Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hophoptua NM
Abstrak :
Latar Belakang : Cedera kranioserebral ada 2, yaitu cedera primer dan sekunder. PatofisioIogi cedera sekunder yang kompleks menyebabkan perlunya parameter tambahan untuk menilai perburukan klinis penderita cedera kranioserebral. Pada penelitian terdahulu didapat suatu hubungan antara kadar interleukin 6 serum dengan keluaran cedera kranioserebral. Dimana semakin tinggi kadar 11-6 akan semakin buruk keluaran cedera kranioserebral. Dengan melihat hal ini kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara kadar M-6 dengan penderita ceders kranioserebral. Objektif : Mengetahui peranan IL-6 pada kondisi klinis penderita cedera kranioserebral 5KG 6-12 Desain dan Metode: Observasional dengan repeated measurement design sesuai dengan kriteria seleksi dan dieksplorasi apakah terdapat hubungan IL-6 dengan SKG hari 1,3,7 atau mortalitas. Hasil : 63 penderita cedera kranioserebral SKG 6-12 dalarn 24 jam dari onset. Semua pasien dilakukan pemeriksaan IL-6 serum dan DPL rutin, Nilai rerata IL-6 tertinggi adalah pada SKG 6 508,938 ± 98,125 dan nilai rerata terendah adalah 11,725 ± 8,441. Dengan uji kai kuadarat didapati hubungan semakin tinggi nilai IL-6 semakin rendah nilai SKG (p<0,0001). Dengan uji kai kuadrat juga didapati semakin tinggi kadar M-6 semakin tinggi mortalitas (p<0,002). Kesimpulan : IL-6 dapat dijadikan salah satu prediktor keluaran penderita cedera kranioserebral.
Background : Traumatic brain Injury (TBI) is divided in to primary and secondary injury. Complexities of the pathophysiology of secondary brain injury made additional parameters in to evaluation for observed the worsening effect of those mechanisms. In the current study there is a correlation between IL 6 serum concentration and the outcome of TBI. The higher 1L6 would be markedly worsening outcome. Based on this concept, we make the research to explore the correlation between IL 6 concentration and TBI patient. Objective: To explore the rule of IL 6 on the worsening clinical condition of the TBI patient GCS 6-8 and GCS 9-12. Design and methods: Observational study with repeated measurement design due to selection criteria and being explored whether any correlation between IL 6 and GCS on day 1,3,7 or mortality. Results: 63 TBI patients with GCS 6-12 and the onset are 24 hours enrolled to this study. All the patient had IL 6 serum and routine blood test. The highest mean of IL 6 is 508,938 + on GCS 6 and the lowest mean is 11,725 + 8,441 on GCS 12. Result of the chi square test showed there was correlation the higher IL 6 and the lower GCS (p<0,0001). The other analyzed the chi square test showed there were also correlation between the higher IL 6 and mortality (p<0,002). Conclusion : IL- 6 could be used as one of TBI outcome predictor.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octaviany
Abstrak :
Latar Belakang. Disfungsi otonom merupakan salah satu gejala penyakit parkinson yang sering ditemukan clan berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas penderita penyakit parkinson. Disfungsi otonom memberikan gejala klinis yang seringkali tidak disadari penderita. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran disfungsi otonom penyakit Parkinson menggunakan pemeriksaan Sympathetic Skin Response. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif dengan populasi semua penderita penyakit parkinson yang memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pencatatan berupa identifikasi karakteristik penderita dan riwayat perjalanan penyakit, anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari gejala klinis-penyakit parkinsnn, gejala disfungsi otonom, jenis obat anti parkinson yang dipakai dan respon pengobatan . Diagnosis disfungsi otonom ditegakkan melalui pmeriksaan Sympathetic Skin Response (SSR). Data dianalisis menggunakan tes chi-square, fisher's exact dan t test dengan memakai program STATA. Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 34 pasien penyakit parkinson. Sebagian besar subyek berjenis kelamin pria (67,8%), dengan usia rata-rata 61.11+_10.01 tahun dan terbanyak pada kelompok usia 60-69 tahun ( 41.2%). Sebanyak 22 subyek (64.7%) mengalami gejala disfungsi otonom, dengan gejala yang tersering adalah disfagia (44%) ,diikuti gejala konstipasi (38.2%), dan hipersalivasi (35.3%). SSR abnormal dijumpai pada 23 subyek (67.6%). Rata-rata subyek dengan nilai SSR abnormal lebih tua dibandingkan dengan subyek dengan SSR normal. Rata-rata lama menderita parkinson untuk SSR abnormal adalah 6.52+_3.64 . Abnormalitas SSR dijumpai pada seluruh subyek yang menderita penyakit parkinson lima tahun atau lebih (p=0.0x4) dan pada semua subyek dalam periode non honeymoon (p=0.000). SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr. SSR abnormal lebih sexing ditemukan path subyek yang mengalami instabilitas postural clan subyek dengan skor bradikinesia, tremor dart rigiditas dari UPDRS yang lebih tinggi. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik (p=0.023), konstipasi (p=0.402), hipersalivasi (p=0.043) dan disfagia (p=0.000) menunjukkan nilai SSR abnormal. Semua subyek yang mengalami dua (p-0.04) atau lebih gejala otonom (p=0,0001). Tiga subyek (13%) yang tidak mengalami gejala disfungsi otonon ternyata menunjukkan nilai SSR abnormal. Kesimpulan. Disfungsi otonom penyakit parkinson ditemukan pada 67.6% penderita. SSR cenderung abnormal dengan meningkatnya derajat keparahan penyakit berdasarkan skala Hoehn & Yahr maupun berdasarkan skor UPDRS untuk tremor, rigiditas, bradikinesia dan stabilitas postural. Subyek yang mengalami gejala hipotensi postural simptomatik, konstipasi, hipersalivasi dan disfagia menunjukkan nilai SSR abnormal. Nilai SSR abnormal juga ditemukan pada semua subyek yang mengalami dua atau lebih gejala otonom.
Background. Autonomic dysfunction is one of the signs that is frequently found in PD, which influences the patient's morbidity and mortality. It also comprises some frequently neglected clinical manifestations. Aim. The aim of this study is to review autonomic dysfunction in PD, using Sympathetic Skin Response test. Methods. This is a descriptive cross-sectional study. Population of this study is PD patients that meet the inclusion criteria. Patient's characteristic was identified. History of illness was recorded and physical examination was done to indentify patient's signs and symptoms, autonomic dysfunctions, medications used, and the responses. Diagnosis of autonomic dysfunction was confirmed by using Sympathetic Skin Response (SSR) test. Chi-Square test, fisher's exact test, and t were used to analyze the data, using the STATA program. Results. There were 34 PD patients identified. Most of the subjects are men (67,8%) with the mean age of 61,1+10,01 year-old and mostly within 60-90 year-old group age (41,2%). Twenty two subjects (64,7%) had autonomic dysfunction with the most presenting symptoms are dysphagia .04,8%), constipation (38,2%), and hypersalivation (35,3%). Abnormal SSR was found in 23 subjects (67,6%). Most subjects with abnormal SSR are older than subjects with normal SSR. The duration of PD in subjects with abnormal SSR is 6,52+3,64 years. Abnormal SSR was found in all subjects that have had PD for five years or more (p=0,004) and all subjects were in non-honeymoon period (p=0,000), SSR tends to be abnormal when the severity of the disease is higher, based on the Hoehn & Yahr scale. Abnormal SSR is more often found in subjects who suffer postural instability and whose IJPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity is high. Subjects with symptomatic postural hypotension (p=0,023), constipation (p=0,002), hypersalivation (p=0,003) and dysphagia (p=0,000) show abnormal SSR. Every subject shows two or more autonomic symptoms (p=0,0001). Three subjects (13%) that didn't show autonomic dysfunction symptoms, however, had abnormal SSR Conclusions. Autonomic dysfunction in PD was found in 67,6% subjects. SSR tends to be abnormal when the severity of the PD is high, based on the Hoehn & Yahr scale, UPRDS score of bradikinesia, tremor, and rigidity, and the presence of postural hypotension. Subjects with symptomatic postural hypotension, constipation, hypersalivation, and dysphagia show abnormal SSR. Abnormal SSR was also found in all subjects who had two or more autonomic symptoms.