Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Basri A. Gani
"Latar Belakang. Candida albicans (C. albicans) merupakan flora normal rongga mulut sebagai agen utama infeksi kandidiasis oral. Asap rokok dilaporkan sebagai salah satu faktor peningkatan biofilm dan transisi perubahan morfologi C. albicans. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran cigarette smoke condensate (CSC) terhadap pembentukan biofilm dan transisi perubahan morfologi C. albicans isolat saliva. Metode Candida albicans isolat saliva perokok dikultur pada CHROM Agar dan disetarakan dengan Mc. Farland 0,5 (1 × 108 CFU/ml). Selanjutnya diuji potensi pembentukan biofilm berdasarkan optikal densitas spektrofotometri pada panjang gelombang 620 nm yang hasilnya dianalisis dengan one way anova. Sedangkan transisi perubahan morfologi sel C. albicans setelah disensitisasi dengan CSC kretek dan non-kretek diamati dengan mikroskop pada pembesaran 1000x. Hasil. Akititas CSC non kretek lebih kuat menginduksi pembentukan biofilm dibandingkan dengan CSC kretek, khususnya pada waktu 24, 48, dan 72 jam (p<0,05) dibandingkan masa inkubasi 12 jam, dengan korelasi yang sangat kuat (p<0,01), hal ini sejalan dengan profil massa biofilm yang diamati secara visual dengan mikroskop. Hasil tersebut sejalan dengan transisi perubahan morfologi C. albicans dari blastospora ke bentuk psudohypha dan hypha yang diinduksi dengan CSC non-kretek lebih baik dibandingkan dengan CSC kretek dan C. albicans isolat saliva (tanpa sensitisasi dengan CSC). Kesimpulan. CSC kretek dan non-kretek dapat meningkatkan pembentukan biofilm Candida albicans isolat saliva, sekaligus mempercepat perubahan transisi morfologi dari blastospora menjadi pseudohypha dan hypha.
Candida albicans (C. albicans) is a commensal of oral cavity and the main agent of oral candidiasis. Cigarette smoke is reported as predispose factors of biofilm formation and transition of morphological changes of C. albicans. This study to analyze the role of cigarette smoke condensate (CSC) on biofilm formation and transition of morphological changes of C. albicans saliva isolates. Candida albicans smoker saliva isolate is cultured on CHROM-Agar and synchronized with Mc. Farland 0.5 (1×108 CFU/ml). Biofilm assay based on spectrophotometric density at 620 nm wavelength and data analyzed by one way ANOVA. The biofilm mass and transition of morphological changes of C. albicans cells was observed by light microscope at 1000x magnification. Result study shown The CSC no-kretek strongly induced the formation of biofilms compared with CSC kretek, particularly at 24, 48, and 72 hours (P<0.05) compared to the 12-hour, correlation (P<0.01) in accordance with the biofilm mass observed by light microscope also consistent the transition of C. albicans morphological changes from blastospora to pseudohypha and hypha (P<0,05). CSC kretek and non-kretek could increase the biofilm formation of Candida albicans saliva isolates, simultaneously accelerating the morphological transition changes from blastospora to pseudohypha and hypha."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Euis Reni Yuslianti
"Proses penyembuhan luka melibatkan radikal bebas. Senyawa antioksidan diperlukan untuk menghasilkan penyembuhan luka yang optimal. Penelitian ini bertujuan mendapatkan madu rambutan sediaan topikal untuk penyembuhan luka. Penelitian adalah eksperimental laboratorik in vitro dan in vivo yang mencakup pengambilan sampel murni, uji parameter madu dan penetapan standar farmasitikal, uji kandungan antioksidan, uji toksisitas akut, uji sitotoksisitas, dan uji khasiat preklinik. Penelitian ini merupakan penelitian analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa madu rambutan memenuhi persyaratan standar simplisia, dapat dibuat standar farmasitikal, mengandung flavonoid rutin dan asam askorbat, tidak toksik secara sistemik, tidak bersifat sitotoksik, mempunyai khasiat aktivitas antioksidan in vitro dan in vivo dengan mempercepat penyembuhan luka, menurunkan kadar MDA, meningkatkan kadar TGF-?1, meningkatkan jumlah sel fibroblas, dan menurunkan jumlah sel-sel inflamasi. Dengan demikian madu rambutan mempunyai potensi sebagai antioksidan dalam bentuk sediaan topikal untuk penyembuhan luka mukosa mulut bermutu standar farmasitikal, aman, dan berkhasiat menuju obat herbal terstandar.
