Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Trigunawan Jayawardana
Abstrak :
Tumpahan minyak di laut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam dan Iingkungan. Berbagai kasus tumpahan minyak di laut yang mencemari biota laut dan berdampak negatif terhadap sosial ekonomi masyarakat telah terjadi di Indonesia. Salah satu kasus pencemaran akibat tumpahan minyak dari kapal adalah tumpahan limbah kerak minyak mentah (sludge oil) dari Kapal MT. Panos G di perairan Balikpapan dan ditemukan terdampar di pantai dan teluk Balikpapan pads tanggal 25 Juni 2004. Pencemaran minyak di perairan Balikpapan dapat menimbulkan dampak terhadap ekosistem teluk dan aktivitas ekonomi masyarakat pantai Balikpapan. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu diketahui dampak apa saja dan seberapa besar nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh tumpahan minyak dari Kapal MT. Panos G. Nilai kerugian ekonomi sangat diperlukan sebagai dokumen tuntutan ganti rugi terhadap pihak pencemar. Berkaitan dengan peristiwa tersebut Pemerintah Kota Balikpapan telah mengajukan tuntutan ganti rugi lewat jalur pengadilan sebesar Rp. 6.635.432.804,-. Penelitian ini bertujuan untuk: (I) mengkaji dampak ekologis dan ekonomi yang terjadi akibat tumpahan sludge oil MT. Panos G di Pantai dan Teluk Balikpapan; (2) menganalisis dan menghitung kerugian ekonomi (materiil) dengan metode valuasi yang sesuai dengan data yang diperoleh di lokasi penelitian; (3) untuk mengetahui prosedur pengajuan klaim ganti rugi dan kerugian apa saja yang dapat dituntut akibat tumpahan minyak di laut sesuai dengan landasan hukum yang ada. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1) Akibat tumpahan sludge oil MT. Panos G sebesar 500 Ton yang mencemari ekosistem pesisir Balikpapan menyebabkan gangguan terhadap penghasilan masyarakat; (2) Metode pendekatan yang digunakan dalam perhitungan nilai kerugian ekonomi tiap variabel kerusakan lingkungan berbeda dengan metode yang digunakan oleh pihak Pemerintah Kota Balikpapan, sehingga besarnya nilai kerugian tidak sama. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Pantai dan Teluk Balikpapan. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode ekspost fakto, dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dianalisis secara deskriptif analitik, sedangkan pendekatan kuantitatif dianalisis dengan metode valuasi yaitu (1) kerugian pemerintah menggunakan metode harga perbaikan; (2) total nilai ekonomi lingkungan (pendekatan penilaian kerugian lingkungan) dengan metode benefit transfer; (3) kerugian masyarakat dihitung bcrdasarkan harga pasar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dampak tumpahan minyak (jenis sludge oil) di pantai dan teluk Balikpapan pada Tahun 2004 telah menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove seluas 18 ha, rusaknya 4 ha wilayah rehabilitasi mangrove, rusaknya ekosistem lamun seluas 1 ha dan tercemarinya pasir pantai Balikpapan sepanjang 5 km. Kerusakan lingkungan tersebut sebagai akibat matinya anakan mangrove, matinya padang lamun, menimbulkan dampak berupa terganggunya tempat hidup berbagai jenis hewan laut berupa ikan, udang yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan berupa penurunan pendapatan nelayan, pedagang antara, pengolah basil perikanan dan perikanan budidaya. Hasil valuasi ekonomi memperlihatkan nilai total dampak materil sebesar Rp. 10.267.907.465,- (terdiri dari kerugian pemerintah sebesar Rp.1.827.905.000,-, kerugian lingkungan sebesar Rp. 2.166.579.798, kerugian masyarakat sebesar Rp. 6.273.422.667,-). Pengajuan tuntutan ganti rugi melalui proses pengadilan telah dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Balikpapan dan hingga penelitian ini dilakukan keputusan pengadilan belum keluar. Kesimpulan penelitian ini adalah (1) tumpahan minyak di perairan Balikpapan pada tanggal 25 Juni 2004 telah menimbulkan dampak kerusakan mangrove, padang lamun dan pasir pantai dan menyebabkan gangguan ekonomi masyarakat berupa penurunan penghasilan utamanya nelayan, pedagang perikanan, pengolah basil laut dan perikanan budidaya. (2) pencemaran di pantai dan teluk Balikpapan menyebabkan kerugian ekonomi (materiil) sebesar Rp. 10.267.907.465 yang merupakan penjumlahan kerugian pemerintah, kerugian lingkungan hidup dan kerugian masyarakat;(3) pengajuan klaim ganti rugi akibat tumpahan minyak di pantai dan teluk Balikpapan dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara yaitu melalui jalur pengadilan dan di luar pengadilan, dengan mengajukan kerugian materiil yang terdiri dari kerugian masyarakat, kerugian lingkungan dan kerugian pemerintah sebagai total klaim. Saran dalam penelitian ini adalah (1) Untuk mendapatkan nilai kerugian lingkungan yang valid akibat kasus pencemaran tumpahan minyak maka sebaiknya setiap daerah dilengkapi data base nilai tiap ekosistem. (2) Sebaiknya tuntutan ganti rugi pencemaran minyak di laut diupayakan melalui jalur di luar pengadilan (negoisasi, mediasi) agar nilai ganti rugi didapatkan sesuai dengan besarnya kerugian, melihat banyaknya kendala apabila melalui jalur pengadilan seperti waktu yang lama, dana besar dan sulitnya pembuktian nilai kerusakan lingkungan. (3) Mengingat tuntutan ganti rugi akibat pencemaran merupakan salah satu instrumen pengendalian kerusakan lingkungan, dan Indonesia telah meratifikasi kesepakatan internasional CLC 1992, maka sebaiknya diikuti dengan peraturan (undang-undang, keppres) yang menjadi payung hukum untuk pengajuan klaim ganti rugi yang sesuai dengan besarnya kerugian.
Oil spilling to the sea causes damage to natural resources and the environment. There- have been many cases of oil spill polluting marine biota and adversely affecting people's social and economic conditions in Indonesia. An example of such incidents was the sludge oil spilling from the Panos G vessel and polluting the waters of Balikpapan. The vessel was found on the coastal area of Balikpapan on June 25, 2004. The oil spill could have an impact on the ecosystem as well as on the economic activities of the communities living along the coastline. Therefore, it would be necessary to identify the level of impact and the resulting financial losses. Finding out the value of the economic losses would be required in filing a claim for damages against the polluting party. FoIIowing the incident, the city administration of Balikpapan had filed to the court a claim of Rp 6,635,432,804. This research aims : (1) analyzing the ecologi and economic impact of the Panos G sludge oil spill to the coast and bay of Balikpapan; (2) analyzing and calculating the economic losses with valuation method according to the data taken from research location; and (3) identifying procedures for filing a claim for oil spill damages on the sea according to the exist law. Hypotheses proposed in the research were as follows: (1) the impact of oil spilled on the coast and bay of Balikpapan amount 500 ton, this had resulted in economic losses suffered by the communities; (2) approaching methode which using in to the calculation of economic amount every single variable of environment damage are different each with methode using by the government of Balikpapan, so the result of every amount are definietely different. The research was conducted on the coast and bay of Balikpapan using the ekrpost fakto method with qualitative and quantitative approaches. With qualitative approach analysis was done descriptive-analytically; while with quantitative approach analysis was done using economic valuation, i.e. (I) revised price for government losses; (2) benefit transfer for the total of environmental economic value (environmental loss assessment approach); and (3) market value of losses suffered by the communities. The research results showed that the sludge oil spill on the coast and bay of Balikpapan had damaged the ecosystem of mangrove forest covering an area of 18 hectares, and destroyed the 4-hectare mangrove rehabilitation zone as well as one hectare of sea grass. The spill also polluted approximately five kilometers of sand along the coastline of Balikpapan. The environmental destruction as a result of dead young mangrove trees and sea grass affected the area where a number of marine species live such as fish and shrimp - all have economic value enjoyed by the communities. Social impacts included lower income earned by fishermen, brokers, and people processing fishing and farm-fishing products. The economic valuation results indicated material impact total value of Rp 10.267.907.465 (made up of Rp 1.827.905.000 government losses; Rp 2.166.579.798 of environmental losses and Rp 6.273.422.667 of losses suffered by the communities). A claim for damages had been filed to the court by the city administration of Balikpapan, and by the time this research was on-going, a court decision had not been made. The research concluded that (1) the oil spill occurred on the sea of Balikpapan had disturbed the life of ekosistem I impact of mangrove, seagrass and beach on the coastal area of Balikpapan, and this had resulted in economic losses suffered by the communities, in particular fishermen, brokers as well as fishing and farm-fishing industries; (2) the Balikpapan oil spill material impact which was valued at Rp 10.267.907.465, which accumulation of government losses, environmental losses, and losses suffered by the communities; (3) the damage claim filing procedure the oil spilled on the coast and bay of Balikpapan can be using 2 methode are settle out of court and in of court, by propose material losses which contain of community losses, environmental losses, and government losses as a total claim. The research suggests the following: (I) in order to obtain valid environmental loss values resulting from a case of oil spill pollution, each administrative region should have a database of values of all the region's ecosystems; (2) a claim for damages resulting from oil spilling to the sea should be settled out of court (through negotiation or mediation) so that the money paid can cover all the losses. Sawing many problem if claim in the court, such as money, time and value of ecosistem; (3) considering that a claim for pollution damages is an instrument for controlling environmental destruction, and Indonesia has ratified the 1992 CLC international treaty, regulations (laws, presidential decrees) should be stipulated and enforced to provide a legal foundation for filing a damage claim covering all losses.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Isac Newton
Abstrak :
Terumbu karang adalah suatu ekosistem yang dibangun oleh komponen utama komunitas hewan karang dari jenis karang hermatipik yang termasuk dalam filum Coelenterata (Cnidaria), kelas Anthozoa, ordo Madreporaria-Scleractinia. Hewan karang hermatipik beserta alga berkapur dan organismeorganisme Iainnya menghasilkan endapan-endapan masif berupa kalsium karbonat (CaCO3) sehingga dapat membentuk terumbu. Kemampuan hewan karang membentuk terumbu ini karena adanya hubungan simbiosis dengan tumbuhan bersel satu di dalam jaringan polip individu hewan karang hermatifik yaitu zooxhantellae. Terumbu karang memiliki manfaat ekologi, yaitu berfungsi sebagai habitat berbagai biota laut, pelindung ekosistem padang lamun dan mangrove, pelindung pantai dan penyedia pasir taut. Manfaat ekonomi, yaitu untuk perikanan, bahan baku akuarium, hiasan, bangunan, serta wisata bahari. Manfaat sosial budaya, antara lain untuk pendidikan dan penelitian. Sumberdaya terumbu karang di Indonesia menghadapi berbagai ancaman kerusakan akibat pengaruh antropogenik di berbagai lokasi, yang telah berlangsung lama. Saat ini, kondisi terumbu karang yang baik hingga sangat baik sekitar 33,3%, sisanya dalam kondisi sedang hingga rusak. Kerusakan dapat disebabkan oleh pengaruh antropogenik, baik secara langsung maupun tak langsung. Kerusakan terumbu karang berakibat pada kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Upaya merehabilitasi terumbu karang dapat ditempuh baik secara alami dan buatan, yang diikuti dengan upaya mengurangi pengaruh antropogenik. Upaya ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang dilakukan masyarakat disebut pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat, disingkat dengan PBM.
