Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Totok Suhardiyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Blumstein (1994) mengemukakan bahwa, selain menunjukkan adanya gejala agramatisme dan kegagalan leksikal, penderita afasia Broca juga memperlihatkan munculnya deficit fonologis.

Hampir semua penderita afasia sebenarnya memperlihatkan kesalahan atau penyimpangan fonologis dalam ujaran yang dihasilkannya.

Meskipun kesalahan fonologis tersebut mungkin muncul dalam bentuk yang beraneka ragam, penyimpangan itu dapat disederhanakan ke dalam empat kategori, seperti kesalahan penyulihan fonem, kesalahan pelesapan atau penghilangan, kesalahan penambahan, dan kesalahan lingkungan.

Kesalahan lingkungan mempunyai manisfetasi yang berupa kemunculan fonem tertentu akibat pengaruh konteks fonologis yang melingkunginya. Kesalahan lingkungan itu mencakup metatesis dan asimilasi.

Penelitian ini bertujuan untuk memerikan kesulitan segmental pada penderita afasia berbahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menjelaskan mekanisme yang mendasari penyimpangan fonologis. Untuk menjelaskan bagaimana proses tuturan berjalan, penelitian ini menggunakan model Levelt yang telah dimodifikasi oleh den Ouden dan Bastiaanse (1999). Model itu disusun untuk menjelaskan mekanisme bertutur dalam otak manusia. Menurut den Ouden dan Bastiaanse, ada tiga tahap fonologis pada proses produksi tuturan, yaitu (1) pemanggilan kembali bentuk dasar dan leksikon; (2) pengkodean fonologis; (3) proses pengartikulasian rancangan fonetis.

Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengkaji bagaimana mekanisme penyeleksian dan pemanggilan kembali unsur leksikal. Aitchinson (1994) rnengeanzkakan bahwa kata tidak berserakan secara acak pada benak manusia, tetapi terorganisasi dalam system yang canggih dan saling berkait. Pembahasan mengenai mekanisme penyeleksian dan pemanggilan kembali ini menarik karena mekanisme tersebut dapat menjelaskan bagaimana kesalahan segmental muncul.

Kesalahan penyulihan fonem merupakan kesalahan yang sering muncul pada subjek peneltian ini. Fenomena ini merupakan ciri khas pada ketiga afasia kortikal, yakni afasia Broca, afasia konduksi, dan afasia Wernicke (lihat Kusumoputro 1999). Meskipun demikian, terdapat sebuah gejala yang menunjukkan bahwa penderita mengidap afasia

Broca, yakni kemunculan penyederhanaan fonem secara dorninan (42. 73%). Subjek penelitian ini juga memiliki masalah dengan konsonan dental dan dental, stop dan nasal, serta bersuara. Pada bunyi segmental yang berupa vokal, penderita bermasalah dengan vokal rendah, pusat, dan tak bulat. Di samping itu, meskipun pada cacat yang ringan, penderita mengalami masalah dengan proses inisiasi tuturan. Hal itu tampak dari seringnya penderita rnenghasilkan kesalahan pada bagian awal kata (32,04%)
ABSTRACT
Blumstein (1994) stated that beside indicating a failure in grammatical and lexical process` Broca's aphasic also demonstrated phonological deficits. It is the case that nearly all aphasics manifest some phonological difficulties in speech output. Despite of the various phonological errors that may occur to the array, these errors can be reduced to four descriptive categories: phoneme substitution errors, omission or simplification errors, addition errors, and environment errors, in which an occurrence of particular phoneme can be accounted for by influence of the surrounding phonological context. These environment errors include metatheses and assimilation.

The aim of this research is to describe the phonological difficulties in Indonesian aphasic and to explain the mechanism that underlies a phonological impairment. To explain the work of speech process, this research uses a modified Levelt's model. This model was modified by den Ouden and Bastiaanse (1999). The model is designed to describe a speech mechanism in human brains. According to den Ouden and Bastiaanse, there are three phonological levels in speech production, namely (I) the retrieval of underlying forms from the lexicon; (2) the stage of phonological encoding, the result of which is a phonetic plan that is stored in a buffer, (3) the actual articulation itself.

