Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Muhammad Mulyadi
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini mengenai Ke-Indonesia-an dalam grup band Koes Plus. Suatu grup band paling popular di Indonesia pada kurun waktu 1970-an. Grup band ini banyak dikenal juga karena lagu-lagunya yang berjudul "Nusantara". Terdiri dari dari delapan lagu yang berjudul nusantara, serta beberapa lagu lainnya yang temanya berkaitan dengan nusantara. Nusantara adalah gambaran grup band ini menyangkut wilayah dan masyarakat Indonesia. Disertasi ini melihat suatu gambaran nasionalisme dalam grup band. Selain itu disertasi ini juga ingin melihat motif grup band Koes Plus membuat lagu-lagu yang bertemakan nusantara. Disertasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode sejarah dan pendekatan strukturis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa motif Koes Plus menciptakan lagu-lagu bertema nusantara tidak terlepas dari interaksi antara Koes Plus sebagai aktor sejarah struktur sosial politik pada masa Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru mendorong Koes Plus untuk menciptakan lagu-lagu bertema nusantara. Nusantara dengan kekayaan alam dan keindahannya pada kurun 1970-an adalah juga tema-tema Orde Baru. Kesamaan motif inilah yang merupakan munculnya tema-tema ke-Indonesia-an dalam Koes Plus.
ABSTRACT
This dissertation on Indonesian-ness in the band Koes Plus. One of the most popular band in Indonesia during the period of the 1970s. The band is also known for his songs titled "Nusantara". Consisting of eight songs titled Nusantara, as well as several other songs related to the theme of the nusantara Nusantara is the reflection of the band concerning the teiritoiy and people of Indonesia This dissertation saw a picture nationalism of die band. This dissertation also examines Koes Plus motives in making the theme songs of the Nusantara This dissertation is a qualitative study using historical methods and structuris ^proaches. This study concluded that the Koes Plus motivation in create the theme songs of nusantara can not be separated from the structure of the New Order era. New Order government encourages Koes Plus to create the theme songs of the Nusantara Nusantara with natural resources during the period of the 1970s was also the themes of the new order. The similarity of this motive explains the emergence of the nationalist themes of Indonesian-ness in Koes Plus.
2014
D2023
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkilisan, Yuda Benharry
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini membahas upaya pelayaran dan perdagangan Amerika Serikat menerobos kebijakan merkantilistik Hindia Belanda di kepulauan Indonesia melalui diplomasi kurun waktu 1784 hingga 1855. Pelayaran Amerika Serikat ke kepulauan Indonesia bermula pada tahun 1784 dalam perjalanan menuju Kanton, Cina. Perdagangan bermula pada tahun 1786 pada saat sebuah kapal Amerika Serikat membeli barang untuk diperdagangkan di Kanton. Pola perdagangan iintas lautan Amerika Serikat adalah Ekspor, Reekspor dan Berantai. Dalam pola Perdagangan Berantai, kepulauan Indonesia merupakan Salah satu tempat persinggahan. Diplomasi Amerika Serikat membuka peiabuhan dan osar Hindia Belanda dilakukan dengan tindakan imperialistik. Hasilnya adalah Perjanjian 1855 yang mengatur tentang perwakilan konsuler Amerika Serikat di Hindia Belanda. Metodologi yang digunakan berasal dari teori Diplomasi, Imperialisme, Perdagangan (Pasar) Bebas dan Struktudsme. Selain data kualitatii kerangka anaiisis memakai juga data kuantitatif. Hasil akhir memperlihatkan bahwa Perjanjian 1855 merupakan pinlu masuk kepentingan ekonomi Amerika Serikat yang lebih luas di kepulauan Indonesia. Untuk Hindia Belanda, perjanjian ilu melapangkan jalan ekspansi kolonialnya di pulau Sumatera. Dampak langsung terhadap perdagangannya terhambat oleh Perang Saudara (1861-1865). Selain itu, politik dan diplomasi ekonomi luar negeri Amerika Serikat walau berlandaskan doktrin pasar bebas, tidak mengabaikan peranan pemerintah. Kemudian, walau berstatus negeri jajahan, pemerintah Hindia Belanda memiliki kebijakan yang terkadang tidak selalu selaras dengan Negeri Induk (Belanda).
