJ, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas mengenai hubungan kerja dan pembagian urusan di bidang transportasi antara pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek dengan BPTJ yang mengacu pada RITJ.
Jakarta Provincial Government Authority in the field of transportation is one of the concurrent authority obtained by attribution, referring to The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. On that basis, Jakarta Provincial Government Authority in the field of Transport on its implementation can be divided into the planning authority; organizing authority and the authority of the evaluation. In its development, the transportation problems in Jakarta was complex and connected with the surrounding area in need of an integrated and comprehensive treatment, so that the central government established the Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ) through Presidential Regulation Number 103 of 2015 concerning Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ). BPTJ duties referred to the Transportation Master Plan for Jabodetabek (RITJ). Therefore BPTJ authority which cross the area in Greater Jakarta, the Jakarta Provincial Government authorities in the field of transport did not change substantially, but there are only related to changes in coordinating the implementation of the authority. In this case, Jakarta Provincial Government retains authority in the management of transport in the scope of its area are based on the attributive authority of the division of government affairs in the sector of transportation in The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. The method used in this research is normative juridical with the kind of explanatory, so it will produce a study that depicts or describes in depth related to a problem with using secondary data in the form of a written legal norms. In practical implementation, there is still potential overlapping authority between the Government of Jakarta with BPTJ, so that the necessary legislation clearly regulating the relationship and the division of affairs in the field of transport between local authorities in the Greater Jakarta area with BPTJ which refers to RITJ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Corry
"Skripsi ini membahas persetujuan tertulis Presiden dalam pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang diduga melakukan tindak pidana dengan menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XII/2014. Skripsi ini juga menjabarkan persetujuan tertulis dalam penyelidikan dan penyidikan yang diberlakukan bagi pejabat publik lainnya di Indonesia serta beberapa negara lain. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan analisa data kualitatif. Hasilnya, pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XII/2014 tidak konsisten, baik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebelumya maupun terhadap pertimbangan lain dalam putusan tersebut.
The focus of this study is President?s written authorization in summoning and questioning of parliamentary member of Republic of Indonesia that suspected commiting a criminal act by analyzing Constitutional Court's Decision No. 76/PUU-XII/2014. This study also explain about written authorization in criminal proceedings of other public officials in Indonesia and other states. This study categorized as normative legal study with qualitative data analysis. The result of this study proves that the consideration of Constitutional Court's Decision No. 76/PUU-XII/2014 is inconsistent with Constitutional Court's previous decision and other consideration within this decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65120
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Adrian Prayoga
"Skripsi ini membahas mengenai perkembangan norma hukum yang mengatur verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilihan umum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif dengan studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan adalah norma hukum verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu bersifat dinamis sepanjang penyelenggaraan pemilu pada masa Reformasi. Selain itu, tafsir Mahkamah Konstitusi mengenai keadilan dalam proses verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu mengalami perubahan. Putusan MK No. 52/PUU-X/2012 dan Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 menafsirkan keadilan dalam proses verifikasi partai politik dengan menempatkan seluruh partai politik dalam posisi yang sama tanpa perlakuan yang berbeda. Putusan MK No. 55/PUU-XVIII/2020 menggantikan tafsir tersebut dengan mendasarkan pada keadilan yang “memperlakukan sama terhadap sesuatu yang sama dan memperlakukan beda terhadap sesuatu yang berbeda,” sehingga terjadi pembedaan perlakuan antara suatu partai politik dengan partai politik lainnya berdasarkan patokan tertentu. Berdasarkan kesimpulan tersebut, harapan dari Penulis adalah publik berusaha untuk melakukan pengawasan terhadap pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu demi terwujudnya prinsip-prinsip demokratis dalam pemilu, terutama mengenai verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu, terlepas dari kepentingan politik dari pembuat undang-undang dalam menyusun peraturan perundang-undangan mengenai pemilu.

