Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widowati Soertiasih Wiajarso Indrakesuma
Abstrak :
Bedah katarak merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan oleh seorang mata. Hal ini dapat dimengerti karena katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling utama dan pemedahan merupakan salah satu pilihan dalam penanggulangan kebutaan katarak. Pilihan antibiotika pencegahan infeksi intraokular pasca bedah katarak di bagian Mata FKUI / RSCM selama ini berlebihan daripada yang disebutkan di kepustakaan, dan karenanya harus disesuaikan. Di bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI / RSCM telah ditetapkan protokol bedah katarak yang baru dengan antara lain pemberian salep mata antibiotika setelah prosedur pengguntingan bulu mata pra bedah. Tidak disebutkan di situ jenis antibiotika apa yang akan digunakan, sehingga masih terbuka kesempatan untuk melakukan pengujian utuk menari antibiotika apa yang terbaik diberikan pada saat tersebut. Penelitian ini bertuuan membandingkan salep mata antibiotika Kloramfenikol dengan kombinasi Neomisin - Polimiksin B - Gramisidin dalam menurunkan jumlah bakteri pada mata pasien pra bedah katarak.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joyce Setyawati
Abstrak :
ABSTRAK
Pengamatan kualitas indra penglihatan telah dapat kita ikuti sejak tahun 1987 dengan keluarnya surat keputusan Menteri Kesehatan yang mengatakan kebutaan merupakan bencana nasional. Kemudian survai morbiditas mata dan kebutaan yang diselenggarakan Departemen Kesehatan pada tahun 1982 menunjukkan kebutaan dua mata 1,2% dari jumlah penduduk (1,2). Katarak merupakan penyebab kebutaan utama, pembedahan merupakan suatu penanggulangan kebutaan karena katarak. Pembedahan katarak pada prinsipnya dibedakan menjadi 2 cara yaitu pengambilan lensa secara utuh dan pengambilan lensa dengan meninggalkan kapsul posterior. Prinsip bedah katarak yang terakhir ini disebut sebagai bedah katarak ekstra kapsular. Cara pembedahan katarak terakhir ini kini lebih disukai dengan makin dikenalnya pemakaian lensa intraokular (3).

Kejadian penyulit selama atau pasta bedah katarak dapat selalu terjadi. Kesulitan membedah katarak ekstra kapsular antara lain, pupil yang kecil dan tekanan bola mata yang tinggi. Kedua hal tersebut akan menyulitkan pengeluaran dan pembersihan sisa-sisa lensa disamping penyulit--penyulit karena tingginya tekanan bola mata.

Kesulitan mengeluarkan massa lensa menyebabkan manipulasi yang lebih banyak pada iris dan endotel kornea. Hal ini merangsang terjadinya iritis dan oedema kornea. Sisa korteks lensa yang tertinggal dapat menimbulkan uveitis. Disamping itu pupil yang kecil pada bedah katarak akan lebih menyulitkan peradangan lensa intraokular.

Setiap tindakan berupa pengirisan konjungtiva, kornea, sklera maupun manipulasi iris pada bedah katarak ektra kapsular akan menimbulkan reaksi radang dimana akan terbentuk mediator peradangan yaitu prostaglandin, khususnya PGE2 ( 4 ). PGE2 selain menimbulkan reaksi radang pasca bedah dapat juga menimbulkan penciutan pupil. Di mata penghambatan sintesa prostaglandin akan mencegah terjadinya penciutan pupil.

Untuk mendapatkan midriasis yang cukup telah dipergunakan bermacam--macam obat terutama yang bekerja melalui saraf autonom yakni golongan obat simpatomimetik dan antikolenergik ( 4,5 ).

