Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dicky Dwi Ananta
"Penelitian ini membahas tentang operasionalisasi dari perampasan tanah yang terjadi di tingkat lokal pada era pasca Orde Baru Dengan metode penelitian kualitatif dan mengambil studi kasus di Karawang penelitian ini berusaha menggambarkan bagaimana politik oligarki menjadi operasionalisasi dari terjadinya perampasan tanah di tingkat lokal. Temuan penelitian ini menunjukan jejaring kekuasaan oligarki yang terbentuk dan beroperasi sejak Orde Baru masih menjadi kekuatan sosial yang dominan dalam proses perampasan tanah di Karawang Hal tersebut juga diikuti dengan cara kerja yang predatoris dengan menggunakan kekuasaan negara untuk akumulasi kekayaan individu relasi patronase diantara para elit ekonomi dan politik penggunaan politik uang pengerahan organisasi kekerasan non negara dan dimungkinkan oleh lemahnya kekuatan sosial di luar jejaring kekuasaan oligarki tersebut Keseluruhan praktek politik yang oligarkis itu dijalankan untuk mendapatkan sumber daya material termasuk dalam kasus perampasan tanah. Studi ini berkesimpulan bahwa jejaring kekuasaan oligarki menjadi bentuk dan cara kerja dari politik lokal di Indonesia Politik oligarki itulah yang menjadi bentuk operasionalisasi dari perampasan tanah di Karawang.

This study discusses about the land grab that were operationalized by the political oligarchy at the local level after the New Order With qualitative research methods and case study in Karawang this study attempts to describe how the political oligarchy allow the expropriation of land at the local level. This study finds that networking power of the oligarchy was formed and has been in operation since the New Order It is also followed by the predatory way of functioning which are using state power for the accumulation of individual wealth political use of money the deployment of violent non state organizations and made possible by the weakness of social forces beyond the networking power of the oligarchy All oligarchic political practices were carried out to obtain material resources. This study conclusion that the networking power of the oligarchy is still a dominant social force and became the workings of local politics in Indonesia that political oligarchy becomes operational form of land grabbing in Karawang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62521
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Garda Arian Perdana
"Populisme merupakan sebuah instrumen politik yang efektif dalam realm demokrasi; populisme dapat mengartikulasikan apa yang menjadi kehendak mayoritas masyarakat, yang seringkali tidak selalu rasional, sebagai diskursus untuk menekan tatanan pemerintahan domestik. Keterkaitan antara politik domestik dengan hubungan internasional menjadikan fenomena kebangkitan populisme problematis, sebab narasi-narasi yang banyak diangkat justru merupakan anti-tesis terhadap apa yang membentuk stabilitas tatanan dunia internasional saat ini. Kemunculan populisme sayap kanan yang semakin lazim di berbagai tataran politik domestik kontemporer mengisyaratkan adanya sebuah tren baru dalam dinamika politik internasional yang menyebabkan narasi-narasi populisme sayap kanan radikal menjadi lebih diminati dan memperoleh basis politik yang besar di tingkat domestik; serta menghasilkan tekanan yang besar terhadap keberlangsungan tata kelola dunia internasional saat ini. Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana perkembangan narasi-narasi populisme dalam diskursus politik internasional pasca Perang Dunia II, serta lebih jauh lagi berupaya untuk menganalisis dan menjelaskan mengapa varian populisme sayap kanan kemudian mampu mendominasi diskursus politik internasional kontemporer.

