Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anny Wantania
"ABSTRAK
"Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai laut yang luas sehingga merupakan produsen ikan laut yang potensial. Salah satu wilayah produsen ikan laut yang potensial di Indonesia adalah Sulawesi Utara. Kotamadya Bitung merupakan wilayah penghasil ikan laut terbanyak dari aspek jumlah dan nilai produksi se Sulut. Salah satu potensi perikanan yang dijadikan komoditi perdagangan di Kotamadya Bitung adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sehingga dikenal sebagai Kota Cakalang. Penelitian tentang perdagangan ikan cakalang di Bitung relatif belum terjamah. Di sisi lain, penelitian tentang sejarah perekonomian Indonesia didominasi hasil perkebunan Masalah penelitian ini adalah perkembangan perdagangan ikan cakalang di Bitung, Sulawesi Mara periode tahun 1975 sampai dengan 2001. Secara lebih khusus, penelitian ini difokuskan pada dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap perdagangan ikan cakalang. Penentuan periodesasi itu adalah pada tahun 1975 dibentuknya Kotamadya Bitung dan 2001 adalah dua tahun epelaksanaan otonomi daerah yang menekankan pada desentralisasi pengelolaan potensLkelautan berdasarkan Undang-Undang No.22/1999. Dal= periode itu, kebijakan pemerintah dibagi dalam tiga karakteristik, yaitu kebijakan ekonomi sentralistik (1975-1982), liberalisasi ekonomi (1983-1999) dan otonomi daerah yang menekankan pada desentralisasi kelautan (1999- saat ini) Pertanyaan penelitiaan dalam disertasi ini adalah bagaimana dampak kebijakan pemerintah pada periode ekonomi sentralistik, liberalisasi ekonomi dan otonomi daerah terhadap dinamika perdagangan ikan cakalang di Kotamadya Bitung? Kebijakan perdagangan perikanan menimbulkan dampak terhadap dinamika perdagangan ikan cakalang, pada pada periode ekonomi sentralistik (1975-1982). Kebijakan merupakan intrumen pelestarian kekuasaan. Konteks periode ekonomi sentralistik yang meraup keuntungan adalah pedagang Cina, militer, dan pejabat biokrasi. PN. Perikani, sebagai contoh dikendalikan oleh aparat militer yang relevan sehingga sektor perikanan berada di bawah kontrol negara bail: secara politik maupun ekonomi. ""Ferman itu semakin mendapatkan pembenaran dengan hadirn_ya perusahaan perikanan yang dikelola oleh Puskopal Armatirn. Keterlibatan menimbulkan dampak yang positif dan negatif. Dampak yang ditimbulkan cenderung menguat kepada negatif, yaitu hisnis militer menjadi semakin monopolistik dan otoritarian. Kernudian, kenyataan itu menimbulkan kesadaran baru untuk menetapkan kebijakan pembangunan yang lehih berorientasi pasar internasional. Keuntungan yang lehih besar akan diperoleh dan bisa menciptakan pemerataan hasil peinbangunan. Kebijakan liberalisasi menimbulkan dampak negatif dan positif. Liberalisasi yang diterapkan dijadikan instrumen pelestarian kekuasaan politik oleh penguasa. Kondisi itu saya nyatakan liberalisasi yang herbasis pada""
Lengkap +
2004
D1567
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Pradjoko