The other aim of this research is to study a lexical selection and retrieval mechanism. Aitchison (1994) argues that word isn't scrambled randomly in the minds, but well organized in a sophisticated and interrelated system A discussion about lexical selection and retrieval mechanism becomes important because the mechanism can explain how segmental errors occur.

Substitution phoneme error is the most frequent in this case (46.65%). This phenomenon is a characteristic of the cortical aphasia, i.e. Broca's aphasia, conduction aphasia, and Wernicke aphasia (see Kusurnoputro 1999). But, there is a symptom indicates the patient suffers Broca's aphasia, namely the predominantly simplification error (42.73%). The patient also handicaps with dental and labial, stops and nasal, and voiced consonant, in consonant, and low, central, and unrounded, in vowels. Beside that, even in the assertive damage, the subject has problem with initiation. The subject shows a frequent lexical failure on the beginning of words (32.04%).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Suhendar
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini memiliki dua tujuan. Tujuan pertama adalah untuk memverifikasi model struktur topik yang diajukan Lautamatti dengan menerapkannya pada teks berbahasa Inggris bidang asuransi pada pemelajar Indonesia. Tujuan kedua adalah untuk menggambarkan tingkat kesulitan teks berdasarkan struktur topiknya. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Jumlah sampel penelitian adalah lima buah teks berbahasa Inggris bidang asuransi yang diambil dari majalah The Journal, Asia Insurance Review dan Global Reinsurance. Subjek penelitiannya adalah dua puluh lima orang mahasiswa semester IV Program Studi Asuransi Kerugian, Akademi Asuransi Trisakti Jakarta tahun akademik 1999/2000. Ada tiga temuan pokok dalam penelitian ini. Pertama model struktur topik Lautamatti terbukti secara statistis mempengaruhi pemahamam membaca teks berbahasa Inggris bidang asuransi pada pemelajar Indonesia. Kedua, kombinasi urutan dalam struktur topik mempengaruhi pemahaman membaca pada tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Untuk struktur topik yang sederhana (tipe 1 dan tipe 2) umumnya pemelajar mampu memahami dengan baik pada tingkat kemampuan membaca menerapkan. Sementara untuk struktur topik yang remit (tipe 3, tipe 4, dan tipe 5) umumnya pemahaman baru dikuasai dengan baik sampai dengan tingkat kemampuan membaca mengetahui. Ketiga, kemampuan pemelajar dalam menguasai pemarkah kohesif juga turut mempengaruhi pemahaman teks.
ABSTRACT This research has two objectives. First, it aims at verifying the model of topical structures proposed by Lautamatti by applying it to English insurance text to Indonesian students. Second, it aims at describing the level of difficulty of the texts analyzed by their topical structures. The method applied in this research was a descriptive one. The samples of the research were five English insurance texts, taken from three foreign insurance magazines, that is The Journal, Asia Insurance Review and Global Reinsurance, and the subjects of the research were twenty five insurance students of Akademi Asuransi Trisakti Jakarta majoring in General Insurance who were on their fourth semester in the academic year 1999/2000. There are three main findings in this research. Firstly, the model of topical structures proposed by Lautamatti was proved statistically influencing the reading comprehension of Indonesian students on English insurance texts. Secondly, this model of topical structures influenced their reading comprehension differently. For the simple types (type 1 and type 2), generally the students were able to comprehend well at the level of learning applying. Whereas for the complex types (type 3, type 4, and type 5), generally the students were able to comprehend well at the level of learning knowing. Thirdly, the students' ability in recognizing cohesive markers tended to influence their reading comprehension.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihite, Onggal
Abstrak :
ABSTRAK
Di dalam dunia kesenian visual, dunia Barat membedakan antara seni dan kerajinan. Dalam kesenian Jawa pembedaan tersebut tidak dikenal. Tetapi dikotomisasi antara seni dan kerajinan umum berlaku di Kampung Taman. Munculnyapun belum demikian lama yaitu beberapa tahun setelah tradisi baru mereka dalam membuat batik. Tradisi baru mereka adalah membuat batik lukis yang bukan untuk memenuhi fungsi busana melainkan sebagai pendukung dekorasi interior saja. Munculnya tradisi baru tersebut mereka melahirkan pula cara ekepresi yang berbeda.

