Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tendean, Nia Paramita
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai organisasi Pembina Iman Tauhid Islam, sebagai salah satu organisasi dakwah sekaligus asimilasi di kalangan etnis Tionghoa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan golongan minoritas ini memutuskan untuk menjadi muallaf. Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah, yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka menyebarkan dakwah sekaligus memperkenalkan Islam di kalangan etnis Tionghoa, PITI mengadakan kerja sama dengan Bakom-PKB, yang merupakan lembaga asimilasi terbesar di Indonesia, dan didukung oleh kalangan militer.

ABSTRACT
This min thesis study about Pembina Iman Tauhid Islam, as one of dakwah organization and assimilation at once among Tionghoa ethnic. It purpose to know about what factors that made this minority group decided to be a muallaf. This research use history method consist of four steps, which is heuristic, critic, interpretation, and historiography. It showed that to spread dakwah and to introduced Islam among Tionghoa ethnic, PITI made a cooporation with Bakom-PKB, which is the biggest assimilation organization in Indonesia, and assimilation was support by military."
Depok: 2010
S12731
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
RR. Mega Trianasari
"

 

Peristiwa Desember Hitam adalah  penandatanganan pernyataan protes oleh 14 seniman dan pemberian karangan bunga dukacita pada Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyeenggara Pameran Besar Seni Lukis 1974, di Taman Ismail Marzuki pada 31 Desember 1974. Keempetbelas seniman tersebut adalah Muryotohartoyo, Juzwar, Bonyong Muni Ardi, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, D.A Peransi, Baharudin Marasutan, Adri Darmadji, Harsono, Hardi, Ikranegara, Siti Adiati, dan Abdul Hadi WM. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sebab dan dampak peristiwa Desember Hitam. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat langkah yaitu (1) Heuristik; (2) verifikasi; (3) interpretasi; dan (4) historiografi  dengan menggunakan pendekatan relasi kuasa. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa peristiwa ini disebabkan oleh hasil penjurian Lukisan yang Baik  dalam Pameran Besar Seni LukisIndonesia 1974  yang memilih hasil karya yang beraliran abstrak-dekoratif. Saat itu seni rupa yang beraliran abstrak dekoratif dianggap sebagai seni rupa yang cocok dengan kepribadian nasional. Menurut 14 seniman yang menandatangani Pernyataan Desember Hitam, pemilihan karya-karya yang becorak abstrak dekoratif merupakan suatu tindakan yang melawan kodrat seniman yang memiliki keragaman dalam aliran dan bentuk-bentuk karya. Peristiwa ini berdampak pada lima mahasiswa STSRI “ASRI” yang ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam, mereka adalah Hardi, Bonyong Muni Ardhi, Harsono, Siti Adiyati dan Ris Purwana. Kelima mahasiswa tersebut menerima skorsing dan pemecatan dari pimpinan STR “ASRI”I. Lima mahasiswa STSRI “ASRI” tersebut dinilai mencemarkan nama baik institusi STSRI “ASRI” dengan ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam yang dinilai memiliki muatan politis dan tidak sejalan dengan kebudayaan nasional. Kemudian, lima mahasiswa STSRI “ASRI” tersebut menggabungkan diri dengan seniman-seniman muda dari Bandung dan Jakarta untuk membentuk Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang bertujuan untuk mendobrak batasan-batasan dalam seni rupa di Indonesia yang terdiri dari seni lukis, patung dan grafis.

 

 

 

 

 


 