"Disertasi ini menunjukkan dinamika politik lokal di Kawasan Flores Timur, Kepulauan Solor dan Timor Barat sebagai akibat dari kebijakan politik kolonial Belanda antara 1851-1915. Fokus kajian disertasi ini adalah menganalisis sikap Kerajaan Larantuka terhadap kebijakan politik kolonial Belanda, Misi Katolik Belanda, penduduk negeri pegunungan, dan kerajaan lokal sekitarnya.Kerajaan Larantuka yang dipimpin oleh raja-rajanya melakukan strategi politik sekutu dan seteru dalam mempertahankan kedaulatannya menghadapi kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. Selama Abad ke-17 hingga abad ke-18, Kerajaan Larantuka bersekutu dengan Portugis dan para Kapiten Mayor dari keluarga Portugis Hitam, keluarga da Hornay dan da Costa untuk menghadapi kekuatan Belanda VOC dan Kerajaan Muslim Lima Pantai Solor Watan Lema. Pada abad ke-19, Kerajaan Larantuka dipaksa menerima hasil perjanjian Portugal dan Belanda yang dimulai sejak 1851 dan disetujui pada 20 April 1859. Perjanjian tersebut berisi penyerahan wilayah Flores dan Kepulauan Solor-Alor kepada Belanda. Sejak saat itu, Kerajaan Larantuka menjadi kerajaan bawahan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda kemudian mengikat kontrak dengan Kerajaan Larantuka pada 28 Juni 1861, namun Korte Verklaring tersebut masih memberikan keleluasaan Kerajaan Larantuka untuk menjalankan pemerintahan secara otonom/zelfbesturende.Raja-raja Larantuka sejak 1851 melakukan perubahan strategi politik sekutu dan seterunya sebagai upaya tetap mempertahankan kedaulatannya. Perubahan kebijakan politik sekutu dan seteru yang dilakukan oleh Kerajaan Larantuka itu berbeda dengan periode pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Kerajaan Larantuka pada periode 1851-1915, menjalankan politik sekutu dan seterunya dengan tidak menetap. Kerajaan Larantuka bersekutu dengan penguasa lokal Belanda, dengan meminta bantuan Residen Timor dan daerah Taklukannya untuk menghadapi seterunya, yaitu Kerajaan Lima Pantai. Kebijakan bersekutu dengan Belanda juga dilakukan oleh Kerajaan Larantuka ketika menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya di pegunungan yang mengancam wilayah inti kerajaan di sekitar Larantuka. Dalam beberapa kasus yang lain Kerajaan Larantuka justru bersekutu dengan Kerajaan Muslim Lima Pantai untuk menghadapi pemberontakan negeri-negeri bawahannya sendiri, di Solor dan Adonara. Dalam menghadapi kebijakan politik kolonial Belanda yang menjadi seteru karena masalah intervensi Residen dan pejabat sipil Belanda di Larantuka, Raja Larantuka bersekutu dan bekerjasama dengan pihak misi Katolik Belanda di Larantuka, meskipun dalam kasus lain Raja dan pihak misi Katolik berseteru terutama tentang masalah poligami raja dan perilaku raja yang masih menjalankan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang yang dianggap lsquo;kafir rsquo; oleh misi Katolik Larantuka. Secara umum persekutuan antara raja Larantuka dan para pastor Katolik Belanda pada akhirnya menunjukkan persekutuan yang lsquo;abadi rsquo; sampai diasingkannya Raja Don Lorenzo II DVG pada tahun 1904, yang dianggap membangkang terhadap kebijakan kolonial Belanda. Strategi sekutu dan seteru juga dipengaruhi oleh mitos konflik Demon-Paji, konflik dua bersaudara di jaman dahulu akibat bermacam sebab, tetapi terutama karena konflik memperebutkan istri, sehingga muncul istilah ldquo;Perang Tikar Bantal rdquo;. Demon menurunkan penduduk Kerajaan Larantuka yang beragama Katolik sedangkan Paji menurunkan penduduk Kerajaan Lima Pantai yang beragama Islam. Kedaulatan kerajaan-kerajaan di kawasan Flores dan Kepulauan Solor berakhir dengan adanya penataan wilayah yang dilakukan Belanda dengan mengintegrasikannya ke dalam Keresidenan Timor dan daerah Taklukannya pada tahun 1915.