Perbedaan cara berekspresi di dalam kesenian batik masyarakat Kampung Taman akibat dari adanya dikotomi antara seni dan kerajinan. Yang secara umum orang-orang Taman mendefinisikan seni sebagai karya-karya yang bersifat individual dan dibuat dalam jumlah terbatas. Sedangkan kerajinan adalah karya produk massal dibuat dalam jumlah yang banyak (dalam bentuk yang berulang-ulang) oleh banyak orang. Akan tetapi ketika dihadapkan terhadap ciri-ciri bentuk satuan karya apakah itu karya seni atau kerajinan masyarakat tidak dapat mengkategorikan secara jelas tanpa melihat konteks di luar satuan karya tersebut.

Kampung Taman adalah kawasan wisata, di mana hasil kesenian masyarakatnya mempunyai kaitan erat dengan pasar yang bersifat turistik. Masalah yang menarik dari gejala-gejala ini adalah: pertama, mengapa muncul cara berekspresi yang berbeda dalam menghadapi pasar yang bersifat turistik?; kedua apabila hasil suatu karya seni dan kerajinan demikian Samar mengapa masyarakat Taman mengkategorikan seni bertentangan dengan kerajinan?; ketiga, apabila kategori seni dan kerajinan lebih mencerminkan pertentangan, bagaimana hubungan kesenian dengan konflik dan kerjasama yang ada dalam masyarakat pelaku kesenian batik?

Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah mencoba mengidentifikasi, memahami, dan menjelaskan konflik dan juga kerjasama yang terwakili dengan adanya dikotomisasi antara seni dan kerajinan.

Dalam upaya menjelaskan gejala-gejala ini diperlukan suatu pengamatan terlibat dan wawancara mendalam terhadap masyarakat pelaku kesenian batik di Kampung Taman. Kampung Taman diambil sebagai lokasi penelitian berkat kerangka teori yang dibuat dan pertimbangan-pertimbangan teknis: tempat tersebut memungkinkan dikaji secara mendalam, dan orang-orang yang dapat diajak kerjasama sehingga didapat data-data yang memadai.

Dikotomisasi seni dan kerajinan seperti ini bukanlah kebiasaan pada masyarakat Jawa. Pengadopsian istilah seni dan kerajinan menimbulkan konflik kepentingan. Karena mereka dapat mendefinisikan karya lain sebagai kerajinan dan orang lain sebagai perajin. Sehingga ada kelompok masyarakat yang membuat karya batik yang bersifat individualistis dan yang bersifat produk massal. Konflik berkaitan dengan pasar di mana karya-karya unik individualistik direproduksi oleh orang lain secara massal. Pengadopsiam konsep seni dan kerajinan tersebut tidak diikuti dengan mendaftarkan hak cipta pada lembaga yang berwenang. Konflik-konflik tersebut diekspreslkan dengan merendahkan karya-karya kerajinan. Selain itu masing-masing kelompok membuat organisasi kesenian masing-masing. Yang satu berlabel seni dan yang satu lagi berlabel kerajinan.

Namun ada ketidaktegasan dalam membuat kategori apakah karya tertentu digolongkan sebagai kerajinan atau seni. Seni dapat menjadi kerajinan, dan seni dapat pula mengandung unsur kerajinan. Ketidaktegasan tidak menghalangi dikotomisasi antara seni dan kerajinan. Ini pula yang menandakan adanya konflik kepentingan antara dua kelompok tersebut. Karena suatu karya bukan konteksnya pada karya itu sendiri melainkan terkait dengan siapa pembuatnya.