Coral reef is an ecosystem mainly developed by the components of hermatiphic coral community of phylum Coelenterata (Cnidaria), class Anthozoa, order Madreporaria-Scleractinia. Hermatiphic coral and symbiotic calcite algae and other organisms produce massive sediments of Calcium Carbonate (CaCO3) and build their reefs. The ability of corals to build a reef is due to the mutual symbiotic of hermatiphic coral individual with unicellular algae called zooxhantellae. Coral reefs have ecological functions to be the habitats for marine organisms, protect sea grass and mangrove ecosystems, protect beach, and produce sand. Economic benefits of coral are fishery, source of aquarium materials, ornaments, building materials, and marine tourism. Social benefits of coral reefs are, among others, research and educational objects. Coral reef resources in Indonesia are still facing many kinds of anthropogenic threats in many locations. Currently, coral reef with good up to very good conditions is around 33.3%, the rest being poor to moderate conditions. Coral reefs degradation can be affected by anthropogenic effects, directly or indirectly. The coral reefs degradation in fact causes ecological, economical, socio and cultural losses. Rehabilitation of degraded coral reef can be conducted naturally and human intervention followed by the elimination of anthropogenic effects. These efforts could be conduct by the government, local government, and/or communities. The management of coral reefs conducted by communities is called community-based coral reefs management, shortened to CBM.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pangemanan, Novie P.L.
Abstrak :
Seiring dengan berjalannya iklim demokrasi di Indonesia, masalah pengelolaan lingkungan hidup, khususnya ekosistem terumbu karang yang berada di wilayah pesisir menjadi perhatian yang sangat besar mengingat fungsi dan manfaat dari adanya ekosistem tersebut. Untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam agar dapat berjalan dengan baik dan berdayaguna diperlukan dukungan kuat dari masyarakat yang bermukim di sekitar serta pihak-pihak pengguna sumberdaya lainnya (stakeholders). Taman Nasional Bunaken merupakan salah satu kawasan pesisir yang berada di Sulawesi Utara, yang ditetapkan sebagai taman nasional (TN) berdasarkan SK Menhut No. 730/Kpts-II/1991 tgl. 19 Oktober 1991; dengan luas 79.056 Ha (BAPPENAS/DEPHUT/NRMP-Buku I, 1994). Pulau Bunaken, salah satu pulau yang termasuk dalam TN Bunaken, merupakan salah satu objek andalan kegiatan pariwisata dalam kawasan TN Bunaken, yang terdiri dari dua desa, yaitu Bunaken dan Alungbanua. Pulau ini dikelilingi oleh gugusan terumbu karang yang unik karena memiliki tebing karang vertikal, menghujam di bawah permukaan air hingga 25-50 meter, terdapat 45 jenis keluarga (genus) karang yang sudah teridentifikasi. Tebing bawah air memiliki banyak ceruk, celah dan rekahan, tempat persembunyian berbagai jenis vertebrata dan invertebrata laut. Jenis-jenis ikan yang umum dijumpai antara lain Napoleon wrasse, damsel, trigger, dan lain-lain yang jumlahnya lebih dari 2000 jenis (Lalamentik dkk., 1995). Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah mengkaji penerapan konsep pengelolaan co-management ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken melalui : (1) kajian potensi dan kendala dalam pengelolaan terumbu karang, (2) mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan peranserta masyarakat lokal, (3) usulan-usulan program yang dapat dithwarkan kepada masyarakat lokal yang sesuai dengan keinginan mereka, serta (4) kemitraan dengan stakeholders terkait dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken. Kegunaan studi ini adalah sebagai bahan masukan guna memperbaiki model, pengelolaan TN Bunaken dalam rangka menjamin kelestarian ekosistem terumbu karang serta menjamin penghidupan masyarakat yang bermukim di dalam kawasan tersebut, khususnya di Pulau Bunaken. Pendekatan penelitian dalam studi ini adalah penelitian partisipatif (Participatory Rural Appraisal/Participatory Action Reasearh). Populasi penelitian adalah masyarakat yang berdomisili di Pulau Bunaken. Teknik penentuan sampel responden yang digunakan adalah gabungan antara purposive sampling dan stratified sampling. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan panduan (semi-struktur) terhadap responden terpilih. Data dan informasi yang terkumpul, termasuk hasil wawancara semi-struktur, diolah dengan menggunakan "Analisis SWOT" sebagai dasar rekomendasi intervensi yang diusulkan untuk pengembangan peranserta masyarakat dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken dengan pendekatan co-management. Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan partisipatif yang dilakukan di Pulau Bunaken, disimpulkan bahwa : 1. Potensi yang dimiliki Pulau Bunaken masih mendukung untuk dilakukan pengembangan pengelolaan co-management ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut, yang termasuk dalam kawasan TN Bunaken, dengan tidak mengabaikan berbagai permasalahan yang menjadi kendala dalam pengelolaan yang berkelanjutan. 2. Berbagai kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang, terutama upaya konservasi dan rehabilitasi, dapat dipadukan dengan pengembangan wisata bahari di Pulau Bunaken yang berdimensi kerakyatan dan konservasi sumberdaya alam. Selain itu, harus didukung dengan intervensi program pengembangan peranserta masyarakat melalui kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya sebagai mats pencaharian altematif maupun sampingan bagi masyarakat lokal, seperti perikanan, bertani/berkebun, dan peternakan yang sifatnya terbatas agar tidak merusak terumbu karang. 3. Untuk keberhasilan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken sebagai kawasan taman nasional perlu dibangun konsep pengelolaan co-management, dimana masyarakat lokal sebagai subyek pengelolaan, serta didukung oleh langkah-langkah pengelolaan, seperti : (1) pengembangan kelembagaan yang dibutuhkan untuk memudahkan dalam pengelolaan selain Balai TN Bunaken yang sudah ada; (2) intervensi secara langsung terhadap perubahan tingkah laku yang terjadi pada anggota masyarakat, termasuk instrumen kebijaksanaan, seperti peraturan perundangan; dan (3) keikutsertaan pemerintah dan stakeholders pendukung lainnya. Sebagai saran yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian ini, yaitu : (1) diperlukan upaya pengembangan peranserta dan pemberdayaan terhadap masyarakat lokal agar tidak melakukan kegiatan yang dapat mengganggu upaya pelestarian ekosistem terumbu karang; (2) diperlukan upaya sosialisasi dan penataan batas tiap zonasi serta aturan dan sanksi yang diberlakukan di tiap zonasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Pulau Bunaken agar pengelolaan dapat berjalan dengan efektif.
With the present democratization era in Indonesia, environmental management problems, especially those affecting the ecosystem of coral reefs in the coastal area, have caught popular attention because of their function and utility. In order to provide good and beneficial management of natural resources, strong support is needed froth the communities and other resource users (stakeholders) that live in and around the ecosystem. Bunaken National Park is one of the coastal areas located in North Sulawesi. It is a national park (NP) based on a Decree issued by the Minister of Forestry (Menteri Kehutanan) No. 730/Kpts/II/1991, dated October 19, 1991, with an area of 79,056 Ha (BAPPENAS / DEPHUT/ NRMP-Book I, 1994). Bunaken Island, one of the islands located in Bunaken NP, is one of the most popular tourist destinations in the park. Bunaken Island is divided into two villages, Bunaken and Alungbanua. This island is surrounded by coral reefs considered unique because they have a vertical coral wall that goes underwater down to 25 - 50 m and include 45 genera so far identified. The underwater wail has many rifts, cracks and holes, where all kinds of sea vertebrates and invertebrates hide. Kinds of fish commonly found or seen include Napoleon wrasse, damsel, trigger and others, with more than 2,000 species (Lalamentik et al, 1995). The purpose of this investigation is to assess the applicability of a co-management approach to coral reef ecosystems on Bunaken Island through (1) an assessment of potentials and constraints; (2) an identification of efforts that have been made to develop local community participation, (3) formulation of program recommendations for local communities in line with their wishes, and (4) development of partnership with coral reef ecosystem management stakeholders on Bunaken Island. This research proposes to provide some inputs to the revision of the Bunaken NP management model to ensure coral reef ecosystem sustainability and to ensure community livelihoods in the region, especially on Bunaken Island. The approach used for this research is Participatory Rural Appraisal/Participatory Action Research. The research population is the communities who live on Bunaken Island. Sample gathering techniques are a combination of purposive sampling and stratified sampling. Primary data gathering was done by semi-structured interviews with selected samples. Data and information collected was analyzed by a SWOT analysis regarding community participation development for co-management on coral reefs at Bunaken Island. Based on the implementation of participatory activities that have been performed on Bunaken Island, the researcher has come to the conclusion that: 1. Assessment of Bunaken Island's potential supports coral reef management development in the region, without ignoring the challenges associated with sustainable management. 2. Any coral reef ecosystem management activities, especially conservation and rehabilitation efforts, can be integrated with marine ecotourism development on Bunaken Island, based on community and natural resources conservation. This be must supported by a community participation development program with economic activities for alternative or additional income sources for the local community, such as fisheries, farming and animal husbandry, within limits that prevent coral reef destruction. 3. Successful coral reef ecosystem management at Bunaken Island as a part of a national park region requires a co-management concept where local communities play a key management role. This would include: (1) institutional development for easier management; (2) direct intervention to change behaviors, including policy instruments such as acts and regulations; and (3) the involvement of government and other supporting stakeholders. Recommendations from this research are: (1) develop community participation in coral reef ecosystem management with increased knowledge and understanding of the importance of coral reef ecosystem conservation; (2) carry out information and campaigns zonation boundary revision and enforce laws and regulations in each zone for effective management.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutardjo
Abstrak :
