Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siswanto
Abstrak :
The USA has signifikan contribution on negotiation of West Papua dispute. President John F. Kennedy changed the USA policy in West Papua dispute from passive neutral policy into active mediation policy. By this policy the USA and UNO supported and managed negotiations between Dutch and Indonesia. As a result, the representative of the countries signed the New York Agreement in 1962. The role of the USA diplomacy on the negotiation of West Papua dispute connecting with its interest in preventing communism in Indonesia. In case, America problem is how to eliminate communist influence in Indonesia. In connecting with the problem, the dissertasion has two research questions that what is the background of active mediation policy and how is the process of mediation diplomacy in West Papua dispute. The dissertasion would like to describe and analyse the negotiations process between Dutch and Indonesia in Middleburg, the USA. The negotiations process have inportant value in Indonesia and America diplomacy history. These will give inforrnations in West Papua history-especially it was looked from the USA perspective. The dissertasion used historical methods in understanding America diplomacy in relationship with negotiation on West Papua dispute. The dissertasion produced conclusions that the USA diplomacy in West Papua dispute has relationship with containment policy in Cold War. The USA and UNO have great contribution to West Papua negotiation and New York Agreement. Consequently, they have moral obligations to West Papua. Their Intervention into West Papua problem is something possible in the future when Indonesia can not solve social dan political problems in there. It should be anticipated by great anttention to West Papua.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D891
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Iskandar
2007
D1848
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armin
Abstrak :
Di penghujung abad ke dua puluh Indonesia di landa oleh gelombang reformasi yang menuntut perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang. Salah satu tuntutan yang bergulir adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah. Hal itu berimplikasi pada perubahan pola hubungan pusat daerah. Adanya perubahan dalam hubungan pusat daerah mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh. Studi hubungan pusat dan daerah berfokus pada masalah kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat. Suasana kebebasan di satu sisi dan adanya kontrol pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di sisi lain memicu konflik kepentingan antara tingkatan pemerintahan. Di samping itu konflik kepentingan di provinsi kalimantan timur juga disebabkan oleh perebutan sumber daya oleh semua tingkatan pemerintah, baik pemerinta pusat dengan pemerintah daerah provinsi maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ada 5 aspek. Pertama, tipe penelitian eksplanatif. Kedua, pendekatan penelitian yang digunakan adalah struktural. Ketiga, konteks penelitiannya transisi. Keempat, teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi terbatas. Kelima, teknik analisisnya kualitatif. Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini akan dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pemerintah daerah provinsi kalimantan timur memiliki kebebasan untuk berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan kepadanya. Batas-batas kewenangan itu ditentukan oleh pemerintah pusat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kedua, ada dua upaya pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan menciptakan sumber pendapatan baru bagi daerahnya. Pertama, intensifikasi pendapatan asli daerahnya. Kedua, ekstensifikasi pendapatan asli daerahnya. Ketiga, kontrol pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah ada dua macam. Pertama, pengawasan terhadap pelaksanaan APBD dan peraturn daerah dan atau keputusan kepala daerah. Kedua pengendalian pemerintah pusat dilakukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang selanjutnya dijadikan pedoman dan acuan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Keempat, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur terjadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, ketidakadilan dalam bagi hasil minyak dan gas. Pasalnya provinsi papua dan NAD diberikan bagi