Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gilang Prima
"Kita tidak sendirian di dunia ini: ada orang lain. Kita hidup bersama dengan the Other. Ketika saya menghadapi the Other, saya merasa terasing sebagai the Other karena dia mengenal saya sebagai objek dalam dunianya. Saya tidak pernah bisa mengalami diri sendiri sebagaimana the Other mengobjekkan saya. Dengan demikian, the Other dikatakan mengetahui rahasia tentang saya. Analisis dari tatapan memungkinkan Sartre untuk menjelaskan bagaimana kehadiran the Other secara radikal dan fundamental mempengaruhi dunia saya dan diri saya, karena saya diobjektifikasi oleh the Other dan merasa terasing, hubungan dengan orang lain akan terdistorsi: konflik adalah inti dari hubungan kita dengan orang lain. Bagi Sartre, "Neraka adalah orang lain!" Bahkan cinta - suatu hubungan yang mungkin kita pikir merasa aman dari konflik, tetaplah berujung dengan konflik. Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower merupakan sebuah contoh realitas atas pemahaman eksitensialisme Jean-Paul Sartre. Charlie memiliki pengalaman buruk yang menyebabkannya tidak lagi percaya dengan relasi antar individu. Menyadari hal itu, hidupnya semakin sulit untuk dijalani. Charlie berkeinginan untuk memiliki kehidupan yang selayaknya mahkluk sosial, namun kekhawatiran Charlie timbul ketika ia memutuskan kembali untuk memulai kembali menjalin relasi dengan orang lain. Setelah menghadapi permasalahan eksistensialnya, Charlie pun bisa merubah pandangannya terhadap dunia sosial, melampaui bad faithnya dan bisa memaknai arti kehidupan orang lain sebagai hal yang positif baginya. Sesaat itu Charlie menemukan otentisitas dalam dirinya.

We are not alone in this world: there are others. We live together with the Other. When I face the Other, I feel alienated as the Other because he knew me as an object in the world. I was never able to experience ourselves as the Other objectify me. Thus, the Other is said to know a secret about me. Analysis of gaze allows Sartre to explain how the presence of the Other is radically and fundamentally affect my world and myself, because I was objectified by the Other and feel alienated, relationships with others will be distorted: the conflict is at the core of our relationships with others. For Sartre, "Hell is other people!" Even love - a relationship which we think may feel safe from the conflict, still lead to conflict. Charlie in The Perks of Being a Wallflower is an example of the reality of understanding existentialism of Jean-Paul Sartre. Charlie had a bad experience that caused it no longer believes the relationships between individuals. Realizing this, the more difficult to live his life. Charlie wants to have a life of proper social creatures, but Charlie concerns arise when he decided to return to restart a relationship with another person. After confronting existential issues, Charlie was able to change his view of the social world, surpassed his bad faith and could interpret the meaning of
other people's lives as a positive thing for him. A moment that Charlie find authenticity in himself.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska Darmakumara
"ABSTRAK
Pandangan intervensionis terhadap alam adalah pandangan yang mengatakan
bahwa kita harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah kita perbuat terhadap
alam dan peran manusia dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan alam.
Sementara itu, pandangan non-intervensionis terhadap alam adalah pandangan
yang mengatakan sebaliknya; peran manusia tidak dibutuhkan karena alam telah
memiliki sistemnya sendiri untuk menjaga keseimbangannya. Dua pandangan
besar terhadap alam yang bertentangan tersebut kemudian menjadi problematik
karena ia mempengaruhi bagaimana sikap kita terhadap alam. Skripsi ini
menawarkan jalan untuk mengakomodasi kedua pandangan bertentangan tersebut
dengan menggunakan filsafat lingkungan Aldo Leopold, The Land Ethic.

ABSTRACT
Interventionist view towards nature is a view that suggests we must be responsible
for what we have done to nature and human?s role is needed to maintain the
nature?s equilibrium. Meanwhile, non-interventionist view towards nature is a
view that suggests the opposite; human?s role is not needed because nature has its
own system that maintains its equilibrium. Those two conflicting major views on
nature are then problematic because it affects our attitude against nature. This
undergraduate thesis proposes a way to accommodate those conflicting views
using Aldo Leopold?s environmental philosophy, The Land Ethic."
2015
S61149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dyah Wijayanti
"Laki-laki yang maskulin didefinisikan dengan kemachoan, berotot dan dekat dengan kekerasan, struktur membuat laki-laki yang dikatakan "ideal" ini memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding yang "tidak ideal". Hal ini secara tidak langsung memberikan kekuasaan pada laki-laki. Laki-laki dan kekuasaan yang berelasi hadir dalam sebuah ranah politik yang sifatnya membuat kelahiran akan konsep dominasi itu sendiri, dengan begitu dapat dikatakan bahwa dominasi maskulinitas yang terjadi bukan disebabkan tanpa alasan. Persoalan Maskulinitas akan dibahas secara mendalam dengan menggunakan teori dari Pierre Bordieu.