This thesis discusses the development of legal norms governing the verification of political parties to become participants in general elections after Constitutional Court Decision Number 53/PUU-XVIII/2020. The research method used is the juridical-normative method with literature study. The conclusion of this research based on the facts found is that the legal norms of verification of political parties to become election participants are dynamic throughout the implementation of elections during the Reformation period. In addition, the Constitutional Court's interpretation of justice in the verification process of political parties to become election participants has changed. Constitutional Court Decision No. 52/PUU-X/2012 and Constitutional Court Decision No. 53/PUU-XV/2017 interpret justice in the political party verification process by placing all political parties in the same position without different treatment. Constitutional Court Decision No. 55/PUU-XVIII/2020 replaces this interpretation by basing it on the maxim that "treats the same to something that is the same and treats differently to something different," so that there is differential treatment between one political party and another political party based on certain benchmarks. Based on these conclusions, the author hopes that the public will try to supervise the legislators and election organizers for the realization of democratic principles in elections, especially regarding the verification of political parties to become election participants, regardless of the political interests of the legislators in drafting election laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismah Naqiyyah
"Penelitian ini membahas perkembangan pengaturan tindakan afirmasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada DPR RI dan bagaimana pelaksanaan pengaturan tersebut sejak awal tindakan afirmasi diterapkan pada tahun 2004, hingga terakhir kali tindakan afirmasi untuk DPR diterapkan, yaitu pada tahun 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan sejarah hukum. Pembahasan dimulai dengan menganalisis tindakan afirmasi pada Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu penelitian ini akan membahas pelaksanaan undang-undang tersebut dengan menganalisis peraturan pelaksanaannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk tindakan afirmasi untuk perempuan masuk ke dalam DPR RI, yaitu melalui kuota partai politik dan kuota pada proses pencalonan legislatif. Setiap periode pengisian jabatan DPR, peraturan mengenai tindakan afirmasi perempuan tersebut selalu berubah. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, belum menghasilkan peningkatan keterwakilan perempuan yang signifikan di DPR RI.

This research discusses about the development of affirmative action regulations in the increase of women's representation in the House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) of Republic of Indonesia and how the implementation of the regulations since the beginning of affirmative action was applied from 2004 until the last time affirmative action for DPR was implemented in 2014. The research method used is normative juridical with a legal history approach. The discussion begins by analyzing the affirmative action on the Acts of Political Parties, the Acts of the Election for Members of DPR, the Regional Representatives Council (Dewan Perwakilan Daerah/DPD) and the Local People’s Representatives Council (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD), and the Acts of Representatives Council Institutions. In addition, this research will also discuss about the implementation of the regulations by analyzing the implementative regulations. The results of the research show that there are two forms of affirmative action for women to enter DPR, i.e.: through quotas of political parties and quotas in the process of legislative candidacy. In every period of DPR, the regulations on women's affirmative actions have been continuesly changing. However, with those changes, the regulations have not succeeded to increase women's representation in DPR significantly."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shalma Aisyah Anandhia Prasetya
"Skripsi ini mengkaji permasalahan hukum dalam pengisian jabatan hakim agung dan hakim konstitusi di Indonesia, dengan tujuan mengusulkan mekanisme pengisian yang bebas dari intervensi politik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan analitis serta pendekatan perbandingan hukum. Pengisian jabatan hakim di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan hal krusial dalam menentukan independensi kehakiman. Berdasarkan temuan, terdapat intervensi politik yang dilakukan oleh DPR dalam pemilihan hakim agung yang ditunjukkan dalam pengambilan keputusan subjektif dan ketidakpatuhan DPR terhadap aturan dalam pengisian hakim agung. Sedangkan dalam pengisian hakim konstitusi, intervensi politik terjadi karena ketiadaan peraturan baku yang memungkinkan penyelundupan hukum oleh Pemerintah dan DPR. Solusi yang diajukan melibatkan penambahan syarat masa tenggang bagi anggota partai politik yang mendaftar sebagai calon hakim agung, penguatan sistem nonrenewable term dan penambahan syarat masa tenggang bagi calon hakim konstitusi. Pemerintah juga disarankan untuk mengatur penambahan ketentuan dalam UU tentang MK yang memaksa lembaga pengusul membentuk mekanisme baku yang transparan, profesional, dan memprioritaskan independensi kekuasaan kehakiman.