hasil minyak dan gas sebanyak 70%, sedangkan provinsi kalimantan timur dan riau hanya diberikan sebanyak 15%. kedua, konflik dalam penentuan Dana Alokasi Umum, konflik itu berawal dari simulasi DAU yang dilakukan oleh departemen keuangan pertengahan tahun 2001. Simulasi itu merugikan daerah penghasil termasuk provinsi kalimantan timur. Oleh karena itu daerah penghasil bersatu membentuk Kaukus Pekan Baru dan Kaukus jakarta. Kedua kaukus itu menuntut kepada panitia anggaran DPR RI agar kebijakan formulasi DAU yang disimulasikan ditinjau kembali. Panitia anggaran DPR RI berpendapat bahwa mereka tidak terikat dengan simulasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan. atas dasar itu dalma Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan disimpulkan bahwa tidak ada Daerah yang menerima DAU lebih rendah dari 2001. Kelima, konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kota samarinda bersumber dari pencabutan peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 tentang ketentuan pengusahaan pertambangan umum dalam wilayah kota samarinda. Pencabutan peraturan daerah itu didasarkan atas dua faktr. Pertama, peraturan daerah No. 20 Tahun 2000 bertentangan dengan kontrak karya (KK) yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pengusaha batubara. Kedua, peraturan daerah tersebut bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Secara teoritis, studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapa teori yang diginakan dan mengkonstruksi teori baru tentang nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Kebebasan pemerintah daerah provinsi kalimantan timur dalam berprakarsa dan mengambil keputusan mencari sumber keuangan dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas dan kepentingan masyarakat setempat, menunjukkan relevansi dengan teori Otonimi Daerah menurut Abdul Muttalib dan Mohd Ali Khan. Teori yang dikemukakan oleh Mack dan Snyder dan Maswadi Rauf tentang konflik menunjukkan relevansinya. Di samping relevansi teoritis juga dikemukakan konstruksi teoritis mengenai tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur. Tingginya nasionalisme masyarakat Kalimantan Timur disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, masyarakat tidak frustasi terhadap pemerintah-baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah-. Hal itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masyarakat tidak mendapat tekanan dari pemerintah. Kedua, masyarakat masing-masing memiliki kesibukan sehingga kurang waktu untuk memikirkan masalah pemerintahan apalagi melakukan gerakan separatis. kedua, heterogenitas masyarakat kalimantan timur. Tingginya heterogenitas masyarakat sehingga tidak ada suku yang mayoritas. Ketiga, masyarakat dan elite beranggapan bahwa melakukan gerakan separatis kerugiannya lebih banyak dari pada manfaatnya. Kerugian bagi elite jika terjadi gerakan separatis atau semacamnya adalah mereka sendiri akan terlempar dari struktur kekuasaan. Sedangkan kerugian bagi masyarakat adalah kalau terjadi kekacauan maka iklim untuk berusaha juga akan terganggu. Oleh karena itu elite politik Kalimantan Timur memegang prinsip bahwa bekerjasama dengan pemerintah Pusat lebih banyak manfaatnya dari pada melawannya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D475
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariyono
Abstrak :
Di era reformasi usaha mengganti tatanan politik yang otoritarian dengan yang demokratis semakin semarak. i'untutan yang menyolok dalam usaha membangun tatanan yang demokratis adalah mengtrrangi peranan pemerintah (terutama pemerintah pusat) serta menghapuskan keterlibatan TNT di luar bidang pertahanan dan keamanan. Pelbagai tuntutan tersebut akan dapat berjalan secara arif dan elegan bila proses civil society dalarn membangun masa depan bangsa juga berpijak pada realitas yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia serta latar belakang sejarahnya. Maksudnya, timbulnya pemerintahan yang otoriter serta keterlibatan militer di luar bidang pertahanan dan keamanan tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses sejarah yang panjang dan kompleks. Salah satu sarana munculnya pemerintahan yang otoriter _terutama keterlibatan militer_dapat dilihat dari sejarah penerapan keadaan bahaya di masa lampau. Menurut Sundhaussen (1988: 270) peran militer Indonesia, terutama peran AD dalam pelbagai bidang di luar pertahanan sulit dipahami jika tidak dikailkan dengan penerapan keadaan darurat di tahun 1957. Hal tersebut tidak salah namun dapat menyesatkan karena sebenarnya keadaan darurat telah lama dilakukan oleh pemerintah kolonial
