Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nailah Arjeyita Mahdiyyah
"Skripsi ini bertujuan untuk menelusuri bagaimana performing reader mensimulasikan ruang naratif berdasarkan ketidaklengkapan narasi di sebuah teks. Penelusuran dilakukan dengan melihat bagaimana performing reader memahami ruang naratif dengan mengisi celah informasi berdasarkan imajinasi, pengetahuan, dan pengalaman pribadi, yang kemudian menjadi basis rekonstruksi ruang naratif melalui pembentukan peta mental. Proyeksi tubuh performing reader terhadap peta mental tersebut akan menciptakan simulasi ruang naratif. Studi ini menganalisis buku “The Midnight Library” oleh Matt Haig melalui dua tahap, yaitu (1) identifikasi celah informasi dalam narasi “The Midnight Library” dan (2) analisis pengalaman performing reader melalui simulasi ruang naratif berdasarkan ketidaklengkapan narasi. Tahap pertama mengidentifikasi celah informasi spasial dan sensorik berdasarkan bagian narasi berbasis setting dan peristiwa. Tahap kedua menganalisis pembentukan peta mental spasial dan sensorik ruang naratif oleh performing reader, dan pengalaman performing reader melalui simulasi ruang naratif berdasarkan embodied simulation. Hasil dari studi yang dilakukan menunjukan bahwa pembaca harus mengisi celah informasi dan membentuk peta mental hingga dapat mensimulasikan ruang naratif dan mengalaminya secara fisik. Jenis deskripsi pun berpengaruh terhadap simulasi ruang naratif yakni deskripsi eksplisit yang memberikan general framework dalam pembentukan peta mental, dan deskripsi implisit beserta celah informasi yang memberikan kebebasan pembaca untuk menginterpretasikan ruang naratif secara subjektif.

This study aims to explore how a performing reader simulates narrative space based on the incompleteness of a text’s narrative. The exploration is conducted by examining how the performing reader understands narrative space by filling in information gaps based on imagination, prior knowledge, and personal experience, which then becomes the basis for reconstructing narrative space through the formation of mental maps. The projection of the performing reader’s body onto this mental map creates a simulation of the narrative space. This study analyzes the book "The Midnight Library” by Matt Haid through stages: (1) identifying information gaps in the narrative of “The Midnight Library” and (2) analyzing the performing reader’s experience through the simulation of narrative space based on the narrative’s incompleteness. The first stage identifies spatial and sensory information gaps based on narrative sections related to setting and events. The second stage analyzes the formation of spatial and sensory mental maps of narrative space by the performing reader, and the performing reader’s experience through the simulation of narrative space. The type of description also affects the simulation of narrative space, with explicit descriptions providing a general framework for the formation of mental maps, and implicit descriptions along with information gaps giving readers the freedom to subjectively interpret the narrative space."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Indahsari
"Tingginya kepadatan bangunan pada permukiman kumuh menyebabkan rendahnya tingkat pencahayaan masuk pada bangunan dan menjadi permasalahan signifikan yang mempengaruhi kualitas hidup penduduk. Keadaan ini mengharuskan alternatif desain pencahayaan lain salah satunya melalui pencahayaan atas. Namun, radiasi yang diteruskan pencahayaan atas tergolong besar pada daerah tropis dan berpotensi meningkatkan biaya pendinginan. Oleh karena itu, diperlukan strategi desain pencahayaan atas yang sesuai untuk rumah di permukiman kumuh tropis guna menurunkan konsumsi energi yang mereka hasilkan. Strategi desain pencahayaan atas meliputi pemilihan tipe pencahayaan atas, penentuan ukuran, material serta orientasi dan perletakannya pada bangunan. Kajian dilakukan dengan metode studi literatur, observasi dan simulasi digital menggunakan Rhinoceros 3D (grasshopper). Hasil menunjukkan bahwa tipe pencahayaan atas skylight dengan ventilasi, window to floor ratio 5%, penempatan arah orientasi ke selatan dan perletakan tengah dapat menurunkan konsumsi energi penerangan dan pendinginan secara signifikan sebesar 18,13%.dari konsumsi energi awal.

