Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sembiring, Aditya Agita
"Latar Belakang : Pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST IMAEST yang mengalami revaskularisasi dengan intervensi koroner perkutan primer IKPP dapat terjadi cedera reperfusi yang mempengaruhi prognosis. Penelitianpada model hewan menunjukkan ticagrelor melindungi jantung dari cederareperfusi, namun demikian belum ada penelitian pada manusia yang menguji halini.
Tujuan : Membandingkan pengaruh antara ticagrelor dengan clopidogrelterhadap cedera reperfusi yang diukur melalui kadar puncak high sensitivetroponin T hs-cTnT pada pasien IMA-EST yang mengalami revaskularisasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental acak tersamar gandayang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita padabulan Agustus 2016 sampai November 2016. Pasien IMA-EST yang akanmenjalani IKPP dirandomisasi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok yangmendapatkan loading ticagrelor 180 mg dilanjutkan dosis rumatan 2x90 mg danyang mendapatkan loading clopidogrel 600 mg dilanjutkan dosis rumatan 1x75mg sebelum IKPP. Dilakukan pemeriksaan hs-cTnT 8 jam pasca dilatasi balonkateter pertama.
Hasil Penelitian : Terdapat total 60 subyek, 30 subyek kelompok ticagrelor dan30 subyek kelompok clopidogrel. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antaraticagrelor dengan clopidogrel terhadap kadar puncak hs-cTnT 9026 5026 ng/Lvs 9329 4664 ng/L, nilai p 0,809.
Kesimpulan : Ticagrelor tidak menyebabkan kadar puncak high sensitivetroponin T yang lebih rendah bila dibandingkan dengan clopidogrel pada pasienIMA-EST yang mengalami revaskularisasi.

Background : Reperfusion injury influence prognosis in ST elevation myocardialinfarction STEMI patients after primary percutaneous coronary intervention PPCI . Previous study on animal models showed that ticagrelor may haveprotective effect on the heart by reducing reperfusion injury. However, no studyon humans has ever been done to confirm this.
Aim : To compare the effect of ticagrelor with clopidogrel on reperfusion injurycalculated by peak high sensitive troponin T hs cTnT in STEMI patients whounderwent revascularization.
Methods : This was a randomized controlled trial done in NationalCardiovascular Center Harapan Kita from August 2016 to November 2016.STEMI patients who underwent PPCI was randomized to either ticagrelor loadingdose 180 mg with maintenance of 2x90 mg or clopidogrel loading dose 600 mgwith maintenance of 1x75mg group. Peak hs Troponin T was measured 8 hoursafter first balloon dilatation.
Results : Sixty subjects was included in the study, 30 subjects in the ticagrelorgroup and 30 subjects in the clopidogrel group. There were no difference betweenticagrelor vs clopidogrel on peak hs cTnT levels 9026 5026 ng L vs 9329 4664 ng L, p value 0,809.
Conclusion : Ticagrelor does not cause a lower peak high sensitive troponin Tlevel compared to clopidogrel in STEMI patients who underwentrevascularization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55633
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bogie Putra Palinggi
"Latar Belakang. Pada lesi stenosis bifurcatio arteri koroner, oklusi akut cabang arterikoroner utama dapat terjadi sebagai komplikasi intervensi koroner perkutan. Peranansudut karina sebagai salah satu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner dalammenyebabkan oklusi akut cabang arteri koroner utama pada tindakan intervensikoroner perkutan elektif masih diperdebatkan.
Tujuan. Menilai hubungan antara sudut karina bifurcatio arteri koroner sebagai salahsatu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner, terhadap kejadian oklusi akut cabangarteri koroner utama pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosisbifurcatio arteri koroner.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai hubunganantara sudut karina bifurcatio arteri koroner terhadap kejadian oklusi akut cabang arterikoroner utama, pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosis bifurcatioarteri koroner. Pengukuran sudut karina bifurcatio arteri koroner menggunakanperangkat lunak CAAS 5.1. Penilaian oklusi akut cabang arteri koroner utamadilakukan setelah intervensi koroner perkutan elektif.
Hasil. Sebanyak 113 lesi pada 108 sampel yang memenuhi kriteria inklusi periodeFebruari 2016 hingga Oktober 2016. Jumlah lesi oklusi akut cabang arteri koronerutama 15 13,3 , dengan median sudut karina bifurcatio arteri koroner 19,17.