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fritz Sumantri
Abstrak :
Latar belakang : Proses yang mengikuti setelah terjadinya cedera kranioserebral berat ada 2 , yaitu kerusakan primer dan sekunder . Disfungsi pernafasan adalah salah satu hal yang terjadi pada kerusakan otak sekunder dan dapat kita ketahui dari pemeriksaan analisa gas darah yang kita lakukan . Dari hasil pemeriksaan analisa gas darah tersebut, kita dapati PaO2 dan PaCO2 . Tekanan tekanan oksigen dan karbondioksida tersebut ternyata memiliki pengaruh terhadap perubahan laju aliran darah kcotak . Di mana peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2 akan meningkatkan laju aliran darah ke otak , sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Sedangkan penurunan PaCO2 dan peningkatan PaO2 dapat menurunkan laju aliran darah ke otak yang akan mengancam terjadinya proses iskemik . Perubahan perubahan tekanan gas diatas disinyalir memiliki hubungan dengan hasil akhir yang didapat pada cedera kranioserebral. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara tekanan gas gas tersebut terhadap hasil akhir , khususnya PaCO2 yang tinggi (> 45 mmHg) dan PaO2 yang rendah ( < 85 mmHg ) terhadap hasil akhir setelah perawatan selama 3 hari . Obyektif : mengetahui peranan PaCO2 tinggi dan PaO2 rendah terhadap hasil akhir setelah 3 hari perawatan pada pasien pasien cedera kranioserebral berat . Metade : cross sectional, dengan membandingkan nilai PaO2 dan PaCO2 pads waktu pasien datang dengan hasil akhir yang terjadi setelah 3 hari perawatan. Hasil : dari 84 sampel yang terkumpul , dilakukan pemeriksaan analisa gas darah sewaktu pasien datang, kemudian dilihat hasil akhir setelah 3 hari perawatan . Didapatkan suatu hasil bahwa PaO2 yang rendah akan mempunyai kecenderungan resiko kematian dalam 3 hari yang lebih besar, dibanding penderita yang PaO2 nya normal (p Background: Two processes following a severe craniocerebral injury are primary and secondary damage. Respiratory dysfunction is one of the secondary damage which can be detected by blood gas analysis revealing 02 and CO2 arterial pressure (Pa02 and PaCO2). These arterial PaO2 and PaCO2 influence the blood flow velocity to the brain, whereas elevation of PaCO2 and reduction of PaO2 will increase the blood flow velocity to the brain and thus increase intracranial pressure. On the contrary, reduction of PaCO2 and elevation of PaO2 will decrease the blood flow velocity to the brain and could be a thread for ischemic process. The alteration of blood gas above is suggested to have a correlation with the outcome of craniocerebral injury patients. In this study, we explored the correlation of blood gas pressure especially high PaCO2 (>45 mmHg) and low Pa02 (<85 mmHg) with patient's outcome after 3 days of hospital care. Objective: To know the correlation of high PaCO2 and low PaO2 with the outcome of severe craniocerebral injury patients after 3 days of hospital care. Methods: This is a cross-sectional study. Patient's initial arterial PaO2 and PaCO2 was compared with patients arterial Pa02 and PaCO2 after 3 days of hospital care. Results: Blood gas analysis was done in 84 samples at their initial admission and compared with the blood gas analysis taken after 3 days of hospital case_ It was shown that patients with low PaO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal Pa02 (p<0,05); patients with high PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05); and patients with low PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05). Conclusion: Arterial PaO2 and PCaO2 can be used as one of the consideration for predicting the outcome of severe craniocerebral injury patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Nurhayati