2004
D1853
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amat Darsono Sudibyo
Abstrak :
Disertasi ini membahas tentang proses politik penentuan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN 2005-2009. Ini sangat penting karena berkaitan dengan kewajiban negara untuk membiayai pendidikan warga negara, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945. Pemerintah dan DPR tidak memenuhi itu pada APBN 2005-2008, sehingga memicu masyarakat sipil untuk melakukan demonstrasi dan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Untuk menganalisis proses politik tersebut, ada beberapa teori yang digunakan, yaitu model negara kesejahteraan oleh Gosta Esping Andersen, demokrasi deliberasi oleh Habermas, konflik dan konsensus oleh Maswadi Rauf, teori elite dari Suzanne Keller, serta beberapa teori lainnya sebagai pendukung. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam dengan para elite penentu anggaran pendidikan di eksekutif, legislatif, dan civil society, serta mempelajari dokumen risalah rapat BP MPR dan Badan Angagran DPR, yang membahas anggaran pendidikan, dan buku-buku yang relevan. Ada beberapa poin yang dapat disimpulkan dari penelitian ini. Pertama, pro dan kontra terjadi dalam power interplay antar elite mengenai anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, seperti yang diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 49 UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), yang direalisasikan dalam APBN 2009. Kedua, DPR dan Pemerintah tidak memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN 2005-2008 karena keuangan negara terbatas dan ada pengeluaran-pengeluaran yang tidak dapat dihindari, seperti bunga utang, subsidi, serta belanja pegawai dan pensiun (non-diskresi). Ketiga, atas desakan Putusan MK No. 13/PUU-VI/2008, DPR dan Pemerintah memenuhi anggaran pendidikan 20% pada APBN 2009 dengan cara memperbesar defisit anggaran hingga Rp 106.628 triliun (1,9% dari PDB tahun 2009 ? 5.613 triliun). Keempat, lembaga anggaran yang dominan dalam menentukan anggaran pendidikan 20% pada APBN 2009 adalah pemerintah, sebagaimana diatur dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Kelima, masyarakat sipil berperan besar dalam mempengaruhi kebijakan anggaran pendidikan melalui tekanan publik dan judicial review APBN di Mahkamah Konstitusi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa ada pro dan kontra dalam power interplay antar elite DPR dan pemerintah. Power interplay tersebut hanyalah seremoni politik yang pragamatis, dengan berbagai kepentingan politik yang tersembunyi (dalam rangka menghadapi pemilu 2009). Dalam hal itu, masyarakat sipil memainkan peranan yang signifikan. Implikasi teoritis: teori Gosta Esping - Andersen, dari perspektif Anglo Saxon Liberal, yang menyatakan bahwa peran pasar dan masyarakat di bidang kesejahteraan ? dalam hal ini, pendidikan ? lebih besar daripada negara, adalah terbukti. Kritik terhadap teori tersebut menyatakan bahwa di Barat, negaralah yang berperan dalam menciptakan kesejahteraan. Tetapi, di Indonesia, masyarakat dan negara bergotong royong untuk menciptakan hal tersebut. ...... This dissertation discusses about the political process of minimal establishing the 20% education budget in 2005-2009 National Revenue and Expenditure Budget (APBN) in Indonesia. It is very important because it relates to the country?s obligation to fund the education of its citizens as mandated in the 1945 Constitution article 31. The Government and the People?s Representative Council did not do it in 2005-2008 APBN. It led to people?s demonstrations and judicial review in Constitutional Court. To analyze that political process, several theories are applied in this dissertation: welfare state model by Gosta Esping Andersen, democratic deliberation by Habermas, conflict and concencus by Maswadi Rauf, elite theory by Suzanne Keller, supported by a few other theories. The method used here is the qualitative method with deep interviews with elites who determine the education budget in executive, legislative, and civil society, as well as studying relevant books and minutes of meeting of People?s Consultative Assembly Working Committee and the People?s Representative Council Budget