Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Muhammad Nobel
"Plain film merupakan modalitas standar radiologi semua rumah sakit di Indonesia dan biaya relatif rendah. Dalam diagnosis kanal spinal stenosis , CT scan lebih baik tetapi plain film lebih tersedia .Rerata sagital diameter terbesar pada C6 (18mm) dan yang terkecil C4 (17,0mm). Terdapat perbedaan bermakna berdasarkan jenis kelamin, berat badan, tinggi badan sedangkan usia tidak. Korelasi kuat didapatkan pada pengukuran sagital diameter dari C3-C7 sedangkan interpedikel korelasinya lemah. Didapatkan sagital c3 (r=0,85), c4 (r=0,84), c5(0,84), c6(r=0,81) dan c7(r=0,86) sedangkan interpedikel c3(r=0,23), c4 (r=0,51), c5(r=0,47), c6 (r=0,84) dan c7(r=0,56).

Plain film is modality standar of radiology for all hospital in Indonesia and cost cheaper. In diagnosis stenosis of spinal canal, Ct scan better than Plain film but plain film more avalaible. The mean sagital diameter of the cervical canal at the biggest 18 mm (C6) and smallest 16 mm (C4). There was significantly correlation of sex,body weight, and height but no with age. Result of corelation between plain film and ct scan there was strong corelation at sagital diameter but weak at interpedikel diameter. We can see at C3 sagital (r = 0,85), C4 sagital (r= 0,84), C5 (r=0,84), C6 (r=0,81) and C7 (r=0,86). Otherwise interpedikel diameter C3 (r=0,23, p=0,11), C4 (r=0,51), C5 (r=0,47), C6 (r=0,48), and C7 (r=0,56).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Flowindy Bonauli
"Pendahuluan: LSTV merupakan anomali kongenital vertebra dengan karakteristik morfologi antara vertebra lumbal dan sakral, yang mencakup lumbalisasi dan sakralisasi. Prevalensi LSTV pada populasi umum yang dilaporkan bervariasi antara 4-37%. LSTV dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab LBP (Low Back Pain) namun masih terdapat kontroversi mengenai implikasi klinisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara LSTV dengan derajat nyeri pada individu dengan keluhan LBP di RSUPNCM sehingga diharapkan dapat mengoptimalkan diagnosis dan tatalaksana pasien LBP.
Metode: Data berupa radiografi dan derajat nyeri dengan metode NRS dikumpulkan secara konsekutif dari 116 pasien dengan keluhan LBP yang datang untuk menjalani pemeriksaan radiografi lumbosakral. Penilaian radiografi mencakup ada tidaknya LSTV dan degenerasi diskus intervertebralis. Pasien terbagi menjadi dua grup: yang memiliki LSTV dan tidak memiliki LSTV. Derajat nyeri terbagi menjadi ringan, sedang dan berat. Hubungan antara kedua grup dengan derajat nyeri dilakukan dengan uji statistik Chi Square.
Hasil: Prevalensi LSTV pada individu dengan keluhan LBP adalah 48,2% dengan LSTV yang cenderung lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara LSTV dengan derajat nyeri pada individu yang memiliki keluhan LBP. Pada penelitian ini juga didapatkan individu dengan LBP yang memiliki LSTV subtipe II dan III cenderung mengalami keluhan nyeri yang lebih berat. Sebagai tambahan, pada penelitian ini juga tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara LSTV dan degenerasi diskus intervertebralis lumbal.
Kesimpulan: LSTV pada individu yang memiliki keluhan LBP tidak berhubungan dengan derajat nyeri yang dirasakan. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk menentukan hubungan antara berbagai subtipe LSTV dengan derajat nyeri LBP.

Introduction: LSTV is a congenital vertebrae anomaly with characteristic morphology intermediate between the lumbar and sacral vertebrae, which includes lumbalization and sacralization. LSTV prevalence in the general population is reported to vary between 4-37 %. LSTV is considered as one of the causes of LBP, but there is still controversy about its clinical implication. This study aims to investigate the relationship between LSTV and the degree of pain in individuals with LBP complaints in RSUPNCM which is expected to optimize the diagnosis and management of LBP patients.