Abstrak :
Latar Belakang: Pada cedera kranioserebral sedang dan berat terjadi stimulasi aksis HPA, aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Peningkatan sitokin menyebabkan stimulasi aksis HPA yang menyebabkan terpacunya pelepasan barman kortisol oleh korteks kelenjar adrenal. Beberapa penelitian menunjukkan semakin tinggi kadar kortisol dalam plasma pada penderita cedera kranioserebral maka semakin buruk prognosis karena tingginya mortalitas. Metode: Studi porospektif tanpa kelompok pembanding untuk melihat hubungan kadar kortisol dalam darah pada onset < 48 jam terhadap keluaran kematian dan hidup selama 3 hari perawatan pada penderita cedera kranioserebral dengan skala koma glasgow 3-12. Hasil: Dari 64 subyek, terdapat 54,7% subyek mati pada 3 hari perawatan pertama. Rerata kadar kortisol darah subyek adalah 32,88+10,16 µg/dl, sedangkan rerata nilai SKG adalah 9,17+2,49. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kortisol dengan nilai SKG dimana pada nilai SKG 3-6 kadar kortisol dalam darah paling tinggi (p<0.05). Rerata kadar kortisol pada keluaran mati lebih tinggi bermakna dibadingkan dengan keluaran hidup yaitu 44,38+8,87 µg/dl (p<0.05). Titik potong kadar kortisol untuk kematian adalah 31,1 µg/dl, spesifisitas 94,3% dan sensitifitas 96,6%. Pada nilai SKG 3-8, 85,7% subyek mati. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai SKG dengan keluaran mati. Kesimpulan: Keluaran kematian pada penderita cedera kranioserebral menunjukkan kadar kortisol dalam darah yang Iebih tinggi dan nilai SKG yang lebih rendah dibandingkan dengan keluaran hidup.
Background: There are many processes in moderate and severe head injury, such as HPA axis stimulation, immuno-competent cell activation that cause releasing of inflammation mediator. Increasing of cytokine causes HPA axis stimulation and triggers cortisol release by adrenal cortex. Previous studies showed that the increasing of plasma cortisol related with poor outcome in head injury patient. Methods: Prospective study without control in head injury patients with GCS 3-12 and onset less than 48 hours. The aim of this study was to see relation between blood cortisol level and outcome in three days of hospitalization. Results: From 64 subjects, there are 54.7% subjects who died within 3 days of hospitalization. Mean of blood cortisol is 32.88+10.16 µg/dl, while mean of GCS is 9.17+2.49. There is significant correlation between blood cortisol level and GCS which is blood cortisol level is highest in subjects with GCS 3-6 (p<0.05). Mean cortisol level in poor outcome subjects is significantly higher (44.38+8-87 p.gldl) than good outcome subjects (p<0.05). Cut-off point of cortisol level for poor outcome is 31.1 µg/dl with 94.3% specificity and 96.6% sensitivity. In GCS 3-8 group, 85.7% subjects have poor outcome. There is significant correlation between GCS and poor outcome. Conclusion: Moderate and severe head injury patient with poor outcome show higher blood cortisol level and lower GCS compare with patient with good outcome.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiana Sari
Abstrak :