Budidaya ikan dalam keramba jaring apung (WA), marupakan salah satu kegiatan yang berkembang pesat di waduk Jatiluhur. Dasar pertimbangan pengembangan BJA ialah untuk pemanfaatan sumber air waduk dan untuk memberikan sumber pendapatan altematif bagi masyarakat di sekitamya. Dampak positif dari pengembangan BJA antara lain meningkatnya lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya dan meningkatnya produksi ikan untuk konsumsi dalam negeri. Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) yang beroperasi di waduk Jatiluhur terus mengalami peningkatan dari 15 unit KJA pada tahun 1988 menjadi 2.100 unit KJA pada tahun 1997 dengan total produksi ikan yang di panen hingga tahun 1997 sebanyak 1.545.32 ton. Namun demikian perkembangan WA tersebut telah menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan, dan menyebabkan kegagalan panen akibat kematian ikan budidaya secara masal pada tahun 1996 dan 1997. Dalam rangka pengendalian dampak negatif BJA tersebut, telah dilakukan berbagai upaya antara lain : penataan ruang waduk dan pengembangan KJA sistem ganda. Kematian ikan akibat perubahan kualitas air biasanya terjadi pada awal musim penghujan saat cuaca mendung, dimana intensitas cahaya matahari sangat rendah, sehingga menyebabkan rendahnya laju fotosintesis dan rendahnya produksi oksigen (02) dalam air. Berdasarkan data time series kualitas air di Ciganea terdapat peningkatan kandungan nutrien yang dihasilkan dari dekomposisi limbah organik yang berasal dari BJA. Peningkatan nutrien tersebut mengakibatkan meningkatnya kesuburan perairan dan densitas fitoplankton, sehingga akan meningkatkan kebutuhan 02 yang diperlukan fitoplankton pada malam hari. Pada kondisi populasi fitoplankton yang padat dan padatnya ikan dalam KJA, menyebabkan terjadinya defisit 02 yang lebih besar, akibatnya jumlah ikan dalam KJA yang mengalami kematian juga meningkat. Jadi masalah utama yang menyebabkan menurunnya kualitas air di lingkungan budidaya adalah limbah organik dari kegiatan BJA, sehingga permasalahan yang di kaji pada studi ini ialah terjadinya perubahan kualitas air waduk akibat kegiatan BJA, dan proses terjadinya kematian ikan budidaya secara masal dalam KJA. Tujuan dari studi ini ialah untuk mengetahui : 1) pengaruh kegiatan BJA terhadap perubahan kualitas air di lingkungan budidaya, waduk Jatiluhur, 2) perubahan kualitas air dari waktu ke waktu melalui indikator parameter kunci kualitas air yang terkait dengan kegiatan BJA, dan 3) perbedaan kualitas air antara daerah WA (Ciganea) dan non BJA (Ubrug) di waduk Jatiluhur. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam studi ini dapat disusun hipotesis sebagai berikut : Pertama : Tidak ada perbedaan kualitas air antara daerah BJA dan daerah non BJA. Kedua : Ada kecenderungan penurunan kualitas air dari waktu ke waktu di Ciganea, mulai sebelum ada kegiatan BJA sampai timbul masalah kematian ikan. Studi ini dilaksanakan di perairan waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, dari tanggal 12 Pebruari - 5 Maret 1999. Lokasi penelitian berada di perairan Ciganea yang merupakan areal BJA dan perairan Ubrug yang merupakan areal non budidaya. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini ialah metode surval dengan pendekatan observasi lapang di daerah terpapar dan daerah non terpapar pada kedalaman yang berbeda. Luas perairan Ciganea sekitar 40 ha dengan kedalaman ± (34 - 50) m, keadaan perairan relatif tenang karena jauh dari masukari air sungai, sedangkan perairan Ubrug luasnya sekitar 50 ha dengan kedalaman } (16 - 30) m terletak di sebelah selatan Ciganea, keadaan perairan relatif dangkal dan berarus sedang karena merupakan muara sungai Cilalawi dan Cisomang. Pengambilan sampel air dilakukan di perairan Ciganea pada 5 titik pengamatan (stasiun) dengan jarak antar titik 750 m dan di perairan Ubrug pada 3 titik pengamatan yang dianggap mewakili dengan jarak antar titik 1500 m. Pengambilan dilaksanakan sekali seminggu, selama satu bulan dan dilakukan secara vertikal untuk 3 lapisan kedalaman yang berbeda (permukaan, tengah dan dasar perairan) dengan menggunakan Bottle Water Sampler volume 3,5 L. Pengambilan sampel dilakukan dari pagi hingga siang hari, dengan 1) Perlu pengendalian jumlah KJA yang terdapat di perairan Ciganea, waduk Jatiluhur, karena jumlah KJA yang ada telah melampaui dada dukung lingkungan atau jumlah optimum yang di perbolehkan yaitu 400 unit KJAlwilayah. Pengendalian tersebut harus dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab yaitu Dinas Perikanan Propinsi Dati I Jawa Barat, dengan menerapkan sangsi hukum antara lain dengan tidak menerbitkan Surat ljin Usaha Perikanan (SIUP) untuk BJA dan mengurangi jumlah KJA yang ada dengan memindahkan ke lokasi lain diluar Ciganea sesuai dengan Rencana Tata Ruang Waduk yang ada seperti di daerah Cipariuk, Pasir Jangkung, Batu Kerong, Tegal Malaka dan Cilingga. Hal tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakatlpetani BJA, dengan pendekatan penyuluhan, pelatihan dan peningkatan kesadaran, agar mereka ikut berperanserta aktif dalam menjaga pelestarian perairan waduk. 2) Perlu disosialisasikan tentang cara pemberian pakan yang sesuai dengan ketentuan, yaitu sebanyak 3 % dari berat badan ikan yang dibudidayakan. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sisa pakan yang masuk ke perairan, sehingga dapat mencegah terjadinya pencemaran perairan. Berdasarkan hasil penelitian jumlah sisa pakan yang terbuang ke perairan waduk adalah sekitar 5 kgMari, sehingga agar supaya tidak menimbulkan pencemaran perairan, maka jumlah sisa pakan yang terbuang harus lebih kecil dari 5 kg/hari (< 5 kg/hari) atau sekitar (1-1,5) kg/hari, sehingga hal itulah yang menjadi pedoman yang harus dipatuhi oleh semua prang yang melakukan kegiatan WA di waduk Jatiluhur. Agar hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka harus disosialisasikan kepada masyarakat khususnya kelompok usaha BJA/petani BJA melalui berbagai pendidikan/pelatihan dan percontohan agar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dapat dipatuhi dan dilaksanakan. 3) Perlu peningkatan pemantauan, pengendalian dan pengawasan, terhadap kegiatan BJA di Ciganea, waduk Jatiluhur, balk dari aspek kualitas air maupun jumlah KJA yang beroperasi. Untuk pemantauan kualitas air tersebut harus dilakukan secara rutin, diikuti dengan pengendalian jumlah KJA yang beroperasi yang dilakukan melalui koordinasi dengan instansi terkait dan melibatkan lembaga masyarakat yang ada di daerah tersebut, dengan Dinas Perikanan sebagai koordinator dan penanggung jawabnya. Selanjutnya dalam pelaksanaan pengawasan perlu peningkatan penegakan hukum (law enforcement) baik kepada pengusaha BJAlpetani BJA maupun kepada aparat pemerintah. Agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan balk, perlu diterapkan sanksi hukum yang tegas bagi setiap pelanggar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (UU. No. 911985 tentang Perikanan, 2311997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan apabila perlu pencabutan S1UPBJA agar mereka patuh. Disamping hal tersebut perlu dibarengi dengan upaya pemberdayaan kepada kelompok usaha BJAI petani BJA melalui sosialisasi, penyuluhan, pendidikan/pelatihan dan penyadaran hukum, sehingga diharapkan mereka dapat ikut berperan serta aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan perairan dan mengawasi tindak pelanggaran yang terjadi. 4) Perlu pengembangan teknik BJA yang ramah lingkungan yaitu Keramba Jaring Apung Ganda (Berlapis) untuk mengurangi Iimbah pakan yang masuk ke perairan waduk. Berdasarkan hasil penelitian teknik budidaya ini dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan mencegah pencemaran perairan. Namun demikian untuk dapat dikembangkan dimasyarakat, hal tersebut masih perlu dikaji lebih mendalam terutama dari aspek ekonomi agar dapat terjangkau oleh masyarakatlpetani BJA dan aspek kemudahannya agar dapat dicontohldipraktekkan, dan sebelum dikembangkan secara luas hangs disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat melalui kelompok usaha BJA/petani BJA. ......The Effects of Fish Culture on the Water Quality of Reservoir (A Case Study on Fish Cage Culture in Ciganea, Jatiluhur Reservoir, Purwakarta, West Java)Fish cage culture was carried out intensively in Jatiluhur reservoir. This activity was developed to utilize the available water resources in the reservoir and to provide alternative income source for the community around the reservoir. Beside that, positive impact the development of cages culture such us the increasing fish production for domestic consumtion and job opportunity for local community. Based on the statistical data the number of cage culture used for fish culture increased steadily for 15 unit in 1988 to 2.100 unit in 1997. Total production of fish harvested in 1997 is 1.545,32 tones. However, this considerable development of the cage culture has resulted in an adverse impact of water quality which in few resulted in the failure of production. It is reported that in 1977 about 50 % of the cages could not be hatvested as the fishes were died. The collaps of production resulting from the low water quality, usually happens during early raining season where the solar radiation is quite low. This results in the low rate of photosynthesis and consequently low oxygen production. In order to control the adverse impact of the cage culture the spatial planning was set up by reservoir management authority in collaboration with the provincial government and interrelated institution. Based on the time series data of water quality in Ciganea, there is increase in the concentration nutrient resulted of the decomposition of the great concentration production waste of cage culture. Increases in concentration nutrient resulted in eutrophication and increasing phytoplankton density, which In few increase consentration of oxygen required by phytoplankton during night time. Increasing phytoplankton and fish densities resulted in hightly defisit oxygen, consequently the number of fish cultivated in the cage that were dead also increase. It is clear that the main problem causing dateriotation of water quality is production waste that consisted of feed waste and metabolite. Therefore, this study is focused on the changes of the water quality in aquaculture areas of reservoir resuldted by cage culture activity. The objectives of the study are, {1) to find out the effects of cage culture activity on water quality change in waters environment; (2) to evaluate of the environmental impact of the cage culture on the water quality in Ciganea areas Jatiluhur reservoir. The objectives of the study are, (1) to find out the effects of cage culture activity on water quality change in waters environment; (2) to evaluate of the environmental impact of the cage culture on the water quality in Ciganea waters, Jatiluhur reservoir. The hypothesis in this study to be tested are : First There are not the differences of water quality in both the cage culture compared with in non cage culture areas. Second : There are the tendences of water quality decrease on periodically in Ciganea areas, before cage culture development until case of death fishes. The area of sudy are Ciganea and Ubrug waters of Jatiluhur reservoir, Purwakarta, West Java. The study was conducted during February 12 to March 5 1999. The Ciganea waters was used for cage culture, while Ubrug waters was free of cage culture activity. The methode of study used are survey methode, survey was conducted to collect water samples and to observe aquaculture activities reservoir and environment condition. The Area of Ciganea waters was about 40 ha, it's depth varied between (35-50) m. The waters was relatively stagnant quaite a far from the inlet of reservoir. Area of Ubrug waters was about 50 ha, it's depth varied between (16-30) m, it is south word of Ciganea. The waters condition relatively shalow, moderate curent and as the estuary from Cilalawi and Cisomang rivers. The water samples were collected weekly from 5 stations in Ciganea and 3 stations in Ubrug, using 3.5 liters Kemmerer Bottle sampler in vertical depth of surface, centre and at the bottom water. Distance between station in Ciganea and ubrug are about 750 m and 1500 m representatively. The depth of water sampled were the (0-0,5) m layer, the (1,4-1,8) m layer and the (34-49) m layer. Sampling was carried out during the day time. The physico-chemical characteristic of the water quality measured ware temperature, transparancy, pH, DO, BOD, alkalinity, amonia, amonium, nitrite, nitrate, posphate, and suspended of organic matter. Water samples ware analysed in the chemical laboratory belong to the Research Institute of Fresh Water Fisheries, compared to the standard quality of C catagory, stipulated through Governor of West Java Decree No. 38/1991. The hypothesis were tested by using statistical analysis. Results of the study show that : 1. The water quality in Ciganea waters to degradation as long as cage cultures activity development. It is indicated by condition of water quality parameters such us NO2, NO3, NF14, NH3 and P04, have been over of threshold value for water quality standard (C criteria), it was caused by input of feeding to waters and number of feeding tend to increases as long as cage cultures activities on going. The water quality in Ubrug is better than Ciganea waters, it is indicated by condition of water quality parameters such us NO2, NO3, NH4, NH3 and P04, was still good and still under threshold value of water quality standard (C criteria), It is because no pollutant from feeding to waters. The result of this study can be used. to sugestion of waters environment management in Jatiluhur reservoir, as follow : 1) It is nacessary for local government (Fisheries of Services Office) to control of number cage cultures was operated in Jatiluhur reservoirs, it is because have been carying capacity over. Base on the research, the number of cage culture recommended to operation is 400 unit/areas. Ways to control of cage culture through letter of effort, limitation of cage culture operating in waters through moving of cage culture to other areas and implemented of monitoring and surveillance. 