Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Hermawan
Abstrak :
Keberpihakan kepada petani yang dianggap sebagai kelompok rentan seringkali digunakan sebagai pertimbangan populis dalam menjustifikasi lahirnya kebijakan protektif dari pengaruh eksternal. Contoh yang paling sesuai dapat dilihat pada kasus liberalisasi perdagangan beras di kawasan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) di mana hingga saat ini masih menyisakan konsensus samar-samar tentang dampaknya terhadap capaian ketahanan pangan hingga pengaruhnya terhadap eksistensi petani beras yang sejatinya memiliki peran unik. Peran tersebut mencakup sebagai produsen maupun konsumen sehingga menjadikan langkah pemerintah semakin dilematis dan kompleks dalam rangka menjamin pangan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan ASEAN terhadap ketahanan pangan di Indonesia, khususnya pada kasus beras. Untuk menjawab tujuan tersebut digunakan gabungan pendekatan, yaitu Model Global Trade Analysis Project (GTAP) untuk menangkap perilaku perdagangan beras di kawasan ASEAN dan Model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) untuk menyentuh dinamika perubahan konsumsi dan kesejahteraan pada kelompok rumah tangga petani beras. Di samping kedua model tersebut, beberapa pendekatan dikombinasikan untuk mendukung simulasi kebijakan yang dirancang, misalnya penggunaan Model Gravitasi dan simulasi Monte Carlo. Data yang digunakan berjenis data sekunder yang berasal dari basis data GTAP, Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), World Bank, Food and Agriculture Organization (FAO), World Integrated Trade Solution (WITS), dan sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan ASEAN berdampak positif terhadap ketahanan pangan (beras) di Indonesia dibandingkan ketika restriksi perdagangan diterapkan. Kemajuan yang positif ini akan terekskalasi apabila diikuti dengan efisiensi biaya produksi padi/beras. Transmisi kondisi positif tersebut secara konsisten tidak hanya terjadi pada level nasional namun juga bermuara pada level rumah tangga petani padi/beras. Bahkan kelompok rumah tangga petani net produsen dan net konsumen beras menghadapi situasi better off, baik berupa peningkatan konsumsi beras, perbaikan pola konsumsi pangan, maupun welfare gaining ketika liberalisasi perdagangan ASEAN diberlakukan. Di sisi lain, agenda liberalisasi perdagangan ASEAN tidak hanya menyasar pada keterbukaan berkompetisi tetapi juga tawaran berkolaborasi melalui stok beras regional. Simulasi terkait stok beras tersebut ternyata mampu mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional dan sekaligus mendorong peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani padi/beras. Penelitian ini akhirnya mematahkan keyakinan umum yang memandang remeh peran liberalisasi perdagangan beras terhadap upaya penyediaan pangan masyarakat dan kehidupan petani.
