Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andrijono
Abstrak :
Pendahuluan Molahidatidosa merupakan kehamilan abnormal yang secara histologi ditandai dengan proliferasi sel trofoblas, degenerasi hidrofik vili korialis dan degenerasi avaskular vili korialis. Sejumlah 15-28% penderita molahidatidosa menderita degenerasi keganasan pascamolahidatidosa. Vitamin A atau retinol dimetabolisme menjadi asam retinoat di dalam sel. Asam retinoat mempunyai aktivitas mengontrol proliferasi sel dan merangsang apoptosis. Aktivitas proliferasi dan apoptosis merupakan aktivitas yang dimiliki oleh sel trofoblas molahidatidosa dan juga vitamin A. Mungkin terdapat hubungan antara molahidatidosa dengan vitamin A. Penelitian epidemiologi mendapatkan kadar vitamin A penderita molahidatidosa lebih rendah jika dibandingkan dengan wanita hamil normal. Risiko menderita molahidatidosa pada wanita yang berusia kurang dari 24 tahun dan menderita defisiensi vitamin A sebesar 6,29-7 kali. Kadar vitamin A yang rendah mungkin merupakan salah satu bagian dari patofisiologi terjadinya molahidatidosa dan atau bagian dari patofisiologi terjadinya degenerasi keganasan pascamolahidatidosa. Bila vitamin A merupakan bagian dari patofisiologi terjadinya degenerasi keganasan pascamolahidatidosa, maka vitamin A dapat digunakan sebagai salah satu terapi pencegahan keganasan pascamolahidatidosa. Penelitian ini bertujuan membuktikan penggunaan vitamin A sebagai kemoprevensi keganasan pascamolahidatidosa. Penelitian ini memberi manfaat menurunkan kej adian, morbiditas dan mortalitas Penyakit Trofoblas Ganas (PTG). Bahan dan cara kerja Rangkaian penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian. Dua penelitian penunjang yaitu penelitian ekspresi reseptor RBP (retinal binding protein), dan penelitian aktivitas apoptosis sel trofoblas yang diberi asam retinoat. Penelitian utama adalah penelitian uji klinik pencegahan keganasan pascamolahidatidosa dengan vitamin A.

Penelitian ekfpresi reseptor RBP pada sel trofobias. Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa sel trofoblas mempunyai reseptor RBP. Sampel penelitian ekspresi reseptor RBP adalah blok paratin molahidatidosa. Ekspresi reseptor retinol diperiksa dengan imunohistokimia tidak langsung menggunakan antibodi RBP. Sementara itu ada atau tidaknya ekspresi dan letak ekspresi reseptor RBP pada sei trofoblas dinilai bersama dokter spesialis Patologi Anatomi. Penelitian aktivitas apoprosis sel trofoblas yang diberi asam retinoat. Penelitian aktivitas apoptosis sel trofoblas molahidatidosa pada pemberian asam retinoat bertujuan untuk membuktikan adanya induksi apoptosis pada sel trofoblas yang diberi retinoat. (ATRAI all trans retinoic acid). Sampel penelitian aktivitas apoptosis sel trofoblas yang diberi asam retinoat adalah sel trofoblas yang dilakukan kultur. Kultur sel trofoblas diberi ATRA dengan dosis 50 pg/mL, 100 pg/mL, 150 pg/mL, dan 200 pg/mL. Penilaian dilakukan 24 jam pascaperlakuan dengan pemeriksaan flow cytometry. Hasil sitogram jlow cytometry pada kultur sel trofoblas yang mendapat ATRA dibandingkan dengan kultur sel trofoblas tanpa perlakuan (DMSOl dimethyl sulfoxide) sebagai kontrol. Penelitian pencegahan keganasan pascamolahidatidasa dengan vitamin A. Penelitian menggunakan uji klinik tersamar ganda (randomized clinical trial, double blind study). Sampel adalah penderita molahidatidosa komplet, tidak mendapat terapi sitostatika. Perlakuan adalah pmberian plasebo atau vitamin A 200.000 IU per hari (dosis tinggi) yang dibuat dalam bentuk kemasan yang sama, perlakuan diberikan sampai dinyatzikan sembuh atau PTG. Variabel keluaran adalah kejadian regresi dan PTG yang ditetapkan berdasarkan kriteria WHO. Variabel pengganggu antara lain umur, pendidikan, usia kehamilan, besar uterus, deposit retinol di hati. Hasil