Male masculine defined, muscular and close to violence, the structure makes men say "ideal" has a higher position than the "not ideal". This indirectly gives power to men. Man and power are related is present in a political sphere that are making the birth of the concept of domination itself, so it can be said that the dominance of masculinity that occurs is not caused without reason. Masculinity issues will be discussed in depth by using the theory of Pierre Bordieu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Adinegoro Natsir
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas problem panoptisisme oleh pemerintah yang terjadi di dalam internet. Penulis menggunakan pendekatan Foucauldian dalam melihat kasus Edward Snowden yang membocorkan program panoptik dari NSA. Konsekuensi dari pengawasan ini adalah hilangnya privasi bagi pengguna internet dan mengakibatkan tidak adanya kebebasan untuk bisa menggunakan internet. Masyarakat telah masuk ke dalam sebuah penjara imajiner di mana mereka saling mengawasi dan saling ketakutan karena merasa diawasi.

ABSTRACT
This research is focused on problem of panopticism by the government in internet. Writer use a Foucauldian approach to examine the Edward Snowden case who leaked the NSA top secret document to the journalist. The consequences of this surveillance is the loss of personal privacy for the internet user and also there is no such thing as freedom in internet if we always been watched. The society now have step to imaginary prison, where they were watching each other and feel insecure by the constant surveillance. "
2017
S70092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saddam Wiwaha
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas probelmatika mengenai persoalan relasi, cinta dan
kaitannya dengan eksistensi manusia di dunia. Persoalan tersebut dihadirkan dari
sebuah film berjudul The Fault In Our Stars. Eksistensialisme Martin Buber yang
mengintikan persoalan relasi sebagai wujud eksistensi manusia, dijadikan sebagai
alat analisis pada persoalan-persolan dalam Film tersebut. Hazel dan Augutus
dalam film The Fault In Our Stars menjadi representasi tokoh yang mengalami
perjumpaan eksistensial dan kemudian keduanya mampu menjalin relasi “Aku
Engkau” hingga keduanya diantarkan pada wujud being yang exist atas dasar
cinta kasih, tanggung jawab satu sama lain. Cinta diantara keduanya menjadikan
kebermaknaaan hidup diantara keduanya sekaligus penguat eksistensi sebagai
manusia.
ABSTRACT
This thesis talk about the problem of relation, love and corelation with human
existence in this world. The issue presented on a film called The Fault In Our
Stars. Martin Buber’s Existensialism which have the focus that relation is the
fundamental fact human existence will be use as a tool for analysis the issue from
that film. Hazel and Augutus as a representation of charachter which have
encounter untill they can make a relation “I-Thou” which can deliverd them into a
form of being exist with the love, responsibility for each others. Love between
them make a meaning of life as well as the reinforcement of human existence ."
2014
S59913
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Robby
"ABSTRAK
Skripsi ini merupakan analisa filosofis terhadap teori rekognisi dalam keragaman identitas dalam kehidupan sosial masyarakat, yang mana kondisi di dalamnya terjadi diskriminasi individu atas identitas yang dimiliki sehingga menjadi individu yang tidak diakui eksistensinya. Hal ini memberikan celah untuk menganalisa ulang bagaimana seharusnya individu dengan identitasnya dapat diakui keberadaanya dengan sepenuhnya sehingga akhirnya memunculkan kondisi kesetaraan dan solidaritas sosial. Praksis dalam kehidupan sosial memunculkan distribusi sensibilitas yang mengklasifikasikan individu-individu di dalam sistem. Adanya pengklasifikasikasian dalam hal apapun selalu mengarah pada ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan dalam kondisi keragaman identitas menurut Axel Honneth akan memunculkan peluang terjadinya konflik. Menanggapi masalah tersebut, terdapat teori rekognisi yang berpotensi memberikan jalan keluar, yaitu dengan cara pengakuan terhadap keragaman identitas inividu-individu dan kesempatan yang setara dalam kehidupan sosial. Terkait dengan permasalahan diatas, teori rekognisi juga memiliki celah dalam usaha untuk memahami keberagaman identitas dalam relasi sosial. Perbedaan tersebut berada pada level rekognisi yang terletak pada interkultural dan intersubjektivitas yang kemudian berpengaruh kepada kondisi subjek individu yang berusaha merealisasikan dirinya melalui rekognisi yang diperolehnya. Dengan usaha perumusan teori rekognisi di level intersubjektivitas dan level interkultural dapat memberikan solusi bagi permasalahan keberagaman identitas.

