Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Werlinson
"Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek stimulasi dengan metode kartu baca cepat Glenn Doman terhadap tajam penglihatan.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis acak, tersamar tunggal. Sebanyak 36 anak usia 12-15 bulan yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 18 anak. Kelompok pertama mendapatkan stimulasi dengan kartu baca cepat Glenn Doman selama tiga bulan sedangkan kelompok kedua tidak mendapatkan stimulasi. Setiap bulan dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan monokular dan binokular. Keluaran sekunder menilai hubungan antara perubahan tajam penglihatan terhadap peningkatan nilai kognitif.
Hasil: Sebanyak 36 anak mengikuti penelitian selama 3 bulan. Rerata tajam penglihatan akhir mata kanan pada kelompok uji dan kelompok kontrol meningkat namun tidak berbeda bermakna (log MAR 0,31 vs 0,33; p=0,55). Peningkatan rerata tajam penglihatan akhir juga terdapat pada mata kiri (log MAR 0,31 vs 0,32; p=0,55). Rerata tajam penglihatan binokular mengalami peningkatan namun tidak berbeda bermakna (log MAR 0,31 vs 0,33; p 0,31). Peningkatan tajam penglihatan terbesar terdapat di bulan pertama pada kedua kelompok ( OD log MAR 0,38 vs 0,42; OS log MAR 0,44 vs 0,44; OU 0,27 vs 0,36) namun peningkatan tersebut tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hubungan antara perubahan tajam penglihatan dan perubahan nilai kognitif tidak berbeda bermakna antara kelompok uji dengan kelompok kontrol (p>0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan yang bermakna antara kelompok dengan stimulasi menggunakan metode Glenn Doman dengan kelompok tanpa stimulasi.

Aim: The aim of this study was to evaluate the effect of stimulation with Glenn Doman flash cards method in visual acuity.
Method: This was randomized single-blind controlled trial study. Thirty-six children age 12-15 months were participated in the study and were divided into two group consisted of eighteen children in each group. The intervention group had stimulation using Glenn Doman flash cards methods while control group had not given stimulation. Stimulation was continuosly held for three consecutive months. The visual acuity between two groups were compared. Secondary outcome was correlation between visual acuity changes and changes in cognitive score of Bayley Score Infant Development (BSID) in both groups.
Result: Thirty six children were participating in the study for three months. There was improvement in mean visual acuity of the right eye in both groups (log MAR 0,31 vs. 0,32; p=0,55) as well as the left eye on both groups but not statistically significant (log MAR 0,31 vs. 0,32; p=0,55). Mean binocular visual acuity in both groups was improved but not statistically significant (log MAR 0,31 vs. 0,33; p=0,31). Largest increase of visual acuity in both groups were in the first month (OD log MAR 0,38 vs. 0,42; OS log MAR 0,44 vs. 0,44; binocular log MAR 0,27 vs. 0,36) but not statistically significant (p>0,05). There was no statistically significant correlation between visual acuity changes and BSID cognitive score changes.
Conclusion: There was no statistically significant difference in visual acuity between intervention group and control group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Dicky Budiman
"Latar belakang: Retinopati diabetik (diabetic retinopathy, DR) merupakan komplikasi diabetes mellitus (DM) yang dapat menyebabkan kebutaan. Kesadaran pasien DM terhadap DR dapat diukur dari pengetahuan, sikap, dan perilaku (knowledge, attitude, practice, KAP) dalam pencegahan DR.
Tujuan: Mengetahui serta membandingkan pola karakteristik demografi dan skor KAP pasien DM tanpa DR terhadap DM dengan DR di Puskesmas Provinsi DKI Jakarta menggunakan kuesioner yang teruji valid dan reliabel.
Metode: Subjek dirandomisasi menggunakan cluster random sampling terhadap 17 Puskesmas di Provinsi DKI Jakarta yang telah dilakukan skrining DR terhadap pasien DM.
