Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zul Asri
Abstrak :
Studi ini untuk melihat perkembangan kota Bukittinggi secara fisik dan hubungannya dengan pemilikan tanah antara tahun 1945-1980. Selama ini penulisan sejarah kota di Indonesia sebagai kajian tersendiri masih terasa kurang dan lebih didominasi oleh sejarah yang bersifat politik, sosial, atau ekonomi. Alangkah lebih baik apabila penulisan sejarah tersebut dikembangkan dan diperkaya lagi dengan pendekatan sejarah kota. Sebab kehidupan di perkotaan lebih kompleks, hingga banyak aspek yang dapat diteliti, karena di sini manusia beserta aktivitas dan problem yang dihadapinya lebih kompleks dan berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi lingkungannya. Kota sendiri secara fisik merupakan suatu ruang yang hampir selalu mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat tekanan dari penghuninya dengan mobilitas yang tinggi. Penelitian ini dilaksanakan di kota Bukittinggi. Namun dalam pengumpulan data tidak hanya terbatas di Bukittinggi saja, tempat-tempat lain di luar Bukittinggi yang dimungkinkan tersedia data juga dilakukan penelitian, sehingga waktu yang digunakan untuk melaksanakan penelitian ini berlangsung antara pertengahan tahun 1998 sampai awal tahun 2001. Titik berat penelitian ini adalah perkembangan fisik kota dan hubungannya dengan pemilikan tanah. Tanah bagi suatu masyarakat tertentu mempunyai nilai yang sangat tinggi. Oleh karena itu perkembangan fisik kota sangat tergantung dari kemungkinan pembebasan dan konsolidasi tanah dari pemiliknya dan ketersediaan tanah untuk itu. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari sumber tertulis, baik primer maupun sekunder, dan lisan. Sumber tertulis primer didapatkan melalui bentuk dokumen, memoar, dan Surat kabar. Sumber tertulis sekunder didapatkan dalam bentuk buku dan artikel. Sedangkan sumber lisan didapatkan melalui wawancara dengan orang-orang terpilih yang hidup sezaman dengan periode waktu yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan fisik kota tidak bisa lepas dari pengaruh sistem pemilikan tanah. Oleh karena, tanah yang dimiliki oleh penduduk asli secara komunal (kaum/suku) tidaklah begitu sederhana persoalannya, sehingga tidak begitu mudah pula melepaskan tanah tersebut kepada pihak lain. Akibatnya banyak pembangunan fisik yang telah direncanakan terbentur dan beberapa sarana administratif kota terpaksa dipindahkan ke kota atau daerah lain.
2001
T10471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Dirk Wabiser
Abstrak :
Konflik tanah merupakan gejala universal yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembanguan di Indonesia. Kasus konflik tanah di Irian Jaya pada umumnya, dan di Sentani khususnya menarik untuk dikaji karena tidak hanya bersifat horizontal, tetapi juga vertikal. Asumsi dasar dari konflik tanah ini adalah bahwa konflik tanah terjadi karena dua pihak atau lebih mempunyai klaim yang sama atas sebidang tanah. Klaim yang sama mencerminkan adanya interpretasi yang berbeda-beda tentang hak kepemilikan tanah, misalnya kasus konflik tanah Kampung Harapan yang melibatkan masyarakat adat sendiri (Ohee-Ongge dan Walli) dan Pemerintah Daerah Irian Jaya. Ketiga pihak yang berkonflik mempunyai klaim yang sama sebagai pemilik tanah yang sah atas tanah Kampung Harapan yang pernah dikuasai oleh pemerintah Belanda, sejak berakhirnya Perang Dunia II (1946). Manfaat penulisan ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat adat untuk mengambil langkah-langkah bijaksana, guna meaekan konflik tanah, serta mengatasi masalah tanah sedemikian rupa, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk membahas kasus konflik tanah Kampung Harapan, digunakan dua teori, yaitu Teori Integrasi Kelompok dan Teori Konflik, untuk mengkaji konflik antara masyarakat adat. Karena konflik ini melibatkan pemerintah, maka digunakan perspektif Lewis A.Cosser. Kedua teori ini dianggap relevan, karena integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat dapat merupakan sebab terjadinya konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Namun, dapat pula terjadi bahwa konflik yang terjadi dengan kelompok luar/lain dapat meningkatkan integrasi internal kelompok. Konflik tanah antara Ohee-Ongge, Wally, dan Pemerintah Daerah Irian Jaya, bersumber pada perbedaan interpretasi tentang Staat van UitbetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. dan proses verbal tanggal 27 Februari 1957. Pihak Ohee-Ongge dan Wally berpendapat bahwa perabayaran sebesar f.10.000 (Duizend Gulden) yang dibayar oleh pemerintah Belanda (Nederlands Nieuw Guinea), hanya menyangkut pembayaran tanaman anak negeri, seperti yang tercantum dalam Staat van UitoetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. Jadi, tidak termasuk tanahnya, sebagaimana tercantum dalam proses verbal. Bersamaan dengan itu, Pemda Irian Jaya berpendapat, bahwa pembayaran f.1O.000 sebagai ganti-rugi terhadap tanaman anak negeri beserta tanahnya. Oleh sebab itu, tanah sengketa menjadi tanah negara. Untuk menyelesaikan kasus ini, digunakan Cara musyawarah dan peradilan formal. Masyarakat adat (Ohee-Ongge) mengambil inisiatif untuk menyelesaikan kasus ini dengan Pemda Irian Jaya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melalui peradilan formal. Di Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya, gugatan pihak Ohee-Ongge dinyatakan menang, dan pihak Wally dan Pemda Irian Jaya dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena adanya fasilitas, maka kasus ini dilanjutkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya, ke Mahkamah Agung (MA), dan kembali kasus ini dimenangkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya. Pada kenyataan ini, pihak Ohee-Ongge tidak tinggal diam, mereka juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir dalam menempuh proses peradilan formal ke Mahkamah Agung. Dengan PK ini, pihak Ohee-Ongge kembali dinyatakan menang, dan kepada pihak Pemda Irian Jaya dituntut untuk mengganti/memberikan ganti rugi. Ternyata putusan PK MA tidak digubris sama sekali oleh Pemda Irian Jaya. Sikap Pemda ini diperkuat lagi dengan turunnya Surat Sakti Ketua MA yang membatalkan putusan MA yang memenangkan pihak Ohee-Ongge.
2001
T11421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wannofri Samry
Abstrak :
