Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jamal Bake
Abstrak :
Analisis pelembagaan demokrasi difokuskan pada: Pertama, sejauh mana nilai-nilai demokrasi sebagaimana dikemukakan Dahl dan Smith seperti jaminan terhadap hak warga masyarakat berpartisipasi dalam penyelenggaraan kebijakan publik di tingkat lokal, keterwakilan stakeholders, kesamaan hak dalam proses pengambilan keputusan, penyebarluasan informasi kebijakan, responsivitas dan kontrol masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan masyarakat diwujudkan. Kedua, tingkat kepedulian dan konsistensi masyarakat berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, yang oleh Arnstein dapat diamati dalam beberapa level. Ketiga, menguji faktor-faktor individu yang mempengaruhi yang dan yang berhubungan dengan partisipasi warga dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Variabel dianalisis adalah tingkat pemahaman tentang anggaran publik, persepsi perlunya mengetahui proses pengelolaan program, persepsi tentang manfaat berpartisipasi, sikap rasa memiliki anggaran program, persepsi tentang pemberian "uang saku" kepada partisipan, rasa tanggung jawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, pendidikan, umur, dan pendapatan keluarga, yang dalam banyak referensi, dijelaskan, sering berpengaruh, dan berhubungan dengan partisipasi warga masyarakat dalam proses penyelenggaraan kebijakan publik, termasuk dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Diperoleh kesimpulan: Pertama, penerapan nilai-nilai demokrasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan relatif berkembang. Jaminan hak warga untuk berpartisipasi, keterwakilan stakeholders, persamaan hak dalam pengambilan keputusan, penyebarluasan informasi mengenai program, responsivitas serta kontrol masyarakat mulai diwujudkan meskipun belum maksimal. Kedua, masyarakat diberikan keleluasaan merencanakan, melaksanakan dan mengontrol pengelolaan program, menggambarkan bahwa, partisipasi berada pada level degree of citizen power. Warga masyarakat juga memiliki kepedulian berpartisipasi, meskipun belum konsisten berpartisipasi dalam semua tahapan kegiatan proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Ketiga, partisipasi warga masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, baik secara bersama-sama, dipengaruhi oleh tingkat pemahaman tentang anggaran program pemberdayaan masyarakat, persepsi perlunya mengetahui proses pengelolaan program, persepsi mengenai manfaat berpartisipasi dan sikap rasa memiliki anggaran program, ?pemberian uang saku", rasa tanggung jawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, pendidikan, umur dan pondapatan. Namun secara parsial, hanya tingkat pemahaman makna anggaran, persepsi perlunya mengetahui pengelolaan program, sikap rasa memiliki, rasa tanggungjawab sosial, harapan mempengaruhi keputusan, dan tingkat pendidikan yang menunjukkan pengaruh signifikan, dan berkorelasi positif dengan partisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, sedangkan persepsi tentang manfaat berpartisipasi, "pemberian uang saku", umur, dan pendapatan tidak menunjukkan pengaruh signifikan. Semua aspek yang berpengaruh secara signifikan, menunjukkan hubungan positif dengan partisipasi. Artinya, semakin mengetahui bahwa anggaran program pemberdayaan masyarakat berasal dari rakyat, dan harus dimanfaatkan untuk kepantingan masyarakat, maka semakin tinggi persepsinya akan perlunya mengetahui proses pangelolaan program. Sikap rasa memiliki yang tinggi tentang anggaran program, didorong oleh rasa tanggung jawab sosialnya sebagai wakil warga, adanya harapan mempengaruhi keputusan dalam pengelolaan program, serta tingkat pendidikan tinggi menjadikan partisipasi warga masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program juga semakin tinggi. Pemahaman mengenai anggaran, persepsi tentang program pemberdayaan masyarakat, dan faktor pendidikan, menunjukkan hubungan positif satu sama lain. Semakin memahami makna anggaran pemberdayaan masyarakat, semakin tinggi pula persepsi akan perlunya mengetahui proses pengelolaan program dan anggarananya, karena semakin tingginya sikap rasa memiliki anggaran tersebut, seiring dengan rasa tanggung jawab sosial tinggi untuk berpartisipasi di dalamnya, dengan harapan dapat mempengaruhi proses pengambilan kepulusan terkait pengelolaan program tersebut. Pendidikan tinggi, disertai dengan pemahaman yang kuat dalam membela kepentingan publik, akan membentuk sikap rasa memiliki yang tinggi anggaran program pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari angaran publik. Melalui pelaksanaan program pembangunan yang partisipasi sebagai suatu pola pelembagaan demokrasi, manjadikan masyarakat dapat belajar mengenal dan memahami permasalahannya, serta dapat merumuskan cara mengatasinya secara bersama. Untuk itu itu, ruang partisipasi perlu