Methods: The data consisted of radiography and degree of pain by NRS method collected consecutively from 116 patients with LBP complaints who come to undergo lumbosacral radiographs. Radiographic assessment includes the presence of LSTV and degenerative disc disease. Patients were divided into two groups: who has and does not have LSTV. The degree of pain is divided into mild, moderate and severe. Association between the two groups with the degree of pain is assessed with a Chi Square test.
Results: The prevalence of LSTV in individuals with LBP complaints was 48.2 % with LSTV tended to be more common in male. There was no significant correlation between the degrees of pain in individuals with LBP complaints with LSTV. This study also found that individuals with LBP having LSTV subtypes II and III are more likely to experience severe pain. In addition, this study also found no significant relationship between LSTV and lumbar degenerative disc disease.
Conclusion: LSTV in individuals with LBP complaints are not related to the degree of pain endured. However, further research can be conducted to determine the relationship between various subtypes of LSTV and degree of pain in LBP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Roosdiana Dewi
"LSTV merupakan variasi vertebra yang prevalensinya bervariasi di dunia. Menurut konsep Bertolotti rsquo;s syndrome, LSTV berhubungan dengan nyeri punggung bawah dan sebagian besar nyeri ini disebabkan oleh penyakit degenerasi diskus. Sayangnya, hubungan keduanya masih kontroversial. Pada penelitian ini dilakukan analisis hubungan LSTV dengan penyakit degenerasi diskus lumbosakral berdasarkan gambaran CT scan. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan jumlah sampel 161 pasien. Data sampel diambil dari database sekunder CT scan abdomen di Departemen Radiologi RSUPNCM dengan berbagai indikasi klinis dan dianalisis menggunakan uji statistik chi-square. Hasilnya, sebanyak 25,5 individu yang diidentifikasi memiliki LSTV dan sebanyak 77,0 individu mengalami degenerasi diskus lumbosakral. Meskipun begitu, uji hipotesis menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara LSTV dengan penyakit degenerasi diskus lumbosakral p>0,05.

LSTV is one of vertebra variation which has variation prevalent in the world. Based on Bertolotti rsquo s syndrome concept, LSTV is suggested related to low back pain and most of this pain is come from degeneretaive disc disease. Unfortunately, Bertolotti rsquo s syndrome concept is still debated around the world. This research will analyze the relationship between LSTV and degenerative lumbosacral disc disease based on CT Scan imaging. The research use cross sectional design with 161 samples. The data used were collected from abdominal seconday CT scan database in Radiology Department in RSUPNCM with any clinical indications and analyzed using chi square test. The result shows 25,5 subject has LSTV and 77,0 subject has degenerative lumbosacral disc disease. Although, hypothesis test shows that there is no significant relationship between LSTV and degenerative disc disease p 0,05.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Kresna
"Latar belakang: CT scan merupakan modalitas yang dapat digunakan untuk menilai otot multifidus pada pasien-pasien NPB terutama pasien yang kontraindikasi terhadap MRI. Ketersediaan CT scan lebih merata, waktu pemeriksaan singkat, memiliki akurasi yang tinggi dan dapat menilai rasio infiltrasi lemak secara kuantitatif terutama dalam evaluasi lemak otot mulfidus pasien NPB pasca terapi sehingga hasil terapi terukur. Belum ada penelitian yang menilai kesesuaian rasio tersebut dengan MRI skala Goutallier. Metode: Penelitian dilaksanakan dengan sampel dari data pasien yang melakukan pemeriksaan MRI lumbal atau whole abdomen dan CT scan whole abdomen/abdomen atas/urografi di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan interval antara pemeriksaan <12 minggu. Pada awalnya dilakukan penentuan derajat infiltrasi lemak sesuai skala modifikasi Goutallier setinggi level endplate superior L4 kanan kiri pada T2WI aksial, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan infiltrasi lemak pada otot multifidus pada CT scan dengan ketebalan 0,1 cm dan dilanjutkan dengan perhitungan rasio infiltrasi lemak otot multifidus. Sampel yang didapatkan dianalisis menggunakan uji statistik Shapiro Wilk yang dilanjutkan dengan uji statistik ANOVA pada sebaran data yang normal dan Kruskal Wallis pada sebaran data yang tidak normal. Hasil: Rasio infiltrasi lemak otot multifidus pada kelompok skala modifikasi Goutallier ringan lebih rendah daripada kelompok klasifikasi modifikasi sedang, dan kelompok skala modifikasi sedang lebih rendah daripada kelompok skala modifikasi Goutallier berat.