Penelitian ini mengungkapkan masalah sengketa tanah sekaligus posisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan Minangkabau, khususnya di Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Ini penting karena sejak lama masalah tanah sudah menjadi topik utama bagi masyarakat Minangkabau. Bahkan sejak sekitar tahun 1970-an sengketa tanah sudah menjadi perbincangan tersendiri dalam masyarakat. Bagaimanapun, ini berkaitan dengan melemahnya keberadaan sistem sosial Minangkabau yang relatif demokratis, dan sebaliknya menguatnya intervensi negara dan pengaruh luar. Permasalahan ini berusaha dilihat dengan pendekatan sejarah yang multi dimensional, artinya penulis meminjam beberapa konsep ilmu sosial lain, terutama sosiologi dan antropologi. Kemudian juga diperhatikan saran dari penganut sejarah strukturis, bahwa permasalahan ini tidaklah bisa dilihat secara struktural semata, tetapi juga memperhatikan sejauh mana tindakan masyarakat telah menanggapi perubahan yang terjadi saat pengaruh luar begitu kuatnya. Apa pula umpamanya yang dilakukan pemimpin-pemimpin masyarakat bila sebuah sengketa terjadi serta penyelesaiannya dilangsungkan di pengadilan. Untuk mendapatkan jawaban ini penulis telah berusaha memadukan sumber-sumber primer dan sekunder baik lisan maupun tulisan. Sumber tertulis berupa laporan resmi pemerintah dan arsip-arsip pengadilan serta beberapa catatan dari Kantor Desa. Sumber lisan dilakukan melalui wawancara dengan beberapa orang masyarakat desa, serta bincang-bincang lepas dengan masyarakat nagari. Dari penelitian itu disimpulkan bahwa ternyata sengketa tanah memang bukan hanya sekedar akibat dari rumitnya masalah adat sebagaimana yang sering dikemukakan, tetapi sudah berkembang sebagai akibat melemahnya ekonomi masyarakat, dan melemahnya daya sosial-politik. Tetapi itu bukan berarti masalah adat bisa dikesampingkan, melainkan akumulasi antara ekonomi dan sistem adat telah ikut mendorong terjadinya sengketa tanah dalam masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Suparno
Abstrak :
Peningkatan Produksi pertanian di Jember Lebih banyak terjadi setelah dikenalkannya teknologi Pancausaha Tani oleh Pemerintah. Walaupun teknologi itu baru dikenal dan dilaksanakan oleh petani di Jember pada tahun 1969, tetapi kualitas dan pengetahuan petani dengan cepat menunjukkan adanya peningkatan. Meningkatnya kualitas dan pengetahuan membawa pengaruh terhadap kinerja petani, yang nantinya dapat meningkatkan produksi pertanian sebagai akibat dari penguasaan teknologi. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah Bagaimanakah produksi pertanian di Jember dengan diterapkannya Pancausaha Tani? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peningkatan Produksi pertanian di Jember sampai dengan akhir tahun 1984, serta ingin meneliti dan menganalisis pengaruh yang ditimbulkan oleh teknologi Pancausaha Tani, terhadap kualitas dan kinerja petani selama tahun 1963 -1984_ Manfaat yang diharapkan ialah dapat memberi sumbangan, guna memperkaya khasanah ilmu pengetahuan sejarah nasional. Penelitian ini dilakukan bulan September 1998 sampai dengan bulan Juni 1999, dengan studi lapangan. Tempat penelitian ini ialah di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur. Langkah yang ditempuh ialah mengumpulkan data dengan menggunakan metode dokumenter, disertai wawancara dengan nara sumber terpilih, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik logika komparatif induktif. Kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan pembahasan ialah dengan diperkenalkannya teknologi Pancausaha Tani dan berbagai perangkatnya, menjadikan meningkatnya produksi pertanian, meningkatnya pendapatan petani, dan membaiknya perekonomian di Jember pada umumnya.
the Technology of Agriculture and the Development of the Peasant's Economy in JemberThe enhancement of agricultural production in Jember increases more rapidly after the technology of the peasants- five efforts, the so called `Pancaussaha Tani' is introduced by the government. Although the technology was recognized and brought into action by the peasants in jember 1969, their knowledge and quality show rapid progress. The enhancement of quality and knowledge may influence the intensity of the peasants work that will increase the agricultural production as the effect of their mastery of technology. The problem to discuss in the research deal with how the agricultural production in Jember is as the `Pancaussaha Tani' has been applied. The research purpose is to know The enhancement of the agricultural production in Jember up to the end of 1984, and to investigate and analyse the effect of the `Pancaussaha Tani' on the quality and intensity of the peasants' work during period of 1963-1984. The expected use is to contribute the enrichment of the scientific knowledge about the national history. The research fieldwork was conducted in September 1998 - June 1999. The research lacotion was in the regency of Jember, east Java. The researh procedures are to collect the data by the documentary method and the interview with some selected expert, and then analyse the data by using the method of inductive - comparative logic. The obtained conclusion is based on the on the discussion of the technological inovation of the `Pancaussaha Tani' and all its instruments that result in The enhancement of agricultural production and increase of the peasants' income, and in general the economical improvement in Jember.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Malihu
Abstrak :
ABSTRAK
Informasi mengenai pelayaran tradisional di Buton telah disinggung dalam Ligtvoet (1878), Dick (1975a, 1975b, 1985, 1987), Horridge (1979a, 1981), Hughes (1984), Evers (1985), Schoorl (1985), Liebner (1990), dan Southon (1995). Bagian terbesar dari kajian mereka, kecuali Southon, masih menempatkan pelayaran tradisional Buton dalam kerangka kajaian umum, balk secara spasial maupun tematis. Secara spasial perhatian mereka terutama diarahkan pada kegiatan pelayaran di Kepulauan Tukang Besi, terutama Wanci dan Kaledupa, kecuali Southon yang memusatkan perhatian pada Desa Gerak Makmur di Kecamatan Sampolawa, Secara tematis mereka melihat pelayaran terutama dari aspek kegiatan ekonominya, sementara aspek perkembangan dan kemundurannya masih luput dari perhatian.