dikembangkan, kesadaran dan pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan melalui pencerahan oleh pemerintah, masyarakat sipil maupun media masa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mewujudkannya, diperlukan komltmen dan konsistensi para individu yang memiliki kekuasaan, mempunyai kewenangan, serta keberperanan para pemangku kepentingan termasuk para pembayar pajak. Perlu studi lebih lanjut tentang demokratisasi program pemberdayaan masyarakat dengan memasukkan variabel lain, seperti persepsi tentang kewajiban membayar pajak. Proses pelembagaan demokrasi melalui pengembangan sistem perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang partisipatif, responsif, transparan, akuntabel, diIakukan secara jujur, mengutamakan kepentingan bersama, patuh pada aturan, proporsional, dan berkeadilan sesuai dengan prinsip tatakelola pemerintahan lokal yang baik (good local governance), perlu diwujudkan secara konsisten dan borkelanjutan. Penerapannya secara baik dapat mendorong kreativitas dan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan, sekaligus merupakan perwujudan dari penyelenggaraan kebijakan, dan pelayanan publik, serta pembangunan berbasis kerakyatan, melalui pendekatan pemberdayaan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara umum, dan bagi masyarakat lokal secara khusus.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D830
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haula Rosdiana, 1971-
Abstrak :
The research that has been studied by International Telecommunication Union, mentioned that increase of 1% teledencity (The number of landline telephones in use for every 100 individuals living within an area) in one year will accelerate more less 3% of Gross National Product. That study showed the importance of telecommunication industry to economic growth. Nowadays, teledencity in Indonesia relatively low, so it can distort national economic growth, especially at non-urban area or villages that economically potential. For that reason, government should make policies that promote the development of telecommunication industry. This dissertation analyzed characterization and tax treatment of income from some of transactions in telecommunication industry, based on intemational best practices. It also analyzed an opportunity cost, occurred as result of uncertainty. In this dissertation, the concept of Supply-side Tax Policy and opportunity cost developed in micro level, by analyzing the implications of dispute between tax ofncer and tax payer concerning type of income that occurs in telecommunication. for example leased bandwidth. Opportunity cost in withholding income tax, can be measured from the lost of opportunity for telecommunication company to invest by building new telephones line, so the company can't get additional income. At the same time, the lost of opportunity to get additional income, will make govemment has no additional tax revenue and non tax revenue (PNBP) and contribution namely Universal Service Obligation (USO). The govemment also lost the opportunity to increase teledencity and telecommunication penetration at the villages. For that reasons, this dissertation offer an alternative design of. income tax system namely Pro Corporate Cash-tlow Tax (PCCFT). PCCFT design developed from Supply-side Tax Policy concept, the policy that gives more 'room' to private to increase productivity. In this dissertation, PCCFT use policy two instruments. First, deregulation, by remove active income from withholding object, second, regulation, by regulate income characterization of transactions which occur in telecommunication. Thus, this dissertation also analyzes the implication of implementing PCCFT to telecommunication industry, and benetits of its implementation. The weaknesses that may happen in implementing PCCFT and another alternative income tax policy also be analyzed. This research use constructivism paradigm with mixed approach. Combination of qualitative approach and quantitative approach used to answer research questions that can't be analyzed with one of that approach. The combination can be used as long as the only one paradigm used in the research. The result showed that fee or payment of transactions that occurs in telecommunication industry, such as international roaming, leased circuit, and interconnection, should characterized as technical services, rather as royalty or rent or income from movablefimmovable property, because in doing business activity, the delivery of information related to services are technical nature if special skills or knowledge related to a technical 'field are required forthe provision of such services. Therefore the existence of employees or other personnel engaged by the enterprise to furnish the services for such purpose, will determine the taxing right. As a consequence of