Sisi lain dari konflik mereka juga dapat melakukan kerjasama. Jika konflik kepentingan masyarakat mengambil semacam model dikotomisasi antara seni dan kerajinan. Kerja sama mempunyai nuansa lain. Kerjasama bukan mengambil model dari seni mengandung unsur kerajinan dan kerajinan dapat menjadi seni. Kerjasama mereka lakukan dalam upaya menonjolkan Kampung Taman sebagai "desa seni" supaya menjadi sorotan masyarakat lain yang lebih luas. Ini ada hubungannya dengan upaya pemugaran situs budaya Kompleks Taman Sari oleh pemda DIY. Pemugaran ini dikhawatirkan terjadinya penggusuran. Masyarakat saat ini masih dalam tanda tanya tentang kelangsungan hidup mereka bagaimana nasib mereka jika pemugaran itu terlaksana. Untuk itu selama dalam masa menunggu lebih baik mereka berpameran karya-karya batik di luar kampung mereka, supaya masyarakat lain tahu bahwa mereka eksis. Untuk itu mereka perlu bekerjasama dalam upaya tersebut.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresye Wantania
Abstrak :
ABSTRACT
This study started from the two main problems. Those are (1) the factors caused the shift of Tonsea Language and (2) the factors supported the maintenance of the language. Based on the problems above, this study aimed to find out the factors causing the shift of Tonsea language and the factors supporting the maintenance of the language. As a consequence, the population of this study was all the member of Tonsea speech community, especially the 4.778 persons who lived in the village of Laikit, Dimembe. Then, the respondents of this study were 140 persons, taken through proportional stratified random sampling based on their sex, age, education, and occupation.

in order to obtain such aims the researcher involved the following ways. Data were collected through structured interview, questionnaires, participatory observation, and recording. The questionnaires was given to the respondents who were eleven to eighteen of age and above twenty-one. in addition, the process of recording was aided with some stimulation to the informants. Then, the data were analyzed with ANOVA in order to get the level of significance of their language choice. To make sure the accuracy of the computation the researcher used statistic computer "Microstat".

This study found the following result. Tonsea language was used by the tonsean aged fifty or more as the language was mastered enough by such people. The language was also used as a culture support, such as in family meeting, arisan, wedding ceremony, funeral ceremony, tumuwar activity, and traditional ceremony in order to release a village from the troubles made by devils. in addition, the language was also used by the youth when they were talking to their siblings, brothers or sisters in law, parents, and grand-parents. Malay-Manado language was used among tonseans who were under fifty of age in their community, by tonsean under fifty of age to their children, to their parents, and to the other persons in the same village. Mixed language was used by the participants in the situations other than what is mentioned above. Bahasa Indonesia tend to be used by the youth in educational and religious domain.