This thesis examines legal issues in the appointment of Supreme Court and Constitutional Court judges in Indonesia, aiming to propose a mechanism free from political intervention. The research employs a doctrinal approach with analytical and comparative legal methods. The appointment of judges in the Supreme Court and Constitutional Court is crucial in determining judicial independence. Findings indicate political intervention by the DPR (People's Consultative Assembly) in the selection of Supreme Court judges, evidenced by subjective decision-making and non-compliance with appointment regulations. In the case of Constitutional Court judges, political intervention arises due to the absence of standardized regulations, allowing legal smuggling by the Government and DPR. Proposed solutions involve adding a cooling-off period for political party members applying for the position of Supreme Court judge, strengthening the nonrenewable term system, and introducing a cooling-off period requirement for Constitutional Court candidates. Additionally, it is recommended to amend the Constitutional Court Law to compel proposing institutions to establish standardized mechanisms that are transparent, professional, and prioritize judicial independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Anindita
"Tulisan ini menganalisis bagaimana peraturan di Indonesia dan peraturan internal dari 3 besar partai politik dan 2 partai politik baru yang belum memiliki kursi di DPR RI dalam menetapkan syarat perihal keanggotaan partai politik itu sendiri maupun calon anggota legislatif  DPR RI. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara umum, lima partai politik yang terdiri dari PDIP, Gerindra, Perindo, dan PSI telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyiapkan kader yang berkualitas. Hal ini terlihat dari adanya sekolah partai dari masing-masing partai. Walaupun terdapat beberapa perbedaan mengenai mekanisme kerangka yang dilaksanakan oleh partai, namun kelima partai tersebut tetap menjunjung tinggi proses kaderisasi. Dalam AD/ART kelima partai tersebut juga telah sejalan dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan syarat keanggotaan partai politik dan calon anggota DPR, yakni UUD NRI 1945, UU No. 7 Tahun 2017, UU No. 2 Tahun 2008, dan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023. Meski demikian, belakangan ini banyak peraturan yang mendapat tanggapan negatif dari publik. Pengesahan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2019 dan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aspirasi masyarakat kurang diserap dengan baik sehingga menghasilkan undang-undang yang kontroversial. Menghadapi Pemilu 2024 yang sedang ramai-ramainya calon legislatif menarik perhatian massa dengan kampanye, timbul dalam benak masyarakat sebenarnya bagaimana pola rekrutmen dari partai politik sehingga menghasilkan anggota DPR RI yang sedemikian rupa. 

This paper analyzes how the regulations in Indonesia and the internal regulations of the 3 major political parties and 2 new political parties that do not yet have seats in the DPR RI in determining the requirements regarding the membership of the political party itself and the DPR RI legislative candidates. This paper is prepared using doctrinal research methods and uses secondary data obtained from literature studies. The results show that in general, the five political parties consisting of PDIP, Gerindra, Perindo, and PSI have made every effort to prepare qualified cadres. This can be seen from the existence of party schools from each party. Although there are some differences regarding the framework mechanism implemented by the parties, the five parties still uphold the regeneration process. The bylaws of the five parties have also been in line with the provisions of the laws and regulations relating to the membership requirements of political parties and candidates for DPR members, namely UUD NRI 1945, UU No. 7 Tahun 2017 and UU No. 2 Tahun 2008, dan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023. However, recently many regulations have received negative responses from the public. The ratification of the revision of Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tahun 2019, Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. The aspirations of the community are not well absorbed, resulting in controversial laws. Facing the 2024 elections, when legislative candidates are busy attracting the attention of the masses with campaigns, the public's mind is actually how the recruitment patterns of political parties produce members of the DPR RI in such a way."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Yusuf Fachreza
"Skripsi ini dilaksanakan dengan melihat adanya perkembangan yang begitu pesat sehingga kemudian media sosial memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pemilu. Banyak partai politik yang melaksanakan kampanye melalui media sosial. Hal ini tidak terlepas dari kemudahan akses yang diberikan oleh media sosial, bahwasanya seluruh orang tanpa terkecuali dapat dengan mudah mendapatkan informasi di media sosial. Namun, dengan adanya kemudahan tersebut, timbul permasalahan berupa tindakan black campaign yang lebih mudah untuk dilaksanakan di media sosial, sehingga kemudian menyebabkan pemilu tidak berjalan secara demokratis. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu memiliki tanggung jawab untuk membuat regulasi mengenai kampanye melalui media sosial. Skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana KPU mengatur kampanye yang dilaksanakan melalui media sosial sebagai upaya untuk mewujudkan pemilu yang demokratis. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan menggunakan data berupa peraturan perundang-undangan, buku, artikel, dan jurnal ilmiah yang terkait dengan persoalan kampanye melalui media sosial. Analisis dilakukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan dan praktik-praktik yang ada, serta mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Hasil dari skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan regulasi yang lebih baik mengenai kampanye melalui media sosial, sehingga proses pemilu dapat berlangsung secara demokratis dan adil. Dari hasil penelitian ini disarankan, bahwa KPU harus membuat peraturan secara khusus yang mampu memberikan perlindungan terhadap kampanye di media sosial, mengingat bahwasanya saat ini media sosial menjadi salah satu media kampanye yang sangat berpengaruh pada pemilu.

