Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Btari Cinta Humaira Cholil
"Dalam ruang sosial dan kultural patriarki, perempuan mengalami situasi teralienasi dari dirinya sendiri. Sistem kapitalisme-patriarki dalam bisnis fast fashion semakin membuat perempuan (sebagai buruh) terbelenggu dalam situasi teralienasi sebab adanya ketidakadilan dalam sistem tersebut. Dengan menggunakan kritik feminis sebagai metodenya, artikel akan berupaya membedah ketidakadilan yang dialami oleh buruh perempuan sekaligus menggunakan teori alienasi dan etika feminis yang digagas oleh seorang feminis sosialis, Alison Jaggar. Mengacu pada hal itu, penulis meyakini bahwa pengaplikasian etika setara gender pada industri mode merupakan cara yang realistis untuk perlahan melepaskan belenggu dan memakmurkan para buruh perempuan dari situasi tersebut. Langkah tersebut ditujukan kepada pihak ketiga—para perempuan—yang memiliki kapasitas yang cukup untuk membantu buruh perempuan dan tanggung jawab juga ditujukan kepada industri mode secara keseluruhan. Ketika ethical fashion sudah terealisasi sebagai wadah baru bagi buruh perempuan dalam melanjutkan pekerjaannya, pemboikotan terhadap bisnis fast fashion dapat dilakukan tepat setelahnya. Berdasarkan itu, pada akhirnya selalu ada cara yang etis untuk menjalankan sebuah bisnis dalam industri mode meskipun keuntungan tidak bisa didapat secara instan.
In the social and cultural spaces of patriarchy, women experience a situation of alienation from themselves. The capitalism-patriarchy system in the fast fashion business is increasingly trapping women (as workers) into alienated situations due to the injustices in the system. Using feminist criticism as its method, the article will attempt to expose the injustice experienced by female workers while using the theory of alienation and feminist ethics advocated by a socialist feminist, Alison Jaggar. Referring to that, the author believes that the application of gender-equal ethics to the fashion industry is a realistic way to slowly unleash the bonds and emancipate women workers from the situation. The move is aimed at third parties—women—who have sufficient capacity to help women workers and responsibility is also directed to the fashion industry as a whole. When ethical fashion is realized as a new container for female workers to continue their work, a boycott of the fast fashion business can take place right afterwards. Based on that, in the end, there's always an ethical way to run a business in the fashion industry even though profits can't be obtained instantly."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Almeyda Gansa
"Di era digital kontemporer, persimpangan antara interaksi manusia dan teknologi telah memunculkan bentuk-bentuk pengalaman eksistensial yang baru. Penelitian ini mengeksplorasi konsep absurditas digital, yaitu perluasan dari absurditas tradisional Albert Camus dalam konteks kontemporer. Dengan menganalisis proses transduksi antara manusia dan sistem algoritma media sosial, khususnya dalam platform Meta Inc., penelitian ini mengidentifikasi bagaimana absurditas digital bermanifestasi dalam bentuk supresi konten, echo chambers, dan existential discomfort. Penelitian ini membedakan antara agen aktif (content creator) dan agen proaktif/pasif (konsumen), dengan menggarisbawahi pengalaman unik mereka dalam menghadapi absurditas dalam ruang digital. Content creator, yang secara aktif membentuk dan merespons arahan algoritma sering kali menghadapi inkonsistensi dan bias dalam moderasi konten. Sementara itu, konsumen menghadapi realitas yang terfilter dimana memperkuat opini yang sudah ada. Melalui lensa Camus-Simondon, penelitian ini berusaha menjelaskan secara teknis bagaimana fenomena absurditas digital bisa terjadi dan juga merefleksikan bagaimana absurditas digital mencerminkan paralel dengan absurditas tradisional namun disaat yang bersamaan berbeda satu sama lain, dimana proses pencarian makna berhadapan dengan irasionalitas teknologi algoritma.