Hasil: Subjek terdiri dari 205 subjek dengan DR & 210 subjek tanpa DR. Terdapat perbedaan bermakna antar kelompok durasi DM, pendidikan terakhir, dan penghasilan perbulan terhadap pengetahuan. Terdapat perbedaan bermakna antar kelompok durasi DM, pendidikan terakhir, penghasilan perbulan, dan pekerjaan terhadap sikap. Terdapat perbedaan bermakna antar seluruh variabel kelompok terhadap perilaku. Pada kelompok tanpa DR, terdapat korelasi antara pengetahuan dan perilaku (p <0.001) dengan korelasi lemah (r: 0.37) dan terdapat korelasi antara sikap dan perilaku (p <0.001) dengan korelasi sedang (r: 0.45). Pada kelompok dengan DR, terdapat korelasi antara pengetahuan dan perilaku (p <0.001) dengan korelasi lemah (r: 0.40) dan terdapat korelasi antara sikap dan perilaku (p <0.001) dengan korelasi sedang (r: 0.45). Terdapat perbedaan bermakna rerata skor perilaku (p: 0.036) antar kelompok tanpa DR dan dengan DR, tidak terdapat perbedaan bermakna dari rerata skor pengetahuan dan sikap.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku penderita DM tanpa DR dan dengan DR. Terdapat perbedaan bermakna perilaku antara kelompok tanpa DR dan dengan DR.

Background: Diabetic retinopathy (DR) is a complication of diabetes mellitus (DM) which can cause blindness. DM patient awareness of DR can be measured from knowledge, attitude and practice (KAP) in preventing DR.
Purpose: Determine and compare the pattern of demographic characteristics and KAP scores of DM without DR to DM with DR groups at the DKI Jakarta Provincial Health Center using a valid and reliable questionnaire.Methods: Subjects were randomized using the cluster random sampling to 17 Community Health Centers in DKI Jakarta Province which had DR screening done for DM patients.
Result: Subject consists of 205 subjects with DR & 210 subjects without DR. There were significant differences between groups of duration of DM, last education, and monthly income towards knowledge. There were significant differences between groups of duration of DM, last education, monthly income, and job towards attitude. There were significant differences between all group variables towards practice. In the group without DR, there was a correlation between knowledge and practice (p <0.001) with a weak correlation (r: 0.37) and there was a correlation between attitude and practice (p <0.001) with a moderate correlation (r: 0.45). In the group with DR, there was a correlation between knowledge and practice (p <0.001) with a weak correlation (r: 0.40) and there was a correlation between attitude and practice (p <0.001) with a moderate correlation (r: 0.45). There was a significant difference in the mean practice score (p: 0.036) between two groups, but there was no significant difference in the mean knowledge and attitude scores.
Conclusion: There were a correlation between knowledge and attitude towards the practice of without DR and with DR groups. There were significant differences in practice between DM with DR and DM without DR groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Rayfa Pintary
"Perkembangan terapi edema makula diabetik hingga saat ini terus dieksplorasi, dengan terapi anti-VEGF sebagai lini pertama. Yellow Subthreshold Micropulse Laser (SMPL) merupakan inovasi laser fotokoagulasi konvensional yang menargetkan epitel pigmen retina (RPE) telah dianggap aman terhadap populasi kaukasian. Laser tersebut diajukan sebagai alternatif terapi edema makula ringan dengan ketebalan retina di bawah 400 μm. Data prospektif perubahan struktural dan elektrofisiologis SMPL sebagai monoterapi pada non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dengan DME ringan masih terbatas, khususnya di Asia yang memiliki perbedaan ketebalan densitas RPE. Studi eksperimental pre-post tanpa pembanding ini bertujuan untuk mengetahui perubahan Average Macular Thickness (AMT), amplitudo dan waktu implisit gelombang P1 dan N1 mfERG, dan DR score pada DME ringan pasca SMPL. Subyek yang masuk kriteria inklusi dilakukan laser SMPL dengan follow-up untuk menilai AMT dengan Optical Coherence Tomography (OCT) pada 4 dan 8 minggu, serta mfERG, dan DR score menggunakan RETeval Handheld ERG pada 8 minggu pasca laser. Terdapat 15 subyek (17 mata) yang diikutkan pada studi ini. Hasil menunjukkan perbaikan AMT signifikan pada minggu ke-8 pasca laser (p=0.001). Amplitudo dan waktu implisit gelombang P1 dan N1 tidak menunjukkan adanya perubahan bermakna pada setiap ring (p>0.05). Pemeriksaan DR score seluruh pasien DME menunjukkan hasil abnormal sesuai cut-off studi sebelumnya, serta tidak menunjukkan perubahan bermakna antara sebelum dan setelah terapi (p>0.05). Penelitian ini menunjukkan adanya perbaikan anatomis makula dan stabilisasi kondisi sel fotoreseptor dan Muler dilihat dari nilai elektrofisiologis dalam followup 8 minggu. Terapi SMPL dapat dipertimbangkan sebagai alternatif terapi yang aman dan bermanfaat untuk kasus NPDR dengan DME ringan.