There is an irony that occurs when trade liberalization is rejected in favor of pursuing national food security to protect farmers. This irony is farmers are worse off under national food security than they are under trade liberalization. Various concerns that have arisen were addressed with popular policies, especially the protection and raising of food prices. So why does commitment to trade liberalization seem to be a prestigious ambition only on paper. This study investigates this phenomenon as it occurs in the case of the impact of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) trade liberalization on Indonesian food (rice) security and rice farmers. We use a combined approach to solve it comprehensively. Our approach brings together the Global Trade Analysis Project (GTAP) Model, Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) Model, Gravity Model, and Monte Carlo. These approaches rely on secondary data sourced from the GTAP database, National Socio-Economic Survey, World Bank, Food and Agriculture Organization (FAO), World Integrated Trade Solution (WITS), and others. The findings of our research show that the ASEAN trade liberalization would have a positive impact on Indonesian food (rice) security if compared with trade restricted policies. These positive effects would be enhanced if the open market were to be followed by actions to increase efficiency and reduce the cost of rice. Furthermore, to see the consistency of these impacts, we scrutinize at rice farming households as net rice producers or net rice consumers. They are the nucleus of food security and saw improvements in rice consumption, food consumption pattern, and welfare gains when trade liberalization took place. Besides the vigorous competition that would result from trade liberalization, collaboration through regional rice stocks could help us to achieve national food security and farmer welfare. This research objectively defies common belief that underestimates the role of rice trade liberalization for feeding the nation and farmers life.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlatifah
Abstrak :
Pada tahun 2015, pemerintah Indonesia meluncurkan program Dana Desa dan memberikan skema ‘1-Desa-1-Miliar’ untuk setiap desa di Indonesia. Sebagai salah satu transfer antar pemerintah terbesar di dunia, Dana Desa bertujuan untuk mempercepat pembangunan pedesaan, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi ketimpangan regional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak Dana Desa terhadap kesejahteraan pedesaan dan ketimpangan wilayah di Indonesia. Studi ini menggunakan data cahaya malam sebagai proksi kesejahteraan pedesaan dan selanjutnya digunakan untuk mengukur ketimpangan regional. Dengan menggunakan Difference in Difference (DiD) kami menemukan dampak positif dana desa terhadap pertumbuhan ekonomi di desa dalam jangka pendek. Dengan menggunakan Regression Discontinuity Design in Time (RDiT), kami menemukan dampak positif transfer Dana Desa terhadap pertumbuhan ekonomi di  desa dalam jangka menengah. Pengaruh dana desa yang paling besar terungkap di desa tertinggal, di mana desa tertinggal tumbuh lebih cepat daripada desa maju. Hal ini menunjukkan indikasi awal konvergensi di level desa yang memerlukan penelitian lebih lanjut. ......In 2015, the government of Indonesia launched the Village Fund (VF) program and provided the ‘1-Village-1-Billion’ scheme for each village in Indonesia. As one of the largest intergovernmental transfers in the world, the VF aims to accelerate rural development, reduce poverty, and overcome regional inequality. This study aims to identify the impact of the VF on rural welfare in Indonesia. Due to the lack of rural welfare data, we use the monthly night-time light dataset as a proxy for rural welfare in around 75.000 villages from 2014 to 2019. By using Difference in Difference (DiD), we found the short-run positive impact of village funds on rural economic growth. Using Regression Discontinuity Design in Time (RDiT), we found a positive impact of village fund transfer on rural economic growth in the medium run. The most considerable influence of village funds reveals in underdeveloped villages,  where poor villages grow faster than developed villages. This unexpected finding could be an initial convergence at the village level that requires further investigation.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Pratomo Sunarwibowo
Abstrak :