The maintenance variables of Tonsea Language were age, education and occupation. The tonseans who were fifty or more tend to maintain the language while those who were under fifty were not. The tonseans whose education was elementary school tend to use Tonsea language while those whose education were high school or university tend to use Malay-lVlenado or mixed the languages. Farmers, housewives, and merchandiser tend to use Tonsea language while civil servants, military member, students, and private servants tend to use Malay-Manado or mix the languages.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Reumi
Abstrak :
Konsep hak ulayat di Indonesia dikenal luas melalui literatur hukum adat yang ditulis oleh sarjana-sarjana hukum antara lain : Van Vollenhoven dan Ter Haar (1980); Soepomo (1977); Iman Sudiyat (1981); Bushar Muhammad (1991), dan Hilman Hadikusuma (1992). Konsep hak ulayat atau hak pertuanan yang dikemukakan para sarjana tersebut kebanyakan terjemahan dari istilah beschikkingsrecht, yang oleh Van Vollenhoven diartikan sebagai hak masyarakat atas tanah yang ada di Indonesia untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerah persekutuan hukum guna kepentingan para warga masyarakat, dan hak tersebut mempunyai dasar keagamaan. Cakupan konsep hak ulayat sebagaimana tersirat dalam rumusan-rumusan para penulis tersebut di atas tidak hanya terbatas pada hak atas tanah tetapi juga mencakup hak atas perairan atau laut. Bushar Muhammad (1991:105) misalnya, mengemukakan objek hak ulayat ini meliputi tanah atau daratan; air atau perairan seperti : kali, danau, pantai beserta perairannya; tumbuh-tumbuhan yang hidup liar, binatang liar yang hidup bebas dalam hutan. Namun demikian, pembahasan tentang hak ulayat perairan atau laut masih belum banyak dilakukan dibandingkan dengan pengkajian mengenai hak-hak yang berhubungan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah. Di Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki konsep hak-hak ulayat perairan (laut) ini masih tetap hidup dan mempertahankan keberadaannya berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam perairan yang berada di sekitarnya. Sebagian besar kelompok masyarakat itu berada di daerah-daerah pantai dan kepulauan atau pulau-pulau di luar pulau Jawa yang masih menerapkan sistem ekonomi subsistensi. Penguasaan dan pemanfaatan sumber daya laut ini secara tradisional tidak dapat dipisahkan, karena merupakan satu kesatuan yang oleh masyarakat telah diakui eksistensinya yaitu hak ulayat, dan hak ini sangat dihormati dan dipertahankan oleh kelompok masyarakat yang memilikinya maupun kelompok masyarakat hukum yang lain di sekitar pemilikan itu. Hal ini tercermin pada sanksi-sanksi yang dipakai untuk melindungi wilayah laut termasuk habitat yang terkandung di dalamnya. Kelompok masyarakat ini struktur sosial ekonominya mempunyai ketergantungan yang sangat besar pada hasil laut. Artinya sumber daya alam yang berada di laut dalam wilayah kekuasaan masyarakat tersebut secara tradisional benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan dan mempertahankan taraf hidup mereka. Konflik berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya di perairan laut ini banyak timbul belakangan ini, setelah pihak luar mulai memasuki dan memanfaatkan sumber daya yang berada di kawasan-kawasan perairan laut yang secara turun-temurun di kuasai penduduk setempat (lihat : kasus bab IV). Konflik yang dimaksud diseni timbul sebagai akibat pertentangan kepentingan dan perebutan sumber daya yang persediaannya terbatas. Hal ini secara empiris dalam perkembangannya, mengundang perhatian sebagaimana di maksudkan oleh Gerrett (1968; dalam Mamar, 1989) mengenai munculnya konsep milik bersama (common property) terhadap sumber daya alam.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enos Henok Rumansara
Abstrak :
Latar Belakang
Manusia dan kebudayaannya merupakan sasaran studi Antropologi, dimana agama merupakan salah satu bidang kajiannya yang tidak dapat diabaikan dan mendapat perhatian lebih besar untuk kepentingan pengembangan ilmu, terutama mereka yang menekuni bidang antropologi. Agama merupakan bagian/unsur panting dalam kehidupan manusia yang dapat memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk yang dijadikan pedoman dalam hidup mereka, yang mereka yakini kebenarannya.

Dalam kajian antropologi, agama di lihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol-simbol yang digunakan dalam kehidupan sosial manusia. Geertz dalam kajiannya melihat agama sebagai suatu sistem kebudayaan, dimana kebudayaan itu sendiri dilihat sebagai pola bagi kelakuan, yaitu yang terdiri atas serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, dan petunjuk-petunjuk yang di-gunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya ( Suparlan, 1989: x ; Suparlan, 1982: 2, 76).