The management of DME is still under investigating and research, with currently intra vitreal anti-VEGF as the mainstay therapy. Yellow Subthreshold Micropulse Laser (SMPL) is a conventional photocoagulation laser innovation that targets retinal pigment epithelium (RPE) and has been reported its safety on Caucasian population. This laser method is considered as an alternative treatment for mild DME with retinal thickness below 400 μm. Prospective data on structural and electrophysiological changes of SMPL as monotherapy in non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) with mild DME are still limited, especially in Asia that has RPE density thickness differences. This pre-post study without comparison aims to determine changes in average macular thickness, amplitude and implicit time of P1 and N1 mfERG, and DR score in mild DME post SMPL. Subjects who met the inclusion criteria underwent SMPL laser was examined using Optical Coherence Tomography for average macular thickness parameter at 4- and 8-week post-laser, as well as mfERG and DR score using RETeval handheld ERG at 8-week post-laser. Fifteen subjects (17 eyes) were included in the study. Remarkable AMT improvement at 8-week post-laser was noted in this study (p=0.001). The amplitudes and implicit times of P1 and N1 waves showed no significant changes in each ring (p>0.05). All DME eyes showed abnormal DR score results at baseline according to the cut-off value of previous studies. There was no significant changes of DR score after therapy (p>0.05). This study showed an anatomical improvement of the macula and stabilization of photoreceptor and Muller cells as seen from electrophysiological values at 8-week follow-up. SMPL can be considered as a safe and beneficial alternative therapy in NPDR cases with mild DME."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti
"Latar Belakang: Bertambahnya jumlah penderita miopia di dunia menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengguna Lensa Kontak Lunak (LKL). Di Indonesia, prevalensi miopia sebesar 26.1% pada tahun 2002 dan diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Pemaikaian LKL memiliki efek samping berupa terjadinya inflamasi pada kornea dan konjungtiva, yang ditandai oleh peningkatan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada air mata. Tujuan: Mengevaluasi peningkatan kadar IL-6 pada air mata pada pengguna LKL harian tipe hidrogel konvensional dan LKL mingguan tipe silikon hidrogel serta meninjau korelasinya dengan tingkat inflamasi konjungtiva. Metodologi (Method): Penelitian ini merupakan suatu uji eksperimental randomisasi acak terkontrol dengan desain dua kelompok paralel, yaitu satu subjek miopia yang diterapi menggunakan LKL Hydrogel Nefilcon-A harian di satu mata, dan menggunakan LKL Silicone Hydrogel Lotrafilcon-B mingguan di mata lainnya, selama 14 hari. Tindakan foto konjungtiva, dan pengambilan sampel air mata untuk IL-6 dilakukan sesaat sebelum pemakaian LKL dan 14 hari setelah pemakaian LKL. Hasil: Seratus mata dari 50 pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek tersebut, 80,8% adalah perempuan dan 18,2% laki-laki dengan usia rata-rata 22,18±1,79 tahun. Median delta IL-6 sebelum dan setelah penggunaan LKL adalah 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL untuk silikon hidrogel dan 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL untuk hidrogel konvensional. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kadar IL-6 pra dan pasca LKL pada kedua grup (p=0,117). Kesimpulan: Kadar IL-6 pada air mata mengalami peningkatan signifikan setelah 14 hari penggunaan LKL pada kedua kelompok. Tetapi peningkatan kadar IL-6 pada air mata tersebut tidak disertai dengan peningkatan hiperemia konjungtiva.