Background. Side branch occlusion has been implicated as a complication afterpercutaneous coronary bifurcation intervention. The role of carina bifurcation angle asone of the characteristics of the coronary bifurcation lesion in causing side branchocclusion after percutaneous coronary bifurcation lesion intervention is still debated.
Objective. To assess the relationship betweeen carina bifurcation angles one of thecharacteristics of the coronary bifurcation lesion and side branch occlusion in electivepercutaneous coronary bifurcation lesion intervention.
Methods. This is a cross sectional study to assess the relationship between carinabifurcation angle and side branch occlusion in elective percutaneous coronarybifurcation lesions intervention. CAAS 5.1 software was used to measure carinabifurcation angle. Evaluation of acute occlusion of a side branch conducted afterelective percutaneous coronary intervention.
Results. A total of 113 lesions in 108 patients that met the inclusion criteria fromFebruary 2016 to October 2016. Side branch occlusion occurred in 15 lesions 13,3 ,with median carina bifurcation angle 19,170 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Chandra
"ABSTRAK
Latar Belakang. Sindrom Brugada diketahui menjadi penyebab dari setidaknya 4 dari seluruh kematian mendadak dan 20 dari kematian mendadak pada struktur jantung normal. Saat ini, hanya pola EKG Sindrom Brugada tipe 1 yang bersifat diagnostik sedangkan pola tipe 2 dan 3 tidak diagnostik. Sudut > 580 memiliki nilai diagnosis yang baik pada populasi dengan EKG pola Brugada tipe 2 dan 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah parameter tersebut mempunyai hubungan dengan kejadian aritmia pada pasien Sindrom Brugada tipe 2 dan 3.Metode. Studi kasus kontrol ini dilakukan terhadap 29 subjek dengan EKG pola Brugada tipe 2 dan 3 di RS Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSPJDHK dari periode November 2013 - 2017. Tiga belas subjek dengan riwayat kejadian aritmia menjadi kelompok kasus dan 16 subjek tanpa kejadian aritmia menjadi kelompok kontrol. Data primer yang diambil antara lain riwayat henti jantung mendadak, TV/FV yang terdokumentasi, riwayat sinkop dengan kecurigaan etiologi aritmia dan riwayat pada keluarga serta interogasi data defibrillator kardioverter implan DKI pada subjek yang terpasang DKI. Data sekunder berupa data EKG yang kemudian dilakukan pengukuran sudut pada sadapan prekordial kanan oleh 2 penilai lalu dilakukan analisis statistik.Hasil. Pengukuran sudut oleh 2 penilai tidak terdapat perbedaan bermakna dengan nilai Cronbach rsquo;s Alpha 0,93. Analisa statistik menunjukkan tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna antara sudut > 58o terhadap kejadian aritmia pada kedua kelompok kasus dan kontrol. Dilakukan analisis korelasi, terlihat korelasi positif antara sudut r=0,50, p 58o dengan kejadian aritmia pada Sindrom Brugada. Terlihat korelasi positif antara sudut dengan kejadian aritmia namun hal ini masih diperlukan studi lebih lanjut.Kata kunci : sudut , sindrom Brugada.

ABSTRACT
Brugada syndrome is known to be the cause of at least 4 of all sudden deaths and 20 of sudden deaths in structurally normal hearts. To this day, only type 1 Brugada Syndrome ECG pattern is diagnostic, while type 2 and 3 are not. A angle ge 58o has a good diagnostic value in population with Brugada ECG pattern type 2 and 3. This study aims to evaluate whether this parameter is associated with arrhythmic events in patients with Brugada Syndrome type 2 and 3.Methods. This case control study is carried out towards 29 subjects with Brugada ECG pattern type 2 and 3 in National Cardiovascular Center Harapan Kita NCCHK from November 2013 until November 2017. Thirteen subjects with history of arrhythmic events make up the case group while 16 subjects without arrhythmic events make up the control group. Primary data acquired was history of sudden cardiac arrest, documented VT VF, history of syncope suspected of arrhythmic origin and family history, and also interrogation data from implantable cardioverter defibrillator ICD in subjects with ICD. Secondary data were ECG data, from which angle was measured in the right precordial leads by two observers, and then statistical analysis was carried out.Results. From angle measurement by two observers, there was not a significant difference with Cronbach rsquo s Alpha of 0,93. Statistical analysis showed no significant association between a angle ge 58o and arrhythmic events. Correlation analysis was carried out, and a positive correlation was shown r 0,50, p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusydi
"Latar Belakang : Deteksi adanya penyakit jantung koroner PJK pada pasien bradikardi simptomatik yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen perlu diketahui secara dini. Saat ini penggunaan modalitas canggih seperti kateterisasi jantung dan CT kardiak menjadi pilihan utama dalam deteksi adanya PJK pada pasien blok nodus atrioventrikular AV total namun dengan risiko dan biaya yang masih relatif mahal. Gambaran fragmentasi kompleks QRS fQRS pada elektrokardiografi berkaitan dengan adanya jaringan parut atau iskemia pada miokard, namun belum ada studi sebelumnya yang menghubungkan fQRS dengan PJK pada pasien blok nodus AV total yang akan dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. Tujuan : Mengetahui hubungan antara fragmentasi kompleks QRS dengan penyakit jantung koroner pada pasien dengan blok nodus AV total yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen. Metode : Penelitian ini merupakan studi analitik kasus kontrol dengan menggunakan data sekunder rekam medis pasien blok nodus AV total yang sudah dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen dan angiografi koroner di Rumah Sakit PJN Harapan Kita. Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2017. Dilakukan pencatatan karakteristik pasien, faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kejadian PJK serta hasil pemeriksaan ekokardiografi dan angiografi koroner. Pembacaan ekg dilakukan oleh dua orang spesialis jantung dan pembuluh darah konsultan di divisi aritmia. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 46 sampel yang terdiri atas 23 kasus dan 23 kontrol. Gambaran fQRS pada pasien blok nodus AV total menunjukkan kecenderungan 2,4 kali mengalami PJK dibandingkan dengan yang tanpa fQRS, walaupun secara statistik memperlihatkan hasil yang tidak bermakna OR = 2,4; p = 0,236 . Hasil uji Kappa menunjukkan kesepakatan yang baik kedua observer dengan nilai Kappa inter-observer 0,487 serta intra-observer 0,737 dan 0,783. Kesimpulan : Fragmentasi kompleks QRS pada pasien blok nodus AV total memiliki kecenderungan 2,4 kali untuk prediksi PJK namun tidak bermakna secara statistik.Kata Kunci : Fragmentasi kompleks QRS, penyakit jantung koroner, blok nodus AV total, pacu jantung permanen

Background Detection of coronary artery disease CAD in symptomatic bradycardia patients requiring permanent pacemaker implantation should be known early. Currently the use of advanced modalities such as cardiac catheterization and cardiac CT are the primary choice in detection of CAD in total atrioventricular blok patients with relatively high cost and risk. The description of fragmented QRS complex fQRS in electrocardiography associated with the presence of ischemia or scar in the myocardium that can be an alternative detection of CAD in patients with total AV block requiring permanent pacemaker implantation. Objectives To determine the relationship between fragmented QRS complex and coronary artery disease in patients with complete atrioventricular AV nodal block requiring permanent pacemaker implantion. Methods This study is an analytic study of case control using secondary data of medical record of complete AV block patients who have performed permanent pacemaker and coronary angiography at PJN Harapan Kita hospital. The study was conducted in April Agustus 2017. Recorded patient characteristics, factors known to influence CAD events as well as results of echocardiography and coronary angiography. The EKG readings were performed by two cardiologist consultants in the arrhythmia division. Results The total sample of this study was 46 consisting of 23 case and 23 control. The description of Fqrs in patients with total AV nodal block showed a trend of 2.4 times for CAD prediction compared with those without Fqrs, although statistically showed a non significant OR 2.4 p 0.236 . Kappa test results showed good agrreement both observers with Kappa inter observer value 0.487 and intra observer 0.737 and 0.783. Conclusion Fragmented QRS complex in patients with complete AV nodal block had a tendency of 2.4 times for CAD prediction but statistically not significant. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puspita Sari Bustanul
"Latar belakang. Kemajuan terapi reperfusi pada pasien infark miokard akut menimbulkan satu fenomena yang turut berperan dalam prognosis pasien, yaitu fenomena no reflow atau obstruksi mikrovaskular. Mekanisme OMV diduga memiliki 4 komponen patogenik utama yaitu embolisasi distal aterotrombotik, cedera reperfusi, cedera iskemia, dan kerentanan individu. Hiperglikemia akut diketahui berhubungan dengan OMV pada pasien IMA, namun peran hiperglikemia kronik masih kontroversial. Hiperglikemia berperan dalam komponen kerentanan individu, serta mempengaruhi peningkatan faktor inflamasi yang berperan dalam komponen cedera reperfusi. Kedua faktor ini yaitu hiperglikemia kronik yang digambarkan HbA1C dan inflamasi yang digambarkan hsCRP belum pernah diteliti secara bersamaan dalam menilai OMV dengan satu metode. Penelitian ini akan meneliti hubungan antara HbA1C dan hsCRP dengan OMV yang dinilai menggunakan indeks resistensi mikrovaskular, suatu metode terbaru dalam menilai OMV dengan akurat pada fase awal dan memiliki nilai prognostik yang signifikan.