Studi ini mencoba mengisi "celah" tersebut dengan mencoba menganalisis tradisi maritim serta perkembangan dan kemunduran pelayaran tradisional di Buton Timur, dengan fokus perhatian pada Kecamatan Pasarwajo. Untuk keperluan ini beberapa pendekatan teori, seperti pendekatan Mentaliteit (Ladurie 1986), pendekatan ekologi (Steward 1955, Binford 1967, dan Geertz 1993), pendekatan Sea System (Braude! 1971, Chauduri 1985, Lapian 1987, Leirissa 1996), serta teori pemilihan kerja (Hommans 1961), teori modernisasi (Tipps 1973) dan teori invohrsi (Geertz 1993), digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang relevan.

Dari hasil analisis disimpulkan bahwa orang Buton sesungguhnya berakar dari suatu masyarakat dengan tradisi maritim yang sangat kuat. Hal ini diindikasikan oleh, antara lain: (1) pola pemukirnan penduduk yang terkonsentrasi di pinggiran pantai, (2) pandangan ideologis yang menempatkan "laut" pada tataran yang seimbang dengan "darat", (3) ideologi barala yang diilhami oleh keseimbangan pada perahu bercadik ganda, (4) konsep pertahanan kerajaan yang ditekankan pada matra laut, dan (5) berkembangnya pelayaran yag secara konkrit dapat diidentifikasi sejak abad ke-17.