Di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSCM 1 jam pra bedah katarak ekstra kapsular midriasis diperoleh dengan tropikamid 1% dan fenilefrin 10% ( 6 ). Meskipun demikian penciutan pupil masih dapat terjadi juga. Manipulasi pada bedah intraokular agaknya menimbulkan keluarnya mediator peradangan prostaglandin yang menyebabkan penciutan pupil selain menyebabkan peradangan pasca bedah intraokular ( 7 ).
1990
T58490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syukri Mustafa
Abstrak :
ABSTRAK
Keratomikosis adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur. Penyakit ini, dalam bentuk Aspergillosis kornea, pertama kali dilaporkan oleh Theodore Leber pada tahun 1879.(1) Sejak itu selalu ada laporan tentang kasus ini setiap tahun, dan selama 30 tahun terakhir ini terjadi peningkatan jumlah kasus keratomikosis. Hal ini diduga karena meluasnya penggunaan antibiotik spektrum luas dan kortikosteroid. Disamping itu juga karena meningkatnya perhatian dan pengenalan serta kemajuan yang dicapai dalam pengetahuan klinis dan laboratorium dalam mendiagnosis penyakit ini.(1-7)

Di Indonesia dalam survei tahun 1982 didapatkan jumlah penderita radang kornea sebanyak 0,22% dari penduduk.( 8 ) Kalau persentase tersebut dipakai sekarang dengan jumlah penduduk kira-kira 170 juta, maka terdapat kira-kira 374.000 penderita, yang sebahagian diantaranya adalah karena infeksi oleh jamur. Karena keratomikosis sering terdapat di lingkungan masyarakat agraris dan beriklim tropis sampai subtropis, dapat diperkirakan bahwa angka kejadian keratomikosis di Indonesia cukup tinggi mengingat sebagian besar masyarakat kita tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian.(9)

Di Bagian Mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dari tahun 1968 sampai dengan 1971 terdapat 68 kasus yang dicurigai keratomikosis dimana 22 kasus diantaranya positif keratomikosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium.(2) Sedangkan dari bulan Juni 1984 sampai dengan Desember 1988 terdapat 117 kasus ulkus kornea pada penderita dewasa (berumur diatas 12 tahun) yang dirawat, dimana 13 kasus ( 11% ) diantaranya adalah keratomikosis. (10)

Mengenal infeksi jamur pada kornea sangat perlu, karena infeksi jamur pada kornea tidak dapat disembuhkan dengan pemberian antibiotik untuk bakteri, sehingga bila tidak dikenal maka infeksi jamur pada kornea akan dapat berakhir dengan kebutaan.(11) Upadhyay (12) pada penelitiannya di Nepal dari Mei 1975 s/d April 1976 mendapatkan dari 25 kasus keratomikosis, 5 kasus (20%) berakhir dengan enukleasi atau eviscerasi, dan 5 kasus (24%) mempunyai tajam penglihatan akhir kurang dari 6/60.

Keratomikosis masih tetap merupakan tantangan bagi dokter mata dalam hal diagnosis dan pengobatan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemiripan keratomikosis dengan peradangan kornea yang disebabkan oleh organisme lain, terbatasnya obat anti jamur yang tersedia disertai penetrasinya yang buruk ke dalam jaringan kornea.(7,13)
Pada sebahagian besar kasus, tidak mungkin mendiagnosis keratomikosis hanya berdasarkan gambaran klinis.(7,13,14). Diagnosis dini dan tepat keratomikosis merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatannya.(9) Diagnosis pasti keratomikosis adalah dengan memastikan adanya jamur di lesi kornea tersebut dengan pemeriksaan laboratorium.(2,3,14,15)?