Penelitian ekspresi resepror RBP pada sel trofoblas. Didapatkan ekspresi reseptor RBP pada sel irofoblas. Reseptor RBP dijumpai pada membran sel bagian luar, rnembran sei bagian dalam dan sitoplasma. Penelitian aktivitas apoptosis sel trofabias yang diberi asam retinoat. Jumlah sel yang mengalami apoptosis pada kontrol 6O,64%, pada ATRA 50 pg/mL sebesar 89,54%, 100 pg/mL sebesar 87,23%, 150 pg/mL sebesar 94,63% dan pada 200 pg/mL sebesar 94,83%. Jumlah sel yang hidup pada kontrol 7,09%, pada ATRA 50 pg/mL sebesar 5,04%, 100 pg/mL sebesar 5,71%, 150 pg/mL sebesar 3,l4% dan pada 200 pg/mL sebesar 2,66%. Penelitian pencegahan keganasan pascamolahidatidosa dengan vitamin A. Pada uji klinik, didapatkan sejumlah 67 kasus yang masuk penelitian. Sejumlah 2 kasus hilang pada pengamatan dan 3 kasus mengalami kehamilan saat pengamatan. Kejadian PTG (Penyakit Trofoblas Ganas) pada kelompok kontrol 28,57%, dan pada kelompok terapi 6,25%. Tidak dijumpai perbedaan perubahan kadar SGOT dan SGPT kelompok terapi jika dibandingkan dengan kelompok terapi. Kesimpulan Sel trofoblas molahidatidosa mempunyai reseptor RBP di mernbran sel dan sitoplasma. Pemberian asam retinoat pada sel trofoblas menginduksi aktivitas apoptosis. Kejadian Penyakit Trofoblas Ganas (PTG) pada kelompok kontrol 28,57% dan pada kelompok terapi vitamin A 6,25%. Tidak dijumpai efek samping berupa perubahan kadar SGOT dan SGPT.
Introduction Histologically, hydatidiform mole is an abnormal pregnancy characterized by the proliferation of trophoblastic cells, hydropic degeneration of chorionic villi and degeneration of avasculdar chorionic villi. Around 15-28% of hydatidiform mole patients suffered from malignant degeneration following hydatidiform mole. Vitamin A or retinol is metabolized into retinoic acid in the cell. Retinoic acid has the activity of controlling cell proliferation and stimulating apoptosis. The activity of proliferation and apoptosis constitutes the main activity exercised by hydatidiform mole trophoblastic cells and vitamin A. There might be a relationship between hydatidiform mole and vitamin A. Epidemiological studies showed that vitamin A level in patients with hydatidiforrn mole was lower than that in normal pregnant women. The risk for developing hydatidifoml mole in women less than 24 years and suffering from vitamin A deficiency was 6.29-7 times higher as compared to older age without vitamin A deficiency. The low level of vitamin A might be a part of pathophysiology for the occurence of malignant degeneration following hydatidiform mole. If vitamin A is a part of pathophysiology for the occurence of hydatidiform mole, then vitamin A could be used as one of the therapies for preventing malignancy following hydatidiform mole. The objective of this study was to demonstrate the use of vita.rr|in A as a chemoprevention for malignancy following hydatidiform mole. This study would be beneficial in terms of reducing the incidence, morbidity and mortality rates of malignant trophoblastic disease (MTD). Material and methods Series of studies This study constituted part of a series of studies. The supporting studies, comprise the study of the expression of RBP (retinol binding protein) receptor, the study on the apoptosis activity of trophoblastic cells receiving retinoic acid. The main study was a clinical trial on tl1e prevention of malignancy following hydatidiform mole with vitamin A. Study on Ike expression of RHP receptor in trophoblastic cells. This study was aimed to demonstrate that trophoblastic cells had RBP receptor. Samples of the study on the expression of RBP receptor were paraffin blocks of hydatidiform mole. The expression of retinol receptor was examined with indirect immunohistochemistry using RBP antibody. The presence or absence of the expression and location of RBP receptor