Background: The increasing number of myopia patient in the world, causes growth in Soft Contact Lenses (SCL) users. In Indonesia, the prevalence of myopia was 26.1% in 2002 and is expected to increase every year. SCL usage has proven to increase cytokine production, especially Interleukin-6 (IL-6) which accompanied by inflammation of the ocular surface such as conjunctival hyperemia. Objective: Comparing IL-6 tear levels and their correlation with conjunctival inflammation scale between overnight wear silicone hydrogel SCL and daily wear hydrogel SCL. Methods: This study is a randomized controlled trial between two parallel groups. A myopia subject, who has never used SCL before, being treated using daily Hydrogel (Nefilcon-A) SCL in one eye, and overnight Silicone Hydrogel (Lotrafilcon-B) SCL in the other eye, for 14 days. The slit lamp examination, conjunctival photographs, and tear sampling for IL-6 were done before and 14 days after SCL usage. Results: One hundred eyes from 50 patients were included in this study. Of those patients, 80,8% were female and 18,2% male with mean age 22,18±1,79 years old. Median of IL-6 delta (pre-post) SCL usage was 6,37 (0,05 — 1115,80) pg / mL for silicon hydrogel and 4,46 (0,01 - 685,40) pg / mL for conventional hydrogel (p = 0,117). There were no significant difference between the initial and final conjunctival hyperemia scales in both groups (p=1,000). The correlation between IL-6 tear levels and conjunctival hyperemia was not significant (p = 0.234). Conclusion: There were a significant increase of IL-6 tear levels after 14 days of SCL usage in both groups. But the marked escalation of tear IL-6 levels was not accompanied by increasing scales of azconjunctival hyperemia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdha Malisa Fauzia
"Latar Belakang: Berada pada periode kritis perkembangan visual, anak-anak merupakan kelompok yang memiliki risiko tinggi mengalami gangguan penglihatan. Salah satu upaya deteksi dini gangguan penglihatan pada anak adalah melalui program skrining kesehatan anak sekolah. Guru dapat didelegasikan menjadi petugas skrining di sekolah, namun perlu menjalani pelatihan agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang adekuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan modul pelatihan yang valid untuk melatih guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di DKI Jakarta dalam melakukan pemeriksaan mata pada anak sekolah
Metode : Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method dengan metode exploratory sequential yang terdiri atas dua tahapan. Tahapan pertama adalah penyusunan rancangan modul pelatihan dengan desain penelitian deskriptif kualitatif. Tahapan ini diawali dengan pengumpulan materi modul melalui focus group discussion (FGD), wawancara individu, dan tinjauan kepustakaan. Setelah dilakukan analisis, dilakukan pengembangan rancangan modul serta penyusunan dan validasi instrumen untuk penelitian tahap kedua. Tahapan kedua adalah uji validitas modul pelatihan. Uji validitas konten dilakukan dengan mengirimkan modul pelatihan dan kuisioner google form kepada validator dan dianilisis menggunakan I-CVI (item-level content validity index). Uji validitas konstruk diadakan bersamaan dengan pelatihan 20 guru di SMP 55 dan SMA 31 Jakarta yang berupa evaluasi pengetahuan (pre-test & post-test) dan uji keterampilan peserta pelatihan.
Hasil : Dari hasil analisis FGD dan wawancara, modul dikembangkan melalui enam tahapan. Uji validitas konten modul memiliki nilai 1.00. Pada pelatihan, didapatkan perbedaan bermakna skor pengetahuan guru antara sebelum dan setelah menjalani pelatihan (p=0.000), sedangkan 100% peserta memiliki keterampilan yang baik dalam melakukan pemeriksaan. Modul pelatihan pemeriksaan mata anak sekolah oleh Guru SMP dan Guru SMA di DKI Jakarta memiliki validitas konten dan validitas konstruk yang baik.
Kesimpulan : Modul pelatihan pemeriksaan mata pada anak sekolah oleh Guru SMP dan Guru SMA di DKI Jakarta memiliki validitas konten dan validitas konstruk yang baik.

Background: Children have high risk of visual impairment due to presence within critical period of visual development. An essential measure for early detection of vision disorders in children involves health screening programs within school settings. Teachers can be delegated as screening officer, but their effectiveness requires comprehensive training to ensure adequate knowledge and skills. This research aims to develop a valid training module to equip Junior High School (SMP) and Senior High School (SMA) teachers in Jakarta with the necessary skills to conduct eye examinations for school children.