ABSTRACT
This thesis is a philosophical analysis of the theory of recognition in the diversity of identity in the social life of society, where the conditions in which there is individual discrimination of the identity that has become an individual who is not recognized existence. This provides a loophole to re analyze how individuals with identities should be fully acknowledged so as to ultimately bring about conditions of social equality and solidarity. Praxis in social life brings out the distribution of sensibilities that classify individuals within the system. The existence of classifiers in any case always leads to inequality. Inequality under the conditions of diversity of identity according to Axel Honneth will raise the chances of conflict. In response to the problem, there is a theory of recognition that has the potential to provide a way out, that is, by recognizing the diversity of identities of individuals and equal opportunities in social life. Associated with the above problems, recognition theory also has a gap in the effort to understand the diversity of identity in social relations. The difference is at the level of recognition that lies in intercultural and intersubjectivity which then affects the condition of the individual subject who seeks to realize himself through the acquired recognition. With the effort of formulating the theory of recognition at the level of intersubjectivity and intercultural level can provide solutions to the problem of diversity of identity."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Islamia
"Krisis kemanusiaan yang terjadi pada Rohingya adalah suatu bentuk pengabaian HAM dikarenakan penegakan kedaulatan. Kedaulatan dijadikan alasan untuk menunda HAM terutama terhadap kasus Rohingya, padahal HAM ialah suatu bentuk kesegeraan. Kegentingan isu Refugee selalu berbenturan dengan kedaulatan. HAM akan selalu terancam jika kedaulatan terus menjadi prioritas. Formalitas dasar negara dapat mengusik hak asasi manusia. Penghilangan hak atas Rohingya adalah hasil campur tangan kedaulatan. Metode fenomenologi Arendtian digunakan untuk dapat menganalisis krisis HAM yang menimpa Refugee. Rohingya tercabut hak asasi manusianya karena keluar dari komunitas atau negara. Penelitian ini juga menggunakan pemikiran Kwame Appiah untuk menjelaskan konsep rekognisi Etnis. Rohingya sebagai solusi dan rekomendasi dari kelanjutan teori Arendt. Multikulturalisme Appiah yang merupakan penerimaan akan hak orang asing, berguna untuk menerima perbedaan. Artikel ini adalah kritik terhadap kendurnya jaminan hak asasi warga negara. Dipertentangkanya HAM dengan kedaulatan menyebabkan prevalensi pelanggaran terhadap HAM tersebut.


The humanitarian crisis that occurs in the Rohingya is a form of human rights neglect due to the enforcement of sovereignty. Sovereignty was used as an excuse to delay human rights, especially in the Rohingya case, even though human rights were a form of immediacy. The issue of Refugee always clashes with sovereignty. Human rights will always be threatened if sovereignty continues to be a priority. Basic state formalities can interfere with human rights. The removal of rights to the Rohingya is the result of interference from sovereignty. The Arendtian phenomenology method is used to be able to analyze the human rights crisis that befell Refugee. Rohingyas human rights are deprived of being out of the community or country. This study also uses Kwame Appiahs thoughts to explain the concept of Ethnic recognition. Rohingya as a solution and recommendation from the continuation of Arendts theory. Appiah multiculturalism, which is the acceptance of the rights of foreigners, is useful for accepting differences. This article is a criticism of the slackness in guaranteeing the rights of citizens. The opposition of human rights to sovereignty caused the prevalence of violations against human rights."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Gavin Hans Joshua
"ABSTRAK
Artikel ini berfokus pada persoalan mengenai dekonstruksi maskulinitas dan keberadaan laki-laki feminis. Maskulinitas yang berkembang dalam masyarakat merupakan strereotip yang membentuk bagaimana seharusnya fisik laki-laki terbentuk serta perilakunya. Upaya melakukan dekonstruksi ini menggunakan etika kepedulian dalam kelompok kecil di masyarakat. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menghadirkan aliansi laki-laki baru sebagai bentuk dekonstruksi maskulinitas. Kesadaran akan kepemilikan pemahaman diri menjadi kunci dalam memunculkan penggunaan teori etika kepedulian. Aliansi laki-laki baru muncul sebagai jawaban atas pemaknaan maskulinitas yang baru karena adanya kesadaran dari laki-laki bahwa tatanan patriarkis juga mengikis kebebasan untuk memilih secara otonom. Dalam tatanan patriarkis, perempuan dan laki-laki dikondisikan dalam pilihan yaitu mengikuti aturan masyarakat atau dikeluarkan dari social. Artikel ini mengangkat mengenai label laki-laki yang ditanamkan dalam budaya patriarkal. Oleh sebab itu butuh adanya dekonstruksi sebagai bentuk penolakan label tersebut melalui kesadaran atas kepemilikan diri secara otonom.

ABSTRACT
This article focuses on the question of the existence of the deconstruction of masculinity and male feminists. The society developed masculinity as a stereotype that specifies male how to form their physics and behavior. There is an effort by doing a deconstruction using the ethic of care in small groups in society. In this article, the author tries to present Aliansi Laki-Laki Baru as a form of deconstruction of masculinity. An awareness of self-understanding is needed as the key to rise the use of ethics of care. Aliansi Laki-Laki Baru emerged as an answer to the meaning of a new masculinity that deconstruct the patriarchal order that erodes men tho choose autonomously. In the patriarchal order, women and men are conditioned in between the choices to follow the rules or being excluded from the society. This article talks about male label that embedded in a patriarchal culture. Therefore, it took the deconstruction as a form of rejection of the label through an awareness of self ownership autonomously."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library