In the contemporary digital era, the intersection of human interaction and technology has given rise to new forms of existential experience. This research explores the concept of digital absurdity, an extension of Albert Camus' traditional absurdity in a contemporary context. By analyzing the process of transduction between humans and social media algorithmic systems, specifically within the Meta Inc. platform, this research identifies how digital absurdity manifests in the form of content suppression, echo chambers, and existential discomfort. It distinguishes between active agents (content creators) and proactive/passive agents (consumers), highlighting their unique experiences in dealing with absurdity in digital spaces. Content creators, who actively shape and respond to algorithmic directives, often face inconsistencies and biases in content moderation. Meanwhile, consumers face a filtered reality that reinforces existing opinions. Through the Camus-Simondon lens, this research seeks to explain technically how the phenomenon of digital absurdity can occur and also reflect on how digital absurdity reflects parallels with traditional absurdity but at the same time differs from each other, where the process of searching for meaning confronts the irrationality of algorithmic technology."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fabian Nathanael
"Di dalam lingkungan akademik, terdapat sebuah kecenderungan untuk menempatkan fenomena kecanduan judi sebagai sebuah fenomena klinis yang berakar dari permasalahan biokimiawi maupun psikologis ataupun sebagai sebuah permasalahan kultural yang mengikat proses judi kompulsif ke dalam ranah nilai-nilai kolektif suatu masyarakat. Artikel ini akan memberikan sebuah penjelasan alternatif terhadap kecanduan judi dengan mengacu pada pemikiran filosofis Nassim Taleb mengenai ketidakpastian, keberuntungan, dan probabilitas, khususya yang tertera di dalam Fooled by Randomness. Taleb memandang bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk tidak memperhatikan peran dari keberuntungan dan ketidakpastian yang sesungguhnya memiliki andil besar di dalam kehidupan manusia dan bahwa kecenderungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme sesat pikir. Di dalam artikel ini, penulis melihat subjek di dalam fenomena kecanduan judi sebagai sebuah agen epistemis yang berhadapan—dan gagal—dalam menjalankan peran epistemisnya karena ketidakpahaman akan konsep-konsep abstrak seperti probabilitas dan ketidakpastian yang memiliki peran besar di dalam perjudian. Penulis juga akan memanfaatkan Epistemologi Kebajikan dalam mensistematisasi pemikiran Taleb menjadi sejumlah kebajikan intelektual yang dapat dipraktikan dalam menghadapi fenomena kecanduan judi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa fenomena kecanduan judi terjadi karena kesalahpahaman akan probabilitas yang melibatkan pemahaman yang keliru terhadap kausalitas dan konsep asimetri dalam probabilitas. Penulis kemudian menyatakan bahwa kebajikan-kebajikan intelektual seperti gaya berpikir probabilistik, kerendah-hatian, dan kewaspadaan empiris dapat berperan dalam menghadapi fenomena kecanduan judi. Terlebih lagi, penulis menyatakan bahwa kebajikan- kebajikan tersebut dapat ditanamkan melalui pendidikan. 

In academic circles, there is a tendency to explain problem gambling as a clinical phenomenon or a cultural one. This article seeks to give an alternative explanation of problem gambling by utilizing Nassim Taleb’s thought on unceetainty, luck, and probability, especially as laid out in Fooled by Randomness. Taleb sees that humans have the tendency to overlook the role of luck and uncertainty that in actuality plays a significant role in daily life. Moreover, he argues that this overlook is a result of a number of cognitive errors. In this article, the writer sees problem gamblers as flawed epistemic agents due to their failure to realize the crucial role of uncertainty in gambling. The writer also utilizes Virtue Epistemology in systematizing Taleb’s thought into a number of intellectual virtues in facing problem gambling. This research concludes with the statement that problem gambling occurs due to a misunderstanding of probability that includes a poor conceptualization of causality and asymmetry in probability. The writer then states that intellectual virtues such as probabilistic thinking, humility, and empirical prudence can play a significant role in facing the phenomenon of problem gambling. Moreover, the writer argues the potentiality of education in instilling such virtues. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farras Zulfa Kazhim
"Kesadaran masyarakat Indonesia untuk bersimpati akan lingkungannya masih sangat rendah dan kian mengkhawatirkan. Kerusakan lingkungan yang terus terjadi menjadi ancaman besar bagi eksistensi manusia. Penelitian ini berfokus pada pembahasan mengenai bagaimana pragmatisme Richard Rorty menjadi tawaran lain dalam menjawab persoalan masalah lingkungan hidup. Penelitian ini menggunakan metode kritik pragmatis yang didukung dengan kajian pustaka. Kajian diawali dengan menjelaskan orientasi epistemologi Barat yang menghasilkan empat aspek utama dalam pragmatisme Richard Rorty. Kemudian pragmatisme Rorty dan etika solidaritas-nya selanjutnya digunakan sebagai perspektif alternatif dalam pembahasan topik etika lingkungan dalam rangka menemukan solusi atau jalan keluar dari kebuntuan diskursif dalam perdebatan filsafat lingkungan fundamentalis dan mencari solusi praktis yang relevan dalam konteks masyarakat Indonesia. Dalam hal ini penulis menggunakan aksi Pandawara Group untuk menunjukkan manifestasi dari nilai teori solidaritas Richard Rorty dan juga untuk menguatkan kesimpulan penulis bahwa penekanan pada aspek praktikal yang mengakar pada pengalaman manusia sehari-hari atau realitas konkrit dalam konteks-konteks tertentu dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam meningkatkan kepekaan moral terhadap penderitaan orang lain.