LATAR BELAKANG: Pemeriksaan Sken CT kepala adalah Baku emas untuk mendiagnosa perdarahan intrakranial traumatik pada anak. Di Indonesia belum semua fasilitas kesehatan memiliki Sken CT kepala sehingga panting untuk mengetahui gejala klinis yang berhubungan dengan perdarahan intrakranial traumatik pada anak. TUJUAN: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gejala klinis dan radiologis sederhana yang dapat digunakan sebagai indikator adanya perdarahan intrakranial traumatik pada anak. METODE: Penelitian dilakukan secara potong lintang dengan menggunakan data primer dan sekunder dari catatan medik pasien usia < 15 tahun dengan cedera kepala dan telah dilakukan pemeriksaan foto kepala dan Sken CT kepala yang dirawat di bangsal Neurologi RSCM dalam kurun waktu Januari 1998 hingga Juli 2004. HASIL: Dari 338 kasus yang diteliti didapatkan 117 kasus perdarahan intrakranial traumatik (34,61%): 33 (28,20%) epidural hematom, 34 (29,05%) subdural hematom, 26 (22,22%) perdarahan intraserebral, 12 (10,25%) perdarahan campuran, 11 (9,40%) perdarahan subarachnoid. Pasien terdiri dari 82 laki-laki (70,08%) dan 35 perempuan (29,91%), rentang usia terbanyak yang mengalami perdarahan intrakranial traumatik 11-15 tahun (53/45,29%), mekanisme tersering kecelakaan lalu Iintas (62,39%). Gejala: fraktur tengkorak (62/52,99%), Gangguan THT (26/22,22%), muntah (82/70,08%), lama penurunan kesadaran terbanyak 10 merit-6 jam (51/43,58%). Gejala neurologis: Skala Koma Glasgow (SKG) terbanyak 12-14 (63/53,84%), kelainan saraf kranial (9/7,69%), gangguan motorik (15/12,82%), kejang (13/11,11%), pupil anisokor (7/5,98%). Terdapat hubungan bermakna antara perdarahan intrakranial traumatik dengan SKG, kelompok umur, gangguan motorik, kejang, fraktur tengkorak dan lama penurunan kesadaran (p<0,05) KESIMPULAN: Indikator adalah SKG, gangguan motorik, kelompok umur, kejang, fraktur tengkorak dan lama penurunan kesadaran. Dengan analisis multivariate SKG, kelompok umur dan gangguan motorik merupakan indikator kuat dan dapat digunakan sebagai formula klinik dalam memperkirakan perdarahan intrakranial traumatik pada anak.
BACKGROUND: Brain CT Scan is one of the evaluation methods for traumatic brain hemorrhage in children. However, not all Indonesian hospitals have these radiologic examination tools. Clinical features and skull x ray as an indicators have to be used as a predictor for traumatic brain hemorrhage cases in children. OBJECTIVE: To predict traumatic brain hemorrhage in children using clinical features and skull x ray. METHODOLOGY: 338 acute head trauma children,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Hendrik
Abstrak :
Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab kecacatan fisik jangka panjang dan mental pada usia produktif sehingga akan berdampak pada keadaan psikologis dan sosioekonomi keluarga. Penderita stroke membutuhkan perawatan yang intensif serta memerlukan dukungan dari keluarga. Pemikiran utama setelah stroke bagi penderita dan keluarganya adalah prospek penyembuhan. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat beberapa faktor yang memmpengaruhi keluaran pasca stroke seperti beratnya kelainan, tekanan darah, kadar gula darah, perawatan fase akut. Tujuan: Mengetahui perbedaan derajat keterbatasan pada penderita pasca stroke terhadap tekanan darah sistolik fase akut, kadar gula darah fase akut, dan subtipe stroke. Disain dan Metode: Studi potting lintang dengan perbandingan internal antara tekanan darah sistolik fase akut, kadar gula darah fase akut. dan subtipe stroke terhadap beratnya derajat keterbatasan setelah 6 bulan awitan stroke. Keluaran fungsional dinilai dengan menggunakan skala Rankin yang dimodifikasi (mRS). Hasil: Dari 93 penderita didapatkan 80 (86%) penderita menunjukkan keluaran fungsional yang baik (skor mRS 0-2), terdiri dari 90.9% laki-laki dan 78,9% perempuan. Sebagian besar penderita (67,5%) yang mempunyai keluaran fungsional yang baik mengalami subtipe stroke sindroma lakunar (LACS), 48,75% penderita memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg peda fase akut, dan 77,5% menunjukkan kadar gula darah fase akut 8-150 mgldL. Faktor yang berpengaruh terhadap keluaran fungsional setelah 6 bulan awitan stroke adalah subtipe stroke (p<0,05). Kesimpulan: Subtipe stroke merupakan faktor yang berhubungan dengan keluaran fungsional stroke setelah 6 bulan.