Indonesia merupakan negara agraris dengan sekitar 30 persen angkatan kerja berada di sektor pertanian, dan kebanyakan penduduknya tinggal di daerah pedesaan. Pembangunan sektor pertanian menjadi salah satu prioritas pemerintah menuju ketahanan pangan dan ekonomi. Koperasi menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan pembangunan sektor pertanian. Bung Hatta sebagai bapak koperasi Indonesia menyatakan bahwa koperasi dapat meningkatkan standar ekonomi Indonesia sekaligus memberikan pendidikan sosial dan moral bagi para anggotanya. Penelitian ini menemukan bahwa dengan menjadi anggota koperasi, petani memiliki efisiensi produksi lebih tinggi yang meningkatkan keuntungan yang diperoleh. Dampaknya adalah dengan menjadi anggota koperasi, petani menjadi lebih meningkat kesejahteraannya. Namun, walaupun koperasi terbukti memberikan keuntungan bagi para anggotanya tetapi koperasi belum mampu berkembang pesat. Koperasi belum mampu menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia. Kecukupan modal menjadi salah satu tantangannya. Penelitian ini menemukan bahwa kecukupan modal, khususnya modal eksternal, dapat meningkatkan laba koperasi. Temuan ini dapat digunakan oleh pemerintah untuk memperbaiki struktur permodalan koperasi. Seiring berkembangnya dunia usaha, koperasi membutuhkan perundangan yang dapat beradaptasi dengan perkembangan dunia sehingga koperasi dapat bersaing dan meningkatkan performanya. Koperasi harus bergerak progresif tanpa harus membuat kehilangan jati dirinya sebagai bentuk usaha rakyat kecil yang menjunjung tinggi prinsip kerakyatan. ......Indonesia is an agrarian country, with approximately 30 percent of its workforce engaged in the agricultural sector, and the majority of its population residing in rural areas. The development of the agricultural sector is one of the priorities of the government in achieving food and economic security. Cooperatives emerge as a strategy to enhance the development of the agricultural sector. Bung Hatta, regarded as the father of Indonesian cooperatives, asserts that cooperatives can elevate Indonesia's economic standards while also imparting social and moral education to its members. This study finds that by becoming members of cooperatives, farmers achieve higher production efficiency, leading to increased profits. Consequently, membership in cooperatives enhances the welfare of farmers. However, despite evidence of the benefits accruing to their members, cooperatives have yet to experience rapid growth. They have not become a significant pillar of the Indonesian economy. Adequacy of capital presents one of the challenges. This research reveals that sufficient capital, particularly external capital, can enhance cooperative profits. These findings can be utilized by the government to improve the capital structure of cooperatives. As the business landscape evolves, cooperatives require legislation that can adapt to global developments, enabling them to compete and enhance their performance. Cooperatives must progress without compromising their identity as small-scale enterprises that uphold the principles of democracy.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Margani Utami
Abstrak :
Ekonom terkemuka dunia seperti Adam Smith dan Acemoglu serta Prof. Dr. Boediono, Guru Besar Universitas Gadjah Mada sekaligus Wakil Presiden RI tahun 2009 – 2014 menekankan pentingnya peranan kelembagaan dalam pertumbuhan dan kestabilan ekonomi. Dalam hal ini, kelas menengah diharapkan dapat berperan sebagai kelas reformis dan penentu terciptanya kelembagaan politik dan ekonomi melalui dukungan terhadap demokrasi sebagai bentuk kelembagaan yang mengusung inklusivitas diantara keberagaman yang ada di Indonesia. Dalam penelitian ini, dukungan tersebut diamati melalui perilaku politik yang mencakup partisipasi memilih dan pilihan partai politik. Data makro menunjukkan bahwa secara nasional, proporsi kelas menengah tidak berpengaruh nyata terhadap angka partisipasi memilih di suatu wilayah. Begitupun dengan evaluasi dampak terhadap individu yang mengungkapkan bahwa peningkatan status ekonomi seseorang dari miskin ke kelas menengah tidak berpengaruh nyata pada perilaku memilih. Namun, berdasarkan wilayah, secara umum kelas menengah di daerah perdesaan dan luar Jawa lebih aktif dibanding di perkotaan ataupun Jawa. Dari sisi pilihan politik, terdapat hubungan non-linier (kurva U terbalik) antara proporsi kelas menengah dengan pilihan partai politik Islam. Semakin besar proporsi kelas menengah politik identitas semakin menguat, namun pada proporsi