Background: CT scan is a modality that can be used to assess multifidus muscle in NPB patients, especially patients who are contraindicated with MRI. The availability of CT scans is more evenly distributed, the examination time is short, has high accuracy and can assess the ratio of fat infiltration quantitatively especially in the evaluation of mulfidus muscle fat in low LBP patients post-therapy so that the therapeutic outcome is measurable. There are no studies that assess the suitability of the ratio with the Goutallier scale MRI. Methods: This study was conducted using samples from data from patients who performed a lumbar or whole abdominal MRI examination and CT scan of the entire abdomen / upper abdomen / urography in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo General Hospital with intervals between examinations <12 weeks. Initially, the degree of fat infiltration is determined according to the Goutallier modification scale at the level of the left and right superior L4 endplate on axial T2WI, then proceed with the calculation of fat infiltration in multifidus muscle on CT with a thickness of 0.1 cm and followed by calculating the multifidus muscle fat infiltration ratio. Samples obtained were analyzed using the Shapiro Wilk statistical test followed by ANOVA statistical tests on normal data distribution and Kruskal Wallis on abnormal data distribution. Results: The fat infiltration ratio of multifidus muscle in the mild Goutallier modification scale group was lower than the moderate modification scale group, and the moderate modification scale group was lower than the severe Goutallier modification scale group. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Frieska Dwi Nanrasari
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kecurigaan keterlibatan saraf kranial berdasarkan temuan tomografi komputer dengan disfungsi klinis saraf kranial pada pemeriksaan neurologi penderita karsinoma nasofaring T3-T4. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder rekam medis dan data tomografi komputer 55 penderita karsinoma nasofaring yang telah terbukti secara histopatologi dan telah dilakukan pemeriksaan neurologi. Hasil penelitian menunjukkan proporsi temuan kecurigaan keterlibatan saraf kranial berdasarkan tomografi komputer lebih tinggi dibandingkan proporsi disfungsi klinis saraf kranial pada pemeriksaan neurologi, sehingga tomografi komputer dapat menjadi acuan deteksi dini serta tatalaksana kemungkinan keterlibatan saraf kranial pada karsinoma nasofaring stadium lanjut yang belum bermanifestasi klinis.

ABSTRACT
This study aims to determined the association between suspicion cranial nerve involvement based on computed tomography findings with clinical cranial nerve dysfunction on neurological examination in nasopharyngeal carcinoma T3-T4. It used cross-sectional design with secondary data medical record and computed tomogtaphy of 55 patients nasopharyngeal carcinoma which has been proven in histopathological biopsy and have performed neurological examination. The results showed the proportion of suspicions findings of cranial nerve involvement in computed tomography is higher than the proportion of clinical cranial nerve dysfunction in neurological examination, based on this result computed tomography could be a reference for early detection and management of the possible cranial nerves involvement at an advanced stage nasopharyngeak carcinoma that has not manifested clinically."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Fitriningsih
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: MRI merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengevaluasi herniasi diskus lumbalis. Kekurangan MRI adalah lamanya waktu pengambilan gambar dan kurangnya ketersedian diberbagai tempat. Pada institusi dengan keterbatasan alat dan jumlah pasien yang banyak hal ini dapat menyebabkan terjadinya stagnansi pasien. Maka perlu dipikirkan suatu studi alternatif pada MRI untuk mempersingkat waktu. Di RSCM, protokol terbatas belum menjadi standar, sehingga dibutuhkan penelitian untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus lumbalis, stenosis kanalis spinalis lumbal, stenosis foraminal pada vertebra lumbalis.