Method: Mixed-methods approach with an exploratory sequential design comprising two phases.  The first phase was development of the module with descriptive qualitative as the study design. It begins with collection of module content through focus group discussions (FGD), individual interviews, and literature searching. Following analysis, module draft was developed, and instrument for the second phase of research were formulated and validated. The second phase consist of contend and construct validation of the module. Conten validity assessed by validator using questionaire and was analyzed using item-level content validity index. Construct validity was determined within training of teachers at SMP 55 and SMA 31 Jakarta involving knowledge assessment (pre-test and post-test) and skills evaluation.
Results: Content of module was developed through six-stage process using information that was obtained from FGD and interviews. Result of content validity test was 1.00. A significant difference in teachers' knowledge scores was observed before and after the training (p=0.000), with 100% of participants demonstrating proficient skills in conducting examinations.
Conclusion: The training module for eye examinations in school-aged children by SMP and SMA teachers in Jakarta exhibits good content and construct validity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Nindhyatriayu Witjaksono
"ABSTRAK
Penelitian ini menilai validitas dan keandalan / reliability dari analisis hitung piksel untuk penilaian vasokonstriksi pembuluh darah konjungtiva dengan pemberian tetes mata fenilefrin 2,5%. Penelitian ini merupakan studi prospektif analitik berpasangan. Sebanyak 15 subjek dengan kriteria strabismus horizontal murni usia 5 - 35 tahun yang membutuhkan operasi koreksi strabismus dilibatkan pada penelitian ini. Pengambilan data dilakukan melalui foto konjungtiva yang kemudian diolah dan dianalisis menggunakan aplikasi FIJI. Foto dirubah menjadi bentuk binari menggunakan plugin semi-otomatis vessel analysis pada aplikasi FIJI. Modifikasi foto menjadi bentuk binari dapat membuat pembuluh darah dinilai berdasarkan hitung piksel. Pada penelitian ini, analisis hitung piksel dapat mendeteksi perubahan jumlah piksel pasca penetesan fenilefrin 2,5% yang bermakna secara statistik, sehingga bisa disimpulkan sebagai alat yang valid untuk menilai vasokonstriksi pembuluh darah konjungtiva. Keandalan dinilai menggunakan Intraclass Correlation Coefficient, namun didapatkan hasil yang bervariasi, namun nilai keandalan masih dapat ditingkatkan. Penelitian ini juga menunjukkan tetes mata fenilefrin 2,5% aman digunakan tanpa menimbulkan efek samping berdasarkan parameter kardiovaskular.

ABSTRACT
This study assessed the validity and reliability of pixel count analysis for evaluating vasoconstriction of conjunctival vessels by administering 2.5% phenylephrine eye drops. This study was a paired analytic prospective study. A total of 15 subjects with horizontal strabismus, aged 5-35 years, whose requiring strabismus correction surgery were included in this study. Data retrieval was done through conjunctival photos which then processed and analysed using the FIJI application. Photos were converted into binary forms using a semi-automatic plugin called vessel analysis in the FIJI application. By transforming blood vessel into binary forms to allow analysis using pixel count. In this study, pixel count analysis can detect changes in the number of pixels after 2.5% phenylephrine administration and were statistically significant, so that it can be concluded that pixel count analysis as a valid tool for assessing conjunctival blood vessel vasoconstriction. The reliability was analysed using Intraclass Correlation Coefficient and the value was obtained varied but can still be improved. This study also found that 2.5% phenylephrine eyedrop is safe with no side effects on cardiovascular parameter."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Brenda Hayatulhaya
"ABSTRAK
Tujuan: Mengevaluasi efek injeksi anti-VEGF intravitreal, bevacizumab, terhadap kadar cystatin C plasma dan VEGF plasma dan meninjau korelasi antara kedua faktor tersebut.
Metodologi: Penelitian ini merupakan studi eksperimental satu kelompok dengan sampel dipilih secara konsekutif dari populasi terjangkau. Pemeriksaan oftalmologi lengkap, tekanan darah, laboratorium darah perifer lengkap, dan pemeriksaan kadar cystatin C plasma dan VEGF plasma dilakukan pada subjek sebelum injeksi dan 14 hari pasca injeksi bevacizumab intravitreal dosis 1,25 mg (0,05 cc).
Hasil: 33 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek, 63,6% adalah perempuan dan 36,4% adalah laki-laki dengan usia rata-rata 66,4 ± 8,3 tahun. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kadar VEGF plasma pre dan pasca injeksi (p=0,339). Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara kadar cystatin C plasma pre dan pasca injeksi (p=0,709). Uji korelasi antara perubahan VEGF plasma dengan perubahan cystatin C plasma pre dan pasca injeksi menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p=0,142).