Populism is an effective political instrument within the realm of democracy; which articulates what was considered the general will of the society, which often proved to be irrational, as the counter-narrative to the dominance of established political elites and their discourses. The linkage between domestic politics and international relations has framed the rise of the populists to be problematic: as the narrative that they (populists) endorse has pushed the idea of anti-globalization, anti-establishment, and anti-internationalist, which poses a threat to the very stability of contemporary international order. The rise of right-wing populism that prevails on many domestic-level politic, implies the existence of a new trend on the dynamic of international politic which favored the narrative of radical right-wing populism into the mainstream political discourses. This writing attempts to signify the development of the narrative of right-wing populism within the discourse of post-World War international political order. It also attempts to analyze and explain why the variety of right-wing populism has successfully dominating the discourses of contemporary international politics."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Kurniawan
"Penelitian ini mempelajari apakah terdapat diskresi dalam berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK pada periode 2004-2010 dan diindikasikan memiliki keterkaitan dengan diskresi. Penelitian ini juga ingin mengetahui apa yang menjadi penyebab tindak pidana korupsi oleh Kepala Daerah serta upaya atau solusi yang dapat dilakukan agar Kepala Daerah tidak terjerat tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan studi kasus terhadap 5 lima kasus tindak pidana korupsi oleh Kepala Daerah yang ditangani oleh KPK dan merupakan kasus yang telah memiliki kekuatan hukum tetap inkracht.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat diskresi dalam berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh para Kepala Daerah yang menjadi studi kasus. Para Kepala Daerah tersebut terbukti melakukan tindakan yang melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara bersama-sama ataupun dibantu oleh pihak lain, serta dilakukan untuk memberikan keuntungan pribadi dan bukan untuk kepentingan umum. Apa yang dilakukan oleh Kepala Daerah merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang karena melampaui kewenangan yang diberikan. Tindakan korupsi yang dilakukan berupa tindakan yang merugikan keuangan negara ataupun tindakan suap menyuap. Terdapat sejumlah hal yang menyebabkan seorang Kepala Daerah melakukan korupsi, yaitu: 1 ketidaktahuan dari Kepala Daerah mengenai berbagai peraturan; 2 permasalahan pengawasan atau pengendalian baik internal maupun eksternal; 3 mahalnya biaya politik untuk menduduki jabatan Kepala Daerah; 4 permasalahan rendahnya integritas; serta 5 gaya hidup dari Kepala Daerah.
Penelitian ini menyarankan sejumlah upaya atau solusi untuk mencegah agar Kepala Daerah di Indonesia tidak terjerat tindak pidana korupsi, yaitu: 1 Peningkatan kapasitas dari Kepala Daerah; 2 Perbaikan terhadap sistem pengawasan; 3 Upaya untuk mengurangi biaya politik; 4 Membangun budaya integritas Kepala Daerah; 5 Membangun akuntabilitas kebijakan; serta 6 Membangun budaya anti korupsi di masyarakat.

This study examines whether there is discretion in various corruption cases committed by the Head of Regions that handled by the Corruption Eradication Commission CEC in the period 2004 2010 and is indicated to be related to discretion. This study also wanted to know what the cause of corruption by the Head of Regions and efforts or solutions that can be done so that the Head of Regions is not entangled in corruption. This study uses a case study of five 5 cases of corruption by the Head of Regions handled by the CEC and that have permanent legal force inkracht.
The results showed that there was no discretion in various cases of corruption committed by the Head of Regions who became the case study. The Head of Regionals are proven to have acted in violation of various laws and regulations, jointly or assisted by other parties, and carried out to provide personal benefit and not for the public interest. What is done by the Head of Region is an act of abuse of authority because it exceeds the authority granted. Acts of corruption committed in the form of actions that harm the state finances or bribery action. There are a number of things that cause corruption by the Head of Regions, namely 1 ignorance of the regulations 2 problems of supervision or control both internal and external 3 the high political cost for the post of the Head of Regions 4 The problem of lack of integrity and 5 the lifestyle of the Head of Regions.