Wilayah Buton Timur tumbuh menjadi pusat pelayaran tradisional terkait dengan (1) kondisi lingkungan geografisnya yang terdiri dari ratusan pulau, (2) keadaan alamnya yang kering dan tandus, dan (3) letak geografisnya di tengah jalur pelayaran yang menghubungkankawasan barat dan timur Indonesia.

Perahu lambo -- perahu yang digunakan dalam pelayaran -- dilihat sebagai sesuatu yang bermakna simbolik. Lamho dipersepsikan seperti manusia, sehingga dalam kesetaraannya dengan rumah, dipersepsiskan sebagai "suami". Desain dan konstruksinya merupakan paduan antara desain barat dengan metode konstruksi tradisional.

Pelayaran tradisional di Pasarwajo berkembang seiring dengan dinamika perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan; baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Pembatasan-pembatasan yang didterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjamin monopoli KPM, misalnya, telah membuat pelayaran tradisional makin tersisih dalam perebutan pangsa angkutan barang (dan penumpang); bahkan mengalami stagnasi sema sekali setelah masuknya Jepang pada Maret 1942 hingga Agustus 1945.

Demikian pula gejolak politik selama beroperasinya DIITII di Sulawei Tenggara sepanjang tahun 1950-an dan awal 1960-an, yang terus berlanjut hingga pecahnya G.30S serta proses penumpasan dan pembersihannya sejak akhir 1965 hingga 1967.

Kemajuan berarti baru dapat dicapai setelah memasuki Repelita I, ketika keadaan ekonomi, sosial, dan politik mulai membaik; dan mencapai puncaknya pada akhir dekade 1970-an hingga awal 1980-an. Namun memasuki paruh kedua dasawarsa 1980-an terjadi apa yang oleh Geertz disebut involusi, yang disebabkan terutama oleh merosotnya harga dua komoditas unggulannya, yaitu kopra dan cengkeh; adanya saingan perahu layar motor; kelangkaan kayu; terjadinya alih profesi menjadi nelayan penangkap ikan; dan kurang positifnya pandangan generasi muda terhadap pelayaran tradisional.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kunto Sofianto
Abstrak :
ABSTRAK
Tinjauan mengenai kehidupan masyarakat Kota Garut selama kurun waktu 35 tahun (1935-1965) merupakan kajian sejarah sosial yang membahas masalah pemerintahan, kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.

Rentangan waktu yang dikaji dalam studi ini, yakni sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda (1930-1942), zaman Pendudukan Tentara Jepang (1942-1945), dan zaman kemerdekaan RI (1945-1965).