expression in trophoblastic cells was evaluated together with the specialist of anatomy pathology. Study on the apoptosis activity of trophoblastic cells receiving retinoic acid The study on the apoptosis activity of hydatidifom mole trophoblastic cells receiving retinoic acid was aimed to demonstrate the presence of apoptosis induction in trophoblastic cells receiving retinoic (ATRA/ all trans retinoic acid). Samples of the study on the apoptosis activity of trophoblastic cells receiving retinoic acid were the trophoblastic cells undergoing culture. The culture of trophoblastic cells received ATRA at doses of 50 pg/mL, 100 pg/mL, l50 pg/mL, and 200 pg/mL. The evaluation was made in 24 hours after the intervention with flow cytometry examination . The results of flow cytometry cytogram in the culture of trophoblastic cells receiving ATRA were compared with the culture of trophoblastic cells without intervention (DMSO/ dimethyl sulfoxide) as control. Study of the prevention of malignancy jhllowing hydatidiform mole with vitamin A. This study made use of randomized clinical trial, double blind study. Samples of the study were the patients with complete hydatidifomt mole, not receiving cytostatics. The intervention was the administration of placebo and vitamin A 200,000 IU per day (high dose), both of which were made in the similar packages. The intervention was performed until the patients were declared as having recovered or having malignant trophoblastic disease (MTD). The outcome variables were the incidence of regression and MTD which were established based on WHO criteria. The intervening variables were, among others, age, education, gestational age, uterus size, retinol deposit in the liver. Results Study on the expression of RBP receptor in trophoblastic cells. e found the presence of RBP receptor expression in trophoblastic cells. RBP receptors were found in the outer cell membrane, inner cell membrane, and cytoplasm. Study on the apoptosis activity oftrophoblatic cells receiving retinoic acid. The activities of apoptosis in the control group was 60,64%, in ATRA of 50 pg/ml was 39.54%, in 100 ug/ml was 8'7.23%, in 150 ug/ml was 94.63%, and in 200 ug/ml was 94.83%. The alive cells in t.he control group was 7.09%, in ATRA of 50 pg/ml was 5.04%, in 100 pg/ml was 5.71%, in 150 pg/ml was 3.14%, and in 200 pg/ml was 2.66%. Study on the prevention of malignancy following hydatidpform mole with vitamin A. At clinical trial as many as 67 cases met the requirements for the study. Two cases were lost from observation and three cases experienced pregnancy during observation. The incidence rate of malignant trophoblastic disease in the control group was 28.57%, and in the therapy group was 6.25%. No difference was found in the changes of SGOT and SGPT levels of the therapy group compared with the control group. Conclusion Trophoblastic cells of hydatidiform mole had RBP receptor in the cell membranes and cytoplasm. The administration of retinoic acid in the trophoblastic cells induced the activity of apoptosis. The rate of malignant trophoblastic disease (MTD) in the control group was 28.57% and in the group receiving vitamin A therapy was 6.25%. No side effects were found in the form of changed SGOT and SGPT levels.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
D848
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Nuranna
Abstrak :