2) It is nacessary for local government (Fisheries of Services Office) to control of number feeding to water a number of 3 °Io from weight of fish biomass to culture. Its means to prevent of polluted waters from feeding. Base on the research the number of feeding waste to waters is 5 kg/day, so recommended that less than 5 kg/day or (1-1,5) kglday of feeding waste to guiden of water quality. To impernented this program mus be following to law enforcement, extention and public awerenees to local community, especially to group of fish farmers in Jatiluhur reservoir. 3) it is necessary to enhancment of monitoring, controling and surveillance for net cage culture activity in Jatiluhur reservoir, it is involving the water quality and number of net cage culture aspect and also strengthening of law enforcement through doubt of law to farmers and official government. In order to implematation this activity is needed coordination with inter instituation and non government organisation. Biside that it is needed empowerment to local community so they can do self management and surveillance of violance to cage culture activity in Jatiluhur reservoir. 4) One of alternative to decrease of organic waste to waters is development of technical culture of environmental friendly. This technical was called double net cage cultures. Base on the research this technical can increase of use feeding efficiency and prevention of pollutted waters. Howerver it is necessary to study in detail especially including economic and assesibility aspect before introduced to community.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quraisyin Adnan
Abstrak :
ABSTRAK Perairan Teluk Jakarta sangat subur karena banyak sungai besar maupun kecil yang mengalir ke perairan ini dengan membawa nutrien atau zat-zat hara dari daratan kota Jakarta sehingga menjadi tempat yang sangat baik untuk para nelayan menangkap ikan. Dengan bertambahnya penduduk maka hasil buangan juga akan meningkat, sehingga akibatnya perairan akan cenderung mengalami kondisi eutrofik. Eutrofikasi merupakan suatu proses pengayaan perairan oleh zat-zat hara yang berlebihan dan berlangsung terus menerus dan ditandai oleh blooming satu jenis fitoplankton dan kekurangan zat oksigen di dekat dasar perairan. Akibat dari kondisi eutrofik ini maka sering kita jumpai kematian ikan atau biota dasar perairan secara masal. Untuk mengantisipasi masalah ini kepada masyarakat perlu digalakkan kesadaran lingkungan seperti tidak membuang sampah langsung ke badan-badan air. Perlu pula dimasyarakatkan budidaya ikan dan biota seperti kerang-kerangan. Lokasi penelitian: yaitu perairan-perairan estuarin Teluk Jakarta. Pengamatan dilakukan pada 6 titik wilayah dari barat ke timur yaitu Cengkareng, Muara Angke, Marina, Sampur, Blencong, dan Muara Gembong. Dilakukan pengambilan sampel fitoplankton dan pemeriksaan beberapa parameter hidrologi seperti suhu, salinitas, oksigen, pH, fosfat, dan nitrat. Analisis semua data dilakukan di Laboratorium Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. Hipotesis yang diajukan adalah: 1. Keragaman kelimpahan fitoplankton secara spasial dan temporal adalah sangat besar. 2. Keragaman kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh faktor -faktor suhu, salinitas, pH, oksigen, nitrat, dan fosfat, atau oleh kombinasi dari faktor-faktor lingkungan tersebut, dan nutrien merupakan faktor paling dominan dalam mempengaruhinya. 3. Keragaman fitoplankton sangat ditentukan oleh dominasi dari marga-marga yang dominan. Ringkasan hasil penelitian adalah sbb.: Reragaman kelimpahan fitoplankton sangat bervariasi. Pada keragaman secara temporal, kelimpahan pada bulan Juli, September, dan Februari tinggi, sedangkan pada bulan Mei dan Mopember relatif rendah. Pada keragaman secara spasial, kelimpahan tinggi terjadi pada wilayah Muara Angke, Marina, dan Sampur, sedangkan kelimpahan rendah terjadi pada wilayah Cengkareng, Blencong, dan Muara Gembong. Pada setiap pengamatan terjadi blooming fitoplankton yang didominasi oleh beberapa marga yang bergantian. Pada bulan Mei 1993 kelimpahan mencapai 6,34 juta sel/m3 yang didominasi oleh Skeletonema (39 %) dan Thalassiosira (36%). Pada bulan Juli kelimpahan mencapai 22,4 juta sel/m3dimana saat itu sedang terjadi blooming Skeletonema (51%) dan blooming Thalassiosira (49%). Pada bulan September kelimpahan mencapai angka tertinggi selama penelitian yaitu 62,6 juta sel/m3. Pada saat itu terjadi blooming oleh Chaetaceros (99 %). Pada bulan Nopember kelimpahan paling rendah selama penelitian yaitu 1,5 juta sel/m3. Pada saat itu sebenarnya sedang terjadi ledakan populasi Noctiluca. Walaupun jumlahnya kecil tetapi karena ukuran setiap sel nya adalah besar yaitu dapat mencapai 2 mm maka kondisi demikian sesungguhnya sedang terjadi blooming oleh Noctiluca (58%) dan Chaetviceros sebesar 42%. Pada bulan Februari 1994 kelimpahan mencapai 14 juta sel/m3. Pada saat itu sedang terjadi blooming oleh Skeletonema {99,8 %) dan Noctiluca sebesar 0,2 %. Pola kelimpahan tampak berlawanan dengan pole curah hujan maupun pola kelimpahan di perairan P. Pari dan Teluk Jakarta secara umum. Pola kelimpahan mempunyai 2 puncak yaitu puncak ke 1 terjadi pada periode Mei-September dimana titik puncak terlihat pada bulan September (tertinggi), dan puncak ke 2 terjadi pada bulan Februari. Hubungan kelimpahan fitoplankton terhadap parameter-parameter hidrologi menunjukkan hubungan yang sangat erat (p<0,01) pada pengamatan-pengamatan bulan-bulan Mei, Nopember, dan Februari; dan hubungan erat (p<0,05) pada bulan-bulan Juli dan September. Interaksi fosfat dengan nitrat berpengaruh kuat terhadap kelimpahan fitoplankton pada bulan Mei, Nopember, dan Februari. Interaksi suhu dengan oksigen mempunyai korelasi terhadap kelimpahan fitoplankton pada bulan Juli. Interaksi suhu dengan salinitas berkorelasi kuat terhadap kelimpahan pada bulan September. Dengan tingginya limbah domestik yang masuk ke perairan Teluk Jakarta dan terbukti perairan ini selalu mengalami blooming dan bahkan kematian ikan sering terjadi menuniukkan bahwaperairan ini telah cenderung mengaiami kondisi eutrofik. Hal ini berarti di perairan sedang terjadi penurunan kualitas air karena sedang menghadapi tekanan-tekanan yang datang dari daratan.
ABSTRACT Spatial and Temporal Variations of The Structures of Phytoplankton Communities at The Estuary of The Jakarta BayJakarta Bay is very rich of nutrient due to many rivers which bring the nutrients to the waters from the land of Jakarta. Therefore this area become a good place for fisheries. The increasing of the domestic wastes because of the population growth, will result the tendency of the eutrophication condition. Due to this condition, sometime we face the mass mortality of fish due to the oxygen depletion condition at the bottom of the water. In anticipation of this problem, the public should be made aware of the environmental condition: not throwing away the wastes directly to the water, and fish and benhic fauna cultures i. e. mussels, etc. should be also introduced to them. The location of the research: are at 6 locations along the coast from the west to the east of the Jakarta Bay, namely Cengkareng, Muara Angke, Marina, Sampur, Blencong, and Muara Gembong. The samples were studies for phytoplankton and temperature, salinity, oxygen, pH, phosphate, and nitrate. All samples were analyzed at the Laboratory of Puslitbang Oceanology - LIPI, Jakarta. The Hypothesis are Spatial and temporal variations of phytoplankton densities were high. The variations were influenced by temperature, salinity, pH, oxygen, nitrate, and phosphate, and the inter-action of the factors. The nutrient is the main factor for phytoplankton growth. The variations were also strongly influenced by the dominant genera. The summary : The variations of phytoplankton densities were high. For the temporal variatons, the phytoplankton densities in July, September, and February were high, while in May and November were relatively low. For the spatial variations, the densities at Muara Angke, Marina, and Sampur were high, while at the other areas: Cengkareng, Slencong, and Muara Gembong were low. There were always blooming which were dominated by some genera. In May, the average phytoplankton density was 6,34 million cells/.m3 where the community was dominated by Skeletonema {39%) and Thalassiasira (36%). In July, the density reached 22,4 million cells/m3 where the phytoplankton communities were dominated by Skeletonema (51%) and Thalassiosira (49%). In September, the density reached the highest value i. e. 62,6 million cell/m3. At that time Chaetoceras outbreak was occurred (99%). In November, the phytoplankton density reached the lowest value, i. e. 1,5 million cells/m3. At that time Noctiluca outbreak was occurred. Although the density was low, the size of Nactiluca is quite big (2mm in diameter). Therefore Noctiluca outbreak (58%) occurred and was reached 14 million cells/m0. At that time the blooming of Skeletonema occurred (99,8 %) and Noctiuca was only reached 0,2 %. The pattern of the densities of phytoplankton were in opposite to the pattern of the densities in this bay in general and the pattern of the rain fall. The relationship of densities and environmental condition were very significant (p<0,01) in May, November, and February; and were significant (p<0,05) in July and September. Nitrate was much influenced the phytoplankton densities, while phosphate was not so. The inter-action of nitrate-phosphate was significantly influenced and positive to the growth of phytoplankton in May and February, while in November was significant and negative. The interaction temperature-oxygen was significant and negative to the phytoplankton growth in July. In September, the inter-action temperature-salinity was significant and positive to the phytoplankton growth. As the result of high influx of domestic wastes to the water of the Jakarta Bay, the fact that the water was always in bloom condition and fish and benthic animals mortalities frequently occurred. This condition reflects the tendency of the eutrophic process. This means that the As the result of high influx of domestic wastes to the water of the Jakarta Bay, and the fact that the water was always in bloom condition, and fish and benthic animals mortalities frequently occurred, reflects the tendency of the eutrophic process. This means that the quality of the water is worsening due to the pressure coming from the land. References : 64 books and papers (1925-1994).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
Abstrak :