Tax Office doesn't analyze the characterization of income, uncertainties raise cost of taxation because taxpayer should pay fee for consultant to arrange tax objection and tax appeal. Be sides that, the disputes raise opportunity cost as a result of an obligation to comply fomtal prerequirement to submit tax appeal which compel taxpayer to pay 50% of tax debt, so the taxpayer can't use the cash-flow to expand his business. The analysis proved that design PCCFT can minimize opportunity cost and offer some advantages. For corporate, PCCFT can rise potential revenue and minimize cost of taxation. For government, PCCFT can rise potential tax revenue, non tax revenue (radio frequency fee and dividend from PT Telkom, Tbk and PT lndosat, Tbk.), Universal Senrice Obligation, penetration telecommunication facilities in villages, teledencity, and job creation. Because tax incentives doesn't include in this PCCFI' design, it will not create tax expenditure, so it won't harmful for government. The weakness in PCCFT design is that the government can not accelerate its spending. So, moditication of PCCFT design can be developed by making tax rules more certain, simplify tax procedure, and detennine presumptive tax properly. Even has a weakness, the advantages of PCCFT design more signilicant than its weakness. However, to reassure tax revenue, government should cover over its weakness by using instrument that has already existed, that is tax audit. Implementing PCCFT should become a policy analysis priority, but at the early phase, govemment should detennine type of industry selectively, because not all industry has a big magnitude or become enabler to other industries, such as telecommunication.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D840
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadjatmiko
Abstrak :
ABSTRACT
Each organization, regardless. the size, let alone the big one such as the organization of kabupaten and kota governments ln Indonesia unavoidably needs bureaucracy. Study of kabupaten or kota government is inseparable from the study of bureaucracy. The behaviour oft he bureaucracy as one of tire perspectives of the study of bureaucracy is not independent, but attributable to and affected by other factors, in particular leadership, organizational structure, and learning organization. This research is based on the fact that public service within kabupaten and kota governments has not demonstrated professional bureaucratic behaviour.

The rstructuring of the organization of kabupaten and kota governments in many cases in fact makes the organization inefficient and triggers resistance by working units that feel that their authorities have been taken over. The research tries to address die organizational problem of the kabupaten and kota governments from the point of view of organizational behaviour and other relevant factors. Starting from the said issue, the research is aimed at discovering the behaviour, the leadership, organizational structure and learning organization of the bureaucracy of kabupaten and kota governments; testing and analyzing the significance of the effect of leadership, organizational structure, and learning organization on the behaviour of bureaucracy of kabupaten and kota governments; describing the model of the effect of leadership organizational structure, and learning organization on the behaviour of bureaucracy of kabupaten and kota governments.
ABSTRAK
Setiap organisasi, sekecil apa pun, apalagi yang besar seperti organisasi pemda kabupaten dan kota di Indonesia, pasti memerlukan birokrasi. Kajian tentang organisasi pemda tidak dapat dilepaskan dari kajian tentang birokrasi. Perilaku birokrasi sebagai salah satu perspektif kajian tentang birokrasi tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor lain, khususnya kepemimpinan, budaya organisasi, dan organisasi pembelajaran. Permasalahan penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa pelayanan publik dalam konteks pemda belum berjalan dalam koridor perilaku birokrasi yang profesional.

Restrukturisasi organisasi pemda - dalam banyak kasus - justru membengkakkan organisasi dan memunculkan resistensi unit kerja yang merasa kewenangannya diambil alih. Penelitian ini berusaha membedah permasalahan organisasi pemda tersebut dari kacamata perilaku birokrasi dan faktor yang mempengaruhi. Dengan bertitik tolak pada perasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui perilaku blrokrasi pemda; mengetahui kepemimpinan, budaya organisasi, dan organisasi pembelajaran dalam birokuasi pemda; menguji dan menganalisis signifikansi pengaruh kepemimpinan, budaya organisasl, dan organisasi pembelajaran berhadap perilaku birokrasi pemda; mendeskripsikan model pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, dan organisasi pembelajaran terhadap perilaku birokrasi pemda.