Latar Belakang : Kanker serviks merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi kaum perempuan di Indonesia. Program skrining kanker serviks secara luas adalah pemecahan masalahnya. Pelaksanaan program skrining dengan tes pap mengalami kendala penyediaan SDM dan sarana, maka perlu dipilih metode skrining alternatif yang Iebih berdaya laksana yaitu dengan IVA (lnspeksi Visual dengan Asam Asesat) Sebelum menerapkan metode skrining IVA pada masyarakat dengan mempertimbangkan aspek sosmal ekonoml dan budaya. Maka, ditawarkan pemecahan masalah dalam rangkaian Model Penanggulangan Kanker Serviks Berdaya Laksana Proaktif-VO (Proaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan Krioterapi) yang merupakan rangkauan kegiatan persiapan wilayah, pelatihan bidan dan kader kesehatan penyuluhan skrining IVA dan krioterapi. Tujuan: Memperoleh model penanggulangan kanker serviks yang memberi kemungkinan cakupan skrining lebih luas (efektif) dan Ieblh efisien serta kemungkinan berkesinambungan dalam upaya menemukan test prakanker serviks. Tujuan tambahan adalah 1) mengetahui prevalensi lesi prakanker dan kanker serviks berbasis data populasi 2) mengetahui sensivitas dan spesifitas temuan IVA Jika dibandingkan dengan temuan tes pap pada kasus test prakanker 3) mengetahui faktor risiko dari temuan kasus lesi prakanker serviks 4) mengetahui faktor pendorong dan penghambat bagi kesediaan responden untuk melakukan pemeriksaan skrining. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi intervensi dengan menerapkan suatu model pcnanggulangan kanker Serviks Proaktlf VO pada tatanan komunitas. Penelitian dilakukan di tingkat kecamatan. Dilengkapi dengan uji deskriptif untuk menilai karakteristik masyarakat di daerah penelitian dan uji diagnostik untuk menilai sensivitas dan spesifisitis metode skrining IVA terhadap tes pap. Lokasi: Kecamatan Pademangan (Kelurahan Ancol dan Kelurahan Pademangan Barat) Jakarta Utara Subjek Penelitian merupakan sampel konsekutif seluruh perempuan usia 20 tahun atau yang sudah menikah hingga 70 tahun yang dapat disertakan. Hasil: Berhasil direkrut 6.293 responden untuk disuluh dan didata. Dari kelompok tersebut yang diantaranya dilakukan tes pap. Dari data awal diperoIeh informasi dan kuesioner, sebagian besar (71 72%) pernah mendengar tes pap sebagai cara deteksi dini kanker serviks yang sudah perah duperiksa tes pap 538 responden (8 54%). Pada penelitian ini dinilai biaya menemukan satu kasus LIS. Hal ini dimungkinkan dengan membandingkan biaya menemukan satu kasus LIS menurut IVA adalah Rp 314,148,48 dan biaya menemukan satu kasus LIS menurut tes pap adalah Rp 1.728.333,00 dari populasi. Penilaian akurasi pemriksaan IVA terhadap tes pap, yaitu sensivitas IVA 92,31% dengan spesifitas 98,87%, Kappa 0,6265. Pemeriksaan IVA terhadap baku emas tes pap dengan keterandalan tinggi, dinyatakan dengan agreement 89,89%. Cakupan skrining dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong untuk mengikuti pemeriksaan skrining, adalah: a) adanya keluhan (secara berurutan adalah keputihan, nyeri panggul, perdarahan diluar haid, perdarahan pasca senggama); b) adanya riwayat IMS pada suami; c) peran PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga); d) aanya riwayat pemeriksaan kandungan di luar hamil. Adapun faktor bukan pendorong mengikui pemeriksaan skrining, adalah : a) tidak pernah mendengan informasi tes pap; b) peserta sudah mengikuti pemeriksaan tes pap. Temuan lesi prakanker seriks berkaitan dengan faktor: a) keluhan keputihan ( OR 2,88; p 0,000); b) pernah mendengar informasi tes pap (OR 0,68; p 0,0010); c) usia peserta lebih dari 31 tahun (OR 1,40; p 0,0062). Pelaksanaan krioterapi baru dapat dilaksanakan pada 8 kasus yang terindikasi memerlukan terapi. Pada telitian ini belum dapat diambil kesimpulan lengkap untuk peran krioterapinya. Kesimpulan: Model penanggulangan kanker serviks Proaktif-VO di suatu wilayah yang dilakukan secara aktif, koordinatif, berbasis skrining IVA dapat dilakukan lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pendekatan umum yang ada selama ini Kesimpulan ini ditunjang dengan cakupan skrining pada data awal 8,5%, meningkat menjadi 50,08% dan efektifitas penggunaan data yang lebih baik; kesahihan dan keterandalan pemeriksaan IVA yang teruji baik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D710