Kesimpulan: Kadar cystatin C plasma tidak berubah secara signifikan pre dan pasca injeksi bevacizumab pada injeksi satu kali. Tidak ditemukan adanya korelasi antara penurunan kadar VEGF plasma dengan peningkatan kadar cystatin C pada pasien AMD neovaskuler pasca injeksi bevacizumab.

ABSTRACT
Objective: To evaluate the effect of intravitreal bevacizumab injection on plasma cystatin C and plasma VEGF levels and the correlation between the two factors.
Methodology: This research was a single arm study with samples selected consecutively from an assigned population. Ophthalmology examinations, blood pressure, complete blood count, and assessments of plasma cystatin C and plasma VEGF levels were carried out on subjects before and 14 days after intravitreal bevacizumab injection of 1.25 mg (0.05 cc).
Results: 33 subjects were included in this study. Of all subjects, 63.6% were women and 36.4% were men with an average age of 66.4±8.3 years. There was no statistically significant difference between pre and post injection plasma VEGF and plasma cystatin C levels (p=0.339 and 0.709 respectively). Correlation test between changes in plasma VEGF with changes in plasma cystatin C pre and post injection showed no significant correlations (p=0.142).
Conclusion: Plasma cystatin C levels did not change significantly before and after injection of bevacizumab on one-time injection. No correlation was found between decreasing plasma VEGF levels and increasing levels of cystatin C in patients with neovascular AMD after bevacizumab injection."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwanuliman Putera
"Latar Belakang: Fibrosis dalam bentuk adhesi jaringan maupun jaringan parut teregang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi luaran hasil operasi strabismus. Obat golongan anti-inflamasi non-steroid, salah satunya natrium diklofenak, merupakan obat yang mampu menekan proses inflamasi sehingga dipikirkan dapat memodulasi penyembuhan luka, termasuk fibrosis pada otot ekstraokular pasca operasi strabismus.
Tujuan: Membandingkan efek pemberian diklofenak sediaan oral atau tetes mata 0,1% terhadap pembentukan fibrosis pasca operasi strabismus pada hewan coba kelinci model.
Metodologi: Penelitian eksperimental ini dilakukan pada kelinci model yang dilakukan operasi reses otot rekrus superior. Dilakukan randomisasi acak terkontrol tiga kelompok dengan membagi kelinci menjadi: kelompok dengan terapi diklofenak oral 2 x 5 mg/kg selama 3 hari (kelompok A), tetes mata natrium diklofenak 0,1% 3x sehari selama 3 hari (kelompok B), dan kontrol (kelompok C). Setelah hari ke-14 pasca operasi, dilakukan enukleasi lalu dinilai skor adhesi makroskopik, histopatologi inflamasi (haematoxylin & eosin), skor adhesi mikroskopik dan persentase area fibrosis (Masson’s trichrome), serta ekspresi α-smooth muscle actin (α-SMA, imunohistokimia) oleh ahli patologi anatomik menggunakan penilaian semi-kuantitatif dan kuantitatif (ImageJ) dengan nilai reciprocal staining intensity (RSI).