Committee, that discussed the education budget. Several points can be concluded from this research: first, there were pros and cons in the power interplay among elites in minimal establishing the 20% education budget in APBN as mandated in 1945 Constitution article 31 and article 49 of the Law No. 20/2003 about national education system, which was implemented in 2009 APBN. Second, the People's Representative Council and the Government did not minimal fulfill the 20% education budget in 2005-2008 APBN because the state finances were limited and there were limited and there were inevitable expeditures, such as debt interests, subsidy, and personnel and pension non-discretionary expenditure. Third, due to the pressure of Constitutional Court's Decision No. 13/PUU-VI/2008, The People's Representative Council and the government fulfilled the 20% education budget in 2009 APBN by increasing the budget?s deficit until Rp106,628 trillion (1,9% of the 2009 Gross Domenstic Product or PDB - 5,613 trillion). Fourth, the budget institution dominant in determining the 20% education budget in 2009 APBN was the government, as regulated in the Law No. 17/2003 about state finances. Fifth, the civil society played a big part in influencing the education budget by public pressure and judicial review on APBN in the Constitutional Court. The findings of this study show that there were pros and cons in the power interplay among People's Representative Council and Government elites. It was a pragmatic political ceremony with hidden political interests (due to the coming of 2009 election). The civil society played a significant role in it. The theoritical implication: Gosta Esping - Andersen?s theory, from Liberal Anglo Saxon perspective, which states that market and people?s role in welfare - education, in this matter ? is bigger than the government's, is rightly proven. Criticism to this theory says that in the West, it is the government that plays the bigger role. In Indonesia, however, the people and the government work together in creating welfare.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1435
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiar Anwar Bachtiar
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini bertujuan mengkaji bagaimana INSISTS, baik dari segi gerakan maupun pemikiran, merespon pemikiran-pemikiran Islam Liberal antara tahun 2003-2012 sehingga terlihat perbedaannya dengan respon-respon yang pernah ada sebelumnya. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan pendekatan metodologi sejarah deskriptif-naratif. Berdasarkan penelusuran berbagai sumber dan interpretasi atas sumber-sumber tersebut ditemukan bahwa gerakan INSISTS memiliki kekhasan antara lain: (1) pemikirannya lebih mendalam dalam merespon pemikiran Islam Liberal dengan mengadopsi teori Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer yang diperkenalkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas di ISTAC-IIU Malaysia (2) gerakannya lebih mengedepankan gerakan ilmiah dengan menerbitkan jurnal, artikel koran, buku-buku, dan mendirikan kelas-kelas pascasarjana dengan pendekatan khusus bekerja sama dengan berbagai universitas yang telah ada sehingga INSISTS segera mendapatkan pengaruh cukup luas di kalangan para intelektual muda (3) membangun jejaring gerakan ilmiah di berbagai kota untuk memelihara gerakan ilmiah yang telah dicanangkan.
ABSTRACT
The aim of this thesis is to review the intellectual movement of INSISTS in it?s responses to the Islam Liberal?s thought at 2003-2012; and it?s different with the same responses before. Descriptive-narrative methodology of history is choosen for this research. By the tracing and interpreting of many resources, it concluded that INSISTS?s movement has many different with the same intellectual movement before, i.e: firstly, INSISTS?s responses were more valuable and deeper than before by adopting Al-Attas?s theory of Islamization of contemporary knowledge which was embodied in his instution ISTAC-IIU Malaysia; secondly, the priority of movement was intellectual movement to spread it?s thought faster to the public such as publishing journal, newspaper opinion, and books in Islamic thought; collaborating with many universities to hold special classes in Islamic thought; and many others; thirdly, (3) INSISTS tried to built intellectual interconnection in many other countries to maintain it?s intellectual movement.