Dalam masalah pemerintahan, fokus kajian terutama diarahkan kepada keadaan pemerintahan dan peranan, serta kedudukan bupati sejak masa Mob. Musa Suria Karta Legawa, Bupati Kabupaten Garut ke-3 (1929-1944) sampai dengan Rd. Gahara, Bupati Kabupaten Garut ke-10 (1960-1966). Keadaan pemerintahan dan peranan, serta kedudukan bupati ini mengalami naik-turun sesuai dengan perubahan politik di tingkat pusat.

Dalam masalah kehidupan sosial ekonomi, fokus kajian diarahkan kepada mata-pencaharian masyarakat bumiputra, Cina, Arab, dan Pakistan yang selalu berubah setiap periode. Perubahan sosial ekonomi masyarakat bumiputra nampak berubah setelah Kota Garut menjadi Kota Pariwisata, yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan dalam dan luar negeri. Sejak itu masyarakat bumiputra selain bekerja sebagai petani, pedagang, buruh, juga mulai bekerja di hotel-hotel sebagai jongos (pelayan), juru masak, tukang kebun, pramuwisata (guide), dan sebagainya. Pada masa Pendudukan Tentara Jepang kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya berubah secara drastis, yakni menjadi sengsara, akibat sikap Pemerintahan Militer Jepang yang bertindak di luar batas perikemanusiaan. Menginjak zaman kemerdekaan RI 1945, mata-pencaharian penduduk bumiputra nampak lebih bervariasi, yakni selain bekerja sebagai petani, pedagang, buruh, dan sebagainya, juga ada yang bekerja sebagai pegawai negeri (guru, ABRI, atau karyawan). Meskipun demikian, namun perubahan ke arah kehidupan yang sejahtera belum tercapai, akibat secara beruntun masyarakat Kota Garut diganggu oleh peristiwa-peristiwa politik yang menimbulkan trauma yang mendalam, yakni Pendudukan Tentara Belanda (1947-1948), peristiwa DI/TII Kartosuwiryo (1949-1962), peristiwa aksi rasialis anti-Cina dan peristiwa G 30 S/PKI 1965.

Sebenarnya banyak juga kaum bumiputra yang bekerja di sektor perdagangan, namun pada umumnya mereka kurang berhasil, karena terutama mendapat saingan dari orang-orang Cina, yang sudah mendominasi bidang perdagangan sejak zaman Kolonial Belanda.

Selain orang-orang Cina, juga peran orang-orang Arab dan Pakistan tidak bisa diabaikan. Mereka mulai berusaha sebagai pedagang sejak kedatangannya di Kota Garut.

Dalam masalah pendidikan fokus kajian diarahkan kepada minat masyarakat terhadap sekolah, yang mengakibatkan berubahnya nilai dan perilaku masyarakat untuk bersikap rasional dan modern. Dalam kebudayaan dibahas masalah seni musik yang terutama diminati oleh generasi muda dan kepercayaan yang terutama berhubungan dengan kehidupan keagamaan dan tradisi masyarakat.
ABSTRACT
The study of society existence in Garut City for 35 years (1935-1965) is study of social history which is related to government, social-economy, education, and culture.

The periods of time which are studied i.e. period of the Dutch (1930-1942), period of Japanese Army Occupation {1942-1945), and period of after Indonesia Independence (1945-1965).

Related to government, study is focused on the situation of government, role, and position of regents since Moh. Musa Suria Karta Legawa, the third regent of Garut Regency (1929-1944) until Rd. Gahara Widjajasoeria, the tenth regent of Garut Regency (1960-1966). The situation of government, role, and position of regents went through up and down matched political change in government center.

Related to social-economy, study is focused on the livelihood of Natives, Chineses, Arabs, and Pakistanis. The change of social-economy of Natives seems changed after Garut City became a tourist spot which was visited by people all over the world, where livelihood of Natives beside as peasants, traders, laborers, etc., also began to work in hotels as jongos (servant), cooks, guides, etc. In the period of Japanese Army Occupation the situation of people livelihood generally changed drastically, i.e. became being poor because the attitude of Japanese Army acted beyond humanity. In the period of post-Indonesian Revolution, livelihood of Natives became more various, i.e. beside they worked as peasants, traders, laborers, also they worked as government official (like teachers, Armies/ABRI, or workers). Although the Natives livelihood after Indonesia Independence showed variety, but change towards being welfare had not yet come true, because the people at that time were disturbed by political events successively, i.e. the Occupation of Dutch Army (1947--1948), rebellion of DIITII Kartosuwiryo (1949-1962), racial action of anti-Chinese (1963), and event of coup d'etat of PKI (G 30 SIPKI) 1965.