Hasil: Enam kelinci (12 mata) terbagi dalam tiga kelompok perlakuan. Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik (p=0,13), adhesi mikroskopik (p=0,28), dan histopatologi inflamasi (p=0,26). Persentase area fibrosis kelompok diklofenak tetes mata (12,44 % (8,63 - 18,29)) lebih sedikit dibandingkan kelompok diklofenak oral (26,76 % (21,38-37,56)) maupun kontrol (27,80 % (16,42 - 36,28); uji Kruskal-Wallis p = 0,04, post-hoc kelompok oral vs tetes mata p = 0,03 dan kelompok tetes mata vs kontrol p=0,04). Penilaian ekspresi α-SMA semi-kuantitatif tidak dijumpai perbedaan antar ketiga kelompok. Analisis RSI mendapatkan bahwa kelompok diklofenak tetes mata memiliki ekspresi α-SMA yang lebih rendah (diklofenak tetes mata = 174,08 ± 21,78 vs diklofenak oral = 206,50 ± 18,93 vs kontrol = 212,58 ± 12,06; one-way ANOVA p = 0.03; post-hoc bonferroni diklofenak tetes mata vs kontrol p= 0,04).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik, mikroskopik, serta histopatologi inflamasi antara kelompok perlakuan diklofenak oral, diklofenak tetes mata, maupun kontrol. Pemberian diklofenak tetes mata 0,1% menunjukkan penurunan area fibrosis dibandingkan kelompok diklofenak oral maupun kontrol. Melalui penilaian RSI, terdapat penurunan ekspresi α-SMA dengan pemberian diklofenak tetes mata 0,1%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denisa Anggi Kurnia
"Latar Belakang: Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan penyakit autoimun yang menyerang mukosa tubuh penderita dengan angka mortalitas mencapai 35%. Manifestasi okular pada SSJ dilaporkan antara 60-90% kasus. Manifestasi mata kering merupakan keluhan yang dapat ditemui pada fase akut maupun pada fase kronik serta ditemukan pada 46%-59% kasus. Masalah mata kering pada pasien SSJ okular menimbulkan gangguan subjektif seperti sensasi benda asing, nyeri, fotofobia, gangguan penglihatan, dan kesulitan dalam membuka mata. Tatalaksana mata kering pada SSJ okular bervariasi, namun belum didapatkan adanya baku emas terapi untuk pasien SSJ okular dengan mata kering. Tetes mata serum tali pusat saat ini mulai dikembangkan dan dipilih sebagai tatalaksana pada kelainan permukaan okular. Penelitian terdahulu melaporkan efektivitas yang baik dan keamanan dari pemberian tetes mata serum tali pusat pada kasus mata kering. Penelitian-penelitian ini melaporkan perbaikan baik secara subjektif maupum objektif pada kasus mata kering. Meskipun memberikan hasil yang memuaskan, belum terdapat penelitian yang menunjukkan efek pemberiannya pada kasus mata kering terkait SSJ. Tujuan: Menilai efek pemberian tetes mata serum tali pusat pada pasien SSJ okular dengan mata kering dibandingkan dengan penggunaan sodium hialuronat 0,1%. Metode: Uji eksperimental tersamar ganda pada dua kelompok. Kelompok pertama mendapat tetes mata serum tali pusat dan kelompok lain mendapat tetes mata sodium hialuronat 0,1% Hasil: Penelitian berlangsung pada bulan April 2020-Desember 2020 dengan jumlah sampel sebanyak 10 pasien. Rerata usia yaitu 41,8 ± 15,7 dengan jumlah subyek perempuan lebih banyak dari laki-laki (7 vs 3). Sebanyak 6 pasien sudah menjalani operasi mata. Perubahan nilai NIBUT, Schirmer I, dan skor keratoepiteliopati lebih besar bermakna pada kelompok serum tali pusat (1,3 vs 0,15; 2 vs 0,5; 6 vs 0). Perubahan skor OSDI kelompok serum tali pusat lebih tinggi pada kelompok serum namun tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan: Secara klinis pemberian tetes mata serum tali pusat menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tetes mata sodium hialuronat 0,1%.

