Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gazi
Abstrak :
ABSTRAK Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang. Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory. Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror. Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu, disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal, organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup. Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan.
ABSTRACT Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the study on process of leaving terrorism is still overlooked. To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory technique. Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories, and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic: personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study were further discussed.
2016
D2317
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abdan Shadiqi
Abstrak :
ABSTRAK
Beberapa waktu belakangan banyak terjadi aksi-aksi demonstrasi dan protes. Muncul pertanyaan mengapa ada orang yang berpartisipasi pada aksi kolektif dan ada yang tidak? Beberapa hasil temuan sebelumnya sudah jelas menemukan faktor motivasional aksi kolektif. Penelitian ini berusaha menggunakan perspektif yang berbeda, menggunakan pendekatan kognisi sosial, yaitu realitas terbagi (shared reality) untuk menjelaskan aksi kolektif melalui model integratif. Penelitian ini bertujuan menjelaskan pengaruh realitas terbagi pada keputusan seseorang mengikuti aksi kolektif. Penelitian ini juga menguji peranan faktor lain, yaitu keterlibatan politik secara daring dan identitas terpolitisasi. Penelitian ini dirancang melalui 4 studi pada isu politik dan lingkungan hidup. Studi 1 adalah studi kualitatif untuk menganalisis konten isi status twitter pada isu #2019gantipresiden. Hasil dari analisis tematik 250 isi status twitter selama bulan April-Agustus 2018 menemukan bahwa proses keterlibatan aksi bergantung pada proses yang terjadi di media sosial (twitter). Penulis menemukan proses ini berkaitan dengan pembentukan pandangan yang sama (realitas terbagi) dan keterlibatan pada isu-isu politik. Studi 2A adalah studi survei korelasional yang dilakukan pra-kampanye pilpres 2019 pada 473 partisipan. Hasilnya, penulis menemukan realitas terbagi dapat memprediksi aksi kolektif secara langsung. Selain itu, studi 2A menemukan bahwa keterlibatan politik secara daring dapat memprediksi aksi kolektif secara langsung atau dimediasi oleh realitas terbagi. Studi 2B, studi survei korelasional yang dilakukan pasca-kampanye pilpres 2019 pada 212 partisipan. Penulis menemukan realitas terbagi tidak dapat memprediksi aksi kolektif secara langsung, tetapi harus melewati (full mediation) identitas terpolitisasi dan keterlibatan politik secara daring. Studi 3, pendekatan eksperimental, pada 377 partisipan yang diacak pada desain 3 (tanpa realitas terbagi vs. realitas terbagi individu tunggal vs. realitas terbagi kelompok) x 2 (kasus lingkungan/satwa: Paus Hiu Berau vs. kasus politis: pengelolaan terminal kontainer/pelabuhan di Jakarta oleh asing), between subject. Hasil studi 3 menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan aksi kolektif pada masing-masing kondisi. Realitas terbagi terbukti secara kausalitas menyebabkan peningkatan aksi kolektif. Aksi kolektif pada kasus lingkungan/satwa lebih tinggi secara signifikan daripada kasus politis. Berdasarkan 4 studi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa realitas terbagi dapat mempengaruhi partisipasi pada aksi kolektif. Realitas terbagi dapat berperan secara langsung atau turut dipengaruhi oleh identitas terpolitisasi dan keterlibatan politik secara daring.
ABSTRACT
Several demonstrations and protests were conducted a few time ago. The question arises why do some people participate in collective action and others don't? Some previous findings have clearly found motivational factors as predictors of collective action. This study uses a different perspective from previous studies, namely a social cognition approach. I examine the role of shared reality on collective action through an integrative model. This research aims to explain the effect of shared reality on a decision to participate in collective action. This research also examines the role of other factors: online political engagement and politicized identity. This research was designed through 4 studies on political and environmental issues. Study 1, qualitative study to analyze the content of Twitter status on the #2019gantipresiden issue. The results of a thematic analysis of 250 contents of the status of Twitter during April-August 2018 found that the process of collective action involvement depends on the online process on social media (Twitter). I found this process related to the shaping of the same view, opinions, or feeling (shared reality) and engagement on the political issue. Study 2A, the correlational study collected 473 participants on the pre-campaign period of the 2019 presidential election. As the result, I found that the shared reality and the online political engagement directly predicted collective action. I also found that shared reality partially mediated the association of online political engagement and collective action. Study 2B, the correlational study collected 212 participants on the post-campaign period of the 2019 presidential election. I found that shared reality had no significant direct effect on collective action. Shared reality had an indirect effect (full mediation) via politicized identity and online political engagement. Study 3, 377 undergraduate students completed the experimental study with 3 (non-shared reality vs individual shared reality vs group shared reality) x 2 (environmental/ wildlife vs political cases), between subject design. Study 3 found a significant difference of collective action in each condition. Shared reality had a causality effect to increase collection action intention. The mean score of the action in the environmental/ wildlife case was significantly higher than the political case. In summary, it can be concluded that shared reality activated participation in collective action. Shared reality increased the collective action intention via political identity and online political involvement.