2005
D809
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Prasetyo
Abstrak :
Penganggaran merupakan aktivitas paling sentral dan berpengaruh terhadap seluruhaspek kegiatan pemerintah, yang salah satu tugasnya adalah mengalokasikan anggarandengan tepat. Dalam prakteknya, walaupun pemerintah telah melaksanakan reformasipengelolaan keuangan negara, proses pengalokasian anggaran yang dilakukan selama inibelum merefleksikan langkah-langkah dan mekanisme yang memenuhi prinsip-prinsip dalamreformasi penganggaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis allocative efficiency diKementerian Pertanian yang tidak berjalan, serta menemukan rumusan allocative efficiencyyang tepat agar dapat dicapai belanja berkualitas. Dalam penelitian ini digunakan paradigmapost-positivisme dengan metode pengumpulan data secara kualitatif dan mengambil obyekkasus Kementerian Pertanian. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan : i allocativeefficiency tidak berjalan di Kementerian Pertanian disebabkan : a pengalokasian anggaranKementerian Pertanian belum berdasarkan pada skala prioritas; b perencanaanpenganggaran belum mencantumkan skala prioritas; c alokasi anggaran KementerianPertanian tidak sesuai dengan skala prioritas; dan d tidak adanya keterkaitan antara RPJMN,Renstra, RKP, Renja dan RKAKL/ DIPA; serta ii tidak adanya rumusan allocativeefficiency yang tepat di Kementerian Pertanian, disebabkan : a Kementerian Pertanianbelum melakukan realokasi anggaran dengan baik; b penerapan performance-basedbudgeting PBB baru sebatas terminologi dengan informasi kinerja yang belum dapatmemberikan arah yang jelas dalam pelaksanaan anggaran, monitoring dan evaluasi kinerjapenganggaran kurang dilaksanakan dengan baik serta penerapan standar biaya belum ideal; c pelaksanaan medium term expenditure framework MTEF tidak disiplin denganpemahaman mengenai forward estimate masih kurang serta belum adanya titik temu antaratop down dengan bottom up budgeting; dan d kelembagaan Kementerian Pertanian terkaitpenganggaran tidak mendukung pencapaian allocative efficiency.
Budgeting is the most central and influencing activity of a whole aspects in the governmentthat one of its duty is to allocate budget approriately. In practice, the government hasimplemented a reform in state finance management. However, current process of budgetallocating has not reflected measures and mechanisms that meet the principles in budgetingreform. This research aims to analyze allocative efficiency in Ministry of Agriculture that hasnot well performed and to determine the most appropriate formula of allocative efficiency inorder to achieve a high quality spending. This research applies a post positivism paradigmthat employs qualitative data collecting and Ministry of Agriculture as case object. This paperconcludes that i allocative efficiency is not well implemented in Ministry of Agriculture,the reasons are a budget allocating in the Ministry has not based on scale of priorities b its budget planning has not included scale of priorities c budget allocation in the Ministrydoes not conform to the scale of priorities and d there is not a linkage on Medium TermsPlan, Strategic Plan, Annual Government Plan, Annual Plan and Budget Document ofMinistry of Agriculture ii a proper concept of allocative efficiency has not appplied in theMinistry, due to a Ministry of Agriculture has not well reallocated its budget b performance based budget is implemented at a terminological level, which is defined as aperfomance information that cannot provide a clear direction in budget execution, moreover,monitoring and evaluation of the budget performance has not properly conducted andstandard cost has not been ideally implemented c MTEF is not optimally implemented,since its understanding on the concept of forward estimate remains low and meeting point oftop down and bottom up budgeting has not been established and d the budgetinginstitutions in Ministry of Agriculture do not support in achieving allocative efficiency.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library