tertentu (sekitar 30%) politik identitas ini semakin melemah. Dengan demikian, masih tersisa harapan bahwa kelas menengah di Indonesia dapat mendukung kemajuan bangsa melalui kontribusinya dalam menguatkan kelembagaan politik dan ekonomi apabila proses pemilihan berlangsung sesuai dengan aturan menghasilkan outcome yang tercermin dalam tata kelola pemerintahan yang berkinerja baik dan terpercaya. ......World-renowned economists such as Adam Smith and Acemoglu as well as Prof. Dr. Boediono, Professor at Gadjah Mada University and Vice President of the Republic of Indonesia in 2009 – 2014 emphasize the importance of the role of institutions in economic growth and stability. In these terms, the middle class is expected to represent the reformist class and determine the achievement of political and economic institutions through support for democracy as an institutional form that promotes inclusivity among the diversity that exists in Indonesia. In this study, this support is observed through political behavior which includes voting participation and choice of political parties. Macro data shows that nationally, the proportion of the middle class has no significant effect on the voter turnout rate in a region. Likewise, the evaluation of the impact on individuals revealed that increasing a person's economic status from poor to middle class had no significant effect on voting behavior. However, based on region, in general, the middle class in rural areas and outside Java is more active than in urban areas or Java. In terms of political choice, there is a non-linear relationship (inverted U curve) between the proportion of the middle class and the choice of Islamic political parties. The larger the proportion of the middle class, the stronger the identity politics, but at a certain proportion (about 30%) this identity politics is getting weaker. Thus, there is still hope that the middle class in Indonesia can support the progress of the nation through its contribution to strengthening political and economic institutions if the election process takes place by statutory regulations, producing outcomes that are reflected in governance that performs well and is trusted.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Yudhi Supriadi
Abstrak :
Penulisan disertasi ini terbagi dalam 3 bagian utama: Pertama, menghitung biaya pokok penyediaan tenaga listrik tahun 2014 dibedakan menurut karakteristik pembangkit di masing-masing wilayah dan waktu (peak dan off-peak) menggunakan metode revenue requirement. Penggunaan biaya universal memperlihatkan bahwa subsidi lebih banyak dinikmati oleh wilayah Jawa, sedangkan penggunaan biaya pokok yang berbeda memperlihatkan sebaliknya. Penggunaan biaya pokok yang berbeda juga menghasilkan total alokasi subsidi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan biaya universal. Di masa depan, penerapan biaya menurut wilayah dan waktu dalam menghitung alokasi subsidi hendaknya diikuti dengan penerapan tarif regional serta melibatkan pemerintah daerah setempat terkait cost sharing subsidi. Kedua, menghitung biaya penyediaan listrik di masing-masing kelas pelanggan dibedakan menurut wilayah menggunakan metode Long Run Marginal Cost berdasarkan rencana jangka panjang penyediaan listrik 2015-2024. Terjadi distorsi tarif (subsidi silang antar kelas pelanggan) dimana kelas pelanggan industri mensubsidi kelas pelanggan rumah tangga. Tingginya selisih biaya penyediaan dan tarif berlaku, menyebabkan PLN kehilangan kesempatan untuk membiayai investasi ketenagalistrikan di Indonesia yang rata-ratanya per tahun mencapai US$ 6,94 miliar. Ketiga, mengaplikasikan metode Frisch untuk menghitung elastisitas permintaan terhadap harga melalui elastisitas pengeluaran. Nilai elastisitas harga yang diperoleh digunakan untuk menganalisis perubahan kesejahteraan rumah tangga, redistribusi dan inefisiensi subsidi menggunakan data triwulanan Susenas 2014 berdasarkan tiga skenario kenaikan tarif. Pencabutan subsidi untuk rumah tangga dengan daya minimal 1.300 VA dan pengurangan subsidi untuk rumah tangga dengan daya maksimal 900 VA memperlihatkan adanya penurunan kesejahteraan rumah tangga, dan peningkatan persentase penduduk miskin namun redistribusi subsidi menjadi lebih baik serta inefisiensi subsidi pada rumah tangga daya terpasang 450 VA. Sebelum kebijakan menaikkan tarif diimplementasikan hendaknya dilakukan verifikasi rumah tangga melalui pencocokan dan penelitian di lapangan dengan harapan di masa depan subsidi menjadi lebih tepat sasaran.