Salah satu kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia yang kegiatan pariwisatanya berkembang cepat adalah wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu di Jakarta Utara. Sebanyak 14 dari 110 pulau-pulau kecil di wilayah ini, telah dikembangkan sebagai pulau wisata. Tingkat pertumbuhan jumlah wisatawan relatif besar, mencapai rata-rata 11,21% per tahun. Pada tahun 1993, jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai 119.278 orang, dan 27,68% di antaranya wisatawan mancanegara. Wilayah ini khususnya perairan laut bagian utara, memiliki keanekaragaman karang yang tinggi, meliputi 67 genera dan subgenera yang mencakup paling sedikit 123 spesies karang, serta habitat penyu sisik dan hutan mangrove. Sehingga bagian wilayah tersebut yang mencakup 108.000 Ha perairan laut dan 72 pulau, ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 dan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982. Pembagian zona TNL Kepulauan Seribu ditetapkan kemudian melalui Surat Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Nomor 02/VI/TN-2/SK/1986, serta dipertegas lagi di dalam Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) Kecamatan Keputauan Seribu Tahun 1985-2005 (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 1987). Ekosistem terumbu karang memiliki nilai estetika sangat tinggi, sehingga menjadi atraksi penting bagi jenis pariwisata yang berorientasi kepada 3 S (Sea, Sun, Sand).. Pengembangan pulau sebagai pulau wisata dilakukan dengan pembangunan prasarana, fasilitas peristirahatan dan rekreasi serta fasilitas pendukungnya di pulau tersebut. Pulau-pulau di Kepulauan Seribu sendiri, terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Pulau merupakan sebuah lingkungan khusus yang berbeda dari lingkungan daratan luas apalagi kontinental. Pulau kecil (small island), memiliki sumber daya alam (lahan, air tanah, flora dan fauna) sangat terbatas, rasio yang tinggi antara panjang keliling pantai dan luas tanah, areal tanah relatif sempit, daerah tangkapan air hujan kecil, proporsi air hujan dan material tanah (soil) yang hilang tererosi ke laut umumnya besar, kapasitas air tawar sangat terbatas dan rawan kekeringan, spesies endemik lebih tinggi dibanding daratan luas apalagi kontinental, dan secara terns menerus terbuka terhadap aksi gelombang laut pada semua sisi. Pulau karang, memiliki ekosistem yang sederhana. Letaknya rendah, tanah dasarnya terdiri atas endapan karang, fertilitas tanah rendah, tidak memiliki air permukaan, air tanah sangat terbatas dan mudah habis. Karena tanahnya banyak pori, perembesan air dari permukaan sangat cepat sehingga cadangan air tanah sangat mudah terkontaminasi. Lingkungannya bersifat mudah luka (vulnerable) dan rapuh (fragile), dan kemudahlukaan serta kerapuhan lingkungan tersebut berkaitan erat dengan kecilnya ukuran pulau. Mudahnya keseimbangan ekologi lingkungan pulau terganggu, membuat pulau terlalu kecil untuk dikembangkan sebagai basis bagi aktivitas berskala besar, serta memerlukan cara pengelolaan yang diserasikan dengan karakteristik lingkungan. Sehingga pulau kecil, merupakan sebuah kasus khusus di dalam pembangunan. Mengingat Kepulauan Seribu relatif dekat dari Kota Jakarta, pariwisata di kawasan ini akan terns meningkat, yang diimplementasikan dalam bentuk pengembangan pulau-pulau lain menjadi pulau wisata, peningkatan intensitas bangunan pada pulau-pulau wisata yang ada, serta peningkatan aktivitas wisata itu sendiri, yang kesemuanya akan mendorong pengubahan lingkungan pulau yang semakin besar disertai peningkatan tekanan dan dampak terhadap lingkungan pulau. Usaha pariwisata merupakan kegiatan ekonomi yang berorientasi kepada keuntungan, sehingga sangat mementingkan omzet usaha, yang dengan demikian cenderung mengikuti perkembangan permintaan pasar dengan peningkatan kapasitas fasilitas pariwisata. Di lain pihak, kelangsungan usaha pariwisata tersebut sangat dipengaruhi oleh kelestarian lingkungan yang justru menjadi asset pariwisata itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian: seberapa besar kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan di pulau-pulau wisata di Kepulauan Seribu dikaitkan dengan daya dukung lingkungan pulau, bagaimana pola pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan, serta bagaimana seharusnya pengelolaan lingkungan dilakukan sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau-pulau wisata tersebut. Dibanding pulau-pulau wisata di luar kawasan TNL Kepulauan Seribu, pulau-pulau wisata yang berada di dalam kawasan TNL Kepulauan Seribu lebih representatif sebagai kawasan wisata bahari karena memiliki kualitas lingkungan lebih baik (terutama perairan dan biota lautnya) sehingga atraksi wisata bahari yang tersedia lebih lengkap. Di samping itu, sehubungan dengan fungsinya sebagai daerah konservasi, tuntutan terhadap upaya pelestarian lingkungannya lebih tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada pulau-pulau wisata yang berada di dalam Zona Pemanfaatan kawasan TNL. Kepulauan Seribu, yang memang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata secara intensif. Dari 6 pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata di zona tersebut, dipilih 3 (tiga) pulau sebagai obyek penelitian, yaitu Pulau-pulau Putri, Petondan Barat, dan Macan Besar. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan berupa penerapan pengertian "Pengelolaan Lingkungan" menurut definisi yang tercantum di dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yaitu, pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu di dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan lingkungan hidup. Sehingga di dalam penelitian ini, pengelolaan lingkungan pulau wisata disebut di atas ditinjau dari aspek-aspek pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan. Pertanyaaan penelitian mengenai besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan pada pulau-pulau wisata, dilihat dari segi besaran-besaran pemanfaatan areal daratan pulau, kapasitas fasilitas peristirahatan, dan kepadatan wisatawan. Penelitian pengelolaan lingkungan pada pulau-pulau wisata ini, dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan komponen-komponen lingkungan atau aktivitas yang berkenaan dengan setiap aspek pengelolaan lingkungan. Baru kemudian dari setiap komponen lingkungan/aktivitas tersebut, ditetapkan indikator dan variabelnya masing-masing. Dari identifikasi tersebut, ternyata, ketujuh aspek pengelolaan lingkungan, memiliki sebanyak 33 indikator, dan keseluruhannya terdiri atas 92 variabel. Berdasarkan daftar variabel tersebut kemudian diinventarisasi data yang diperlukan untuk setiap variabel. Penelitian bersifat deskriptif ini tergolong sebagai penelitian survei (nonexprimental). Informasi dan data dikumpulkan secara sistematis dan bertahap, mulai dari studi kepustakaan, survei instansional untuk memperoleh data sekunder, kemudian observasi lapangan, serta dilanjutkan dengan pencarian data primer secara terinci. Data primer diperoleh melalui data kuesioner dari para pengelola pulau, wawancara mendalam dengan para manajer dan staf di pulau, serta penelitian dan pengukuran komponen-komponen panting lingkungan pulau di lapangan. Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Juni - Juli 1994. Data ketiga pulau yang menjadi obyek penelitian, disusun dalam bentuk tabel dan sebagian dilengkapi peta, untuk menggambarkan kondisi dari masing-masing pulau untuk setiap variabel. Analisisnya diungkapkan secara deskriptif, berurutan menurut ketujuh aspek pengelolaan lingkungan, sekaligus untuk ketiga pulau. Untuk menafsirkan hasil analisis pengelolaan lingkungan di ketiga pulau, maka kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel dari ke 92 variabel diletakkan dalam kontinum dari setiap variabel tersebut, masing-masing dengan skala yang sesuai, untuk kemudian, dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Skala dari kontinum variabel ditetapkan berdasarkan batasan-batasan dari peraturan yang ada, teori, dan jarak perbedaan kondisi masing-masing ketiga pulau untuk variabel yang bersangkutan. Berdasarkan posisinya di dalam skala kontinum, kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel dinyatakan dalam nilai kualitatif, dengan 2 gradasi nilai (misal "Tidak Sesuai" dan "Sesuai"), 3 gradasi nilai (misaI "Kecil", "Sedang", "Besar"), atau 5 gradasi ("Sangat Kecil", "Kecil", "Sedang", "Besar", "Sangat Besar"). Penggunaan 2, 3 atau 5 gradasi nilai kualitatif, ditentukan berdasarkan jumlah skala dari kontinum masing-masing variabel. Nilai kualitatif tersebut kemudian ditetapkan nilai kuantitatifnya, berupa nilai nominal dari 1 sampai 5. Nilai tertinggi (5) diberikan kepada nilai kualitatif paling sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau, dan nilai terendah (1) diberikan kepada nilai kualitatif paling tidak sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata. Dengan asumsi bahwa bobot nilai dari setiap variabel sama, maka jumlah nilai kuantitatif maupun nilai rata-rata setiap pulau untuk setiap aspek pengelolaan, dapat dihitung. Begitu pula nilai total pengelolaan lingkungan secara keseluruhan pada masing-masing pulau, serta nilai rata-rata dari ketujuh aspek pengelolaan lingkungan. Untuk membedakan status nilai pengelolaan lingkungan dari ketiga pulau, maka terhadap nilai rata-rata dari semua variabel dari setiap aspek pengelolaan maupun nilai rata-rata dari ke 92 variabel pengelolaan lingkungan, dilakukan kategorisasi sebagai berikut:
Nilai rata-rata 1, kategori Sangat Buruk.
Nilai rata-rata 2, kategori Buruk.
Niiai rata-rata 3, kategori Sedang.
Nilai rata-rata 4, kategori Baik.
Nilai rata-rata 5, kategori Sangat Baik. Berdasarkan nilai kualitatif dan nilai kuantitatif yang diperoleh masing-masing pulau, maka besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan di setiap pulau, dapat dinilai secara jelas khususnya dikaitkan dengan ambang batas yang diperkenankan sesuai tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata. Begitu pula kesesuaian dan ketidaksesuaian dari pola pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan pada masing-masing ketiga pulau wisata tersebut, baik menurut ketujuh aspek pengelolaan maupun terperinci menurut variabel pengelolaan lingkungan. Dari hasil identifikasi atas ketidaksesuaian dan kesesuaian pengelolaan lingkungan pulau-pulau tersebut, dapat diketahui bagaimana seharusnya pengelolaan lingkungan pulau wisata dilakukan, sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata. Selain itu, bertolak dari kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel, dibandingkan dengan kondisi yang seharusnya, dapat dikemukakan saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan, baik pengelolaan lingkungan kawasan taman nasionai laut secara umum, begitu pula pengelolaan lingkungan masing-masing pulau. Sesuai hasil penilaian dengan tata cara dikemukakan di atas, maka terhadap ketiga pertanyaan penelitian dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan secara ringkas sebagai berikut:
1. Besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan pada pulau-pulau wisata. Dari segi intensitas bangunan dan kemampuan suplai air tanah dangkal setempat, pengembangan pariwisata di Pulau-pulau Putri, Petondan Barat dan Macan Besar sudah mencapai Batas maksimum daya dukung lingkungan, walaupun dari segi kepadatan wisatawan masih relatif rendah. OIeh karena itu, peningkatan jumlah wisatawan masih dimungkinkan, namun harus didukung oleh suplai air bersih dari sumber lain;
2. Pola pengelolaan lingkungan pulau-pulau wisata di kawasan TNL Kepulauan Seribu. Dari penilaian terhadap ke 92 variabel pengelolaan lingkungan pulau wisata, diperoleh kesimpulan bahwa nilai pengelolaan lingkungan PuIau Putri memperoleh kategori Sedang dengan nilai rata-rata 3,62, dan Pulau Petondan Barat memperoleh kategori Sedang dengan nilai rata-rata 3,40, sedangkan Pulau Macan Besar memperoleh kategori Buruk dengan nilai rata-rata 2,46. Keberhasilan Pulau Putri mencapai nilai rata-rata 3,62, terutama diperoleh dari kategori baik pada aspek penataan lingkungan (dengan nilai rata-rata 4,29) dan aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 4,09), serta kategori Sedang pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 3,91). Pulau Petondan Barat memperoleh kategori Baik{ pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 4,27) dan aspek penataan lingkungan (nilai rata-rata 4,00), serta kategori Sedang pada aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 3,86). Sedangkan Pulau Macan Besar hanya memperoleh kategori Sedang pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 3,18), aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 3,04), dan aspek pengawasan lingkungan (nilai rata-rata 3,00). Pada keempat aspek pengelolaan lainnya, memperoleh kategori Buruk. Dari identifikasi terhadap nilai yang diperoleh masing-masing pulau untuk setiap variabel dari ke 92 variabel, maka jumlah variabel yang bernilai masih kurang dari 3 (belum mencapai kategori Sedang) pada masing-masing pulau adalah sebagai berikut:
Pulau Putri, sebanyak 19 variabel;
Pulau Petondan, sebanyak 29 variabel;
Pulau Macan Besar, sebanyak 55 variabel.
3. Pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata
Pengelolaan lingkungan pulau wisata, sebagaimana dikemukakan sebelumnya dinilai dari ke 92 variabel. Karena itu, pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata, didasarkan kepada rumusan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata terhadap setiap variabel dari masing-masing ketujuh aspek pengelolaan lingkungan. Berdasarkan rumusan tersebut dikemukakan bagaimana pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata, yang dirinci masing-masing untuk aspek pemanfaatan lingkungan, penataan lingkungan, pemeliharaan lingkungan, pemulihan lingkungan, pengawasan lingkungan, pengendalian lingkungan, dan pengembangan lingkungan. Di dalam penelitian ini juga diperoleh temuan-temuan lain yang menyangkut pengelolaan kawasan taman nasional laut dan komponen-komponen lingkungan pulau bersifat strategis. Berdasarkan temuan-temuan ini, serta hasil penilaian terhadap ke 92 variabel pada masing-masing pulau, dirumuskan implikasinya terhadap kebijaksanaan pengelolaan lingkungan, meliputi:
1. Kebijaksanaan pengelolaan kawasan taman nasional laut dan pembangunan pulau wisata; Kebijaksanaan terhadap pulau-pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata;
2. Kebijaksanaan terhadap pulau-pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata
3. Pengembangan peraturan yang. sudah ada (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penataan dan Pengelolaan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta Utara). Selain itu, berdasarkan identifikasi terhadap variabel-variabel yang masih bernilai kurang dari 3 (tiga) pada masing-masing pulau, maka dikemukakan saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan, yang spesifik untuk masing-masing pulau serta saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan yang berlaku untuk ketiga pulau. Terakhir dikemukakan saran tentang penelitian lanjutan yang perlu dilakukan berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan pulau wisata yang tidak bisa dijangkau oleh penelitian ini, yaitu:
1. Neraca air dan alternative pengembangan sumber air bersih di pulau-pulau wisata, pengolahan air asin, serta persyaratan minimal proses pengolahan air buangannya;
2. Jenis-jenis flora spesies pulau paling sesuai untuk diprioritaskan pengembangannya di pulau-pulau wisata untuk kepentingan pemeliharaan kelestarian lingkungan pulau sekaligus keperluan fungsi pulau sebagai obyek wisata. ...... One of Indonesian small island areas that have rapid growth in tourism is KepuIauan Seribu area, located in northern Jakarta. At present, 14 of 110 small islands in Kepulauan Seribu area have been developed as resort islands, with the growth of visitors about 11.21% per year. In 1993, the amount of visitors was 119,278 persons, and 27.68% of them are international tourists. This area -- especially the northern area -- has high diversity of coral, consists of 67 genera and subgenera with 123 coral species, turtles habitat, and mangrove ecosystem. The northern area that covered 108,000 Ha marine area and 72 islands, has determined as Kepulauan Seribu Marine National Park by the Decree of Agriculture Minister Number 527IKpts1Um/7/1982, and Statement Letter of Agriculture Minister Number 736IMentan/X11982. Later the zone of this marine national park is determined in the Decree of Director of National Park and Forestry Resort Number 02NIITN-211986, and reconfirmed in the District Plan of Kecamatan Kepulauan Seribu 1985 - 2005 (Regional Regulation of DKI Jakarta Number 311987). Coral reef ecosystems with its high aesthetic value become the most attractive and valuable things in "3S" oriented tourism sector (Sea, Sun, Sand). The development of an island to be a resort island, implemented by construction the infrastructures, provide accommodation and recreation facilities and also supporting facilities for the island. Historically, islands in Kepulauan Seribu, were formed by the growth and development of coral reef. An island has unique environment, that different from large area and continent. Small island has limited resources such as: land, groundwater, flora and fauna, high ratio between the length of the coast lines and the square of the land, the area is very limited, small catchments area, the proportion of rainfall and eroted soil that bring to the sea is high, endemic species, and continually are opened to the wave action at all sites. Coral island has a simple ecosystem. Located in low area, the basement consist of coral cays with low fertility level, has no surface water, limited groundwater that wiped out easily and high risk of contamination by pollutant because of porous soil. The environment of coral island is vulnerable and fragile. These conditions are relates directly to the size of the island. The delicate ecological balance, makes small island only has little possibility to be improved as a center for large scale activities. To change ordinary small island to be a resort island with common plan is not possible to be implemented. There for, small island is a special case in development and need special management based on the characteristic of its environment. Considering the location of the area that relatively closed to the city of Jakarta, the development of tourism sector in Kepulauan Seribu will continue to increase. The increasing of tourism will be implemented on the development the other islands to be resort island, increasing the intensity of the building construction on existing resort island, and also improve tourist activities. These will encourage rapid changing of the island environmental and followed by increasing of pressures and impacts to the environment of island. Basically, tourism sector is a commercial activity with profit orientation, by enlarging tourism activity, so that tend to fulfill the demand on tourism sector by extending capacity of the facilities in the resort island. In the contrary, the sustainability of this business is very much affected by the conservation of natural environment, which has role as the tourism asset itself. The objective of this research is to answer the following questions: how far the tourism activities have been developed in the resort island of Kepulauan Seribu Area, how is the existing environmental management on each island resort, and how is the management of the island environment should be implemented that suitable to the characteristic of the island environment. Resort islands in the boundary of Kepulauan Seribu National Marine Park, are more representative as marine tourism than those islands resorts out of boundary, due to better environmental quality (especially for their seas and coral reef ecosystems). Therefore they able to provide more attractive and complete activities. Relate to its function as the conservation area, the requirement on the effort for the conservation of Kepulauan Seribu Marine National Park area is high. Therefore, this research was focussed in the resort island located in Tourism Development Zone of Kepulauan Seribu Marine National Park, which planned for intensive use for tourism. From 6 islands which have developed as resort island in that zone, 3 islands were chosen as the object of this research, i.e.: Putri Island, Petondan Barat Island, and Macan Besar Island. This research was done with an approach on the application of the concept on environmental management based on the definition of Act Number 411982 about The Basics Provision for Environmental Management (Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup). That Act defined that Environmental Management is an integrated effort on the utilization, planning, preservation, restoration, controlling, provision, and enhancement of the environment. So in this research, the environmental management of Resort Island will be focused only on the seven aspects of environmental management. This research was started by indentifying environmental elements or activities that were exposured to each aspect of the enviromental management started this research. Then, indicators and variables from each environmental elements or activities were defined one by one. Actually, seven aspects of environmental management consist of 33 indicators, and as the whole there are 92 variables. As the next step is listing needed data based on the variables. This descriptive research is classified as a survey research (non - experimental). All information and data were collected systematically and gradually, started from library studies, institutional surveys to get secondary data, and field observation. Then looking for primary data followed it. Primary data were gained from questionnaires, depth interview with managers and staffs in Resort Island, surveys and measurement of many important elements of island environmental in the fields. Field surveys were doing in June through July 1994. The data of three islands that have been collected was compiled and written to tables and many of them also completed by maps to explain the present condition of each island for each variable. The analysis was elaborated descriptively based on the sequence of the seven aspects of environmental management of the three islands. To interpret the results of the environmental management analysis of these three islands, the condition of 92 variables for each island, was placed in the continuum of each variable with appropriate scale, and then was measured by qualitative and quantitative value. The determination on the scale of each variables continuum is based on the restriction of the existing regulation, theory, and differences of existing condition for each variable for each island. Based on the position in the continuum scale, the condition of the variable for each island was stated in qualitative value, in 2 grade values (example: "Unsuitable" and "Suitable"), 3 grade values (example: small, medium, large), or 5 grade values (example: very small, small, medium, large, very large). The use of 2, 3, or 5 grade of qualitative value is counted based on the total scale of the continuum of each variable. That qualitative value, then, was transferred to quantitative value, with nominal value, from 1 to 5. The highest score (5) was given to qualitative value that most suitable to the characteristics requirement of island environment, and the lowest score (1) was given to qualitative value that most unsuitable to the characteristics requirement of island environment. By assuming that each variable has equal weight, the total of quantitative value and the average of these scores for each island in each aspect of environmental management, was counted. And for the average and total scores of seven aspects of environmental management for each island. To distinguish the status of the value of environmental management of those three island resorts, the average score of variables included in each aspect of environmental management and average score of the 92 variables of environmental management, are categorized as follows:
- Average score 1, categorized as Very Bad; - Average score 2, categorized as Bad;
- Average score 3, categorized as Moderate; - Average score 4 categorized as Good;
- Average score 5, categorized as Very Good; Based on qualitative and quantitative value that obtained for each island, the quantity of tourist activities that have developed in each island, could be remarked clearly, especially thing that related with the maximum limit available to the characteristic requirements of island environment. By the same way, the suitable and unsuitable of environmental management that has been carried out in each island, either to the seven aspects of environmental management or to the detailed variables of environmental management could be remarked. Resorts Island based on the characteristic requirements of island environment, could be settled up. Beside that, with reference to existing condition of each island according to each variable, compared to the desired condition, recommendations for the improvement of environmental management, can be highlighted, either environmental management to national marine park area in generally or environmental management to each resort island. Based on the assessment using the procedure written previously, for three research question stated in beginning of this report, could be concluded as follows:
1. The quantity of tourism activities that have been developed in the resort islands of Kepulauan Seribu especially in Kepulauan Seribu National Marine Park: In the side of building intensity and the ability of groundwater supply, the development of tourism in the three islands have reached to the maximum of the environmental carrying capacity. But in the side of tourist density, is still low. Therefore, increasing the amount of tourists is still available, but must be supported by supply of fresh water from the other sources.
2. Existing environmental management in resort islands of KepuIauan Seribu National Marine Park. By assessing to 92 variables of environmental management in resort island, it can be concluded that the score of environmental management in Putri Island reach the moderate category with average score of 3.62. The same category reached by Petodan Barat Island with average score of 3.40. Macan Besar Island only gets bad category with average score of 2.46. The successful of Putri Island gets average score 3.62, because the island has good category in environmental planning (average score 4.29), environmental preservation (average score 4.09), and moderate category in environmental utilization (average score3.91). Petondan Barat Island gets good category in environmental utilization (average score 4.27), environmental planning (average score 4.00), and medium category in environmental preservation (average score 3.86). Macan Besar Island gets medium category in environmental utilization (average score 3.18), environmental preservation (average score 3.04), and environmental controlling (average score 3.00). For another four aspects, gets only bad category. From the identification on the score for each island on the 92 variables, the amount of variables that have score less than 3 (have not reached moderate category) in each island, were as follows:
Putri Island, in 19 variables;
Petondan Barat Island, in 29 variables;
Macan Besar Island, in 55 variables.