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Nuranna
Abstrak :
Latar Belakang : Kanker serviks merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi kaum perempuan di Indonesia. Program skrining kanker serviks secara luas adalah pemecahan masalahnya. Pelaksanaan program skrining dengan tes pap mengalami kendala penyediaan SDM dan sarana, maka perlu dipilih metode skrining alternatif yang Iebih berdaya laksana yaitu dengan IVA (lnspeksi Visual dengan Asam Asesat) Sebelum menerapkan metode skrining IVA pada masyarakat dengan mempertimbangkan aspek sosmal ekonoml dan budaya. Maka, ditawarkan pemecahan masalah dalam rangkaian Model Penanggulangan Kanker Serviks Berdaya Laksana Proaktif-VO (Proaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan Krioterapi) yang merupakan rangkauan kegiatan persiapan wilayah, pelatihan bidan dan kader kesehatan penyuluhan skrining IVA dan krioterapi. Tujuan: Memperoleh model penanggulangan kanker serviks yang memberi kemungkinan cakupan skrining lebih luas (efektif) dan Ieblh efisien serta kemungkinan berkesinambungan dalam upaya menemukan test prakanker serviks. Tujuan tambahan adalah 1) mengetahui prevalensi lesi prakanker dan kanker serviks berbasis data populasi 2) mengetahui sensivitas dan spesifitas temuan IVA Jika dibandingkan dengan temuan tes pap pada kasus test prakanker 3) mengetahui faktor risiko dari temuan kasus lesi prakanker serviks 4) mengetahui faktor pendorong dan penghambat bagi kesediaan responden untuk melakukan pemeriksaan skrining. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi intervensi dengan menerapkan suatu model pcnanggulangan kanker Serviks Proaktlf VO pada tatanan komunitas. Penelitian dilakukan di tingkat kecamatan. Dilengkapi dengan uji deskriptif untuk menilai karakteristik masyarakat di daerah penelitian dan uji diagnostik untuk menilai sensivitas dan spesifisitis metode skrining IVA terhadap tes pap. Lokasi: Kecamatan Pademangan (Kelurahan Ancol dan Kelurahan Pademangan Barat) Jakarta Utara Subjek Penelitian merupakan sampel konsekutif seluruh perempuan usia 20 tahun atau yang sudah menikah hingga 70 tahun yang dapat disertakan. Hasil: Berhasil direkrut 6.293 responden untuk disuluh dan didata. Dari kelompok tersebut yang diantaranya dilakukan tes pap. Dari data awal diperoIeh informasi dan kuesioner, sebagian besar (71 72%) pernah mendengar tes pap sebagai cara deteksi dini kanker serviks yang sudah perah duperiksa tes pap 538 responden (8 54%). Pada penelitian ini dinilai biaya menemukan satu kasus LIS. Hal ini dimungkinkan dengan membandingkan biaya menemukan satu kasus LIS menurut IVA adalah Rp 314,148,48 dan biaya menemukan satu kasus LIS menurut tes pap adalah Rp 1.728.333,00 dari populasi. Penilaian akurasi pemriksaan IVA terhadap tes pap, yaitu sensivitas IVA 92,31% dengan spesifitas 98,87%, Kappa 0,6265. Pemeriksaan IVA terhadap baku emas tes pap dengan keterandalan tinggi, dinyatakan dengan agreement 89,89%. Cakupan skrining dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong untuk mengikuti pemeriksaan skrining, adalah: a) adanya keluhan (secara berurutan adalah keputihan, nyeri panggul, perdarahan diluar haid, perdarahan pasca senggama); b) adanya riwayat IMS pada suami; c) peran PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga); d) aanya riwayat pemeriksaan kandungan di luar hamil. Adapun faktor bukan pendorong mengikui pemeriksaan skrining, adalah : a) tidak pernah mendengan informasi tes pap; b) peserta sudah mengikuti pemeriksaan tes pap. Temuan lesi prakanker seriks berkaitan dengan faktor: a) keluhan keputihan ( OR 2,88; p 0,000); b) pernah mendengar informasi tes pap (OR 0,68; p 0,0010); c) usia peserta lebih dari 31 tahun (OR 1,40; p 0,0062). Pelaksanaan