Depok: 2015
D2121
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariyono
Abstrak :
ABSTRAK
Di era reformasi usaha mengganti tatanan politik yang otoritarian dengan yang demokratis semakin semarak. i'untutan yang menyolok dalam usaha membangun tatanan yang demokratis adalah mengtrrangi peranan pemerintah (terutama pemerintah pusat) serta menghapuskan keterlibatan TNT di luar bidang pertahanan dan keamanan. Pelbagai tuntutan tersebut akan dapat berjalan secara arif dan elegan bila proses civil society dalarn membangun masa depan bangsa juga berpijak pada realitas yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia serta latar belakang sejarahnya. Maksudnya, timbulnya pemerintahan yang otoriter serta keterlibatan militer di luar bidang pertahanan dan keamanan tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses sejarah yang panjang dan kompleks. Salah satu sarana munculnya pemerintahan yang otoriter _terutama keterlibatan militer_dapat dilihat dari sejarah penerapan keadaan bahaya di masa lampau. Menurut Sundhaussen (1988: 270) peran militer Indonesia, terutama peran AD dalam pelbagai bidang di luar pertahanan sulit dipahami jika tidak dikailkan dengan penerapan keadaan darurat di tahun 1957. Hal tersebut tidak salah namun dapat menyesatkan karena sebenarnya keadaan darurat telah lama dilakukan oleh pemerintah kolonial
2004
D493
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Achdian
Abstrak :
Disertasi ini membahas perkembangan politik pergerakan nasional Indonesia dan kaitannya dengan perkembangan politik kewargaan di kota kolonial Surabaya sepanjang periode 1906 sampai berakhirnya kekuasaan kolonialisme Belanda pada Maret 1942. Kiprah politik kaum pergerakan antikolonial di Indonesia tidak dapat disangkal telah menjadi tema besar dalam kajian sejarah Indonesia modern. Namun, bagaimana pandangan politik dan kiprah mereka terkait lingkungan kota tempat mereka tinggal sampai sekarang tetap menjadi pembahasan yang relatif terabaikan dalam kajian sejarah Indonesia. Disertasi ini dengan demikian memberi sumbangan dengan menunjukkan peran aktif kaum pergerakan dalam dinamika politik kota dan visi mereka tentang hak-hak kewargaan orang Indonesia di dalamnya.
This disertation is an effort to describe the engagement of Indonesian nationalist with the idea and practices of modern citizenships in the colonial city of Surabaya during the periods of 1906 until the end of Dutch colonialism. Although the study on Indonesian nationalist movement has already been an extensive study in the literature of anticolonial movement in the early twentieth century, however the nature of political engagement of nationalist activists with modern ideas and citizenships in the urban politics is still a relatively underdeveloped. By showing the nature of engagement and participation of nationalist politics in the colonial city of Surabaya, this dissertation is therefore has become an effort to fulfill this gap in the existing literatur.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
D2411
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Arsil
Abstrak :
Di Indonesia, dalam suasana yang demokratis, pemerintahan koalisi ditemui dalam semua sistem pemerintahan yang pernah berlaku. Realitas koalisi di Indonesia menunjukkan berbagai masalah baik dalam pembentukkannya maupun pengelolaannya, masalah yang dihadapi telah mengancam bahkan merusak stabilitas pemerintahan. Dalam pemerintahan yang dibentuk berdasar koalisi, potensi instabilitas memang lebih tinggi. Praktik penerapan koalisi di negara-negara bersistem parlementer di Eropa Barat menunjukkan bahwa stabilitas pemerintahan dijaga melalui aturan-aturan hukum yang memagari setiap tahapan pemerintahan. Proses politik yang terjadi dalam pembentukan dan mekanisme berlangsungnya koalisi sangat terpengaruh kepada aturan yang berlaku. Negara-negara bersistem presidensial di Amerika Latin juga menghadapi masalah ancaman stabilitas pemerintahan akibat dari dinamika koalisi yang tinggi. Di sistem presidensial Amerika Latin, aturan hukum menjadi alat untuk mendesain suasana yang kondusif bagi pembentukan dan pengelolaan koalisi dalam rangka menjaga stabilitas pemerintahan. Praktik pemerintahan koalisi sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia dan Praktik pengaturan terkait koalisi di negara-negara parlementer Eropa Barat serta negara-negara presidensial di Amerika Latin digunakan oleh penelitian normatif ini sebagai bahan pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Kedua pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan jawaban bagi stabilitas pemerintahan dalam pembentukan dan pengelolaan pemerintahan koalisi di sistem presidensial Indonesia berdasar UUD NRI Tahun 1945. Desain aturan hukum untuk menjaga stabilitas pemerintahan koalisi yang terbentuk di Indonesia memperhitungkan realitas sistem kepartaian dan pemerintahan di Indonesia, karakter sistem presidensial dan perkembangan sistem parlementer dalam menjaga stabilitas sebagai tempat