Wound healing process involves free radical. Antioxidant compound is needed to obtain optimal wound healing. This research objective was to obtain topical rambutan honey for wound healing. The research was laboratory experiment in vitro and in vivo which covered pure isolate sampling, honey parameter test and pharmaceutical standard establishment, antioxidant content test, acute toxicity test, cytotoxicity test, and pre-clinic efficacy test. This research was analytic research. The result of the research showed that rambutan honey complied to the requirement of simplisia standard, can be made for pharmaceutical standard, contain rutin flavonoid and ascorbic acid, systemically nontoxic, was not naturally cytotoxic, had in vitro and in vivo antioxidant activity by accelerate wound healing, decreased MDA level, increased TGF-?1 level, increased fibroblast cell amount, and decreased inflammation cell amount. Therefor rambutan honey has potential as topical antioxidant pharmaceutical standard oral wound healing towards standardized herbal medicine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Ihsan Rizal
"Prevalensi periodontitis di Indonesia sangat tinggi yaitu 74,1%. Patogen keystone sebagai manipulator respons host dimediasi oleh patobion yang menjadi patogen dalam lingkungan dysbiosis yang akan memicu respons imun adaptif sehingga menyekresikan antibodi. Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan antara keberadaan polimikrobial dengan respons imun humoral saliva berdasarkan keparahan periodontitis dan status periodontal. Desain penelitian ini adalah observasional potong-lintang. Pemeriksaan status periodontal dan pengambilan sampel saliva dilakukan pada 39 subjek periodontitis berbagai stage dan periodontal sehat. Keberadaan antigen dan respons imun humoral saliva dideteksi menggunakan teknik berbasis imunologi. Keberadaan antigen A. actinomycetemcomitans tertinggi pada kelompok periodontitis stage IV. Respons imun IgA saliva terhadap antigen F.nucleatum (p=0,014) dan C.albicans (p=0,009) menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan keparahan periodontitis. Hubungan signifikan ditemukan antara indeks plak dengan respons imun IgG saliva terhadap C.albicans. Hasil analisis menunjukkan hubungan antara indeks kebersihan mulut dengan respons imun IgA saliva terhadap antigen A. actinomycetemcomitans (p=0,008) dan C. albicans (p=0,031). Terdapat hubungan antara indeks perdarahan papila dengan respons imun IgA saliva terhadap antigen A. actinomycetemcomitans (p=0,003), F.nucleatum (p=0,002), dan C.albicans (p=0,008). Antigen A.actinomycetemcomitans, respons imun IgA serta IgG saliva terhadap antigen F.nucleatum dan C.albicans dapat menjadi biomarker keparahan periodontitis.
The prevalence of periodontitis in Indonesia remains high (74.1%). Keystone pathogens as manipulators of the host response are mediated by pathogens that become pathogens in a dysbiotic environment that will trigger antibodies. The objective was to analyze the relationship between the presence of polymicrobial and salivary humoral immune responses based on the severity of periodontitis and periodontal status. The study design was cross-sectional. Saliva sampling were performed in 39 subjects with periodontitis and healthy periodontal. The presence of antigens and immunoglobulins were detected by immunology-based techniques. The presence of A.actinomycetemcomitans antigen was higher in the stage IV periodontitis group. The salivary IgA against F. nucleatum (p=0.014) and C. albicans (p = 0.009) showed significant differences based on the severity of periodontitis. A significant relationship was found between the plaque index and salivary IgG against C. albicans. It showed a relationship between the oral hygiene index and the salivary IgA immune response against A. actinomycetemcomitans (p=0.008) and C.albicans (p=0.031). There was a relationship between the papillary bleeding index and salivary IgA against A. actinomycetemcomitans (p=0.003), F.nucleatum (p=0.002) and C.albicans (p=0.008). The A.actinomycetemcomitans antigen, the salivary IgA and IgG against F.nucleatum and C.albicans antigens can be biomarkers for periodontitis severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library