Background: Stroke causes long term physical and mental disability in productive age and impacts on family's psychology and social economy. Stroke patients need intensive care and support from their family. The main question from the patients and their family is prospect to recovery. Previous study showed that there were many factors affecting outcome in stroke patients such as severity or disability, acute blood pressure, acute blood glucose level, and treatment in acute phase. Purpose: To perceive the difference between degree of disability and acute systolic blood pressure, acute blood glucose level, stroke subtype. Design and method: Cross sectional study with internal comparison in acute systolic blood pressure, acute blood glucose level, stroke subtype aspects between group with good and poor functional outcome. Functional outcome was assessed using modified Rankin Scale (mRS). Result: From 93 patients, we have 80 (86%) patients with good functional outcome (mRS score 0-2). consist of 90.9% male and 78.9% female. Most of patients (67.5%) with good outcome had lacunar syndrome (LACS). 48.75% with systolic blood pressure > 160 mmHg, and 77.5% showed blood glucose level 8-1 50 mg/dI,. Factor that independently influenced functional outcome 6 months after stroke is stroke subtype (p<0.05). Conclusion: Stroke subtype is significant factors to functional outcome 6 months after stroke.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Imam Santoso
Abstrak :
Latar Belakang: Cedera kranioserebral merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa muda. Dari penelitian perkiraan keluaran pasien cedera kranioserebral sudah dapat diprediksi dalam 3 hari perawatan (3 x 24 jam). Skor Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) yang terdiri dari perubahan suhu tubuh, nadi, pernafasan dan peningkatan jumlah lekosit darah dapat memprediksi kejadian infeksi, kematian pada trauma. Pada penelitian sebelumnya bila digabung dengan SKG dapat memprediksi kematian cukup akurat sebanding dengan skala prediktor lain yang ada sebelumnya. Tujuan: Merumuskan model prediksi gabungan SKG dengan skor SIRS untuk mengetahui risiko kematian 3 hari pertama pada pasien dewasa cedera kranioserebral derajat sedang dan berat. Desain dan Metode: Studi dengan disain prospektif potong lintang yang dilanjutkan dengan nested case control tanpa pembanding antara pasien cedera kranioserebral derajat sedang dan berat yang mengalami kematian dalam 3 hari pertama sebagai kelompok studi dengan kelompok kontrol yang diambil secara acak dari pasien-pasien yang tidak mengalami kematian dini. Hasil: Dari 113 subyek penelitian didapatkan 18 (15.9%) penderita mengalami CKB dan 95 (84.1%) penderita mengalami CKS. Terdapat 27 (23.9%) penderita yang meninggal dalam 3 hari pertama. Skor SIRS 22 terjadi pada 83 (73.4%) penderita. Faktor yang berpengaruh terhadap kematian adalah SKG, skor SIRS ≥2 dan frekuensi nafas > 20 kali/menit (p 0.000). Hasil analisis multi variat enter menunjukan bahwa faktor risiko independen kematian 3 hari pertama adalah SKG<9 (p-0.000) dan skor SIRS 2 (p-0.001), dengan probabilitas kematian 99.9% Kesimpulan: Gabungan Skor SIRS ≥2 dan SKG <9 dapat memprediksi kematian dalam 3 hari pertama. Takipneu sebagai komponen SIRS berperan sebagai faktor risiko terjadinya kematian pasien dewasa cedera kranioserebral sedang dan berat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditarahma Imaningdyah
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui hubungan kadar protein S100 pada pasien cedera otak ringan dan sedang yang diukur secara bertahap pada saat pasien tiba di rumah sakit, beberapa jam pasca trauma, dan sekian hari perawatan di rumah sakit, sehingga dapat digunakan sebagai petanda kerusakan otak.