Black December is protest statement signed by 14 artists and giving condolences flower bouquet to Jakarta Art Council as the organizer of Indonesia Great Painting Exhibition 1974, at Taman Ismail Marzuki in 31st December 1974. Those 14 artists are Muryotohartoyo, Juzwar, Bonyong Muni Ardi, M. Sulebar, Ris Purwana, Daryono, D.A Peransi, Baharudin Marasutan, Adri Darmadji, Harsono, Hardi, Ikranegara, Siti Adiati, dan Abdul Hadi WM. This research purpose is to analyze the cause and effect of Black December 1974 event. The methods which used in this research is history methods. Consist of four steps. They are: (1) Heuristic; (2) verification; (3) interpretation; dan (4) historiography with power relation approach.  The research result show that this event caused by the Good Painting judging result in Indonesia Great Painting Exhibition 1974, which choose abstract decorative art works. In that time, abstract decorative artwork is considered fit with national character. According to 14 artists who sign December Hitam statement, choosing only abstract decorative artworks was an act which contradict to artist nature who has variety in style and art form, this event is also have an effect to   STSRI “ASRI” student who sign the Black December Statement, they are Hardi, Bonyong Muni Ardhi, Harsono, Siti Adiyati dan Ris Purwana. Those five students accept suspension decision from STSRI ASRI’s Chief. They perceived to give bad name for STSRI “ASR” by signing the Black December Petition, because it has political value and it doesn’t conform to national culture. Afterward, those five expelled students joined themselves with young artist from Bandung and Jakarta, making Indonesian New Art Movement which has purpose to breaking the barrier of Indonesian fine arts, which consist of painting, sculpture and graphic.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T51820
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Mulki Mulyadi Noor
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa latar belakang terjadinya kerusuhan tak berdarah di tanah partikelir Batu Ceper pada tanggal 4 Juni 1934 yang disebabkan oleh penolakan petani untuk menyerahkan padi miliknya kepada juru sita. Konflik ini kemudian berlanjut hingga ke landraad Tangerang tanggal 18 Juni 1934. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan keterlibatan organisasi pergerakan sosial bernama Tirtajasa yang berjuang membela kepentingan petani di tanah partikelir. serta media massa yang digunakan oleh organisasi ini untuk membentuk opini di masyarakat.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan menggunakan sumber-sumber primer maupun sekunder yang berkaitan dengan insiden yang terjadi. Dengan menggunakan teori Collective Action Charless Tilly, penelitian ini menitikberatkan pada peran pergerakan nasional pada masa kolonial dalam usaha-usahanya mensejahterakan petani di tanah partikelir. Sebelum kerusuhan terjadi diketahui bahwa Tirtajasa masuk ke tanah partikelir untuk memberi pencerahan dan penyadaran hukum kepada para petani, sehingga mereka sadar hak dan kewajibannya. Propaganda Tirtajasa ini kemudian mendapatkan sambutan hangat di Batu Ceper dan sekitarnya, sehingga ketika kerusuhan tersebut terjadi para petani meminta bantuan hukum kepada Tirtajasa untuk membela mereka dalam pengadilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan orientasi ekonomi antara tuan tanah Cina dan petani menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi di Tangerang dimana tuan tanah mengeruk hasil pajak secara kaku saat kondisi ekonomi petani semakin terpuruk. Karena itu akumulasi dari rasa ketidakpuasan tersebut memunculkan rasa permusuhan yang dapat meledak sewaktu-waktu. Dalam penelitian ini terlihat bahwa organisasi pergerakan nasional mendapatkan keuntungan dari dukungan para petani yang memiliki kepentingan untuk melepaskan diri dari ekploitasi tuan tanah.
Sementara itu pembelaan dari tokoh pergerakan nasional juga mendorong pemerintah untuk segera membeli tanah partikelir Batu Ceper. Secara umum, pembelian ini terbukti merubah kehidupan masyarakat yang dihidup di tanah partikelir, karena dengan begitu perbaikan sarana infrastruktur, kesehatan dan pendidikan dapat dilakukan secara lebih baik oleh Gubernemen dibandingkan oleh tuan tanah. Selain itu keterlibatan kalangan nasionalis di dalam tanah partikelir menambah rasa anti-cina yang telah meruncing pada awal abad ke-20.