The dissertation discusses the dynamic of local politics in East Flores region, Solor Islands and West Timor as a result of Dutch Colonial political policies between 1851 1915. The focus of dissertation is to analyze the response of Larantuka Kingdom about the policy of Dutch colonial politics, Dutch Catholic Mission, the people of Mountain country and surrounding local kingdom.The Kingdom of Larantuka that led by several kings conducted allied and enemy political strategy to defense the kingdom in fighting againts other powers that threatened their sovereignty. During the 17th until 18th century, the Kingdom of Larantuka allied with Portuguese and a couple of local commanders from black Portuguese family, da Hornay and da Costa to fight againts the VOC and Kingdom of Lima Pantai Solor Watan Lema. In 19th century, Kingdom of Larantuka was forced to accept the result of Portuguese and Dutch agreement which was started since 1851 and was ratified on April 20, 1859. The agreement was about the transfer of Flores region and Solor Alor Islands from Portuguese to the Dutch. Since the ratification of the agreement, the Kingdom of Larantuka became one of Dutch colonial government conquered areas. Subsequently, the colonial government binded a political contract with the Kingdom of Larantuka on June 28, 1861, however, the contract or Korte Verklaring still provided discretion to the kingdom to run autonomous administration or zelfbesturende. Since 1851, the Kings of Larantuka Kingdom conducted some changes of their allied and enemy political strategy as efforts to maintain the kingdom sovereignty. The change of the strategy was different with the policies which were taken by the kingdom in 17th and 18th centuries. During 1851 1915, the Kingdom of Larantuka applied temporary allied and enemy political strategy. The Kingdom of Larantuka allied with local Dutch rulers and asked for Resident of Timor and with their conqured areas to fight againts their enemies, Kingdoms of Lima Pantai. The allied policy with the Dutch was also conducted with the Kingdom of Larantuka when they overcame the rebellion of their vassals in mountain that threatened the center of the kingdom area around Larantuka. However, later in some cases, precisely the Kingdom of Larantuka allied with Kingdoms of Lima Pantai to fight against the rebellion of their vassals in Solor and Adonara. To response the Dutch colonial political policies that became the enemy because of Resident and Dutch civil officers intervention in Larantuka, the King of Larantuka allied and cooperated with Dutch Catholic Mission party in Larantuka although in other case the king and Catholic Mission had different opinion especially about the king poligamy and the king behavior who still practised their achestor beliefs that were considered lsquo heathen rsquo by Larantuka Catholic Mission. In general, the ally between the King of Larantuka and Dutch Catholic priests finally showed forever ally until the excile of the King Don Lorenzo II DVG in 1904 who was considered to resist to Dutch colonial policy. The strategy of allied and enemy was also influenced by myth of Demon Paji conflict. The conflict was about the two brothers in ancient time because of various causes, especially the rivalry to get wife that rose the term of lsquo the war of sleeping met and pillow rsquo. Demon desecended Catholic people of Larantuka Kingdom and Paji descended Islamic people of the Lima Pantai Kingdoms. The sovereignty of kingdoms in Flores region and Solor Islands came to end with the existence of the region structuring that was conducted by the Dutch colonial government by integrating the areas into the Residency of Timor and its conqured areas in 1915.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2355
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslimin A.R. Effendy
"ABSTRAK
Disertasi ini mengenai kesultanan Bima dengan fokus kajian pada dinamika politik antar elite dan fragmentasi kekuasaan dalam mempertahankan kedaulatan di tengah ancaman dan tantangan dari luar dan dalam. Studi mempersoalkan bagaimana kesultanan Bima dapat bertahan di saat elite terfragmentasi dalam penguasaan sumberdaya, dan dampaknya pada integrasi dan perubahan secara struktural. Fokus kajian dimulai dari tahun 1905 saat penetrasi kekuasaan kolonial melalui kekuatan militer, yang menunjukkan melemahnya kontrol Sultan atas politik dan ekonomi di Bima. Adapun masa akhir kajian tahun 1957, yakni sejak diberlakukannya UU No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menjadi awal berdirinya Kabupaten Bima sebagai daerah otonom baru, menggantikan sistem birokrasi kesultanan Bima.
Secara struktural, kekuasaan di Bima dijalankan oleh dua kelompok elite, yaitu Mawa?a Bilmana (?yang membawa kebijaksanaan?) dan Manggampo Donggo (?yang menghimpun?). Konvensi antar kelompok menggariskan bahwa tureli nggampo atau raja bicara (perdana menteri) diambil dari kelompok Mawa?a Bilmana, sedangkan Sultan dari kelompok Manggapo Donggo. Pada dasarnya, kedua kelompok elite ini berpandangan sama dalam memperjuangkan kepentingan dou (rakyat) dan dana (negara), meski berbeda dalam cara dan visi politik dalam mengelola kekuasaan. Temuan studi menunjukkan bahwa konvensi menyangkut distribusi kekuasaan tersebut dilanggar sultan.