Telah dikemukakan di atas bahwa agama sebagai suatu sistem kebudayaan yang juga dilihat sebagai seperangkat simbol-simbol yang digunakan dalam kehidupan sosial manusia.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herniwati
Abstrak :
Penelitian analisis kesalahan mengenai bahasa Jepang masih sedikit, maka, bertitik tolak dari Iatar belakang tersebut di atas, saya akan melakukan analisis kesalahan penggunaan kata bantu kasus (kakujoshi/補助 ) bahasa Jepang dalam karangan mahasiswa Indonesia pemelajar tingkat dasar di perguruan tinggi. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tipe dan penyebab kesalahan penggunaan kata bantu kasus (kakujoshi/補助) bahasa Jepang dalam karangan yang ditulis pemelajar tingkat dasar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu mengamati fakta sinkronis sebagaimana adanya. Untuk dapat mendeskripsikan kesalahan digunakan dan ancangan yaitu kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian ini, saya memilih jenis studi kasus eksploratoris dengan menggunakan dua ancangan yaitu kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jannus Rumbino
Abstrak :
Kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Gejala ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembangunan. Irian Jaya ternyata tidak bebas pula dari kasus-kasus sengketa tanah dan justru menarik karena banyak terjadi di antara penduduk asli Irian Jaya sendiri. Contoh kasus sengketa tanah yang dibahas ini mengenai dua desa dari penduduk asli Irian Jaya yang hidup di pinggiran kota. Oleh karena itu tulisan ini membahas tentang proses penyelesaian sengketa tanah pada penduduk asli pinggiran kota di Irian Jaya dalam konteks kemajemukan hukum. Manfaat dari tulisan ini adalah mengungkapkan proses penyelesaian sengketa tanah yang tidak hanya dilakukan dengan cara-cara adat yang sudah lazim dikenal dalam masyarakat yang bersangkutan tetapi juga digunakan cara-cara yang datang dari luar masyarakatnya sebagai akibat dari pengaruh yang datang dari kota. Selain itu tulisan ini diharapkan dapat menambah informasi tentang pola penguasaan dan pemilikan tanah adat di Irian Jaya. Fokus tentang proses penyelesaian sengketa tersebut dianalisis dengan menggunakan konsep kemajemukan hukum yang kuat dan kemajemukan hukum yang lemah menurut Griffiths. Sasaran penelitian ini adalah penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka di Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura Propinsi Irian Jaya. Penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka termasuk penduduk pinggiran kota. Sebagai penduduk pinggiran kota, sudah tentu tidak terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang dari kota, yang membawa perubahan pula pada proses penyelesaian sengketa tanah. Penelitian yang sifatnya kualitatif ini dilakukan di desa-desa tersebut di atas dengan menggunakan metode perluasan kasus (the extended case method), artinya unsur-unsur lain di luar sengketa tanah dan proses penyelesaiannya seperti letak dan keadaan geografis, asal usul dan perkembangan penduduk, mata pencaharian, pemukiman, kepemimpinan, pola penguasaan tanah, dan dampak pengaruh luar terhadap penguasaan tanah menjadi perhatian pula dari penulis sebagai peneliti. Sedangkan teknik-teknik pengumpulan data ditekankan pengamatan terlibat, wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci; dan wawancara sambil lalu dengan penduduk desa pada umumnya. Sengketa tanah dan proses penyelesaiannya merupakan inti dari tulisan ini. Berkaitan dengan itu dikemukakan alasan/dasar tuntutan dari pihak-pihak yang bersengketa mengenai tanah yang disengketakan sedangkan dalam proses penyelesaian sengketanya, pihak-pihak yang bersengketa menggunakan cara-cara adat yaitu negosiasi/musyawarah, mediasi, rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa menggunakan pula prosedur peradilan formal untuk mengesahkan kesepakatan-kesepakatan yang telah diputuskan di lingkungan adat. Peradilan formal (Pengadilan Negeri Jayapura, dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya) secara silih berganti telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa. Tetapi ketika sengketa tanah antara pihak yang bersengketa dinaikkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) di Jakarta, seluruh keputusan yang sebelumnya telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi. Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan akan mengadili sendiri sengketa/perkara itu dan sebagai hasilnya dikeluarkanlah keputusan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa tidak ada pihak yang menang dan kalah dalam sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa lebih baik menyelesaikan saja sengketa itu dengan cara-cara adat yang dilandasi dengan rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa dapat melaksanakan keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa. Kesimpulan yang dapat ditarik dari inti tulisan ini ialah dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara adat maupun cara-cara yang berlaku resmi di tingkat peradilan pemerintah. Klimaksnya pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memenangkan salah satu pihak yang bersengketa, hanya dianjurkan agar sengketa/perkara itu diselesaikan secara musyawarah dan mufakat saja secara adat. Buktinya sengketa itu diselesaikan juga secara adat dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa. Tindakan Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memutuskan salah satu pihak yang bersengketa sebagai pemenang dan mengembalikan sengketa/perkara itu untuk diselesaikan secara adat saja agar tidak merusak hubungan-hubungan sosial para pihak bersengketa yang telah lama terjalin secara turun temurun yang diistilahkan oleh Nader dan Todd sebagai hubungan multipleks.
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifullah Kamalie
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan padanan preposisi bahasa Arab 'ala dan Prep li dalam bahasa Indonesia dengan berpedoman pada makna kedua preposisi tersebutdalam bahasa sumber sebagai faktor kontekstual yang mempengaruhi perpadanannya dan pada unsur bahasa yang berada di sekitar preposisi tersebut sebagai faktor ko-tekstual yang juga mempengaruhi perpadanannya. Data diambil dari Al Qur'an dan Terjemahnya, yaitu terjemahan AI-Qur'an versi Departemen Agama cetakan Madinah, Saudi Arabia. Dad sumber data tersebut lerkumpul 4208 korpus data yang terdiri atas 1445 'ala dan 2763 li, masing-masing dengan padananannya. Temuan dari penelitian terhadap kedua preposisi bahasa Arab ini adalah bahwa dari sembilan buah makna Prep 'ala, ditemukan hanya enam makna yang lerdapat di dalam Al-Qur'an, yaitu (1) Al-Isti'1a; (2) semakna Prep (3) Al-Ta'ffs (4) semakna Prep ma 'a, (5) semakna Prep min dan,(6) semakna Prep bi Sementara dari dari 30 buah makna, dalam korpus ditemukan hanya 21 buah makna, yaitu: (1) Al-Milk, (2) Al Tamlik, (3) Syibh AI--Milk, (4) Syibh Al-Tamlik (5) Al-T?lil (6) Al-Tabyin, (7) Al-Ta'diyah, (8) Al-5ayrurah. (9) Al-Tablig (10) semakna Prep ila, (11) semakna Prep 1% (12) semakna Prep 'an, (13) semakna Prep 'ala, (14) semakna Adv 'inda, (15) semakna Adv ba'da, (16) semakna Prep min, (19) Al-Tab 'id, (18) Kay, (19) AI-Juhud, (20) AI-Tagwiyah, dan (21) semakna Prep bi. Juga ditemukan bahwa mayoritas padanan kedua preposisi tersebut sama-sama berbentuk preposisi. Sebanyak 898 buah padanan Prep 'ala sama-sama berbentuk Prep, yaitu 62% dari total 1445 kali kemunculan Prep 'ala, dan sebanyak 1653 buah padanan Prep li sama-sama berbentuk Prep , yaitu 60% dari total 2763 kali kemunculan Prep li. Dengan adanya padanan yang sejajar ini, banyak ditemukan transferensi baik pada tataran frasa, maupun pada tataran klausa atau kalimat. Hal itu sebagai akibat penerjemahan kedua Prep tersebut secara harfiah. Dari temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh bahasa Arab dalam penerjemahan Prep 'ala dan Prep li cukup kuat. Dan bila berpedoman pada pendapat Nida dan Taber (1974:12) bahwa 'the best translation does not sound like a translation', maka Al-Qur'an dan Terjemahnya masih jauh dari kriteria tersebut Untuk itu, prinsip ?terjemah Al-Qur'an tidak boleh mengikuti teori dan teknik terjemah menuruf ahli bahasa Indonesia? sebagaimana yang disampaikan oleh salah seorang anggota ?Dewan Penterjemah?' perlu ditinjau ulang, karena sasaran terjemahan tersebut adalah masyarakat Indonesia. Bila Nida dan Taber (1974:173) berpendapat bahwa tidak ada pujian yang lebih baik bagi seorang penerjemah daripada ucapan ?I never knew before that God spoke my language?, maka bila kaidah dan rasa bahasa Indonesia turut dipertimbangkan dalam penerjemahan Al-Qur'an, umat Islam Indonesia akan mengatakan 'Saya tidak mengira sebelumnya bahwa Allah berbahasa Indonesia'.