This study analyze the conflict between peasants and landlord in Batu Ceper which culminated in the occurrence of bloodless riots on June 4, 1934 in the form of peasant refusal to hand over their grain to bailiffs which ignited the emotions of other peasants. This case then continued to the Tangerang court on June 18, 1934. This study explained the involvement of a social movement called Tirtajasa which struggled to defend the interests of peasant in private lands and also analyzed the presence of mass media in spreading opinions in the community.
This study uses historical methods using primary and secondary sources related to the incident. By using the theory of Collective Action by Charless Tilly, this study focuses on the role of the national movement in the colonial period and its efforts to prosper indigenous people, especially peasants in private lands who sometimes feel dissatisfied with the oppressive system. Before the turmoil began, it was discovered that Tirtajasa Organization had entered private land to provide legal enlightenment and awareness to peasants about their rights and obligations. The Tirtajasa propaganda then received raves from Batu Ceper inhabitants and even invoked Tirtajasa to defend their right in the court.
The results showed that differences in economic orientation between Chinese landlords and peasants caused social and economic inequality in Tangerang where landlords dredged tax revenues rigidly as peasant’s economic conditions deteriorated. Therefore the accumulation of dissatisfaction raises hostility that can explode at any time. In this study it can be seen that the national movement organization had benefited from the support of peasants who have an interest in escaping the exploitation of landlords.
Meanwhile the defense of the national movement leaders also encouraged the government to immediately buy the Batu Ceper private land. This defense led to an accelerated purchase of Batu Ceper private land by the Government. Therefore, this purchase is proven to change the lives of people who live on private land, because the improvement of infrastructure, health and education facilities can be done better by the Colonial Government. In addition, the involvement of nationalists (anti-colonialism) in private land adds to the feeling of anti-chinese that had been tapering in the early 20th century.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T51817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Kurnia Putri
"ABSTRAK Museum Ranggawarsita merupakan museum provinsi di Jawa Tengah yang dibangun melalui proyek rehabilitasi dan pembangunan museum. Pada tahun 1975, pembangunan Museum Ranggawarsita dirintis dan mulai dibuka secara bertahap pada tahun 1983 dan 1989. Museum Ranggawarsita memiliki koleksi yang berasal dari seluruh Jawa Tengah, antara lain berupa arca, emas, fosil, uang, kitab, batik, baju dan senjata tradisional. Museum ini dibangun dengan jumlah dana paling banyak dari museum provinsi yang dibangun pada kurun waktu 1975 hingga 1990. Pemerintah Orde Baru memberikan penekanan khusus pada Museum Ranggawarsita melalui alur cerita yang mewariskan ingatan tentang jasa Orde Baru dalam pembanguan Indonesia. Museum Ranggawarsita memuat narasi sejarah Orde Baru yang diwujudkan dalam alur cerita dan penataan koleksi. Dua gedung yang menjadi representasi langsung dari Orde Baru, yaitu Gedung C dan D. Koleksi yang dipamerkan berupa diorama, senjata, lukisan beberapa tokoh, dan bendera panji. Koleksi yang dipamerkan dalam dalam kedua gedung ini merepresentasikan Orde Baru yang cenderung militeristik dan mengutamakan perjuangan fisik. Narasi dalam alur cerita versi Orde Baru di Museum Ranggawarsita terus bertahan meskipun Orde Baru telah runtuh pada tahun 1998. Diorama perjalan sejarah bangsa, merupakan salah satu bagian alur cerita dalam Museum Ranggawarsita yang memuat narasi Orde Baru. Perubahan baru terjadi di tahun 2002, ketika disahkannya Undang-undang Otonomi Daerah, namun tidak banyak perubahan pada alur cerita di Museum Ranggawarista. Era Reformasi merupakan masa perubahan dan beberapa museum, seperti Monumen Nasional, telah mengganti narasi yang cenderung militeristik menjadi lebih terbuka. Hal ini tidak terjadi di Museum Ranggawarsita yang tetap mempertahankan narasi Orde Baru hingga tahun 2009.
ABSTRACT Ranggawarsita Museum is a provincial museum in Central Java that was built through a museum rehabilitation and construction project. The construction of the museum began in 1975 and it was opened for public gradually since 1983 and 1989. Ranggawarsita Museum has collections from all over Central Java, including statues/arca, gold, fossils, money, holy books, batik, traditional clothes, and traditional weapons. Ranggawarsita museum was built with the largest fundings among provincial museum project initiated by The New Order government in the period of 1975 to 1990. The New Order government put special emphasis on Ranggawarsita Museum through a storyline that inherited memories of the New Order's greatness in Indonesian development. Ranggawarsita Museum constructs historical narrative of The New Order which are manifested in the storyline and the arrangement of collections. There are two buildings which become the direct representation of The New Order, namely Building C and Building D.  Some collections displayed there including diorama, weapons, paintings of several figures, and war flags. Collections displayed in those two buildings represent the New Order narrative which tends to be militaristic and accentuates the physical struggle. The narrative of the New Order in Ranggawarsita Museum's display storyline continued despite the collapse of the New Order in 1998. It can be seen in the museum's diorama of Indonesia's historical journey which still contains the narrative of the New Order. In 2002 the Regional Autonomy Law was applied in the country, but there were not many changes to the storyline narrative of Ranggawarsita Museum. Reformation era is a period of change and several museums, such as the National Monument, have replaced the narrative of the New Order into some other opened narratives. But it did not happened at the Ranggawarsita Museum which maintained the New Order narrative until 2009.     