Metode: Uji diagnostik dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas protokol terbatas dalam mendiagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis dan stenosis foraminal pada vertebra lumbal pada 60 subyek.
Hasil: Sensitivitas dan spesifitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis, stenosis foraminal baik, yaitu 97,2% dan 95,2%, pada diagnosis herniasi diskus, 97,6% dan 96,6% pada stenosis kanal spinalis, dan 91,6% dan 92,6% pada stenosis foraminal.
Kesimpulan: Sensitivitas dan spesifisitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis dan stenosis foraminal baik, akan tetapi penggunaan secara luas perlu mempertimbangkan hal-hal lainnya seperti: pasien murni hanya herniasi diskus tanpa penyulit lainnya, menuntut kehadiran dokter spesialis radiologi pada saat pemeriksaan MRI berlangsung, dan protokol pemeriksaan MRI harus dibuat optimal.

ABSTRACT
Background and purpose: MRI is the most sensitive examination to evaluate lumbar disc herniation. Disadvantages of MRI is the long duration of examination and the lack of availability of various places. At institutions with limited equipment and patient loads it can lead to stagnation of the patient. Then it should be considered an alternative to MRI studies to shorten the time. At RSCM, restricted protocols yet to be standarized, so that research is needed to assess the sensitivity and specificity of Limited Protocol MRI protocol in diagnosing of lumbar disc herniation, lumbar spinal canal stenosis, lumbar foraminal stenosis
Methods: Diagnostic Test with cross sectional approach to determine the sensitivity and specificity of the protocol in diagnosing lumbar disc herniation, lumbar spinal canal stenosis, lumbar foraminal stenosis in 60 subjects.
Results: The sensitivity and specificity of limited protocol MRI is good, that is 97.2% and 95.2%, in the diagnosis of lumbar disc herniation, 97.6% and 96.6% in the lumbar spinal canal stenosis and 91.6% and 92.6% at lumbar foraminal stenosis
Conclusion :Sensitivity and specificity of Limited Protocol MRI in diagnosising of a lumbar disc herniation, lumbar stenosis canal spinal and lumbar stenosis foraminal is good, but the widespread use need to consider other things such as: the diagnosis patient is purely a herniated disc without other complications, demanding the presence of radiologist during MRI examinations, and the protocol MRI examination should be made optimal."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Moniqa
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Artropati hemofilia merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada penyandang hemofilia dengan predileksi pada sendi siku, lutut dan pergelangan kaki. Deteksi dini artropati hemofilia dapat memperbaiki evaluasi dan tatalaksana. Ultrasonografi metode HEAD-US merupakan metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kelainan sendi penyandang hemofilia menggunakan sistem skoring yang cepat dan relatif mudah. Evaluasi sendi secara klinis pada artropati hemofilia dilakukan dengan pemeriksaan skor HJHS. Ultrasonografi metode HEAD-US dapat menjadi penunjang evaluasi artropati hemofilia .Metode : Uji korelatif dengan pendekatan potong lintang pada skor ultrasonografi metode HEAD-US dengan skor HJHS. Kedua pemeriksaan dilakukan pada 120 sendi penyandang hemofilia yaitu siku, lutut dan pergelangan kaki. Pemeriksaan HEAD-US dan HJHS dilakukan pada hari yang sama. Hasil : Rerata umur subyek penelitian adalah 9,3 tahun sebaran 5-14 tahun . Pemeriksaan HEAD-US memiliki median 8 dengan sebaran 1-28 dan mayoritas kelainan pada pergelangan kaki. Pemeriksaan HJHS memiliki sebaran skor 0-35 dengan median 3, mayoritas kelainan pada lutut.Kesimpulan : Terdapat korelasi positif kuat antara pemeriksaan ultrasonografi metode HEAD-US dengan pemeriksaan HJHS. p = 0,002, r= 0,65 . Didapatkan formula regresi linear yaitu : skor HJHS = = ndash; 3,74 0,86 x skor HEAD-US. Untuk memperkirakan skor HJHS setelah diketahui skor HEAD-US.