Actually many Natives worked as traders, but generally they were not as succesful as Chinese who had dominated trade sector since era of the Dutch. The Chinese is the main competitor for Natives in trade sector.

Beside Chinese, also the role of Arabs and Pakistanis in trade sector can not be neglected. They began to work as traders since their arrival in Garut City.

Related to education, study is focused on people interest towards education, which had caused changed value and behavior of people to be rational and modern.

Related to culture, study is focused on music which was liked especially by young generation and beliefs, particularly which are related to the existence of religion and tradition of people.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lieska Prasetya S.D
Abstrak :
Infeksi cacing perut (soil transmitted helminthiasis ) merupakan masalah yang endemik di Indonesia. Survey oleh Depkes dan berbagai Fakultas Kedokteran di Indonesia menemukan prevalensi asksriasis 70% -- 90%, t ri khuriesis 80 - 95% dan cacing tambang 30% -59%. Pemeriksaan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1986 di sebuah sekolah di Jakarta Timur menemukan prevalensi 82.5%.

Melihat keadaan tersebut di atas, maka sejak tahun 1987 Forum Koordinasi Program Integrasi Pelayanan Kesehatan Keluarga dan Keluarga Berencana mulai melaksanakan Program Pemberantasan Cacingan di sekolah-sekolah dasar DKI Jakarta. Melalui program ini dilakukan berbagai bentuk penyuluhan kepada murid, guru dan orangtua murid, pemeriksaan laboratorium dua kali setahun dan pengobatan secara selektif.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku orangtua murid, dalam hal ini menyangkut pengetahuan, sikap, dan praktek antara orangtua murid yang mendapat program dengan yang tidak mendapat program dalam pemberantasan cacingan, di kelurahan Pisangan Baru Jakarta Timur.

Untuk mengetahui hal tersebut, maka responden penelitian ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat program (Perlakuan) di Kelurahan Pisangan Baru dan kelompok yang tidak mendapat program (Kontrol) di Kelurahan Jatinegara Kaum. Mereka adalah orang tua murid kelas VI. Murid kelas VI diambil .karena mereka telah mengikuti program sejak kelas I.

Jenis penelitian ini adalah pra eksperimen, dengan kategori static group comparison, yang bertujuan membandingkan dua kelompok subjek seperti yang telah disebutkan di atas. Sampel diambil secara random sampling.

Sumber data pada penelitian ini adalah data primer, dengan menggunakan instrumen kuesioner. Pengambilan data oleh peneliti dibantu 8 orang mahasiswa Keperawatan Depkes R.I.

Ketiga variabel yang diteliti ( Pengetahuan, Sikap, Praktek) diuji dengan menggunakan uji X2 dan uji-T. Hasilnya memperlihatkan variabel pengetahuan dan variabel praktek menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol dalam pemberantasan cacingan (P{0.05). Artinya ada pengaruh program terhadap pengetahuan dan praktek responder. Responden perlakuan pengetahuannya lebih baik daripada responden kontrol. Sedangkan variabel sikap menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara perlakuan dengan kontrol (p>0.05). Artinya responden perlakuan tidak lebih baik sikapnya daripada responden kontrol.

Pengetahuan dengan sikap dan pengetahuan dengan praktek pada masing-masing kelompok ternyata berhubungan secara bermakna (p<0.05). Akan tetapi antara sikap dengan praktek pada kedua kelompok tereebut tidak mempunyai hubungan yang bermakna ( p>P.05).

Disimpulkan, bahwa secara keseluruhan terbukti ada perbedaan bermakna pada pengetahuan dan praktek responden yang mendapat program dengan yang tidak mendapat program dalam pemberantasan cacingan. Hal tersebut menunjukkan suatu keberhasilan pengelola program. Namun tentang sikap, kedua responden menunjukkan sikap yang sama. Hal ini tampaknya disebabkan oleh instrumen pengukuran sikap yang kurang tajam dan memerlukan penyempurnaan lebih lanjut.