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T51843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rahmad
"Pelabuhan Ampenan merupakan pelabuhan utama di pulau Lombok Sejak ditetapkan menjadi pusat kegiatan perdagangan aekitar abad ke-19, aktivitas pelabuhan terus meningkat. Perkembangan pelabuhan tersebut mendorong Pemerintah Hindia Belanda ( berkuasa tahun 1894 - 1942 ) mengeluarkan kebijakan - kebijakan terhadap pelabuhan, seperti mengadakan perbaikan dan pembangunan sarana pelabuhan termasuk jaringan komunikasinya, sehingga proses pengangkutan komoditi dapat berjalan lancar dari pelabuhan ke pedalaman. Semua biaya berasal dari kas daerah Lombok dan penebusan kerja rodi, sedangkan pengawasan dan pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umurn Lombok dan penduduk setempat. Setelah dikeluarkan kebijakan tersebut, aktivitas perdagangan ekspor dan impor terlihat mengalami peningkatan dibandingkan dengan masa sebelumnya, meskipun kondisi itu tidak (selalu berlangsung stabil karena faktor intern dan ekstern yang mempengaruhinya Selain itu, pelabuhan Ampenan juga berperan dalam kegiatan pelayaran di Nusantarapada masa kolonial. Puncak perdagangan ekspor - impor terjadi pada periode 1920 - 1930. Terjadinya krisis ekonomi 1930 berpengaruh pada pelabuhan Ampenan, yakni penurunan drastis kegiatan ekspor - impor. Tanda - tanda pulihnya perekonomian baru nampak pada tahun 1936. Perkembangan pelabuhan telah mendorong pertumbuhan dan perkembangan kota Ampenan. Pada gilirannya, muncul masalah - masalah kota yang menyebabkan kota mempunyai dinamikanya sendiri. Meskipun demikian, Pemerintah Hindia Belanda dapat mengatasinya sampai berakhirnya kekuasaan"
2000
S12095
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yossi Ihsan
"ABSTRAK
Skrispi ini mengidentifikasi arah perjuangan Bangsa Moro di Filipina mulai dari pasca-Perjanjian Tripoli hingga pembentukan Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM), dari tahun 1976 sampai dengan 1990. Pergerakan Bangsa Moro pasca-Perjanjian Tripoli mengalami diversifikasi, terutama arah perjuangannya. Hal ini didorong oleh faktor internal dan eksternal Bangsa Moro. Sebelum tahun 1976, pergerakan-pergerakan Bangsa Moro mempunyai tuntutan yang sama yaitu, pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Filipina. Setelah itu, muncul tuntutan membentuk wilayah otonomi Muslim di Filipina Selatan. Jatuhnya kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos di tahun 1986 membuka kembali sistem demokrasi di Filipina. Sistem ini memberikan jaminan suatu daerah membentuk wilayah otonomi. Pada tahun 1990 ARMM resmi berdiri, setelah sebelumnya Qorazon Aquino menandatangani Republic Act No. 6734 tahun 1989.