krioterapi baru dapat dilaksanakan pada 8 kasus yang terindikasi memerlukan terapi. Pada telitian ini belum dapat diambil kesimpulan lengkap untuk peran krioterapinya. Kesimpulan: Model penanggulangan kanker serviks Proaktif-VO di suatu wilayah yang dilakukan secara aktif, koordinatif, berbasis skrining IVA dapat dilakukan lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pendekatan umum yang ada selama ini Kesimpulan ini ditunjang dengan cakupan skrining pada data awal 8,5%, meningkat menjadi 50,08% dan efektifitas penggunaan data yang lebih baik; kesahihan dan keterandalan pemeriksaan IVA yang teruji baik.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D770
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tofan Widya Utami
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Persistensi infeksi HPV onkogenik merupakan penyebab kanker serviks. Retinol sebagai mikronutrien antioksidan memiliki peran esensial dalam sistem imun mencegah persistensi. Retinol memodulasi sel T CD4+/CD8+ serta produksi sitokin. Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-) adalah sitokin pro-inflamasi yang mampu mengendalikan HPV, namun pada infeksi persisten TNF- justru memicu karsinogenesis. Rasio sel T CD4+:CD8+ dan TNF- yang adekuat di awal infeksi HPV merupakan titik kunci klirens. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecukupan deposit retinol, ekspresi TNF-, dan rasio sel T CD4+:CD8+ pada kelompok serviks normal, infeksi subklinis HPV klirens, persisten, dan kanker serviks. Metode: Tingkat kecukupan deposit retinol diketahui berdasarkan pemeriksaan darah perifer dengan metode ELISA. Stimulasi spesifik epitop E6 HPV tipe 16 dilakukan pada sel sekret servikovaginal yang telah diinkubasi 24 jam, diamati ekspresi TNF- secara semikuantitatif dengan metode ELISpot. Pemeriksaan sel T CD4+ dan CD8+ dari sekret servikovaginal secara kuantitatif dengan metode flowsitometri. Hasil: Deposit retinol yang cukup pada kelompok serviks normal, infeksi subklinis HPV klirens, persisten, dan kanker serviks berturut-turut adalah 85%, 75% (OR 1,89), 33,3% (OR 11,33), dan 75% (OR 1,89). Ekspresi TNF- pada kelompok serviks normal adalah 10%, sedangkan kanker serviks 75% (OR 27,00; p<0,001). Tidak tampak ekspresi TNF- pada kelompok infeksi subklinis HPV klirens dan persisten. Rasio sel T CD4+:CD8+ yang tinggi pada kelompok serviks normal adalah 10% dan kanker serviks 25% (OR 0,33). Tidak terdapat rasio sel T CD4+:CD8+ yang tinggi pada kelompok infeksi subklinis HPV klirens (OR 1,22) dan persisten (OR 0,95). Tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat kecukupan deposit retinol dengan ekspresi TNF- (p=0,147), tingkat kecukupan deposit retinol dengan rasio sel T CD4+:CD8+ (p=0,726), dan rasio sel T CD4+:CD8+ dengan ekspresi TNF- (p=0,690). Kesimpulan: Penelitian ini mampu membuktikan bahwa tingkat kecukupan deposit retinol tertinggi dijumpai pada kelompok serviks normal dan ekspresi TNF- tertinggi pada kelompok kanker serviks (OR 27,00; p<0,001). Tingkat kecukupan deposit retinol terendah bukan pada kelompok kanker serviks, melainkan pada infeksi subklinis HPV persisten (OR 11,33). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tingkat kecukupan deposit retinol dan rasio sel T CD4+:CD8+. Terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi TNF- antara kelompok kanker serviks dengan serviks normal (p<0,001), kanker serviks dengan infeksi HPV subklinis klirens (p=0,024), dan klirens dengan persisten (p=0,007). Tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi TNF- antara kelompok kanker serviks dengan infeksi HPV subklinis persisten (p=0,058). Tidak bermaknanya beberapa hasil terkait imunitas masih mungkin dikarenakan tingkat kecukupan deposit retinol kelompok kanker serviks pada penelitian ini sangat baik dimana bertentangan dengan kepustakaan.