ABSTRACT
This dissertation analizes efforts of American shipping and commerce breaking the Netherlands Indies mercantilistic policies in Indonesian Archipelago by means of diplomacy in the times of 1784 to 1855. American shipping to Indonesian Archipelago began in 1784 in a voyage for Canton, China. The commerce began in 1786 when an American ship bought some goods to trade for Canton. American overseas trading patterns were Export, Reexport and Network Commerce. The last mentioned treated Indonesian archipelago as a part of a commercial network that centered at Canton. American diplomacy opened the Netherlands Indies ports and market by an imperialistic way. It resulted in Treaty 1855 that allowed the Americans to establish a consulate office at Batavia. The methodology consists of several points of view, i.e nom Diplomacy, Imperialism, Free Trade or Free Market and Structurist theories. The analysis based on qualitative and quantitative data. Final results show that the Treaty 1855 was an entry point for the widespread of American economic interests in the whole of Indonesian archipelago- However, its direct impact in commerce was disturbed by the Civil War (1861-1865). For the Netherlands Indies, it encouraged expansive motives in Sumatera. Beside these, it shows that even though the United States of America is a liberal state, the role of government in international economics is still great. The last is that as a colonial state the Netherlands Indie had its own policy and did not entirely depended on the Netherlands.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
D1669
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muslimin A.R. Effendy
Abstrak :
ABSTRAK
Disertasi ini mengenai kesultanan Bima dengan fokus kajian pada dinamika politik antar elite dan fragmentasi kekuasaan dalam mempertahankan kedaulatan di tengah ancaman dan tantangan dari luar dan dalam. Studi mempersoalkan bagaimana kesultanan Bima dapat bertahan di saat elite terfragmentasi dalam penguasaan sumberdaya, dan dampaknya pada integrasi dan perubahan secara struktural. Fokus kajian dimulai dari tahun 1905 saat penetrasi kekuasaan kolonial melalui kekuatan militer, yang menunjukkan melemahnya kontrol Sultan atas politik dan ekonomi di Bima. Adapun masa akhir kajian tahun 1957, yakni sejak diberlakukannya UU No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menjadi awal berdirinya Kabupaten Bima sebagai daerah otonom baru, menggantikan sistem birokrasi kesultanan Bima. Secara struktural, kekuasaan di Bima dijalankan oleh dua kelompok elite, yaitu Mawa?a Bilmana (?yang membawa kebijaksanaan?) dan Manggampo Donggo (?yang menghimpun?). Konvensi antar kelompok menggariskan bahwa tureli nggampo atau raja bicara (perdana menteri) diambil dari kelompok Mawa?a Bilmana, sedangkan Sultan dari kelompok Manggapo Donggo. Pada dasarnya, kedua kelompok elite ini berpandangan sama dalam memperjuangkan kepentingan dou (rakyat) dan dana (negara), meski berbeda dalam cara dan visi politik dalam mengelola kekuasaan. Temuan studi menunjukkan bahwa konvensi menyangkut distribusi kekuasaan tersebut dilanggar sultan. Pendorong utamanya adalah melemahnya dukungan bangsawan Mawaa Bilmana,sementara di sisi lain sultan semakin lemah dalam menggalang kekuatan internal pendukung otoritasnya. Kondisi inilah yang melahirkan kebutuhan sultan akan perlunya dukungan eksternal guna mempertahankan kekuasaannya. Hal ini tercermin dari keputusan sultan untuk beraliansi dengan kekuatan luar demi mempertahankan kekuasaannya dari tekanan bangsawan lokal. Keputusan Sultan ini ditentang bangsawan Mawa?a Bilmana yang berpandangan bahwa persekutuan dengan kekuatan luar akan dapat merusak tatanan tradisional dan mengancam kedaultan negara. Langkah sultan tersebut juga menimbulkan perlawanan dari para elite baru, yakni kaum terpelajar. Bahkan, kelompok ini menuntut agar tatanan ?feudal? diubah dengan sistem baru yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan dalam format ?negara berdaulat?, yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat. Menariknya, meski atmosfer perubahan menggema, para elite baru ini justru tetap mengharap kehadiran figur bangsawan untuk memimpin dan mempersatukan rakyat yang terpolarisasi berdasarkan kepentingan dan politik aliran. Harapan ini terkabul dengan tampilnya Putra Muh. Salahudin bernama Abdul Kahir menjadi pemimpin daerah (1954-1959, 1960- 1964). Bahkan, di era demokratisasi ini, hadirnya Ferry Zulkarnaen anak Abdul Kahir menjadi Bupati Bima (2005-2010, 2010-2015) menunjukkan bahwa kelompok bangsawan Manggampo Donggo masih memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat. Sultan dianggap mampu menjadi hawo ro ninu (?menaungi dan melindungi?) rakyat untuk menciptakan keteraturan sosial guna mewujudkan kepentingan rakyat dan negara.