ABSTRACT
This thesis identifies the direction of the Bangsa Moro struggle in the Philippines from the Tripoli Agreement to the formation of the Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM), from 1976 to 1990. Bangsa Moro movement of post-Tripoli Agreement experiencing diversifying, especially the struggle. This is driven by internal and external factors of Bangsa Moro. Prior to 1976, movements of the Bangsa Moro to have the same demands, that is secession from the Unitary Republic of the Philippines. Al'ter that, new demands arise, the establishment of autonomous region of Muslim in South Philippines. The falls of President Ferdinand Marcos in 1986 re-open the democratic Systems in the Philippines. This system guarantees a region to form an autonomous region. In 1990 ARMM was established, after previously signed law Republic Act No. 6734 in 1989 by Qorazon Aquino."
2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmah Rafika Mufti
"Korupsi di Indonesia sudah terjadi sangat sistematis sehingga diperlukan sebuah upaya pemberantasan korupsi. KPK sebagai sebuah lembaga extraordinary bertugas untuk pemberantasan korupsi di Indonesia, namun KPK tidak mampu bekerja sendiri. Komitmen pemerintah juga menjadi penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Penegakan hukum dan reformasi birokrasi masih dirasa belum cukup dalam upaya pemberantasan korupsi. Makalah ini adalah hasil penelitian metode sejarah yang terdiri dari empat tahap, heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Corruption in Indonesia has occurred very systematically so that an effort to eradicate corruption is needed. The KPK as an extraordinary institution is tasked with eradicating corruption in Indonesia, but the KPK is unable to work alone. Government commitment is also important in combating corruption in Indonesia. Law enforcement and bureaucratic reform are still considered insufficient in efforts to eradicate corruption. This paper is the result of a historical method research consisting of four stages, heuristics, criticism, interpretation, and historiography.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T53763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfanny
"ABSTRAK
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) merupakan salah satu dari sekian banyak serikat buruh yang ada di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950- 1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan pada awal Orde Baru (1966-1973). Sarbumusi lahir di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 27 September 1955.
Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sebagai sebuah serikat buruh yang berafiliasi pada kelompok politik Islam, dalam hal ini Partai Nahdlatul Ulama (NU) dalam perkembangannya tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik NU dalam sektor perburuhan, melainkan juga memperjuangkan aspirasi kaum buruh ketika berhadapan dengan Pemerintahan Orde Baru yang represif terhadap gerakan buruh.
Pada perkembangannya gerakan buruh Indonesia terpecah mengikuti afiliasi politiknya masing-masing. Pada awal pertumbuhannya Sarbumusi sebagai serikat buruh yang berafiliasi pada Partai NU disibukkan oleh persoalan konsolidasi dan eksistensi organisasi terutama demi mengimbangi pengaruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), serikat buruh yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keterkaitan serikat buruh dan politik pada satu sisi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi penanaman ruh nasionalisme dalam masa Pergerakan Nasional. Namun di sisi lain nuansa politik yang kental dari serikat-serikat buruh telah menyebabkan perjuangan buruh tidak mencapai basil yang optimal terutama ketika berhadapan dengan pihak pengusaha dan pemerintah. Gerakan buruh tidak mampu bersatu dalam memperjuangkan aspirasinya, tapi terpecah belah oleh orientasi dan afiliasi politiknya masing-masing.
Sarbumusi bersama ormas-ormas NU lainnya mengambil peranan yang cukup besar dalam upaya membersihkan SOBSI pasca G.30 S PKI. Namun di sisi lain TNI AD yang menjadi Ujung tombak dalam operasi pembersihan sisa-sisa PKI telah bertindak sewenangwenang dengan melakukan penangkapan buruh-buruh yang bukan anggota SOBSI.
Sarbumusi mengkritisi Orde Baru yang masih mempertahankan perilaku usang Rejim Orde Lama di bidang perburuhan. Sarbumusi dengan tegas menolak pemecatan massal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan negara dan menyatakan bahwa tindakan pemecatan massal merupakan tindakan yang menguntungkan PKI. Sarbumusi juga menuntut pencabutan larangan mogok, sebuah peraturan Rejim Orde Lama yang coba dipertahankan oleh Orde Baru.
Namun menjelang Pemilu 1971, Orde Baru bertekad memenangkan pemilu dengan melemahkan kekuatan masyarakat, yang salah satunya adalah gerakan buruh dengan Sarbumusi sebagai serikat buruh terbesar yang menginduk pada Partai NU yang juga menjadi pesaing utama Golkar, mesin politik Orde Baru, pada Pemilu 1971.
Pemerintah Orde Baru kemudian melakukan proses penataan ulang gerakan buruh Indonesia dengan tiga kebijakannya yang kemudian mendapat penentangan keras dari Sarbumusi. Pertama, kebijakan tentang intervensi asing dalam urusan perburuhan domestik yang dimonopoli hak perantaranya oleh Sekber Golkar. Kedua, tentang rencana pembentukan Korps Karyawan (Kokar) dan yang dilanjutkan dengan ketentuan monoloyalitas pegawai negeri. Ketiga, adalah kebijakan penyatuan kaurn buruh dalam sebuah wadah tunggal. Pasca Pemilu 1971, Pemerintah Orde Baru yang semakin bertambah kuat memprakarsai pembentukan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) setelah serangkaian pertemuan di kantor Bakin. Setelah FBSI berdiri, serikat-serikat buruh yang lama tidak dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, namun pemerintah menempuh cara lain untuk membubarkan serikatserikat buruh lama yaitu dengan memberikan hak monopoli pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam sebuah perusahaan kepada FBSI.
Kegagalan Sarbumusi dalam menolak kehendak Orde Barn, terutama dalam menolak kebijakan pembentukan Kokar dan monoloyalitas serta pembentukan FBSI disebabkan kepentingan Orde Baru lemahnya posisi NU, induk Sarbumusi, pasca Pemilu 1971. Setelah Golkar memastikan kemenangan telak dalam Pemilu 1971 dan NU hanya mampu meraih urutan kedua, maka posisi tawar Sarbumusi pun kian melemah. Sebagai akibat sikap kritisnya sebelum Pemilu 1971, Sarbumusi mengalami represi oleh Orde Baru dan dipaksa untuk melebur dalam FBSI.