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Sugito
Abstrak :
Katarak adalah kekeruhan lensa mata yang dapat disebabkan oleh penumpukan mukopolisakarida. Hyaluronan adalah salah satu mukopolisakarida yang ditemukan menumpuk pada lensa mata penderita katarak. Enzim yang digunakan untuk mendegradasi hyaluronan adalah hyaluronidase (EC 3.2.1.35). Gen yang mengkode enzim Hyal-1 adalah HYAL1, yang terletak pada lokus 3p21.3-3p21.2. HYAL1 terdiri dari tiga ekson. Ekson yang diteliti dalam penelitian ini adalah ekson 1 yang terbentang sebesar 1511 bp. Untuk mencari dengan teliti mutasi yang terjadi pada sampel, gen HYAL1 ekson 1 dibagi menjadi tiga bagian. Untuk itu diperlukan tiga pasang primer. Primer ke 1 digunakan untuk mengamplifikasi ekson 1 nt 1-551 (forward primer. 5'-GACCCCCTACAAAAGCTCA-3' (20 bp) dan reverse primer. 5' AAGTCTCCGATTCCCCCACT-3' (20 bp)). Primer ke 2 digunakan untuk mengamplifikasi ekson 1 nt 355-1053 (forward primer. 5'-AGTCCTGTGGGAGATGGCAGA 3' (21 bp) dan reverse primer. 5'-CGGTAAATGTCCTTGGTGTCC-3' (21 bp)). Primer ke 3 digunakan mengamplifikasi ekson 1 nt 956-1516 (forward primer. 5'-GCCATACCTGCTCCTGACTT-3' (20 bp) dan reverse primer. 5'-ACAAGGTGGGCAGGTTACAG-3' (20 bp)). PCR dilakukan dengan tiga pasang primer tersebut. Masing-masing primer digunakan untuk mengamplifikasi 75 sampel (50 sampel katarak dan 25 sampel normal) yang berhasil diisolasi_ Elektroforesis dilakukan untuk memastikan DNA hasii PCR merupakan satu pita tunggal sebesar 597 bp, 699 bp, dan 584 bp pada sampel-sampel yang diamplifikasi dengan primer ke 1, primer ke 2, dan primer ke Setelah itu hasil PCR dipurifikasi sebelum melakukan sekuensing_ Hasil sekuensing dianalisa dengan menggunakan CfustaIW version 1.7 dan BioEdit version 7.0.4.1. Sampel yang disekuensing sebanyak 34 sampel yang dipilih secara acak, yaitu K3 (juvenil), K5 (juvenil), K6 (juvenil), K8 (infantil), K10 (kongenital), K27 (kongenital), K37 (kongenital), K40 (infantil), N8 (normal), N9 (normal), N11 (normal) [primer ke 1], K20 (infantil), K30 (juvenil), K33 (juvenil), K36 (kongenital), K38 (kongenital), K43 (juvenil), K44 (juvenil), N12 (normal), N13 (normal), N15 (normal) [primerke 2], sampel K1 (juvenil), K2 (kongenital), K14 (juvenil), K15 (kongenital), K19 (infantil), K23 (infantil), K25 (infantil), K28 (juvenil), k35 (kongenital), K46 (kongenital), Ni (normal), N2 (normal), N4 (normal) [primer ke 31. Dari semua hasil sekuensing, sampel katarak yang mengalami mutasi adalah K6, K8, K27, K20, K43, K33, K36, K38, K1, K2, K14, K15, K19, K23, K25, K28, K35. Region yang diapit oleh primer ke 3 merupakan daerah yang paling banyak mengalami mutasi. Region ini juga merupakan tempat ditemukannya dua mutasi pada penderita MPS IX, yang disebabkan oleh defisiensi hyaluronidase. Dua mutasi itu diperkirakan merusak aktivitas hyaluronidase pada pasien. Mutasi 1412 G-A yang terjadi pada penderita MPS IX tidak ditemukan pada penderita katarak, tetapi pada nukleotida yang sama terjadi delesi I G pada sampel K20. Sedangkan mutasi 1361 de137ins14 pada penderita MPS IX jugs tidak terjadi pada sampel katarak, tetapi pada daerah yang terinsersi dan terdelesi tersebut ditemukan beberapa mutasi pada sampel K1 dan K2. Pada sampel katarak ditemukan banyak mutasi pada gen HYAL1 ekson 1, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa mutasi-mutasi ini yang mengakibatkan katarak pada anak-anak, karena untuk mendapatkan kesimpulan seperti itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darwin Gozali
Abstrak :