Latar belakang : Cedera otak menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Diagnosis cedera otak ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis neurologi, dan CT scan atau MRI untuk melihat kerusakan anatomi. Pemeriksaan kadar protein S100 pada pasien cedera otak ringan dan sedang dengan menggunakan bahan serum diperlukan untuk mendeteksi dan dapat untuk mengevaluasi adanya kerusakan otak pasca traumatik.

Metode : Subyek penelitian adalah orang sehat dan pasien cedera otak ringan dan sedang berdasarkan nilai SKG, pemeriksaan klinis neurologi, dan CT scan, yang diambil darahnya untuk pemeriksaan kadar protein S100 pada saat tiba di rumah sakit, 6 jam pasca trauma, 24 jam pasca trauma, dan hari terakhir perawatan. Pemeriksaan kadar protein S100 dalam serum menggunakan Elecsys S100 dengan prinsip ECLIA.

Hasil : Terdapat perbedaan bermakna (p = 0,001) pada semua kadar protein S100 yang diukur saat tiba di rumah sakit, 6 jam pasca trauma, 24 jam pasca trauma, dan hari terakhir perawatan, baik pada pasien cedera ringan maupun sedang. Puncak kadar protein S100 tercapai pada 6 jam pasca trauma pada pasien cedera otak ringan dan sedang. Kadar protein S100 pada pasien cedera otak sedang saat tiba di rumah sakit lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pasien cedera otak ringan (median 0,259 μg/L rentang 0,207 – 0,680 μg/L vs median 0,150 μg/L rentang 0,051 – 0,289 μg/L, p = 0,001) dan kadar protein S100 pasien cedera otak ringan saat tiba di rumah sakit lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kadar protein S100 orang sehat (median 0,150 μg/L rentang 0,051 – 0,289 μg/L vs rerata 0,065 ± 0,017μg/L, p = 0,001).

Kesimpulan : Pada pasien cedera otak ringan dan sedang saat tiba di rumah sakit sudah terdapat peningkatan kadar protein S100 secara bermakna dibandingkan dengan orang sehat. Protein S100 dapat digunakan sebagai petanda untuk deteksi dan evaluasi kerusakan otak pasca traumatik.
ABSTRACT
Objective: To identify the relation of protein S100 level in mild and moderate brain injury patient, which is measured repeatedly at admission, few hours post trauma, and few days of hospitalization, thus it can be used as brain injury biomarker.

Background: Brain injury becomes worldwide public health issue since it may cause disability and mortality. The diagnosis of brain injury is made based on clinical neurology examination, and CT scan or MRI, to observe anatomical impairment. Serum S100 protein examination in mild and moderate brain injury patients is needed to detect and evaluate the presence of post traumatic brain injury.

Method: This research subject is healthy people and patients with mild and moderate brain injury, based on their GCS grade, clinical neurologic examination, and CT scan. On these patients, the blood for S100 protein examination is taken at admission, 6 hours post trauma, 24 hours post trauma, and last day of hospitalization. Examination of a serum S100 protein is conducted using Elecsys S100 with ECLIA method.

Result: There is significant difference (p = 0,001) in mild or moderate brain injury patients in all serum S100 protein which is measured at admission, 6 hours post trauma, 24 hours post trauma, and the last day of hospitalization. The peak level of serum S100 protein reached at 6 hours post trauma. Serum S100 protein in moderate brain injury patients at admission is significantly higher than the mild ones (median 0, 259 μg/L range 0,207 – 0,680 μg/L vs median 0,150 μg/L range 0,051 – 0,289 μg/L, p = 0,001), and serum S100 protein in mild brain injury patients is also significantly higher than healthy people (median 0,150 μg/L range 0,051 – 0,289 μg/L vs mean 0,065 ± 0,017μg/L, p = 0,001).