ABSTRACT
This study of Bima?s Kingdom is focused on political dynamic at elite level which?s reflected a kind of fragmentation of powers for supporting principles of ?kedaulatan/democracy?. Problem statement of this study is how was Bima?s kingdom able to survive facing the challenge waves, internally and externally. Moreover, how were the impacts of power struggle on social integration as well as structural change. Period of study is started in 1905 when the colonial power had started to penetrate by military/army force. The significant of 1957 was related to the changing system of beuracracy from feodal (Kesultanan Bima) to legal-rational (Kabupaten Bima as an autonomy district) due to implementing UU no.1/1957 on Local Government Principles. Structurally, regarding the history of Bima, there were two dominant ruler groups: (1) Mawa?a Bilmana (the Wisdom givers) and (2) Manggampo Donggo (the pollers). Their roles had been based on a political concensus that a Lord of Speech (Prime Minister) would be from Mawa?a Bilmana group, Soultan (the King) would be from Manggampo Donggo. This convention had been ruled for inter-generations. Basically, both of elite groups had similar point of views for fulfilling people?s (dou) interests as well as country/state (dana). In fact, they had different visions in a matters of managing economic resources and politic of government which was stimulated the broken of Elite?s convention. Finding study has shown that the main cause factor was related to the Soultan?s basis of power at local level has been corrupted. Therefore, He tried to allie with external forces, such us: Ducth, Japan, NICA, NIT. Lord of Speech perceived its negatively which could treat Bima?s traditional structure, and also the freedom of Bima. The friction between Soultan and Lord of Speech reflected the disability of government for managing economic as well as security matters. Moreover, it also shown the different interests of both. Actually, it could be understandable if there was an assumption that the power of Soultan should be maintained by hand in hand with alliens forces, particularly for handling internal challenges. Soulthan policy was also critised by new elites (such us: educated peoples) who asked the changing of the feodal structure into a new system, a kind of ?demokratic state? which recognized and democratic values as well as people?s power. Interestingly, eventhough the authority of Lords/Manggampo Donggo was going down and down by time even the political climates was changed, but peoples (including new elite group) still dreamed for having a figure (Soultan) who would not be only capable to lead them, but also able to integrate Bima?s peoples which had been fragmented in order of interests. The dream was come true by promoted a son of Muhammad Salahudin which named Abdul Kahir was lead Bima as major (1954-1959, 1960- 1964). Moreover, during democratizaion era, the lords is still playing significant roles which proved by Ferry Zulkarnaen (son of Abdul Kahir). Ferry has been elected as Major of Bima District (2005-2010, 2010-2015). This fact has reflected that Manggampo Donggo has still strong and significant roles in society, particularly at grassroots level. Peoples have perceived that Soutan has able to create hawo ro ninu or ?to accomodate and protect? peoples (dou).
Depok: 2011
D1180
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library