ABSTRACT
Background and objective Hemophilic artropathy is one of complication of hemophilia. The elbows, knees and ankles are the most affected joints. Detection of early blood induced joint changes may improve monitoring of treatment. HEAD US scanning protocol is a quick and simple method that can be used to detect hemophilic arthropathy. Clinically, hemophilic arthropathy was assessed using HJHS. The aim of this study was to explore the value HEAD US scanning protocol on evaluating hemophilic arthropathy. Methods Cross sectional correlation study between HEAD US and HJHS. Both were done on 120 hemophilic elbow, knee and ankle joints . HEAD US and HJHS were done on the same day. Results Mean age was 9,3 years range 5 14 years . Median score of HEAD US was 8 range 1 28 , mostly on ankles. Median score of HJHS was 3 range 0 35 , mostly on knees. . Conclusion There is strong correlation between HEAD US with HJHS. p 0,002, r 0,65 . Linear regression formula was HJHS score ndash 3,74 0,86 x HEAD US score. This formula can be used to predict HJHS score. "
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Dialetta Injo
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Artropati hemofilik merupakan faktor utama peningkatan morbiditas dan besarnya biaya pengobatan penderita hemofilia. Radiografi berperan dalam mengevaluasi progresifitas kelainan dan efek terapi yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah proyeksi dalam evaluasi artropati hemofilik lutut sehingga dapat mengurangi radiasi yang diterima pasien, sesuai dengan prinsip ldquo;As Low As Reasonably Achievable rdquo;.Metode: Uji korelatif dan asosiatif menggunakan desain potong lintang terhadap radiogram 100 lutut penderita hemofilia proyeksi AP dan lateral dengan kalsifikasi Arnold Hilgartner dan skor Pettersson.Hasil: Terdapat hubungan evaluasi artropati hemofilik lutut menggunakan kalsifikasi Arnold Hilgartner antara proyeksi AP dan AP-lateral dengan R=0,52 dan nilai

ABSTRACT
Background and Objective Hemophilic arthropathy is a main factor which causes morbidity and is the main contributor to cost in treatment of hemophilic patients. Radiography has a role in monitoring progressivity and follow up after therapy. The aim of the study is to reduce radiography proections to minimize radiation dose in accordance with ldquo As Low As Reasonably Achievable rdquo radiology principle. Methods A correlative and associative research using cross sectional study from 100 knees radiogram of hemophilic arthropathy patients in AP and lateral view using Arnold Hilgartner and Petterson score. Results There is association between assessment of hemophilic arthropathy using Arnold Hilgartner in AP view and Ap lateral view with R 0.52 and p 0.001. There is positive correlation between evaluation of hemophilic arthropathy using Petterson score using AP and AP lateral with R 0.58 and p"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Abraham Ambril
"Nyeri punggung bawah memiliki prevalensi yang tinggi dan sangat berkaitan dengan proses degenerasi diskus intervertebralis. Magnetic Resonance Imaging MRI lumbal merupakan pemeriksaan yang terpenting dalam penilaian kelainan pada degenerasi diskus intervertebralis yang dapat dapat memperlihatkan herniasi diskus, stenosis kanalis spinalis, dan stenosis foraminal. Terdapat dua protokol potongan aksial, yaitu contiguous axial CA dan disc space-targeted angled axial DSTAA , yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Belum ada penelitian yang terpublikasi yang mendukung penggunaan teknik CA maupun DSTAA pada kasus degenerasi vertebra lumbal, oleh sebab itu penelitian ini akan meneliti tentang kesesuaian teknik CA dengan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis lumbal.Penelitian ini menggunakan desain potong lintang cross-sectional study untuk mengetahui kesesuaian teknik CA dan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis pada vertebra lumbal, yang dilakukan di Departemen Radiologi RSCM Jakarta selama bulan Agustus sampai September 2016, dengan jumlah sampel 22 subjek.Dari hasil penelitian ini didapatkan kesesuaian diagnosis herniasi diskus intervertebralis lumbal dan diagnosis stenosis kanalis spinalis lumbal antara teknik CA dengan teknik DSTAA. Penelitian ini menunjukkan penggunaan teknik DSTAA dapat dilakukan sebagai protokol pemeriksaan MRI lumbal di pusat layanan kesehatan yang memiliki jumlah pasien yang banyak.