 

2019
D2763
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur`aini Azizah
Abstrak :
Gerakan makar merupakan gerakan yang mengancam kedaulatan negara. Seiring dengan berkembangnya radikalisme dan ekstremisme agama, benih-benih gerakan makar berbasis agama juga mulai tumbuh. Studi-studi sebelumnya sudah mengkaji faktor struktural dari gerakan makar yang lebih banyak berfokus pada strategi kekerasan. Disertasi ini bertujuan untuk mengkaji faktor motivasional dari gerakan makar nirkekerasan berbasis agama melalui kerangka teori pencarian signifikansi yakni model 3N (needs, narratives, dan networks). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif yang terdiri dari 3 studi. Studi 1 dengan metode studi kasus pada 21 mantan anggota kelompok makar berbasis agama (Negara Islam Indonesia) menunjukkan bahwa terdapat dinamika interaksi 3N dalam proses individu untuk terlibat dalam gerakan makar nirkekerasan. Studi 2A dengan metode survey kuantitatif pada 221 partisipan menunjukkan bahwa kebutuhan kebermaknaan (needs) berperan dalam memprediksi intensi makar yang yang dimediasi oleh fundamentalisme agama (narratives) dan jejaring radikal (networks). Lebih lanjut, Studi 2B pada 815 partisipan menunjukkan bahwa terdapat mekanisme yang berbeda dari interaksi 3N pada makar nirkekerasan versus kekerasan. Pada intensi makar nirkekerasan, gairah harmonis berpengaruh dalam hubungan antara jejaring radikal dan intensi makar nirkekerasan. Selain itu, persepsi ancaman simbolik juga berperan dalam hubungan antara fundamentalisme agama dan intensi makar nirkekerasan. Sedangkan pada intensi makar kekerasan, gairah obsesif berperan dalam pengaruh jejaring radikal terhadap intensi makar kekerasan. Berdasarkan 3 studi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model 3N dapat menjelaskan gerakan makar berbasis agama yang dipengaruhi oleh persepsi ancaman dan gairah ideologis. ......Insurgency is a movement that threatens the sovereignty of the state. Along with the development of religious radicalism and extremism, the seeds of religious-based insurgency also began to grow. Previous studies have examined the structural factors of insurgency which have focused more on violent strategies. This dissertation aims to examine the motivational factors of religious-based nonviolent insurgency through the theoretical framework of Significance Quest Theory, namely the 3N model (needs, narratives, and networks). This study uses qualitative and quantitative methods consisting of 3 studies. Study 1 using the case study method on 21 former members of a religion-based insurgency (Negara Islam Indonesia) shows that there is a dynamic of 3N interaction in the process of individuals being involved in nonviolent insurgency. Study 2A using a quantitative survey method on 221 participants showed that need for significance play a role in predicting insurgency intentions mediated by religious fundamentalism (narratives) and radical networks. Furthermore, Study 2B on 815 participants showed that there are different mechanisms of 3N interaction in nonviolent versus violent insurgency. In nonviolent insurgency intentions, harmonious passion influences the relationship between radical networks and nonviolent insurgency. Symbolic threat perceptions also play a role in the relationship between religious fundamentalism and violent insurgency intentions. Meanwhile, in the violent insurgency, obsessive passion plays a role in the influence of radical networks on the violent insurgency intention. Based on the 3 studies conducted, it can be concluded that the 3N model can explain the religion-based insurgency behavior that is influenced by perceived threats and ideological passions.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Elfida
Abstrak :
Konsep kebahagiaan dapat dibedakan berdasarkan perspektif hedonik (subjective well-being/SWB), eudaimonik (psychological well-being/PWB), dan gabungan keduanya (PERMA). Semua konsep kebahagiaan berasal dari pemikir dari budaya Barat yang berorientasi individualistik dan hanya terfokus pada diri manusia dan lingkungannya, kurang memperhatikan pengaruh nilai budaya lainnya yang kolektivis dan religius terhadap kebahagiaan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya peran religiusitas, spiritualitas, kebersyukuran dan makna hidup dalam kebahagiaan orang Indonesia. Penelitian ini menggunakan disain konvergen dari metode campuran. Studi kualitatif dilakukan untuk menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya dan agama mempunyai peran penting dalam pengalaman kebahagiaan partisipan. Partisipan berjumlah 9 orang berusia 23-74 tahun. Hasil studi kualitatif menemukan tiga tema besar pengalaman