The awareness of Indonesian to sympathize with their environment is still very low and increasingly worrying. Environmental degradation that continues to occur is a major threat to human existence. This research focuses on discussing how Richard Rorty's pragmatism becomes another offer in the problem of environmental problems. This research uses pragmatic criticism methods supported by literature review. The study begins by explaining the Western epistemological orientation which produces four main aspects in Richard Rorty's pragmatism. Then Rorty's pragmatism and his ethics of solidarity are further used as alternative perspectives in discussing the topic of environmental ethics in order to find solutions or a way out of the discursive deadlock in the debate on fundamentalist environmental philosophy and to seek practical solutions that are relevant in the context of Indonesian society. In this case, the author uses the actions of the Pandawara Group to demonstrate the manifestation of the values of Richard Rorty's solidarity theory and at the same time to strengthen the author's conclusion that emphasizing practical aspects rooted in everyday human experience or concrete realities in certain contexts can be a more effective solution in increasing moral sensitivity to the suffering of others."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Roufan Naqib
"Saat ini, tidak jarang teknologi berupa algoritma digunakan untuk meminimalkan bias manusia dalam proses pengambilan keputusan dikarenakan pemrosesan dan prediksi algoritma dapat dikalkulasi, mendorong prediksi yang netral, tidak melibatkan bias, dan non-diskriminatif dalam membantu manusia mengambil keputusan. Kendati demikian, melalui langkah dekonstruksi Derrida dan mekanisme différance, penulis berargumen wacana tersebut secara inheren merupakan hal mustahil. Melalui analisis dekonstruktif, penulis membongkar gagasan tentang algoritma netral dan non-diskriminatif yang pada dasarnya dioperasikan sistem yang akan selalu terikat dengan jejak-jejak yang-lain, menyebabkan algoritma prediktf selalu parsial dan tidak penuh. Oleh sebab itu, penelitian ini mengungkapkan bahwa pengejaran terhadap netralitas algoritma prediktif akan selalu secara kuasi-transendental, mungkin-sekaligus-mustahil, dengan proses prediksi dan pemaknaan algoritma secara erat terkontekstualisasi dengan klasifikasi-klasifikasi data-data dan konteks makna yang dimunculkan.

Today, it is not uncommon for technology in the form of algorithms to be used to minimize human bias in the decision-making process within reason algorithmic processing and predictions could be calculated, thus encouraging neutral, unbiased, and non-discriminatory predictions in helping humans to make decisions. However, through Derrida's deconstruction and the mechanism of différance, the author argues that such discourse is inherently impossible. Through deconstructive analysis, the author dismantles the idea of a neutral and non-discriminatory algorithm that essentially operates a system that will always be bound by traces of the-other, causing predictive algorithms to always be partial and incomplete. Therefore, this research reveals that the pursuit of the neutrality of predictive algorithms will always be quasi-transcendental, possible-and-impossible, as the process of prediction and the meaning of the algorithm closely contextualized with the classifications of data and the context of meaning that is generated."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library