Lower back pain has a high prevalence and is associated with the degeneration of intervertebral discs. Magnetic Resonance Imaging MRI examination of the lumbar is important in the assessment of abnormalities in the intervertebral disc degeneration and can be demonstrating disc herniation, spinal canal stenosis and foraminal stenosis. There are two axial protocols, contiguous axial CA and disc space targeted angled axial DSTAA , each of which has advantages and disadvantages. There are no published studies that support the use of DSTAA technique and CA technique at the lumbar spine degeneration cases, therefore, this study will examine the technical suitability CA with DSTAA techniques in diagnosis for disc herniation and lumbar spinal canal stenosis.This study used cross sectional design to determine the suitability of the CA technique and DSTAA technique at diagnosis for disc herniation and stenosis of the spinal canal in the lumbar spine, which is carried out in the Department of Radiology RSCM Jakarta during August to September 2016, with a sample of 22 subject.From the results of this study, there is suitability of the diagnosis of lumbar intervertebral disc herniation and lumbar spinal canal stenosis diagnosis between CA technique and DSTAA technique. This study shows that DSTAA technique can be used as a lumbar MRI examination protocol at health center that has a huge patient loads."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldi Semanta Sirath
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Spondilitis mencakup 2 ndash;7 dari seluruh kasus infeksi musculoskeletal, biasanya merupakan proses sekunder dari fokus infeksi primer. Infeksi diskus intervertebralis dan perluasannya paling baik dievaluasi menggunakan modalitas MRI vertebra. Penggunaan Gd-DTPA berguna untuk menilai sejauh mana perluasan massa jaringan lunak, pemeriksaan ini memiliki nilai sensitivitas, spesifisitas, serta akurasi yang tinggi dalam menegakan diagnosis spondilitis. Namun saat ini ketersediaan kontras di beberapa daerah di Indonesia masih belum merata, dan harganya yang cukup mahal juga menjadi kendala. Penelitian ini bertujuan membandingkan kesesuaian diagnosis spondilitis pada MRI vertebra tanpa kontras dengan MRI dengan kontras. Metode: Uji kesesuaian menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder untuk mengetahui kesesuaian diagnostik MRI vertebra tanpa kontras dan MRI dengan kontras dalam mendiagnosis spondilitis. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan data pemeriksaan MRI vertebra dengan suspek spondilitis dalam kurun waktu Agustus 2012 sampai September 2016. Hasil: Hasil uji McNemar didapatkan hasil p = 0,368, kappa R = 0,88 p

ABSTRACT
Background and objective Spondylitis accounts for 2 7 of all cases in musculoskeletal infections, usually as a secondary process originated from primary infection. Intervertebral disc infection and its extent best evaluated using spine MRI. The use of Gd DTPA contrast is useful for assessing the extent of soft tissue mass expansion, this examination has high sensitivity, specificity, and accuracy in diagnosing spondylitis. However, the availability of contrast in some areas in Indonesia is still uneven, the expensive price is also another obstacle. This study aims to compare the suitability of diagnosis of spondylitis in spine MRI without contrast and MRI with contrast. Methods Cross sectional study with secondary data to determine compatibility of spine MRI without contrast and MRI with contrast in diagnosing spondylitis. The examination was performed based on spine MRI examination data in suspected spondylitis patients in the period between August 2012 to September 2016. Result McNemar test results in p 0,368, kappa R 0,88 p "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>