The writing of this dissertation is divided into three main ideas: First, calculate the cost of supplying electricity in 2014 is differentiated according to the characteristics of the plant in each region and time (peak and off-peak) using the revenue requirement method. The use of universal costs shows that more subsidies are enjoyed by the Java region, whereas the use of different basic costs shows otherwise. Different cost of use also resulted in a lower total subsidy allocation than the use of universal costs. In the future, the implementation of costs by region and time in calculating the subsidy allocation should be followed by the application of regional tariffs and involving local governments on the cost-sharing of subsidies. Second, calculate the cost of providing electricity in each class of customers differentiated by region using Long Run Marginal Cost method based on long-term plan of electricity supply 2015-2024. There is a tariff distortion (cross-subsidy between customer classes) where the class of industrial customers subsidizes the class of household customers. The high cost of provisioning and tariffs is prevailing, causing PLN to lose the opportunity to finance an electricity investment in Indonesia, which averaged US $ 6.94 billion per year. Third, apply the Frisch method to calculate the elasticity of demand for prices through the elasticity of expenditure. The value of elasticity of prices obtained is used to analyze changes in household welfare, redistribution, and inefficiency of subsidies using quarterly data of Susenas 2014 based on three tariff increment scenarios. The abolition of subsidies for households with a minimum power of 1,300 VA and a reduction in subsidies for households with a maximum of 900 VA shows a decrease in household welfare, and an increase in the percentage of the poor but better redistribution of subsidies and the inefficiency of subsidies in installed households of 450 VA. Before the policy of raising tariffs implemented, household verification should be conducted through matching and field research in the hope that in the future subsidies will be more targeted.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
D2446
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rulyusa Pratikto
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan utama dari disertasi ini adalah untuk mengetahui kebijakan pengendalian harga yang berperan penting dalam penanggulangan kemiskinan. Dari tujuan utama tersebut, maka disertasi ini terdiri dari tiga essai. Essai pertama berusaha untuk mengetahui kelompok komoditas mana yang jika terjadi peningkatan harga lebih merugikan kesejahteraan masyarakat miskin. Penulis menemukan bukti bahwa saat terjadi peningkatan harga makanan, maka kelompok rumah tangga miskin lebih dirugikan karena proporsi pengeluaran mereka yang relatif tinggi. Hasil tersebut kemudian dijadikan dasar oleh penulis untuk mengkaji essai kedua dan ketiga. Essai kedua mengkaji apakah pakem pengendalian inflasi yaitu kebijakan moneter memiliki peran yang penting dalam pengendalian inflasi makanan. Temuan pada kajian kedua ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter tidak memiliki peran yang cukup signifikan dalam pengendalian inflasi makanan. Namun demikian terdapat spill-over effect dari inflasi makanan ke inflasi nonmakanan. Maka saat terjadi shock pada inflasi makanan, kebijakan moneter tetap dibutuhkan sebagai pengendali inflasi non-makanan yang mengalami tekanan karena inflasi makanan. Essai ketiga kemudian mengkaji kebiπjakan dari sisi struktural, yaitu perbaikan konektivitas domestik melalui infrastruktur transportasi darat dan laut terhadap pengendalian harga makanan. Bukti empiris pada kajian ketiga ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur transportasi berperan penting dalam pengendalian harga makanan. Secara khusus, pelabuhan dengan skala relatif besar (komersial) memiliki peran yang lebih penting, mengingat kondisi geografis Indonesia yang merupakan Negara kepulauan.
ABSTRACT This dissertation seeks to find the price stabilization policy that have important role in poverty alleviation. Spesifically, this dissertation consists of three essays. The first essay is to find the commodity basket that when the price increases would have more adverse impact on the poor. The empirical evidence found in this essay is food is the most important commodity for the poor, since food inflation has the most detrimental effect on the poor welfare. Thus, food price stabilitzation is important in poverty alleviation. Based on this result, I investigated the role of monetary policy in stabilizing food inflation on the second essay. The evidence shows that monetary policy has relatively little role on food inflation, but relatively high on non-food inflation. However, monetary policy response is still needed in the event of food inflation shock. This is because there is significant evidence that food inflation propagated into non-food inflation. The second essay result implies that Indonesia needed structural policy to maintain the food price. One of the structural factors that has been contributing to the high cost economy in Indonesia is domestic connectivity problem. Thus, the third essay main purpose is to determine whether increasing the quality and quantity of transportation infrastructure can have important role in food price stabilization. The empirical results show that this is true. In particular, increases in quality and quantity of commercial ports relatively has higher role in this matter. The geographical characteristic of Indonesia that is an archipelago supported the argument.