Metode. Sebanyak 55 pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dipilih secara konsekutif sejak Januari-Juni 2014. HbA1C dan hsCRP diambil saat masuk UGD, penilaian IMR diambil segera setelah tindakan IKPP. Perhitungan statistik menggunakan SPSS 17.
Hasil. Dari 55 pasien didapatkan proporsi laki-laki sebesar 93%, dengan rerata umur 51,91 ± 8,87 tahun. Faktor resiko penyakit jantung koroner terbanyak adalah merokok yaitu 69%. Semua pasien menjalani tindakan IKPP dengan waktu iskemia 489,45±169,95 menit dan waktu perfusi 124,91±76,49 menit. Nilai rerata IRM 53,22±41,11 dengan nilai rerata HbA1C 6,46±1,22 %, dan rerata hsCRP 4,98±3,39 mg/dL. Dari analisis bivariat didapatkan HbA1C tidak berhubungan dengan IRM (r=0,22,p=0,10), dan hsCRP juga tidak berhubungan dengan IRM (r=0,24,p=0,08). Setelah disesuaikan dengan variabel perancu pada analisis multivariat, didapatkan hubungan signifikan antara HbA1C dengan IRM (p=0,03) namun hsCRP tidak berhubungan dengan IRM (p=0,31).
Kesimpulan. Kadar HbA1C saat admisi berhubungan dengan IRM pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan hsCRP saat admisi tidak berhubungan dengan IRM pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Background: Advances in reperfusion therapy for acute myocardial infarction led to a phenomenon of distal no reflow or myocardial obstruction (MVO), which associated with worse outcome and prognosis. The potential mechanism of MVO had four major pathogenic components: distal atherotrombotic embolization, reperfusion injury, ischemic injury, and individual susceptibility. Association between acute hyperglycemia and MVO in acute myocardial infarction has been found, but the role of chronic hyperglycemia remained controversial. Hyperglycemia affected individual susceptibility to microcirculatory injury, and also induced systemic inflammation which had a role in reperfusion injury. Association of both these factors--chronic hyperglycemia, determined by Hemoglobin A1C, and inflammation factor, measured by high sensitivity C-Reactive Protein-- with MVO had never been studied simultaneously. This cross-sectional study will determine the association between HbA1C and hsCRP with MVO assessed with index of microvascular resistance, an invasive novel method to assess MVO in acute phase and had significant prognostic factor.
Methods: 55 patients with acute ST-elevation myocardial infarction underwent primary percutaneous coronary intervention were taken consecutively from January to June 2014. Blood samples for HbA1C and hsCRP were taken before the procedure. IMR was taken immediately after the primary percutaneous coronary intervention procedure. Statistical calculation used SPSS 17.
Results: From 55 patients included in the study, there were 93% men, with mean age of 51.91 ± 8.87 years. The most common risk factors for coronary heart disease was smoking (69%). All patients underwent primary percutaneous coronary intervention with mean onset to balloon time was 489.45 ± 169.95 minutes and mean door to balloon time was 124.91 ± 76.49 minutes. Mean IMR was 53.22 ± 41.11, with mean HbA1c was 6.46 ± 1.22% and mean hsCRP was 4.98 ± 3.39 mg/dL . From bivariate analysis, there was no association between HbA1C and IMR (r=0,22, p = 0,10), and between hsCRP and IMR (r = 0,24 , p=0,08). In multivariate analysis , there was relationship between HbA1C with IRM ( p = 0,03) and hsCRP were also not associated with IRM ( p = 0,31 ).
Conclusions. There was association between hemoglobin A1C levels on admission with IMR and no association between hsCRP levels on admission with IMR, in patients with acute ST-elevation myocardial infarction underwent primary percutaneous coronary intervention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aron Husink
"Latar Belakang: Penyakit jantung katup merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Indonesia, dan pembedahan adalah tatalaksana. Berbagai sistem skor telah dikembangkan untuk memprediksi mortalitas dan morbiditas pasca pembedahan, namun sebagian besar dibuat dari populasi dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan kondisi di Indonesia. Perlu dikembangkan sistem skor menggunakan populasi setempat.