ABSTRACT Background: Persistency of oncogenic-HPV infection is the cause of cervical cancer. Retinol is one of antioxidant micronutrients that plays essential roles in immune system to prevent the persistency by modulating CD4+ and CD8+T cells and cytokines production. Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-) is an acute pro-inflammatory cytokine which has many crucial roles in controlling HPV. In contrast, when persistent infection occurs, TNF- induces carcinogenesis. Ratio of CD4+:CD8+ T cells and adequate TNF- production in acute HPV infection are keypoints for clearance. The aim of this research is to analyze sufficency level of retinol deposit, expression of TNF-, and ratio of CD4+:CD8+ T cells in normal cervix, clearance and persistent HPV subclinical infection, and cervical cancer group. Methods : Sufficiency level of retinol deposit was analyzed from peripheral blood by ELISA method. The cervicovaginal secretions which had 24 hours incubated were stimulated specifically by E6 epitope HPV type-16, measuring TNF- expression semiquantitatively by ELISpot method and CD4+/CD8+ T cells quantitatively by flowcytometry method. Results: Sufficient level of retinol deposit in normal cervix, clearance HPV subclinical infection, persistent, and cervical cancer group was 85%, 75% (OR 1.89), 33.3% (OR 11.33), and 75% (OR 1.89), respectively. The expression of TNF- in normal cervix group was 10%, while in cervical cancer was 75% (OR 27.00; p<0.001). There were no expression in clearance and persistent HPV subclinical infection groups. High ratio of CD4+:CD8+ T cells in normal cervix and cervical cancer group was 10% and 25% (OR 0.33). There were no high ratio of CD4+:CD8+ T cells in clearance (OR 1,22) and persistent (OR 0.95) HPV subclinical infection groups. There was no significant correlation between sufficiency level of retinol deposit and TNF- expression (p=0.147), sufficiency level of retinol deposit and ratio of CD4+:CD8+ T cells (p=0.726), ratio of CD4+:CD8+ T cells and TNF- expression (p=0.690). Conclusions: This study was able to prove that normal cervix group has the highest retinol deposit sufficiency level and cervical cancer group has the highest TNF- expression (OR 27,00; p<0,001). The lowest of retinol deposit sufficiency level was not in cervical cancer, but in persistent HPV subclinical infection group (OR 11.33). There was no significant correlation in sufficiency level of retinol deposit and ratio of CD4+:CD8+ T cells. There was significant correlation in TNF- expression between cervical cancer and normal cervix (p<0.001), cervical cancer and clearance subclinical HPV infection (p=0.024), and between clearance and persistent group (p=0.007). There was no significant correlation in TNF- expression between cervical cancer and persistent subclinical HPV infection group (p=0.058). Not significant some results related immunity that might be due to retinol deposit sufficiency level in cervical cancer group in this study was very good, which conflicted with literatures.
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library