Akhirnya, disarankan agar program pemberantasan cacingan terns diperluas, karena ternyata cukup berhasil dalam meningkatkan pengetahuan dan praktek responden, namun penyelenggara perlu meningkatkan pula beberapa aspek penyelenggaraannya guna lebih menunjang kelancaran penyelenggaraan program tersebut.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bondan Kanumoyoso
Abstrak :
Thesis titled "The Strengthen of State Economic Role: Nationalization of the Dutch Enterprises in Indonesia, 1957-1959". The parliamentary democracy period ended by the falling of Ali Sastroamidjojo 2?? cabinet?s governance on March 14th 1957 and the economic crisis that coming together. Meanwhile, the relation between Indonesia and Dutch has getting worse in the transition period through the guidance democratic system. The main barrier in the relation was the conflict of Irian Barat. Two important things ensued by the end of November 1957. United Nation Organization had failed to ratify a resolution of which suggesting Dutch to confer a solution for Irian Barat conflict on November 29th 1957. While, in November 30th 1957, assassination attempt for the President Soekarno known as Cikini Tragedy occurred. The explosion of anti-Dutch radicalism has been triggered by the failure of the resolution of the Irian Barat conflict in the United Nation Organization. On December 3? 1957 the labor union of the Indonesian Communist Party (PKI) and Indonesian National Party (PNI) started to take over Dutch trade and enterprises. This movement noticed the beginning of the nationalization of Dutch enterprises in Indonesia that was supported by government. The deportation of 46.000 Dutch citizens in Indonesia on December 5"? obviously reflected the government support. It is definitely necessary to comprehend that nationalization in this term stand for; all the Dutch property was converted into state property. A take over of Dutch properties to other enterprises instead of the state (to Indonesian private enterprises)' was excluded the connotation of nationalization. It was merely described as nationalized. Nationalization has caused the fundamental changes in the Indonesian economic structure. During the nationalization 90% plantation output ownership has transformed into state corporations. As well as the 60% foreign trade and around 246 factories, mining enterprises, banks, shipping, and varieties service industries. The nationalization itself has ended the domination of Dutch capital in Indonesian economic.
Jatuhnya pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo yang ke II pada tanggal 14 maret 1957 dan krisis ekonomi yang menyertainya merupakan akhir dari periode demokrasi parlementer. Sementara itu dalam masa transisi menuju sistem demokrasi terpimpin, hubungan antara Indonesia dengan Belanda juga terus memburuk. Hambatan utama dalam hubungan tersebut ialah masalah Irian Barat. Pada akhir bulan November 1957 terjadi dua kejadian penting. Pada tanggal 29 November Perserikatan Bangsa-Bangsa (PEB) gagal mengesahkan suatu resolusi yang menghimbau agar Belanda merundingkan suatu penyelesaian mengenai masalah Irian Barat. Sedangkan pada tanggal 30 November terjadi usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dalam peristiwa Cikini. Gagalnya resolusi masalah Irian Barat di PBB mengakibatkan terjadinya ledakan radikalisme anti Belanda. Pada tanggal 3 Desember, serikat-serikat buruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda. Gerakan tersebut menandai nasionalisasi perusahaan- perusahaan Belanda yang didukung oleh pemerintah Indonesia. Dukungan pemerintah terlihat jelas pada tanggal 5 Desember dengan keluarnya perintah pengusiran oleh Departemen Kehakiman terhadap 46.000 warga negara Belanda yang ada di Indonesia. Perlu ditegaskan bahwa nasionalisasi dalam hal ini berarti; segala aset milik Belanda dijadikan milik negara. Pemindahan ke tangan nasional bukan negara (ke tangan pihak swasta Indonesia) tidak termasuk dalam pengertian nasionalisasi. Pengertian untuk pemindahan ke tangan nasional bukan negara selayaknya disebut dengan menasionalkan saja. Nasionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan fundamental dalam struktur perekonomian Indonesia. Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar' negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa. Dengan demikian nasionalisasi mengakhiri dominasi modal Belanda dalam ekonomi Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T3521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
Abstrak :
ABSTRAK
Kopra merupakan produksi rakyat Minahasa dan menjadi mata pencarian utama masyarakat petani daerah tersebut selama periode 1870-1942.