This study attempts to describe the Indonesian equivalents of the Arabic prepositions 'a/a and Ii This attempt is based on (1) the meanings of those prepositions in the source language as contextual factors that influence the equivalency and (2) language elements around those prepositions as co-textual factors that also influence the equivalency. The data was taken from Al Qur'an dan Terjemahnya, the authorized translation of al-Qur'an done by Indonesia's Department of Religious Affairs. In the data, 4208 examples were found consisting of 1445 occurrences of 'a/a and 2761 occurrences of l; with their equivalents. A survey of the literature uncovered nine total meanings for 'ala and thirty for ti. Of the nine possible meanings of the preposition ala, only six are found in al-Qur'an. They are: (1) al-Isti'la; (2) equivalent to preposition if, (3) al-Ta 'lil, (4) equivalent to preposition ma 'a, (5) equivalent to preposition min and (6) equivalent to preposition bi. Of the thirty total meanings of the preposition li, twenty appear in al-Qur'an. They are: (1) al-Milk, (2) al-Tamlr7r, (3) Syibh al-Milk, (4) Syibh al-Tamlik, (5) al-Ta'lil, (6) al-Tabyin, (7) al-Ta 'diyah, (8) al-Sayrurah, (9) al-Tabyin, (10) equivalent to preposition ilia, (11) equivalent to preposition fi, (12) equivalent to preposition an, (13) equivalent to preposition 'ala, (14) equivalent to adverb 'inda, (15) equivalent to adverb ba 'da, (16) equivalent to preposition min, (17) kay, (18) al-Juhud, (19) al-Tagwiyah, and (20) equivalent to preposition bi Indonesian equivalents of 'ala and li are mostly prepositions. 62% of all occurrences of 'ala and 60% of all occurrences of li are prepositions. From this formal correspondence, I found transference not only at the phrase level, but also at the clause and sentence level. That is the result of literal translation. This adherence by the translators to the grammatical as well as semantic properties of the original somewhat constrains the result in Indonesian. According to Nida and Taber (1984:12) ?the best translation does not sound like translation?, The AI-Qur'an dan Terjemahnya fails that test. We need to reconsider the validity of the principles underlying the translation of sacred literature to free it from rigid linguistic formalism and provide a rationale that will influence a new generation of translators by giving them the freedom to express the essence of the massage without being tied to the 'letter of the law'. Nida and Taber (1974:173) said there is no better compliment for a translator than to have someone say,"I never knew before that God spoke my language", If the principle and taste of Indonesian are also considered in translating al-Qur'an, Indonesian Moslem will say, "I never knew before that Allah spoke lndonesian".
2000
T3683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Djunaidi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan pemagar dalam percakapan berita melalui telepon yang disiarkan langsung di radio. Untuk mencapai tujuan itu masalah yang dibahas di dalam penelitian ini mencakupi pokok berikut: (1) bentuk-bentuk pemagar yang digunakan penutur di dalam percakapan dan (2) fungsi pemagar yang digunakan penutur di dalam percakapan. Korpus data penelitian ini diambil dari tiga puluh dua kegiatan percakapan yang direkam dari siaran radio Elsinta Jakarta dalam acara ""Edisi Pagi News and Talk"" (18 percakapan) dan ""Pos Sore News and Talk"" (14 percakapan). Hasil rekaman itu ditranskripsi ortografis berdasarkan model giliran bicara (turn taking) ke dalam tulisan dengan menggunakan ejaan bahasa Indonesia. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif dan metode analisis pragmatis dengan prosedur introspeksi dan analisis kontekstual, serta analisis wacana kritis (Salager-Meyer 1994; Dijk 2000). Pemagar yang diperoleh dari penelitian ini adalah bentuk ungkapan verbal yang berupa kata (seperti mungkin, semacam, agaknya), berupa frasa (seperti menurut kami, insya Allah, setahu saya), dan berupa klausa (seperti saya kira, saya pikir, kalau""(saya) tidak salah). Pemagar yang digunakan penutur di dalam percakapan berfungsi sebagai penanda kehati-hatian dan sebagai pelindung muka. Pemagar dalam tuturan direktif cenderung berfungsi sebagai pelindung muka negatif petutur dan muka positif penutur, agar tidak timbul konflik penutur-petutur. Pemagar dalam tuturan representatif dan ekspresif cenderung berfungsi sebagai pelindung muka positif petutur. Implikasi penggunaan pemagar itu di dalam percakapan adalah terpeliharanya hubungan yang harmonis penutur-petutur dan terbangunnya citra did positif para penuturnya. Penelitian yang dilakukan ini hanya memperhatikan pemagar yang berbentuk ungkapan verbal dan tidak mempertimbangkan aspek yang lain (misalnya ciri-ciri prosodi dan later belakang budaya). Penelitian lanjutan yang serupa atau penelitian perpagaran dengan mempertimbangkan aspek yang lain masih perlu dilakukan agar diperoleh gambaran yang lebih jelas dan sistematis tentang perpagaran di dalam bahasa Indonesia, bail( dalam wacana lisan maupun wacana finis.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T38831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>