"
2001
S12160
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Gunawan
"
ABSTRAK
Memperjuangkan Syariat Islam Melalui Demokrasi. Mohammad Natsir lahir di Alahanpanjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Sebuah daerah yang memang banyak melahirkan ulama intelektual kaliber dunia. Lahir dari rahim seorang ibu bernama Khadijah. Ayahnya seorang juru tulis kontrolir di Maninjau yang kemudian menjadi sipir di Bekeru (Sulawesi Selatan) bernama Idris Sutan Saripado.
Di tempat kelahirannya Natsir mulai melewati masa sosialisasi keagamaannya dan intelektualnya. Waktu belajarnya memang cukup padat. Sehabis magrib ia mengaji Al-Qur'an, pada pagi hari ia belajar di Hollandsch lnlandsche School (HIS), dan pada siang hingga sore hari ia belajar di Madrasah Diniyah. Setelah Natsir lulus dari Meer Uitgebreid Lager Orderwijs (MULO), ia kemudian melanjutkan sekolahnya ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung. Tahun 1926 Natsir masuk ke dalam Persatuan Islam (Persis). Ahmad Hassan (guru Natsir di Persis) adalah seorang ulama yang mengajarkan kepada Natsir agar selalu memajukan pendidikan umat Islam, misalnyadengan menggunakan ijtihad. Karena itulah Natsir menerapkan metode pendidikan Barat pada sekolah-sekolah Islam yang didirikannya agar supaya umat Islam dapat berhasil dunia-akhirat.
Pada saat itu dikalangan intelektual Islam metode seperti ini belumlah umum digunakan. Jong Islamieten Bond (JIB) merupakan salah satu wadah yang mempertajam kiprah politiknya. Di dalam organisasi ini Natsir berkenalan dengan Agus Salim yang kemudian selalu mendorongnya agar menjadi manusia yang mandiri dan dapat hidup bersahaja. Melalui Agus Salim pulalah Natsir mulai berkenalan dengan konsep nasionalisme Islam yang berarti melindungi tanah air dan bangsa dari segala bentuk penindasan berdasarkan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat Islam. 2 Organisasi ini juga memiliki anggota seorang Islam radikal yang kaiak dikenal sebagai Imam Negara Islam Indonesia (NIl) yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.3 Sejak di JIB, konsep pemikiran Kartosuwirjo mulai dipengaruhi oleh konsep pemikiran Tjokroaminoto tentang revolusi._ Tjokroaminoto pula yang mula-mula mengajarkan kepada Kartosuwirjo konsep sumpah setia kepada pimpinan organisasi Islam (baiat).
"
1998
S12470
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Purwoko
"Kajian tentang perpecahan Partai Sarekat Islam Indo_nesia 1935-1940 belum banyak dianalisa oleh para sarjana. Oleh karena itu skripsi ini mencoba menganalisanya. Adapun penulisannya disusun secara deskriptif analisis dan masih merupakan suatu tahapan awal dari studi Sejarah. Meskipun demikian penulis mempergunakan ilmu bantu seja_rah yakni ilmu politik untuk menganalisa perpecahan itu. Mari hasil analisis yang dilakukan, penulis dapat mengungkapkan latar belakang terjadinya perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan tokoh-tokoh partai (Abikusno Cokrosujoso, Agus Salim, Sukiman, Wiryosanjoyo dan Kartosuwirjo) dalam menganalisa dampak depresi ekonomi 1930'an terhadap kehidupan partai-politik yang radikal dan latar belakang sosialisasi mereka yang berbeda. Sebagai akibat dari perpecahan adalah munculnya beberapa partai baru yang melepaskan diri dari partai induknya (PSII Abikusno). Partai-partai yang melepaskan diri itu adalah PSII Kartosuwiryo, Partai Islam Indone-sia (PII Sukiman) dan Barisan Penyadar Agus Salim. Dari sini dapat disimpulkan bahwa perpecahan partai bukan dikategorikan ke dalam perpecahan ideologi mengingat ideologi mereka Islam tapi dapat dikategorikan ke dalam perpecahan pribadi dalam arti ketidaksukaan pribadi antar tokoh partai yang mendorong tindakan pe_cat memecat. Sari deskripsi skripsi ini penulis ingin memberi uraian perpecahan organisasi Islam pada masa lampau untuk dijadikan bahan bercermin diri bagi umat Islam dewasa ini."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>