Tujuan Penelitian: Membuat sistem skoring untuk memprediksi mortalitas dan morbiditas di rumah sakit pasca pembedahan katup jantung di rumah sakit jantung dan pembuluh darah Harapan Kita.
Metode: Studi prognostik, dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, pada pasien dewasa yang menjalani pembedahan katup jantung dengan maupun tanpa bedah pintas arteri koroner sejak Januari 2012 hingga Desember 2014. Data dikumpulkan secara retrospektif. Sistem skor dibuat model regresi logistik.
Hasil penelitian: Sebanyak 1040 pasien disertakan dalam analisis. Terdapat 68 (6.5%) mortalitas, dan 410 (39.4%) morbiditas. Faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas adalah kelas fungsional, hipertensi, riwayat operasi jantung, gangguan ginjal, disfungsi ventrikel kanan, operasi emergensi, operasi katup serta bedah pintas arteri koroner, dan operasi katup trikuspid. Jenis kelamin laki-laki dan pembedahan katup ganda juga berkaitan dengan morbiditas. Sistem skor mortalitas yang dihasilkan memiliki H-L test p = 0.212; AUC = 0.813 (CI 95% = 0.758 ? 0.867); dan memiliki titik potong bernilai 5, memprediksi mortalitas 14% (sensitifitas 72,1%, spesifisitas 75.3%). Sedangkan sistem skor morbiditas memiliki H-L test p = 0.113; AUC = 0.713 (CI 95% = 0.681 ? 0.746); dan memiliki titik potong bernilai 5, memprediksi morbiditas 48% (sensitifitas 69,5% dan spesifisitas 60,5%).
Kesimpulan: Telah dibuat sistem skor prediksi mortalitas dan morbiditas pasca pembedahan katup jantung dengan atau tanpa BPAK. Sistem skor mortalitas memiliki daya kalibrasi dan diskriminasi yang baik. Sistem skor morbiditas memiliki daya kalibrasi yang baik, dan memiliki daya diskriminasi sedang.

Background: Valvular heart disease remains a significant health problem in Indonesia, and surgery remains as the treatment of choice. Various scoring system available to predict post-operative mortality and morbidity, but most were developed from different population characteristics compare to the condition in Indonesia. A scoring system based on local population is required.
Objective: To develop a scoring system for the prediction of in-hospital mortality and morbidity after heart valve surgery at Heart and Vascular Center Harapan Kita Hospital.
Methods: This is a prognostic study performed at Heart and Vascular Center Hospital Harapan Kita, toward patients who underwent heart valve surgery with or without coronary artery bypass since January 2012 to December 2014. Data were collected retrospectively. Scoring systems were developed using logistic regression models.
Result: 1040 patients were acquired. Mortality and morbidity rate was 68 (6.5%), and 410 (39.4%) respectively. Factors associated with mortality were functional class, history of hypertension, previous open heart surgery, impaired renal function, right ventricular dysfunction, emergent operation, combined heart valve and coronary artery bypass surgery, and tricuspid valve surgery. Male sex and double valves surgery were also associated with morbidity. The mortality risk score has H-L test P value = 0.212; AUC = 0.813 (CI 95% = 0.758 ? 0.867); and cut-off point of 5, predicting 14% risk of death (sensitivity 72.1%, specificity 75.3%). The morbidity risk score has H-L test p = 0.113; AUC = 0.713 (CI 95% = 0.681 ? 0.746); and cut-off point of 5, predicting 48% risk of morbidity (sensitivity 69.5%, specificity 60.5%).
Conclusion: Scoring system predicting mortality and morbidity after heart valve surgery with or without coronary artery bypass graft have been made. Mortality risk score was well calibrated, with good discriminatory power. Morbidity risk score was well calibrated, with moderate discriminatory power.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Noersyid
"Latar Belakang: Fibrilasi Atrium (FA) merupakan salah satu kelainan terbanyak di bidang irama jantung. Pasien FA memiliki resiko stroke dan gagal jantung lebih tinggi dari pasien tanpa FA. Prevalensi FA berkisar 1-2% di dunia dan di Rumah sakit Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita berkisar 9,8%. Salah satu strategi pengobatan dengan mengonversi irama kembali menjadi sinus baik dengan medikamentosa atau elektrikal. Strategi pengobatan elektrikal dengan kateter radiofrekuensi ablasi merupakan opsi dengan keberhasilan cukup tinggi. Angka Rekurensi FA jangka panjang masih cukup tinggi berkisar 40-60%. Beberapa faktor telah diketahui dapat mempengaruhi terjadinya rekurensi fibrilasi atrium jangka panjang. Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat digunakan untuk dibuat suatu sistem skor prediksi rekurensi Fibrilasi atrium jangka panjang.