3. The Appropriate Environmental Management in Resort Island. Environmental management in Resort Island as explained formerly, was assessed from the 92 variables. Therefore, the appropriate environmental management in resort islands is based on the formulation of characteristic requirements of resort island environment due to each variable of the seven aspects of environmental management. Based on that formulation, the environmental management that appropriate to be carried out in resort islands can be elaborated individually' for the utilization, planning, preservation, restoration, controlling, provision, and the enhancement of environment. The research also gets the other findings related to the management of national marine park area and strategic component of environmental island. Based on these findings, and the results of the assessment on 92 variables in each island, the implication to the policy for environmental management can be formulated, that covered:
1. Policy on the management of national marine park area and resort island development;
2. Improving existing regulation (DKI Jakarta Regulation Number 111 1992). Based on identification for variables that get score less than 3 in each island, improvement of environmental management can be stated, either specific for each island or for the three islands. At last, it was proposed the recommendation to do further research related to the effort for environmental sustainability of resort island that can not be touched in this research.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pingkan Roeroe
Abstrak :
Perairan Teluk Buyat terletak di Desa Ratatotok, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Desa ini terkenal dengan tambang emas yang dikelola oleh rakyat dengan metode tradisional. Pada tahun 1987 secara resmi Pemerintah Sulawesi Utara sudah menutup kegiatan pertambangan rakyat di desa ini. Pada tahun 1996 sebuah perusahaan PMA yaitu PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) memulai kegiatan pertambangan yang dikelola secara besar-besaran. Limbah tailing-nya dibuang ke perairan ini pada kedalaman 82 meter melalui sebuah pipa. Selain itu beberapa desa yang berbatasan dengan Desa Ratatotok ini masih melakukan kegiatan pertambangan yang dikelola oleh rakyat. Dalam pengolahannya digunakan Iogam berat merkuri untuk mengikat emas. Limbah yang mengandung logam berat terutama merkuri dibuang langsung ke tanah dan sungai yang ada kemudian mengalir ke perairan di sekitar Teluk Buyat. Merkuri merupakan salah satu logam berat yang banyak dimanfaatkan oleh manusia, tetapi berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan. Hal ini terjadi karena salah sifat dari merkuri yang dapat terakumulasi dalam tubuh suatu organisme dalam jangka waktu yang lama. Daya racun merkuri terhadap organisme perairan terutama disebabkan terjadinya perubahan komponen merkuri anorganik menjadi merkuri organik (metil merkuri) oleh jasad renik dalam air. Senyawa metil merkuri bersifat mudah diabsorbsi dan terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme dan tahan terhadap penguraian lebih lanjut (OECD dalam Laws, 1981). Gambaran secara umum kadar bahan pencemar dalam suatu lingkungan dapat diketahui dengan menggunakan beberapa indikator yang dapat mengakumulasi bahan-bahan pencemar yang ada sehingga dapat mewakili keadaan lingkungan tersebut. Dalam lingkungan perairan ada 3 media yang dapat dipakai sebagai indikator pencemaran logam berat merkuri yaitu air, sedimen, dan organisme hidup. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui besamya kandungan logam berat merkuri dalam air laut, sedimen dan kerang sebagai indikator pencemaran di perairan Teluk Buyat dan sekitamya dan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kegiatan pertambangan emas terhadap kualitas perairan Teluk Buyat dan sekitamya. Pengambilan contoh dilakukan di 3 lokasi yaitu Pantai Kotabunan (lokasi A) dengan 10 stasiun, Teluk Buyat (lokasi B) dengan 10 stasiun dan Teluk Totok (lokasi C) dengan 5 stasiun. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1) Kandungan merkuri dalam air laut, sedimen, dan kerang di lokasi A (Pantai Kotabunan) lebih tinggi dad lokasi B (Teluk Buyat) dan lokasi C (Teluk Totok). Hasil uii statistik menunjukkan adanya perbedaan secara nyata antara kandungan merkuri dalam air laut, sedimen, dan kerang di lokasi A dengan lokasi B dan C, sedangkan merkuri dalam air Taut di lokasi B tidak berbeda nyata dengan lokasi C. 2) Kandungan merkuri dalam sedimen dan kerang di lokasi C sebagai kontrol lebih tinggi daripada lokasi B. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar merkuri dari pertambangan rakyat pada waktu lalu yang masuk dalam Iingkungan perairan mengendap di dasar perairan dan terakumulasi dalam tubuh kerang. 3) Kandungan merkuri dalam sedimen dan kerang di lokasi A (Pantai Kotabunan) lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi B (Teluk Buyat), dan lokasi C (Teluk Totok) lebih tinggi dari lokasi B, ini menunjukkan bahwa proses pengolahan emas yang dikelola secara tradisional oleh rakyat adalah sumber utama pencemaran merkuri di daerah penelitian. Untuk mengendalikan pencemaran merkuri perlu adanya pengolahan limbah secara terpadu dan perhatian khusus dari Pemerintah Daerah Sulawesi. Maka mengingat saat ini banyak kegiatan pertambangan rakyat di daerah ini.
Buyat Bay is located in Ratatotok Village, Minahasa Regency, North Sulawesi. This village is well known for gold mining and managed by people in traditional method. In 1987, the local government has been discontinued its activities. In 1996, PT. Newrnont Minahasa Raya (PT. NMR) as a foreign investment started the mining activity on a large scale. The tailing waste is thrown away to Buyat Bay at 82 meters depth through a pipe. Beside this company, there are a few villages surrounding Ratatotok Village still doing the mining activity. It uses mercury to bind the gold. Mercury is one of heavy metal. The waste that contents mercury is thrown away to soil and river, and then flow to Buyat Bay. Mercury is one of heavy metal that is dangerous for environment and human health but people often use it. One of the characteristics of mercury is it can be accumulated in organism body in long, term period. Mercury contents poison caused by component change from anorganic mercury to organic mercury (methyl mercury) by microorganism in water. Methyl mercury is easy to absorb and accumulate in organism body and resistant further to chemical processes (OECD in Laws, 1981). General description about pollution degree in environment can be known by use of a few indicators that accumulate polluters in location. In waters environment, there are 3 media that can be used as environment indicators of mercury, those are water, sediment, and living organism. The purposes of this research are as follows to know the content of mercury in seawater, sediment, and mollusk as pollution indicators in Buyat Bay and surroundings, and to know the impact of gold mining activity to water quality in Buyat Bay and surroundings. Sample are taken in 3 locations; those are Kotabunan Beach (A location), with 10 station, Buyat Bay (B location) with 10 station, and Totok Bay ( C location) with 5 station. According to analysis and discussions of this research are as follows 1) The content of mercury in seawater, sediment, and mollusk in location A (Kotabunan Beach) is higher than location B (Buyat Bay) and location C (Totok Bay). Statistic test indicates significant difference between mercury content in seawater, sediment, and mollusk in location A with location B and C, but mercury in sea water in location B indicates not significant with location C. 2) The content mercury in sediment and mollusk in location C as an indicator control higher than location B. This indicates that a large part of mercury in people mining has been settled in the bottom of waters environment and accumulate in mollusk. 3) The content of mercury in sediment and mollusk in location A (Kotabunan Beach) is higher than location B (Buyat Bay) and location C (Totok Bay) is higher than location B indicates that process of gold mining managed by the people traditionally is a major source of mercury pollution at study areas. To control mercury pollution one needs integrated waste treatment and special attention from local government because of a lot of mining activity in this province.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T14618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmad Safa`at
Abstrak :
Peningkatan sektor modern dalam pengelohaan sumber daya laut--perhubungan laut, penambangan energi minyak dan gas bumi, penambangan pasir laut, wisata laut, penyelamatan mutu lingkungan maupun penangkapan ikan dengan teknologi modern--acapkali menyebabkan "terpinggirkan" bahkan "terabaikan"-nya akses nelayan tradisional dalam pengelolan sumber daya perikanan. Sektor modern dengan dukungan modal, teknologi, hukum dan politik akan memperoleh akses lebih mudah dan lebih banyak terhadap sumber daya alat-alat produksi dan kescinpatan ekonomi. Sebaliknya nelayan tradisional dengan keterbatasan modal, teknologi, hukum dan politik memperoleh akses lebih "sulit" dan "sedikit" terhadap sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi. Perbedaan ini menimbulkan konflik antar kelompok yang memiliki akses dengan kelompok yang tidak memilikinya. Masyarakat nelayan yang umumnya hidup di sepanjang pantai secara tradisional mempunyai lrak adat kelautan yang keberadaannya belum diatur secara tersendiri (otonom) dalam sistem perundangan-undangan nasional sebagaimana leak adat alas tanalr dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria). Dalam Kondisi yang demikian itulah, pelanggaran terhadap keberadaan hak adat kelautan berlangsung terus menerus secara "sistematis" dan "struktural" sehingga peluang untuk rnempertahankannya sangat sulit. Tidak adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak adat kelautan pada tingkat operasional, sektoral maupun lintas sektoral akan berdampak pada terjadinya kompetisi dalam eksploitasi sumber daya laut, yang pada gilirannya akan menyebabkan penurunan secara drastis bahkan mengakibatkan kepunahan. Di samping itu juga mengakibatkan menurunnya partisipasi nelayan tradisional, sebagian nelayan beralih ke lapangan kerja lain, seperti buruh bangunan, buruh industri dan lain-lain. Berdasarkan latar belakang di atas, menimbulkan beberapa permasalahan yang relevan untuk dibahas. Masalah pertama berkaitan dengan sistem pola dan cara pengelolaan sember daya perikanan nelayan tradisional Kedung Cowek umumnya dan nelayan Masangan khususnya. Masalah kedua berkaitan dengan konflik yang dialami nelayan Masangan dan upaya menyelesaikan konflik dalam mempertahankan dan menegakkan hak adat kelautan. Masalah ketiga erat kaitannya dengan kedudukan hak menguasai negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap keberadaan hak adat kelautan nelayan Masangan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis: sistem, pola dan cara pengelolaan sumber daya perikanan; macam dan kronologis konflik dan upaya penyelesaian yang ditempuh nelayan Masangan serta kedudukan menguasai negara dalam memberikan perlindungan hukum hak adat kelautan nelayan Masangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Lokasi penelitian dipilih wilayah Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Kenjeran Kotaniadya Surabaya berdasarkan pertimbangan: potensi konflik antara nelayan masangan dan pengelolaan sumberdaya laut lainnya yang bersifat aktual maupun latent masih terus berlangsung; dewasa ini belum ada upaya-upaya konkrit untuk mengadakan penelitian dan pembahasan secara mendalam tentang keberadaan hak adat kelautan nelayan masangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Jenis dan sumber data terdiri dari data primer yang meliputi latar belakang kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, pola usaha, pola hubungan dan aktivitas budaya, tradisi, mitos dan sosial keagamaan serta pengelolaan sumber daya perikanan nelayan tradisional Kedung Cowek pada umumnya. Di samping itu juga pengetahuan lokal, kepercayaan dan kearifan, pola pengelolaan serta konflik yang dialami nelayan Masangan pada khususnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Data sekunder meliputi laporan hasil penelitian, kliping koran, serta berbagai peraturan tentang pengelolaan laut dan pesisir, khususnya yang berkaitan dengan hak adat kelautan di Jawa Timur dari berbagai instansi terkait baik pemerintah maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Sampel responden diambil berdasarkan dua cara: pertama, proporsional random sampling sebanyak 32 responden untuk mengetahui keadaan umum sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat nelayan tradisional dan; kedua, purposive sampling sebanyak 15 informan yang merupakan informan kunci untuk mengetahui konflik yang dialami nelayan Masangan dan upaya penyelesaiannya. Analisis dilakukan dengan menggunakan Analisis Kuantitatif diperoleh dari kuesioner, ditabulasi dan dikuantifikasi dalam bcntuk persentase. Sedangkan analisis Kualitatif dilakukan dengan pendekatan etnoekologi, antropologi hukum dan hukum yang normatif. Pendekatan etnaekotagi digunakan untuk mengkaji, mendeskripsikan dan menganalisis pengetahuan lokal, kepercayaan dan kearifan nelayan masangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Pendekatan antropologi lrukunz digunakan untuk mengkaji, mendeskripsikan dan menganalisis bentuk hukum yang berfungsi dalam masyarakat nelayan masangan Kedung Cowek baik berupa hukum negara maupun hukum adat dalam pengelolaan sumber daya perikanan serta konflik yang dialami dan upaya penyelesaiannya. Sedangkan pendekatan hukum yang normatif digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis subtansi (content analysis) hukum positif tentang kedudukan hukum negara dan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya laut dan perlindungan hukum yang diberikan hukum positif terhadap keberadaan hak adat kelautan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan Masangan Kedung Cowek telah memiliki pemahaman yang utuh terhadap lingkungan fisik, sosial ekonomi dan sosial budaya setempat. Lebih dari ? generasi mereka telah mengembangkan hak adat kelautan yang berupa hak atas "petorosan" yang keberadaannya diakui oleh komunitas nelayan setempat sebagai alat produksi untuk menangkap rebore. Hak atas petorosan sebagai pranata hukum mempunyai ketentuan yang unik dan spesifik baik dalam pemasangan, pengoperasian maupun dalam pemindahtanganan atau peralihan hak milik. Keberadaan hak atas petorosan nelayan Masangan sejak tahun 1986 hingga saat ini mengalami gangguan bahkan konflik dengan pengelola sumber daya laut lainnya seperti penambang pasir laut, pembangunan Jembatan Surabaya Madura dan Pelaksanaan Instruksi Gubernur KDII Tingkat I Jawa Timur No. 10 Tahun 1985 tentang Larangan Pemasangan Alat Tangkap Ikan Bagan di Jawa Timur yang dianggap mengganggu jalur pelayaran di Selat Madura. Guna menegakkan dan mempertahankan hak atas petorosan, nelayan Masangan melakukan upaya iron-litigasi untuk konflik yang aktual dengan Cara negosiasi dan fasilitasi. Sedangkan konflik laten dilakukan lewat advokasi dan Pengembangan Sumber daya Hu/runt llfasyarakat Nelayan (PSDHM) yang dilakukan oleh LBH Surabaya dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Secara Yuridis Normatif peraturan perundang-undangan yang secara implisit maupun eksplisit telah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap keberadaan hak adat kelautan atas torus nelayan masangan. Namun, perlindungan hukum yang diberikan hanya berhenti di tingkat undang-undang saja, belum sampai pada peraturan organik atau pelaksanaan sehingga sulit dioperasionalkan. Bahkan ada peraturan pelaksanaan yang bertentangan dengan ketentuan Undang-undang yang secara implisit dan eksplisit memberikan jaminan perlindungan hukum, yaitu Instruksi Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 10 Tahun 1985 tentang Larangan Pemasangan Alat Tangkap Ikan Bagan di Jawa Timur karena dianggap membahayakan jalur pelayaran. Hak menguasai negara atas pengelolaan laut dalam implementasinya telah mendominasi bahkan mengabaikan keberadaan hak adat kelautan masyarakat nelayan Masangan setempat. Keadaan ini acap kali menimbulkan konflik yuridis baik yang bersifat aktual maupun latent. Pengetahuan terhadap keberadaan hak adat kelautan atas taros nelayan Masangan ini diharapkan dapat dijadikan masukan pemerintah baik secara sektoral atau Pintas sektoral dalam perencanaan tata guna laut khususnya di Selat Madura. Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi tata guna laut sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan serta menghindari terjadinya konflik pengelolaan. Diharapkan pula bahwa studi-studi rnikro terhadap keberadaan hak adat kelautan dikembangkan di seluruh wilayah perairan laut Indonesia sehingga keberadaannya teridentifikasi untuk dapat dikembangkan selaras dengan kepentingan nasional yang benar-benar berorentasi kepada kepentingan peningkatan kesejakteraan rakyat. Orienlasi pada peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional haruslah didasarkan pada reformasi hukum adat terhadap hak adat kelautan masyarakat lokal dan tetap mendasarkan pada pemberian kesempatan yang optimal bagi nelayan tradisional untuk memperoleh penguasaan sumberdaya yang menjamin kepentingan hak-hak masyarakat lokal. ...... The progress of modern sector on the marine sources management--sea transportation, oil and gas mining, sea-sand mining, sea tourism, saving the quality of environment, as well as fishing using modern technology--often causes elimination and underestimation of traditional fishermen access on the exploitation of fish sources. Modern sectors supported by capital, technology, law and political policy receive more access, appliances and economic chances. In contrast, traditional fishermen, supported by limited capital, technology, law and political policy receive only little access of sources, appliances and economic opportunity. This difference creates conflict between the groups having and not having the access. Fishermen people, living along the beach, traditionally have marine customary rights which are not autonomously governed by the system of national law. This is unlike the customary property right which has been governed by UU No. 511960, the Agrarian Code. With this condition, the violation of marine customary rights has been going on systematically and structurally, so that the effort to maintain this right is almost impossible. Without any legal protection on this right in operational, sectored or inter sectored levels, there will be a competition in exploiting the sea sources that leads to drastic decline and finally, to the extinction of the sources. Besides that, it will discourage participation of the traditional fishermen who finally may change their jobs to be building contraction labors, industrial labors, etc. Based on the background, there are several problems which are relevant to discuss. First problem is about the pattern system and the method of fish sources exploitation among traditional fishermen in Kedung Cowek and specially in Masangan. Second problem is about the conflict among Masangan fishermen and the ways to settle the conflict to maintain and to enforce their sea customary right. Third problem is about the management right of the state in protecting the existence of the marine customary right of Masangan fishermen. This research is aimed to describe and to analyze the system, the pattern and ways of exploiting fish sources; kinds and chronology of conflict as well as the solution taken by Masangan fishermen; the management right of the government in protecting the marine customary right of Masangan fishermen in exploiting fish sources. Location of this research is at Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Kenjeran, Kodya Surabaya where actual and latent conflicts between Masangan fishermen and other groups of workers are still going on. Until now, there is no research and discussion on the marine customary right of Masangan fishermen in exploiting fish sources. Types and sources of data are primary data and secondary data. Primary data contains background of the social life, social economic, social culture, and pattern of the effort, pattern of relationship and cultural activities, tradition myth and social religion and management of fish resources of traditional fisherman at Kedung Cowek. Furthermore, includes local knowledge, belief and wisdom, pattern of exploitation and conflict were done by Masangan fishermen in exploiting fish sources. Secondary data includes other research result, news, and regulations on exploiting sea and beach, especially these are related to sea customary right in East Java. Respondent sample are taken up in two ways: first, 32 people are chosen with proportional random sampling to know the general, social economic and social cultural condition of traditional fishermen; second, a purposive sampling of 15 informants who are key informant to know the conflict experienced by Masangan fishermen and the ways to control the conflict. This research is used descriptive analysis with etnoccological, legal anthropological and normative law approach. Etnoecological research is used to discuss, describe and analyze the local knowledge, beliefs and wisdom of Masangan fishermen in exploiting fish sources: Legal anthropological approach is used to discuss, describe and analyze both state law and customary law that work among Masangan fishermen in Kedung Cowek to regulate the exploitation of fish sources. Besides that, this approach is used to discuss, describe and analyze conflicts happened and the ways to control it. Nornzatif law approach is used to identify and analyze the content of state law and customary law that regulate the exploitation of fish sources. This approach is also used to identify and analyze the legal protection of sea customary right given by positive law. The result of this research shows that Masangan fishermen in Kedung Cowek had comprehensive understanding of their physical, social economic and cultural environment. More than 7 generation of them have developed sea customary right on "petorosan" which their existence is recognized by the fishermen community as an appliance to catch ration. The right on petorosan has unique and specific provision regarding with the installment, operation, transfer, and changing the owner of petorosan. Since 1986, the existence of rights on petorosan has been disturbed by people who mine sand on the sea Surabaya-Madura Bridge, project and implementation of the Instruction of East Java Governor No. 101 1985 of prohibitation to Install Casting Net of Bagan Fish. In order to maintain and to enforce their right on petorosan, masangan fishermen use non-litigation way to settle actual conflicts. Non-litigation way includes negotiation and facilitation. While advocating and the Development of Legal Sources of Fishermen Society (PSDHM) are used to control latent conflicts. These later settlements are used by the LBI-I Surabaya and the Faculty of Law, l3rawijaya University Malang. Juridical and normatively, the existing laws have implicitly and explicitly guaranteed legal protection on the marine customary right of Masangan taros. However, the legal protection stops at the codes only. It never reaches to organic regulation or implementation so it is difficult to be operationalized. Moreover, there is even organic regulation that is against the codes, namely the Instruction of East Java Governor, mentioned before. The instruction considers that the Masangan bras will endanger shipping lines. The management right of the state on the sea exploitation has dominated and ignored the existence of the sea customary right of Masangan fishermen. This situation often creates juridical conflict, either actually or latently. The understanding among Masangan fishermen of the existence of sea customary right on toros is expected to be an input for the government, sectored or intersectoralIy in planning the sea exploitation, especially on the Madura Strait. The local community participation in planning, enforcing, monitoring and evaluating the sea exploitation is needed to improve the community living standard and welfare, and it is needed to prevent conflict on exploitation. It is also expected that micro studies on marine customary right will be developed in all Indonesian sea water area. Therefore, the existence of the right will be and can be developed integrally into national interests that lead to the improvement of people welfare. The orientation to improve the welfare of traditional fishermen must be based on the reformation of customary law of sea right which is done through the giving of opportunity to traditional fishermen to have the right to manage sources.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Asih Widiastuti
Abstrak :
Ekosistem lamun menyediakan produk dan jasa lingkungan bagi manusia. Produk dan jasa lingkungan dari ekosistem ini memiliki nilai ekonomi yang berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir. Oleh karena itu ingin mengetahui nilai ekonomi produk dan jasa ekosistem lamun sebagai pertimbangan untuk mendorong kegiatan lanjutan pasca program pengelolaan ekosistem lamun di Desa Teluk Bakau dan Malang Rapat. Hasil Kajian nilai ekonomi produk dan jasa ekosistem lamun di desa Teluk bakau dan Malang Rapat untuk tahun 2010 didapatkan sebesar Rp 324.615.714.497. Capaian program Trismades menunjukkan bahwa program tersebut berhasil untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem lamun dan meningkatkan kesadaran masyarakat pada pengelolaan ekosistem lamun, namun kurang berhasil meningkatkan kegiatan ekonomi lokal yang ramah lingkungan. Rencana kegiatan untuk keberlanjutan program pengelolaan pasca program Trismades adalah mempertahankan capaian program, diantaranya: pengelolaan dan perawatan DPPL, pengelolaan Pondok Informasi, lanjutan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat serta lanjutan pelatihan mata pencaharian alternatif.;Seagrass ecosystems to provide environmental products and services for humans. ......Environmental products and services from these ecosystems have economic value that contribute to the economic well-being of coastal communities. Therefore theresearch aim to study the economic value of seagrass ecosystem of products and services as a consideration to encourage post-program follow-up activities ecosystem management of seagrasses in the Teluk Bakau and Malang Rapat Village. Results Assessment of economic value of ecosystem products and services seagrasses and mangroves in the Gulf of Malang village meeting for the year 2010 amounting to IDR 324.615.714.497 obtained. Trismades program achievements. indicates that the program successfully to improve the management of seagrass ecosystems and raise public awareness on the management of seagrass ecosystems, but less successful in increasing local economic activity is environmentally friendly. Action plans for the sustainability of post-program Trismades management program is to maintain the achievements of the program, including: management and maintenance of seagrass sanctuary and Community Information and Training Center, advanced training to increase public awareness as well as the advanced training of alternative income generation.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T30243
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>