This study suggests a number of efforts or solutions to prevent the Head of Regions in Indonesia is not entangled in corruption, namely 1 Increasing the capacity of the Head of Regions 2 Improvements to the monitoring system 3 Measures to reduce the political costs 4 Building a culture of integrity of the Head of Regions 5 Building policy accountability and 6 Building a culture of anti corruption in society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
D2301
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Achmad
"Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengendalian korupsi di Kemenkeu, mengevaluasi faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan pengendalian korupsi di Kemenkeu, dan menciptakan model pengendalian korupsi yang sesuai dalam mencegah terjadinya korupsi di Kemenkeu. Penelitian ini menggunakan paradigma postpositivist dan constructivist dengan desain metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pencegahan dan penindakan korupsi di Kemenkeu belum efektif mengendalikan korupsi di Kemenkeu. Hasil evaluasi dengan menggunakan Model Implementasi Kebijakan Edward III menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pengendalian korupsi di Kemenkeu dipengaruhi oleh Faktor Komunikasi, Faktor Sumber daya, Faktor Disposisi sikap , Faktor Struktur Birokrasi, serta Faktor Lingkungan yang merupakan temuan penelitian ini. Inspektorat Jenderal sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah berperan penting dalam mengendalikan korupsi di Kemenkeu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Huther dan Shah 2000 . Meskipun Kemenkeu telah menerapkan model pengendalian internal Three Lines of Defense Model namun model dimaksud belum efektif dalam mengendalikan korupsi. Model dimaksud perlu ditambahkan dengan unsur pertahanan lainnya sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengendalian korupsi. Hal ini disebabkan masih adanya permasalahan dalam aspek kepemimpinan, integritas dan nilai-nilai anti-korupsi dari sisi manajemen dan pegawai dalam mencegah korupsi; aspek kelemahan implementasi unit kepatuhan internal yang tidak fokus dalam pencegahan korupsi; serta aspek audit internal oleh Itjen. Di samping itu perlu adanya sistem pengendalian korupsi yang terintegrasi di Kemenkeu yang mengorganisasikan pengelolaan kegiatan pencegahan dan penindakan korupsi secara terarah dan berkesinambungan. Berkaitan dengan hasil penelitian disarankan beberapa hal yaitu terkait gagasan model pengendalian intern yang efektif untuk mencegah korupsi, Peneliti mengusulkan pengembangan dari model Three Lines of Defense dengan menambahkan unsur keteladanan pemimpin, program pengendalian korupsi yang terintegrasi, pembentukan unit khusus yang menangani korupsi serta meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan pihak eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan dan Aparat Penegak Hukum KPK, Polri, Jaksa.

Focus of this research is to evaluate the implementation of corruption control policy in the MoF, evaluate the factors that influence the corruption control policy in the MoF, and create an appropriate model of corruption control in preventing corruption in the MoF. This research uses post-positivist and constructivist paradigm with qualitative research method design. The results showed that corruption prevention and prevention policies in the MoF have not been effective in controlling corruption in MoF. The evaluation result using Edward III Policy Implementation Model shows that the implementation of corruption control policy in MoF is influenced by Communication Factor, Resource Factor, Disposition Factor, Bureaucracy Structure Factor, and Environmental Factor which is the findings of this research. The Inspectorate General IG as the Internal Controller of the Government plays an important role in controlling corruption in the MoF. This is in accordance with research conducted by Huther and Shah 2000 . Although MoF has implemented the Three Lines of Defense Model as a internal control model, the model has not been effective in controlling corruption. Such models need to be added with other defense elements so as to increase the effectiveness of corruption control. This is because there are still problems in aspects of leadership, integrity and anticorruption values from the management and employees in preventing corruption; weakness aspects of implementation of internal compliance units that are not focused on preventing corruption; as well as internal audit aspects by the IG. In addition, there needs to be an integrated corruption control system in the MoF which organizes the management of prevention and action against corruption in a directed and sustainable manner. In relation to the results of the research, it is suggested that there are several things related to the idea of an effective internal control model to prevent corruption. The researcher proposes the development of the Three Lines of Defense model by adding an example of leadership Tone at the Top , an integrated corruption control program, the establishment of special units dealing with corruption and improving coordination and cooperation with external parties, namely the Audit Board of the Republic of Indonesia BPK RI and Law Enforcement Apparatus KPK, Polri, Attorney General Office."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
D2519
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library