berasalnya konsep pemerintahan koalisi. Desain untuk stabilitas tersebut antara lain didapat dari penggabungan pemilihan umum serentak dengan sistem pemilihan presiden plurality atau majority with reduced threshold, pelembagaan koalisi pemerintahan yang sejajar dengan koalisi legislatif, dan penggunaan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif sebagai instrumen untuk membangun dan mengelola koalisi pemerintahan. ......In Indonesia, in a democratic atmosphere, the coalition government is found in every government systems ever applied. In the era of parliamentary government, a coalition government is inevitable due to the fact that the parliament was fragmented so that no single party held an absolute majority of the seats. In the era of presidential government, a coalition government is also an option for the elected president even tough coalition was not the source of legitimacy for the ruling government. President who ruled in a highly fragmented multiparty situation chose to form a coalition to ensure the stability of the government. In reality, coalition in Indonesia showed various problems both in terms of the establishment and management. Problems encountered have threatened and even destabilized the government. In a government established under coalition, government stability is is likely to have more problems. Coalition practiced in countries applying parliamentary system in Western Europe show that government stability is maintained through legal rules that hedged every stage of governance. Political processes that occur in the establishment and the mechanism of coalition course are greatly affected by the prevailing rules. Latin American countries applying presidential system also face threats in the government stability due to the high dynamics of the coalition, just like the case in Western Europe. It can be seen on their experience designing a coalition through prevailing rules and laws. Coalition practiced by the government throughout the history of Indonesia and ruling practices in relations to coalitions in Western European countries applying the parliamentary system and Latin American countries applying the presidential system are used by these normative research as a source of historical approach and comparative approach. Both of these approaches are used to get an answer to the stability of the government in establishing and managing a coalition government in Indonesia’s presidential system based on Indonesia’s 1945 Constitution. Legal rulings designed to maintain the stability of the coalition government, take the reality of the party system and the Indonesian government, the characteristics of the presidential system and the development of parliamentary system into account in maintaining stability as the source of the concept of a coalition government. Designs to create the stability are among others received by combining simultaneous election with plurality presidential election or majority presidential election with reduced threshold, government coalition institutionalization parallel to legislative coalition, employment president’s legislative constitutional power as an instrument to form and manage the government coalition.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad Ali Safa`at
Abstrak :
Disertasi ini membahas tentang pembubaran partai politik di Indonesia pada kurun waktu 1959 sampai 2004, baik dari sisi pengaturan hukum maupun praktik pelaksanaannya serta prospek pengaturan di masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan sejarah dan perbandingan hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1959 hingga 2004 pada masing-masing periode, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, terdapat ketentuan yang berbeda-beda tentang pembubaran partai polilik. Pada kurun waktu tersebut juga terjadi beberapa praktik pembubaran partai politik dalam berbagai bentuk baik berdasarkan hukum yang berlaku maupun tidak. Di masa yang akan datang perlu dilakukan pengaturan yang Iebih mendetail terkait dengan alasan pembubaran, pemohon, proses peradilan, serta akibat hukum pembubaran partai politik. ...... The focus study of this disertation is the law and practices of the dissolution of political parties in Indonesia since 1959 until 2004, and how it should be ruled in the future. This research is a normative research that use historical dan comparative approach. The result is that there were laws concerning the dissolution of political parties between 1959 until 2004 for each period, Orde Lama, Orde Baru, and Reformasi. Some political parties had dissolved at that time with various ways, whether based on positive law or not. The reseacher sugest that The law conceming the dissolution of political party in the future should be more detail especially about the ground or reason of dissolution, applicant, court process, and the consequences.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1110
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>