Tujuan: Membuat sistem skor dapat memprediksi rekurensi FA jangka panjang. Mendapatkan angka kejadian rekurensi FA jangka panjang.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Penyakit Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita. Penelitian ini memantau titik awal yaitu dilakukan kateter ablasi radiofrekuensi sampai dengan pemantauan 12 bulan atau terjadi kejadian rekurensi FA dalam periode pemantauan. Di lakukan uji bivariate semua variabel independen dan perancu, dilanjutkan multivariat, analisis kurva Kaplan-Meier pada variabel yang lolos dalam uji multivariate, dan dilanjutkaan pembuatan sistem skoring.
Hasil: Penelitian ini mendapatkan angka rekurensi FA jangka panjang 48,5%.Tiga variabel yang lolos dalam uji multivariat yaitu rekurensi awal FA (HR 3,32; IK: 1,82-6,04), jenis FA (HR 2,17; IK 1,02-3,87), DAKi (HR 1,83; IK 1,21-3,26). Analisa Kaplan-Meier didapatkan penurunan angka bebas rekurensi FA pada rekurensi awal FA, jenis FA persisten, DAKi ≥40,5 mm (43%, 32%,30%). Nilai kemungkinan rekurensi FA masing-masing skor yaitu 0: 17%, 1: 38%, 2: 58%, 3: 76%, 4: 90%. Nilai Area under curve (AUC) dari total skor adalah 0,79 dengan nilai kalibrasi yaitu 0,138.
Kesimpulan: Sistem skoring KHALID (reKurensi jangka panjang Hasil ablasi Atrial fibriLasi InDonesia)dapat dipakai untuk memprediksi rekurensi FA jangka panjang pada pasien yang menjalani fibrilasi atrium nonvalvular yang menjalani kateter radiofrekuensi ablasi. Angka rekurensi FA jangka panjang yaitu 48,5%.

Background: Atrial Fibrillation (AF) is one of the most abnormalities in the field of arrhythmia. AF patients had a higher risk of stroke and heart failure than patients without AF. Prevalence of AF ranges from 1-2% in the world and in the Cardiovascular Harapan Kita Hospital range from 9.8%. One of the treatment strategies is converting the rhytm back into a sinus either with medical or electriacal. The strategy of electrical treatment with catheter ablation radiofrequency is a option with considerable success. Long-term recurrence of AF are still quite high ranging from 40-60%. Several factors have been known to affect long term recurrence of AF. These factors are expected to be used to establish a system of score to predict of long term AF recurrence.
Objective: To create a scoring system can predict long-term AF recurrence. To get data of prevalence longterm AF recurrence.
Method: This is a retrospective cohort study conducted in Cardiovascular Harapan Kita Hospital. This study monitors the starting point of Radiofrekuency ablation catheter up to 12 months monitoring or recurrence of AF event within the monitoring period. In doing bivariate test all independent and confounding variables, followrd by multivariate, Kaplan-Meier curve analysis on the variables that passed in multivariate test, followed by making scoring system.
Results: This Study obtained a prevalence of long-term recurrence AF of 48.5%. Three variables that passed in multivariate test were early recurrence (HR 3.32;CI 1,82-6,04), FA type (HR 2.17;CI 1.02-3.87), Left atrium diameter (HR 1.83; CI 1.21-3.26). Kaplan-Meier curve analysis obtained a decrease in free of AF recurrence numbers in early recurrence, persisten AF type, left Atrium diameter ≥ 40.5 mm (43%, 32%, 30%). The probabilities to get AF recurrence based on score is 0: 17%, 1: 38%, 2: 58%, 3: 76%, 4: 90%. The value of Area under Curve (AUC) of total score is 0.79 with a calibration valure of 0.138.
Conclusion: The KHALID scoring system can be used to predict long term of AF recurrence in patient with nonvalvular AF undergoing radiofrequency ablation catheter. The Prevalence of long-term of AF recurrence is 48.5%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library