This thesis is conducted in light of the rapid development of social media, which has consequently played a significant role in the organization of elections. Many political parties conduct their campaigns through social media. This is undeniably linked to the ease of access provided by social media, where everyone, without exception, can readily obtain information. However, with this convenience comes a pressing issue in the form of black campaign activities that are more easily executed on social media, subsequently undermining the democratic nature of elections. The General Election Commission (Komisi Pemilihan Umum/KPU), as the institution responsible for election management, bears the duty to establish regulations pertaining to campaigns through social media. The objective of this thesis is to examine how the KPU regulates campaigns conducted through social media as an endeavor to realize democratic elections. The research method employed is doctrinal, utilizing data comprising statutory regulations, books, articles, and scholarly journals related to the issue of social media campaign. The analysis is conducted in reference to statutory regulations and prevailing practices, while seeking solutions to address these problems. It is anticipated that the results of this thesis will offer insights for the development of improved regulations concerning campaigns through social media, thereby ensuring that the electoral process transpires in a democratic and equitable manner. Based on the findings of this research, it is recommended that the KPU should formulate specific regulations capable of safeguarding campaigns on social media, given that social media now constitutes a highly influential campaign platform in elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Ilham Irmantyo
"Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Perubahan Kedua atas UU KPK), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Publik berpikir, bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah ini bertujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi pemberantas korupsi. Disebut demikian, lantaran UU ini dianggap memuat aturan-aturan yang dapat melemahkan KPK. Hal yang paling dipermasalahkan oleh publik adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK sebagai badan pengawas internal KPK yang memiliki wewenang pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Skripsi ini membahas, apakah wewenang seperti itu merupakan hal yang normal dan lazim diberikan dengan membandingkan wewenang badan pengawas pada lembaga negara lain di Indonesia serta badan pengawas lembaga anti korupsi di negara-negara lain. Metode penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan studi komparatif. Dari riset yang dilakukan, penulis melihat, bahwa dengan mendirikan Dewan Pengawas KPK, pembentuk undang-undang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dari KPK. Namun, walaupun pendiriannya memang diperlukan, penulis menilai, bahwa wewenang Dewan Pengawas KPK dalam hal memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan merupakan hal yang tidak lazim dan aneh karena pada praktik ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun di negara lain, tidak ditemukan sistem atau pengaturan yang demikian.

By the entry into force of the Law Number 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission, the Indonesia's House of Representatives (DPR) and Government were harshly criticized by the public. The public thought that what the DPR and the Government did aimed to weaken the Corruption Eradication Commission (KPK) as the state's institution eradicating corruption. This is because the new law was presumed to contains rules that could weaken the power of KPK. The most problematic thing according to the public is the establishment of the Supervisory Board of the KPK as the commission's internal supervisory body having the authority to grant the approval on the action of wiretapping, searching and confiscation. The thesis discusses whether such authority is normal and a common thing adopted in other countries by learning the authority of the supervisory body in other Indonesia's state institutions as well as the supervisory body of the anti-corruption institutions in other countries. The research method used for the thesis is normative juridical research as well as comparative study. From the research, the author see that by establishing the KPK's Supervisory Board, the legislators aim to increase the accountability of the KPK. However, although its establishment is indeed necessary, the author has an opinion that the above mentioned Supervisory Board authority is unusual and peculiar, as the practice has not been found, both in Indonesia's and other countries' constitutional system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Alif Febriyanto
"Sebagai dua negara demokrasi dengan penganut sistem pemerintahan presidensial, Indonesia dan Brazil melakukan pemilihan umum dengan metode serentak yang langsung memlih Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam waktu bersamaan. Di samping itu, keduanya juga melaksanakan Pemilihan Umum Anggota DPR dengan sistem pemilihan proporsional dengan memilih nama calon atau sistem pemilihan proporsional terbuka. Berangkat dari kondisi tersebut, penelitian ini akan mengkaji kompatibilitas antara metode pemilihan umum serentak dengan sistem proporsional terbuka di dua negara tersebut. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan historis dan komparatif untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan pemilihan umum serentak serta pelaksanaan pemilihan umum serentak di kedua negara tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat kompatibilitas antara metode pemilihan serentak dengan sistem pemilihan proporsional terbuka pada kedua negara tersebut berupa kesamaan tata Kelola pemilihan umum dan berkurangnya selisih suara antar pemilihan umum.

As two democracies with a presidential system of government, Indonesia and Brazil conduct simultaneous elections that directly elect the President as the holder of executive power and Parliament as the holder of legislative power simultaneously. In addition, both also conduct legislative elections with a proportional voting system by selecting the names of candidates or an open proportional voting system. Departing from these conditions, this research will examine the compatibility of the simultaneous general election method with the open proportional system in the two countries. This research will be conducted using normative juridical research methods with historical and comparative approaches to find out the background of the implementation of simultaneous general elections and the implementation of simultaneous general elections in the two countries. Based on the research, there is compatibility between the simultaneous election method and an open proportional voting system in the two countries in the form of similarity in the electoral management and reduced vote difference between elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library