Background: Stevens-Johnson syndrome (SJS) is an autoimmune disease that attacks the mucosa of the patient with a mortality rate of up to 35%. Ocular manifestations in SJS are reported in 60-90% of cases. Dry eye manifestation is found in the acute phase as well as in the chronic phase and counted in 46%-59% cases. Dry eye problems in ocular SJS patients cause subjective complaints such as foreign body sensation, pain, photophobia, visual disturbances, and difficulty in opening the eyes. The management of dry eye in ocular SJS varies, but there is no gold standard therapy for with dry eye in ocular SJS patients. Umbilical cord serum eyedrops are currently being developed and used as the treatment for ocular surface disorders. Previous studies have reported good efficacy and safety in dry eye patients receiving umbilical cord serum eyedrops. These studies reported both subjective and objective improvements in dry eye cases. Although it gives satisfactory results, there are no studies that show the efficacy in of dry eye patients associated with SJS. Objective: to evaluate the efficacy of umbilical cord serum eyedrops for severe dry eye in ocular SJS, compared with sodium hyaluronate 0,1% eyedrops. Method: a double-blind randomized control trial comparing two groups. Result: From April 2020 – December 2020 there were 10 eyes from 10 patients included in this study. Mean age of our study is 41,8 ± 15,7 and women is more frequent than men (7 vs 3). Six patients had underwent ocular surgeries prior the study. Changes in NIBUT, Schirmer I, and keratoepitheliopathy scores were significantly greater in the cord serum group (1.3 vs 0.15; 2 vs 0.5; 6 vs 0). Changes in the umbilical cord serum OSDI score were higher in the serum group but not statistically significant. Conclusion: Administration of umbilical cord serum eyedrops showed better clinical outcome compared to sodium hyaluronate 0,1% eyedrops."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafika Sari Fadli
"Edema makula diabetik atau Diabetic Macular Edema (DME) merupakan penyebab utama kehilangan penglihatan pada pasien diabetes. Patofisiologi DME bersifat multifaktorial dan kompleks. Rusaknya sawar darah retina mengakibatkan penumpukan carian abnormal dan penebalan makula retina yang diinduksi oleh berbagai faktor seperti iskemia, peningkatan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), radikal bebas, disfungsi perisit dan endotel, serta inflamasi. Penelitian ini menilai efektivitas injeksi loading dose bevacizumab dengan kombinasi inisial deksametason dibandingkan loading dose bevacizumab. Pada studi ini dilakukan uji klinis acak terkontrol dengan randomisasi pada dua kelompok yaitu: kelompok dengan terapi loading dose bevacizumab 1,25mg dengan kombinasi inisial deksametason 0,5mg (studi) dan injeksi loading dose bevacizumab 1,25mg (kontrol). Luaran sensitifitas retina, tajam penglihatan serta CMT dievaluasi pada minggu pertama, keempat, kedelapan dan keduabelas. Sebanyak 22 orang diteliti di kelompok studi dan 21 orang kelompok kontrol. Median usia kelompok studi 53,3 + 10,9 dan kontrol 54,1 + 7,3. Dilakukan analisa terhadap sensitifitas retina, tajam penglihatan serta CMT pada kelompok studi (10 orang) dan kontrol (13 orang). Terdapat perbaikan ketebalan makula sentral 205,5μm (studi) dan 87 μm (kontrol) dengan p=0,010. Perbaikan tajam penglihatan dengan koreksi pada studi 13,5 huruf dan 3 huruf pada kelompok kontrol (p=0,23). Terdapat perbaikan sensitifitas retina 1.02 dB di kelompok studi dan 0,68 dB pada kontrol (p=0,832). Analisis intragroup menunjukkan perbaikan signifikan pada pemeriksaan CMT kedua kelompok dan pada pemeriksaan tajam penglihatan pada kelompok studi. Berdasarkan analisa pendahuluan ini dapat memberikan bukti adanya potensi untuk dilakukan penyelesaian seluruh jumlah sampel hingga akhir dimana terdapat kecendrungan perbaikan secara klinis pada setiap luaran.

Diabetic Macular Edema is a major cause of vision loss in diabetic patients. The pathophysiology is multifactorial and complex. The damage of the retinal blood barrier results in a buildup of fluid and thickening of the macula that induced by ischemia, Vascular Endothelial Growth Factor, free radicals, pericyte, endothelial dysfunction, and inflammation. This study assessed the effectiveness of bevacizumab loading dose with initial combination versus a bevacizumab monotherapy. In this study, a randomized controlled trial was carried out in two groups, a 1.25 mg bevacizumab loading dose with a combination of the initial 0.5 mg dexamethasone (study) and a 1.25 mg bevacizumab loading dose (control). Retinal sensitivity, visual acuity and CMT were evaluated at the first, fourth, eighth and twelfth weeks. A total of 22 people (study) and 21 people (control). The median age of was 53.3 + 10.9 (study) and 54.1 + 7.3 (control). Retinal sensitivity, visual acuity and CMT were analyzed in study group (10 people) and (13 people) control group. There was an improvement in CMT 205.5μm (study) and 87μm (control) with p = 0.010. Visual acuity improvement 13.5 letters (study) and 3 letters (control) with p = 0.23 and retinal sensitivity 1.02 dB (study) 0.68 dB (control) with p = 0.832. Intragroup analysis showed significant improvements of the CMT examination in both groups and in the visual acuity examination in study group. Based on this preliminary analysis, it can provide the potential for completion of the entire sample size until the end where there is a tendency for clinical improvement in each outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library