Penelitian tentang pembudidayaan dan perdagangan kopra di Minahasa dalam kurun waktu 1870-1942 ini secara khusus menyoroti struktur pertanian dan pola pembudidayaan serta sistem perdagangan kopra, dengan menggunakan bahan-bahan arsip, laporan-laporan sezaman baik yang diterbitkan maupun tidak, serta literatur yang berkaitan dengan tema tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pola pertanian di Minahasa karena adanya tuntutan pasar. Minahasa pada abad ke-17 sampai ke-18 merupakan lumbung padi bagi daerah Sulawesi dan Maluku. Adanya tanaman wajib kopi pada pertengahan abad ke-19 membuat sebagian petani Minahasa beralih menjadi penanam kopi. Kemudian setelah terjadi boom kopra sejak akhir abad ke-19 sebagian petani Minahasa beralih menanam kelapa.

Pola perdagangan kopra dilakukan melalui tiga golongan,yaitu produsen, perdagang perantara, dan pedagang besar/ekspor. Pola jual-belinya tidak dilakukan di dalam pasar (dalam arti fisik) secara terbuka tetapi melalui sistem kontrak.

Jual beli dengan sistem kontrak ini lebih merugikan petani. Untuk melindungi petani dari jeratan pedagang perantara yang sebagian besar dikuasai pedagang Cina, berbagai upaya dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, misalnya dengan mendirikan volksbauk Taa rsea Producferr Verkoop Central,dan yayasan Kopra.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T10190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Walukow, Devy Stany
Abstrak :
Cengkeh adalah tanaman primadona dari Propinsi Sulawesi utara; khususnya Minahasa. Untuk itu sebagian besar kehidupan petani tergantung dari pendapatan hasil panen komoditi cengkeh. Apalagi dalam perkembangan sejarah perdagangan, cengkeh merupakari komoditi yang sangat laku di pasaran terutama dikonsumsi oleh pabrik rokok kretek. Ketika pemerintah menjalankan kebijaksanaan yang baru dalam tata-niaga cengkeh dengan diberikan semua tanggungjawab kepada BBPC sebagai satu-satunya pembeli dan penjual, menyebabkan baik dari segi pendapatan petani maupun dari segi mekanisme pemasaran mengalami perubahan yang sangat drastis. Oleh sebab itu untuk panen tahun 1991 dan 1992 terjadi kemelut dalam tata-niaga cengkeh. Kendati sejak kemerdekaan Indonesia, pemerintah telah mengatur pemasaran cengkeh yakni pada tahun 1976 dan tahun 1980. Jadi campur tangan pemerintah bukanlah penyebab dari kemelut yang terjadi. Dalam situasi tata-niaga cengkeh yang kacau, Ketua BPPC; Hutomo Mandala Putra menegaskan untuk melepaskan antara lain BPPC Cabang Sulawesi Utara dari BPPC. Penegasan ini menyebabkan, sejak tahun 1993 pembelian cengkeh terpaksa diambil alih oleh pemerintah dengan nama UTNC. AAtan tetapi dalam strategi pemasaran, UTNC tetap melaksanakan ketentuan yang diterapkan oleh BPPC sehingga tidak terlihat adanya perbedaan antara BPPC dengan UTNC. Permasalahan yang dihadapi petani produsen disebabkan oleh mekanisme dari pemasaran itu sendiri. Sistem monopoli tidak diterapkan sebagai suatu kebijaksanaan yang bertujuan rnengangkat pendapatan petani, sebaliknya hanya merugikan petani. Pihak-pihak yang ditugaskan oleh BPPC dan UTNC tidak bekerja secara efektif serta efisien. Untuk itu peran yang diberikan pemerintah kepada KUD perlu ditinjau kembali. Dengan demikian perubahan dari sistem perdagangan sebagai tujuan daripada perbaikan ekonomi nasional ternyata tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Namun bagaimanapun keberadaan BPPC sebagai pelaksana tata-niaga cengkeh, rneskipun perannya hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat ternyata mampu merubah sistem pemasaran tradisional dari petani.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T9749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>