2015
D2130
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasbin
Abstrak :
Disertasi ini mempunyai dua tujuan. Tujuan pertama untuk mengetahui apakah nilai tukar Indonesia mengalami misalignment atau tidak. Untuk mengukur misalignment nilai tukar riil, nilai tukar keseimbangan diestimasi dengan pendekatan SCM (synthetic control method) menggunakan beberapa variabel dan tiga jenis treatments pada periode 1987-2015. Pendekatan SCM adalah pendekatan untuk mengetahui dampak suatu treatment terhadap variabel outcome dengan cara membandingkan antara unit yang mengalami treatment dengan beberapa unit kontrol yang tidak mengalami treatment tersebut. Pendekatan SCM memiliki beberapa keunggulan. Pertama, variabel-variabel dari semua teori penentuan nilai tukar keseimbangan dapat dimasukkan ke dalam pendekatan SCM. Namun, model tentang penentuan nilai tukar keseimbangan tetap agnostik. Kedua, pendekatan SCM lebih mengedepankan identifikasi treatment effect dalam menjelaskan determinan nilai tukar riil dibandingkan penjelasan melalui contemporaneous variables. Tujuan kedua adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh undervaluation nilai tukar riil terhadap ekspor manufaktur baik aggregat maupun disaggregat. Untuk mengetahui pengaruh undervaluation nilai tukar riil terhadap ekspor manufaktur baik aggregat maupun disaggregat, disertasi ini menggunakan spesifikasi model empiris hasil modifikasi terhadap model yang dikembangkan oleh Dekle, Jeong, dan Ryoo (2010). Modifikasi tersebut dilakukan dengan cara mengubah model empiris Dekle, Jeong, dan Ryoo (2010) untuk level perusahaan menjadi model empiris untuk level industri. Spesifikasi model empiris tersebut diestimasi dengan menggunakan metode AMG (augmented mean group) dan data periode 1990-2015. Secara umum, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan bahwa sebagian besar nilai tukar riil Indonesia pada periode 1987-2015 mengalami undervalued. Pada periode 1987-1992, nilai tukar riil Indonesia mengalami undervaluation sekitar 12,3-15,0 persen. Temuan ini lebih besar dibandingkan studi Tipoy, Breitenbach, dan Zerihun (2017) yang menemukan undervaluation nilai tukar riil Indonesia sekitar 5 persen. Periode 1993-1997, nilai tukar riil Indonesia mengalami overvaluation sekitar 0,77-8,12 persen. Mendekati krisis ekonomi 1997/1998, nilai tukar mengalami undervalued sebesar 7,47 persen. Hasil ini sejalan dengan hasil studi-studi sebelumnya seperti Sahminan (2005) dan Jongwanich (2009). Periode 1998-2015, nilai tukar riil Indonesia mengalami undervaluation sekitar 2,38-85,47 persen. Temuan ini sejalan dengan studi Sahminan (2005), Cahyono (2008), Jongwanich (2008), dan Tipoy, Breitenbach, dan Zerihun (2017). Cahyono (2008) menemukan undervaluation nilai tukar sebesar 4,38-11,57 persen, dan Jongwanich (2009) menemukan bahwa nilai tukar Indonesia saat krisis ekonomi 1997/1998 mengalami undervaluation sampai 100 persen. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa pengaruh undervaluation nilai tukar riil terhadap ekspor manufaktur aggregat tidak signifikan. Begitu juga ketika nilai tukar dinyatakan dalam level, perubahan nilai tukar riil (depresiasi/apresiasi) tidak signifikan mendorong ekspor manufaktur. Ini menunjukkan bahwa nilai tukar yang mengalami undervalued atau depresiasi tidak dapat mendorong peningkatan ekspor manufaktur aggregat secara signifikan. Temuan studi ini sejalan dengan studi Etta-Nkwelle (2007), Ikhsan (2009), Gluzmann, Yeyati dan Sturzenegger (2012), dan Falianty (2015). Namun demikian, ada beberapa determinan ekspor manufaktur yang signifikan memengaruhi ekspor manufaktur. Variabel internal meliputi ekspor manufaktur periode sebelumnya, upah riil, suku bunga domestik, permintaan domestik, produktivitas tenaga kerja, dan pertumbuhan perusahaan. Variabel eksternal meliputi harga luar negeri, permintaan dunia, suku bunga luar negeri, masuknya China dalam keanggotaan WTO, dan krisis ekonomi 1997/1998. Untuk