Tujuan: Menilai efektifitas dan efek samping fluorometolon (full) 0,1% dalam penatalaksanaan dry eye tipe defisiensi akuos Metode: Penelitian ini merupakan studi uji Minis prospektif, randomisasi dan tersamar ganda di sebuah panti wredha. Sebanyak 35 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini merupakan dry eye defisiensi akuos tipe non-Sjogren. Subjek diacak ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok I mendapatkan fluorometolon 0,1% dan kelompok 2 mendapatkan hidroksipropil metilselulosa 0,3% (kontrol). Penilaian efektifitas berdasarkan skor gejala, tes Schirmer tanpa anestesi, fluorescein break up time (FBUT), pewarnaan fluoresein dan sensitivitas kornea dilakukan pada hari 0, 14 dan 28. Pemeriksaan derajat metaplasia skuamosa dilakukan 2 kali yaitu pada hari 0 dan 28. Penilaian efek samping dilihat dari tekanan intraokular dan katarak. Analisis statistik dilakukan di dalam dan antar kelompok. Hasil: Kedua kelompok mengalami perbaikan gejala, tanda klinis dan derajat metaplasia yang bermakna dari data dasar. Namun tidak didapatkan perbaikan bermakna antara hari 14 dan 28 pada kelompok kontrol. Hasil tes Schirmer dan FBUT lebih baik secara bermakna di kelompok fluorometolon dibanding kelompok kontrol pada hari 14 dan 28. Perbaikan pewarnaan fluoresein lebih berkurang secara bermakna pada kelompok fluorometolon dibanding kelompok kontrol pada hari 28. Skor gejala, sensitivitas kornea dan perbaikan derajat metaplasia tidak berbeda bermakna antar kelompok namun cenderung lebih balk pada kelompok fluorometolon. Efek samping berupa rasa Iengket dan gatal pada ke dua kelompok tidak berbeda bermakna. Tekanan intraokular cenderung stabil dan tidak didapatkan progresifitas katarak selama penelitian. Kesimpulan: Fluorometolon 0,1% topikal memberikan perbaikan gejala dan tanda Minis yang bermakna pada dry eye defisiensi akuos tipe non-Sjogren.
Purpose: To evaluate the effectiveness and safety of fluorometholone (fml) 0.1% in non-Surgery dry eye syndrome. Methods: A prospective, randomized, double-masked, clinical trial was conducted in a nursing home. Thirty-five non-Sjogren dry 'eye subjects were included in the study. The subjects were randomized into two groups. Group 1 subjects received fluorometholone 0.1% and group 2 received hydroxypropyl methylcellulose (control). The eye symptom severity score, Schirmer test without anesthesia values, fluorescein break up time (FBUT), fluoresecein staining scores and corneal sensitivity were evaluated before treatment, 14 and 28 days after start the treatment. The degree of squamous metaplasia was evaluated before treatment and day 28. Intraocular pressure, cataract formation and other side effects were recorded to evaluate the safety in both groups. Statistical analyses were performed within and between groups. Results: Both groups had significant differences compared with their baseline measurements in all of the parameters. However, subjects in the control group showed no significantly improvements between day 14 and day 30. There were no significant differences between groups on symptom severity score and corneal sensitivity on day 14 and 28. The degree of squamous metaplasia was not significantly different between groups on day 28. The FML group had significantly better Schirmer test value and FBUT on days 14 and 28 compared to control group. The fml group subjects also had significantly lower fluorescein staining on days 28. The side effects detected in fml group were sticky and itchy, comparable to control group. Intraocular pressure was stable and no progression of cataract formation. Conclusion: Topical fluorometholone 0.1% had a clearly beneficial effect both on subjective and objective clinical parameters of non-Sjogren dry eye patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library