bahagia, yaitu pemaknaan pengalaman bahagia, dimensi kebahagiaan, dan faktor-faktor yang terkait dengan kebahagiaan. Pemaknaan pengalaman bahagia meliputi tiga tema, yaitu rasa mampu mengatasi masalah dengan penerimaan dan syukur, kepuasan hidup dalam ketercukupan, dan rasa berharga berkat pencapaian dengan kerja keras. Dimensi kebahagiaan mencakup enam tema yang menggambarkan pengalaman kebahagiaan hedonik dan eudaimonik. Kebahagiaan hedonik meliputi dua tema yaitu pencapaian personal dan menikmati aktivitas waktu luang. Kebahagiaan eudaimonik mencakup hubungan dengan Tuhan, hubungan baik di dalam keluarga, hubungan sosial yang positif, dan kepedulian pada sesama. Faktor-faktor yang terkait dengan kebahagiaan meliputi ketaatan pada ajaran agama adalah hal utama, kesadaran spiritual, pemaknaan positif terhadap kehidupan, bersyukur kepada Tuhan di saat senang dan susah, dan pemahaman terhadap makna hidup. Studi kuantitatif dilakukan untuk menguji model teoritis yang menyatakan kebersyukuran dan makna hidup memediasi hubungan antara religiusitas dan spiritualitas dengan kebahagiaan konstruk PERMA. Partisipan adalah 421 orang berusia 17-63 tahun. Hasil studi kuantitatif memperlihatkan bahwa model teoritis yang diajukan fit dengan data. Dengan demikian, kebersyukuran dan makna hidup terbukti memediasi hubungan antara religiusitas dan spiritualitas dengan kebahagiaan. Hasil analisis data juga memperlihatkan bahwa spritualitas, kebersyukuran dan makna hidup masing-masing merupakan prediktor yang signifikan terhadap kebahagiaan, sedangkan religiusitas tidak terbukti sebagai prediktor kebahagiaan. Hubungan spiritualitas dan kebahagiaan, juga dapat dimediasi secara parsial oleh kebersyukuran dan makna hidup. Religiusitas tidak memiliki hubungan langsung dengan kebahagiaan tetapi dimediasi penuh oleh kebersyukuran dan makna hidup. Sebagai tambahan, religiusitas dan spiritualitas merupakan konstruk yang berbeda tetapi saling berhubungan. ......The concept of well-being can be distinguished based on the hedonic and eudaimonic perspectives, and the combination of both (PERMA). All the concepts of well-being came from Western thinkers whose culture is individually oriented and only focus on human beings and their environment, paying less attention to the influence of other collectivist and religious cultural values on well-being. This research aimed to prove the role of religiosity, spirituality, gratitude, and the meaning in life in the well-being of Indonesians. This research used a convergent design of mixed-method. The qualitative study was conducted to explain that culture values and religion has an important role in the participant's well-being experience. Participants were 9 people aged 23-74 years. The result of qualitative study found three major themes of well-being experience, namely meaning of well-being experiences, dimensions of well-being, and factors related to wellbeing. The meaning of well-being included three themes, namely the sense of being able to overcome problems with acceptance and gratitude, life satisfaction in sufficiency, and a sense of worth for the accomplishment with hard work. The dimensions of happiness included six themes that describe hedonic and eudaimonic well-being. Hedonic well-being included two themes, namely personal achievement and enjoying leisure activities. Eudaimonic well-being included relationships with God, good relationships in the family, positive social relationships, and caring for others. Factors associated with well-being were adherence to religious teachings is predominant, spiritual awareness, positive meaning toward life, gratitude to God in good and bad times, and understanding of the meaning in life. The quantitative study was conducted to test theoretical model that gratitude and meaning in life mediated the relations between religiosity and spirituality with well-being (using PERMA construct). Participants were 421 people aged 17-63 years. The results showed that the proposed theoretical models was fit with the data. Thus, gratitude and meaning in life were proven to mediate the relationship between religiosity and spirituality with well-being. The results also showed that spirituality, gratitude and the meaning in life were significant predictors of well-being, but religiosity was not. The relationship between spirituality and well-being could also be mediated partially by gratitude and the meaning of life. Religiosity did not have a direct relationship with well-being but was fully mediated by gratitude and the meaning in life. In addition, religiosity and spirituality were different but interconnected constructs.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library