kasus disaggregat, ada beberapa industri manufaktur yang ekspornya dipengaruhi oleh undervaluation atau depresiasi nilai tukar riil secara signifikan. Mengikuti klasifikasi industri dari Saygili (2010), nilai elastisitas ekspor manufaktur terhadap undervaluation nilai tukar dan perubahan nilai tukar untuk industri capital-intensive lebih elastis dibandingkan industri labor-intensive. Ini mengindikasikan bahwa ekspor dari industri manufaktur capital-intensive lebih sensitif terhadap nilai tukar baik misalignment maupun perubahan nilai tukar pada tingkat level. Selain itu, besaran nilai elastisitas nilai tukar riil pada industri manufaktur capital-intensive dapat digunakan sebagai indikator tingkat ketergantungan impor dari industri-industri manufaktur capital-intensive (Saygili, 2010). Temuan ini mengindikasikan bahwa nilai tukar bukan merupakan instrumen yang efektif untuk mendorong ekspor manufaktur. Oleh karena itu, kebijakan untuk mendorong ekspor manufaktur harus diluar nilai tukar. Ada beberapa variabel kebijakan yang tampaknya menjadi factor lebih penting untuk mendorong ekspor manufaktur yaitu iklim usaha, dukungan sektor perbankan, biaya logistik, aturan buruh, dan tingkat inovasi (The World Bank, 2012). Kelima faktor tersebut merupakan masalah-masalah struktural yang masih dihadapi oleh industri-industri manufaktur di Indonesia. ......The results of the research in this study show that the effect of the real exchange rate undervaluation on exports of aggregate manufacturing is not significant. Likewise, when the real exchange rate is expressed as a level, changes in the real exchange rate (depreciation/appreciation) do not significantly encourage manufacturing exports. This means that the exchange rate undervaluation or depreciation cannot significantly encourage an increase in aggregate manufacturing exports. The findings of this study are in line with the studies of Etta-Nkwelle (2007), Ikhsan (2009), Gluzmann, Yeyati and Sturzenegger (2012), and Falianty (2015). However, there are several determinants of manufacturing exports that significantly influence manufacturing exports. Internal variables include previous period manufacturing exports, real wages, domestic interest rates, domestic demand, labor productivity, and firm growth. External variables include foreign prices, world demand, foreign interest rates, the inclusion of China in WTO, and the 1997/1998 economic crisis. In the case of disaggregation, there are several manufacturing industries which have exports that are affected significantly by the undervaluation of real exchange rates or the real exchange rate. Following the industry classification of Saygili (2010), the value of manufacturing export elasticity to undervaluation of the exchange rate and changes in the exchange rate for the capital-intensive industry are more elastic than the labor-intensive industry. This indicates that exports from the manufacturing capital-intensive industry are more sensitive to exchange rates both misalignment and exchange rate changes at the level. In addition, the magnitude of the value of the elasticity of the real exchange rate in the capital-intensive industry can be used as an indicator of the level of import dependency of the capital-intensive industry (Saygili, 2010). This finding indicates that the exchange rate is not an effective instrument to encourage manufacturing exports. Therefore, the policy to encourage manufacturing exports must be beyond the exchange rates. There are several policy variables seem to more important factors to encourage manufacturing exports namely the business climate, banking sector support, logistics costs, labor regulations, and the level of innovation (The World Bank, 2012). These five factors are structural problems that are still faced by manufacturing industries in Indonesia.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D2728
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library