The high density of buildings in slum settlements causes low levels of lighting entering buildings and becomes a significant problem that affects the quality of life of residents. This situation requires alternative lighting designs, one of which is top lighting. However, the radiation transmitted by overhead lighting is relatively large in tropical areas and has the potential to increase cooling costs. Therefore, a suitable top lighting design strategy is needed for houses in tropical slums to reduce the energy consumption they produce. The top lighting design strategy includes selecting the type of top lighting, determining the size, material as well as its orientation and placement in the building. The study was carried out using literature study methods, observation and digital simulation using Rhinoceros 3D (grasshopper). The results show that the type of lighting above skylights with ventilation, window to floor ratio of 5%, placement in a south orientation and central placement can significantly reduce lighting and cooling energy consumption by 18,13% of the initial energy consumption."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fadhila Tasnima
"Perubahan iklim global yang kian memburuk, terutama di wilayah dengan iklim tropis, telah mendorong peningkatan yang signifikan pada angka penggunaan sistem pendingin aktif dalam bangunan. Peningkatan ini berkontribusi terhadap konsumsi energi dan emisi gas rumah kaca yang turut meningkat, hal ini menimbulkan kebutuhan mendesak akan solusi melalui arsitektur dengan penggunaan energi yang efisien dan berkelanjutan. Kajian ini bertujuan untuk melihat potensi desain dengan konsep biomimikri pada bangunan beriklim tropis dalam aspek keberlanjutan, melalui kemampuannya untuk mendukung kenyamanan termal dalam ruang. Metode yang digunakan meliputi studi literatur terhadap teori dan penerapan konsep biomimikri, keberlanjutan dalam arsitektur, serta 7 studi kasus bangunan komersil yang telah menerapkan konsep biomimikri. Hasil kajian menunjukkan bahwa biomimikri memiliki potensi besar dalam mengurangi ketergantungan pada sistem pendingin aktif melalui strategi desain pasif yang terinspirasi dari alam. Temuan dari hasil analisis studi kasus, memperkuat posisi biomimikri sebagai pendekatan yang inovatif dan efektif dalam menciptakan kenyamanan termal di bangunan tropis secara berkelanjutan. Kajian ini mengidentifikasi tahapan dan jenis penerapan biomimikri yang paling relevan untuk diaplikasikan di bangunan pada iklim tropis, sehingga dapat menjadi referensi strategis bagi pengembangan desain arsitektur di masa yang akan datang.

The worsening global climate change, particularly in tropical regions, has significantly increased the use of active cooling systems in buildings. This rise contributes to higher energy consumption and greenhouse gas emissions. These conditions create an urgent need for architectural solutions that are both energy-efficient and sustainable. This study aims to explore the potential of biomimicry-based design in tropical buildings from a sustainability perspective, focusing on its ability to support indoor thermal comfort. The methodology includes a literature review on the theories and applications of biomimicry and sustainability in architecture, as well as 7 case studies of commercial buildings that have implemented biomimicry concepts. The findings indicate that biomimicry holds great potential in reducing reliance on active cooling systems through passive design strategies inspired by nature. The results from the case study analysis reinforce biomimicry’s position as an innovative and effective approach for achieving thermal comfort in tropical buildings in a sustainable manner. This study identifies the most relevant stages and types of biomimicry application suitable for buildings in tropical climates, providing strategic references for future architectural design development."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Suryawijaya
"Bangunan dan sektor konstruksi termasuk salah satu penyumbang terbesar terhadap konsumsi sumber daya global. Untuk mengurangi dampak tersebut, berbagai Green Building Rating System (GBRS) seperti LEED (AS), BREEAM (Inggris), BGH (Indonesia), dan GREENSHIP (Indonesia) telah dikembangkan guna mendorong praktik konstruksi yang lebih berkelanjutan. Secara bersamaan, ekonomi sirkular muncul sebagai paradigma baru untuk keberlanjutan dengan tujuan menutup siklus material dan meminimalkan limbah. Namun demikian, sebagian besar GBRS belum secara eksplisit mempertimbangkan tahap akhir pakai (end-of-life) dan belum menunjukkan strategi ekonomi sirkular mana yang didukung oleh setiap indikatornya. Akibatnya, masih belum jelas prinsip-prinsip sirkular mana yang sesungguhnya tertanam dalam kriteria penilaian yang ada, dan seberapa “sirkular” setiap indikator tersebut. Studi ini mengisi kekosongan tersebut dengan menerapkan Kerangka 10R—Menolak, Memikirkan Ulang, Mengurangi, Menggunakan Kembali, Memperbaiki, Merenovasi, Memproduksi Ulang, Mengubah Fungsi, Mendaur Ulang, dan Memulihkan—pada GBRS unggulan internasional dan nasional. Hasil studi menunjukkan bahwa pada LEED BD+C, BREEAM New Construction, BGH Tahap Perencanaan, dan GREENSHIP New Building, “sirkularitas” didefinisikan hampir secara eksklusif melalui pemikiran desain di tahap awal (R1) dan pengurangan sumber daya yang terukur (R2), sedangkan loop hilir (R3–R9) masih marginal dan strategi end-of-life nyaris tidak mendapat poin kredit. Dengan demikian, pilihan terminologi dalam GBRS berkorelasi langsung dengan alokasi poin.

Buildings and the construction sector are among the largest contributors to global resource consumption. To mitigate these impacts, Green Building Rating Systems (GBRS) such as LEED (USA), BREEAM (UK), BGH (Indonesia), and GREENSHIP (Indonesia) have been established to drive more sustainable construction. Simultaneously, the circular economy has emerged as a new paradigm for sustainability, aiming to close material loops and minimize waste. However, most GBRS still lack explicit end-of-life considerations and do not indicate which circular-economy strategies their indicators support. As a result, it remains unclear which circular principles are truly embedded in existing rating criteria and how “circular” each indicator is. This study fills that gap by applying the 10R Framework—Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Repurpose, Recycle, and Recover—to leading international and national GBRS. This study shows that in LEED BD+C, BREEAM New Construction, BGH Tahap Perencanaan, and GREENSHIP New Building, “circularity” is defined almost exclusively through up-front design thinking (R1) and measurable resource cuts (R2), with downstream loops (R3–R9) remaining marginal and end-of-life strategies virtually uncredited. Hence, the choice of terminology in GBRS directly correlates with point allocation.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library