Pendorong utamanya adalah melemahnya dukungan bangsawan Mawaa Bilmana,sementara di sisi lain sultan semakin lemah dalam menggalang kekuatan internal pendukung otoritasnya. Kondisi inilah yang melahirkan kebutuhan sultan akan perlunya dukungan eksternal guna mempertahankan kekuasaannya. Hal ini tercermin dari keputusan sultan untuk beraliansi dengan kekuatan luar demi mempertahankan kekuasaannya dari tekanan bangsawan lokal. Keputusan Sultan ini ditentang bangsawan Mawa?a Bilmana yang berpandangan bahwa persekutuan dengan kekuatan luar akan dapat merusak tatanan tradisional dan mengancam kedaultan negara. Langkah sultan tersebut juga menimbulkan perlawanan dari para elite baru, yakni kaum terpelajar. Bahkan, kelompok ini menuntut agar tatanan ?feudal? diubah dengan sistem baru yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan dalam format ?negara berdaulat?, yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Menariknya, meski atmosfer perubahan menggema, para elite baru ini justru tetap mengharap kehadiran figur bangsawan untuk memimpin dan mempersatukan rakyat yang terpolarisasi berdasarkan kepentingan dan politik aliran. Harapan ini terkabul dengan tampilnya Putra Muh. Salahudin bernama Abdul Kahir menjadi pemimpin daerah (1954-1959, 1960- 1964). Bahkan, di era demokratisasi ini, hadirnya Ferry Zulkarnaen anak Abdul Kahir menjadi Bupati Bima (2005-2010, 2010-2015) menunjukkan bahwa kelompok bangsawan Manggampo Donggo masih memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat. Sultan dianggap mampu menjadi hawo ro ninu (?menaungi dan melindungi?) rakyat untuk menciptakan keteraturan sosial guna mewujudkan kepentingan rakyat dan negara.

ABSTRACT
This study of Bima?s Kingdom is focused on political dynamic at elite level which?s reflected a kind of fragmentation of powers for supporting principles of ?kedaulatan/democracy?. Problem statement of this study is how was Bima?s kingdom able to survive facing the challenge waves, internally and externally. Moreover, how were the impacts of power struggle on social integration as well as structural change. Period of study is started in 1905 when the colonial power had started to penetrate by military/army force. The significant of 1957 was related to the changing system of beuracracy from feodal (Kesultanan Bima) to legal-rational (Kabupaten Bima as an autonomy district) due to implementing UU no.1/1957 on Local Government Principles.
Structurally, regarding the history of Bima, there were two dominant ruler groups: (1) Mawa?a Bilmana (the Wisdom givers) and (2) Manggampo Donggo (the pollers). Their roles had been based on a political concensus that a Lord of Speech (Prime Minister) would be from Mawa?a Bilmana group, Soultan (the King) would be from Manggampo Donggo. This convention had been ruled for inter-generations. Basically, both of elite groups had similar point of views for fulfilling people?s (dou) interests as well as country/state (dana). In fact, they had different visions in a matters of managing economic resources and politic of government which was stimulated the broken of Elite?s convention. Finding study has shown that the main cause factor was related to the Soultan?s basis of power at local level has been corrupted. Therefore, He tried to allie with external forces, such us: Ducth, Japan, NICA, NIT. Lord of Speech perceived its negatively which could treat Bima?s traditional structure, and also the freedom of Bima.
The friction between Soultan and Lord of Speech reflected the disability of government for managing economic as well as security matters. Moreover, it also shown the different interests of both. Actually, it could be understandable if there was an assumption that the power of Soultan should be maintained by hand in hand with alliens forces, particularly for handling internal challenges. Soulthan policy was also critised by new elites (such us: educated peoples) who asked the changing of the feodal structure into a new system, a kind of ?demokratic state? which recognized and democratic values as well as people?s power. Interestingly, eventhough the authority of Lords/Manggampo Donggo was going down and down by time even the political climates was changed, but peoples (including new elite group) still dreamed for having a figure (Soultan) who would not be only capable to lead them, but also able to integrate Bima?s peoples which had been fragmented in order of interests.
The dream was come true by promoted a son of Muhammad Salahudin which named Abdul Kahir was lead Bima as major (1954-1959, 1960- 1964). Moreover, during democratizaion era, the lords is still playing significant roles which proved by Ferry Zulkarnaen (son of Abdul Kahir). Ferry has been elected as Major of Bima District (2005-2010, 2010-2015). This fact has reflected that Manggampo Donggo has still strong and significant roles in society, particularly at grassroots level. Peoples have perceived that Soutan has able to create hawo ro ninu or ?to accomodate and protect? peoples (dou)."
Lengkap +
Depok: 2011
D1180
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library