Conclusion: In mild and moderate brain injury patients, serum S100 protein is already significantly increased at admission, compared to healthy people. Serum S100 protein can be used as brain injury biomarker to detect and evaluate the presence of post traumatic brain injury.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Ayu Wedariani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Pasien pasca cedera kepala seringkali mengalami gangguan kognitif. Instrumen komputer “Stimulasi Kognitif” (STIMKOG) adalah salah satu bentuk intervensi terapetik kognitif eksternal yang dapat diberikan pada pasien cedera kepala. STIMKOG memiliki tujuh stimulus yang mencakup lima domain kognitif. Tujuan dari penelitian adalah mengetahui fungsi kognitif pada pasien cedera kepala setelah distimulasi dengan STIMKOG.

Metode. Penelitian menggunakan desain eksperimental. Subyek penelitian adalah pasien cedera kepala ringan-sedang yang dibagi atas kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan latihan STIMKOG selama 12 hari berturut-turut sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan di hari 1, 6 dan 12. Evaluasi perubahan fungsi kognitif menggunakan pemeriksaan neuropsikologi Skrining tes Luria Nebraska.

Hasil. Sebanyak 60 subyek ikut dalam penelitian, terbagi atas 30 subyek di tiap kelompok. Rasio jumlah laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Usia dari subyek penelitian berkisar antara 17-45 tahun, sebagian besar berusia 20-40 tahun (63.3%). Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar berpendidikan tamat SMU (51.6 %). Sebanyak 80% subyek adalah cedera kepala sedang sedangkan 20% adalah cedera kepala ringan. Perbaikan nilai STIMKOG kelompok intervensi lebih besar dari kelompok kontrol pada kecepatan waktu, keberhasilan, kegagalan dan persentase jawaban benar. Pada Skrining Tes Luria Nebraska di awal penelitian terdapat gangguan terutama pada tes Kalkulasi 3, Abstraksi dan Bahasa, Working Memory, New Learning Ability, Immediate memory dan atensi. Pasca latihan STIMKOG terjadi penurunan jumlah subyek yang mengalami gangguan kognitif pada kelompok intervensi sebesar 46.7% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (23.3%).

Kesimpulan. Instrumen STIMKOG dapat meningkatkan fungsi kognitf pada pasien cedera kepala ringan-sedang.
ABSTRACT
Background. Patients with traumatic brain injury were frequently had cognitive disfunction. Computer instrument “Stimulasi Kognitif” (STIMKOG) is one of external therapeutic intervention which can be applied to traumatic brain injury patients. STIMKOG has seven stimulus which include five cognitive domains. The objectives of the study were to obtain cognitive function in traumatic brain injury patients after being stimulated by STIMKOG.

Method. An experimental study was conducted. Participants were mild-moderate traumatic brain injury patients which classified into intervention and control group. Intervention group were trained for 12 days consecutively whereas the control group only in day 1, 6 and 12 with level of difficulty 2. Cognitive evaluation was conducted using neuropsychology examination Screening Test Luria Nebraska.

Result. A total of 60 subjects participated in this study, divided into 30 subjects in each group. The ratio of man and woman was 2:1. The age of the subjects was between 17 and 45 years, with age majority between 20-40 years (63,3%). Based on level of education, 51.6% subjects were secondary high school graduates. The subjects consisted of 80% moderate traumatic brain injury and 20% mild traumatic brain injury. The improvement of STIMKOG score in intervention group was greater than control group in time response velocity, success rate, failure rate and correct answer persentage. Post STIMKOG training, number of subjects with cognitive disfunction had decreased 46,7% in intervention group greater than control group (23,3%).

Conclusion. STIMKOG instrument could improve cognitive function in light-moderate traumatic brain injury patients.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library