Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indriani Najla Khairunnisa
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada-tidaknya hubungan antara Parental Reflective Berfungsi (PRF) dan peraturan anak usia prasekolah. Sebanyak 96 ibu yang memiliki anak usia 3-5 tahun mengambil datanya dengan menggunakan kuesioner. PRFevaluasi menggunakan Parental Reflective Functioning Questionnaire (PRFQ) (Luyten, Mayes, Nijssens, & Fonagy, 2017) yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu: Pre-mentalized Mode (PM), Kepastian tentang Mental States (CMS), dan Interest and Curiosity in mental state (IC). Regulasi Logika menggunakan menggunakan Daftar Periksa Regulasi Emosi (ERC) (Shields & Ciccheti, 1997). Hasil yang Diperoleh dari hubungan signifikan negatif antara dimensi PM dan peraturan anak usia prasekolah.

This research was conducted to determine whether there is a relationship between Parental Reflective Functioning (PRF) and the rules of preschool children. A total of 96 mothers who had 3-5 year old children took their data using a questionnaire. PRFevaluation uses the Parental Reflective Functioning Questionnaire (PRFQ) (Luyten, Mayes, Nijssens, & Fonagy, 2017) which consists of 3 dimensions, namely: Pre-mentalized Mode (PM), Certainty about Mental States (CMS), and Interest and Curiosity in mental state (IC). Logic Regulation uses using the Emotion Regulatory Checklist (ERC) (Shields & Ciccheti, 1997). The results obtained from the significant negative relationship between the dimensions of PM and the regulation of preschool age children."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khariza Nararya
"Tujuan penelitian ini adalah melihat efek moderasi dari kedua faktor common dyadic coping terhadap hubungan antara kepuasan pernikahan dengan parenting stress pada orang tua dari anak dengan spektrum autisme di Indonesia. Penelitian dilakukan kepada 131 partisipan di Jabodetabek, Bali, dan Lampung. Penelitian menggunakan alat ukur Couples Satisfaction Index–Short Form, Parenting Stress Index, dan Dyadic Coping Inventory. Analisis data dilakukan dengan korelasi Pearson, analisis regresi linear, dan Hayes Macro Process. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara kepuasan pernikahan dan parenting stress serta tidak ditemukan efek moderasi dari kedua faktor common dyadic coping terhadap hubungan kepuasan pernikahan dan parenting stress.

The aim of this study is to evaluate the moderating effect of the two factors of common dyadic coping in the relationship between marital satisfaction and parenting stress for parents of individuals with autism spectrum disorder in Indonesia. The study was conducted to 131 participants in Jabodetabek, Bali, and Lampung area. This study uses Couples Satisfaction Index–Short Form, Parenting Stress Index, and Dyadic Coping Inventory to measure the variables. Data is analyzed using Pearson correlation, linear regression analysis, and Hayes Macro Process. Findings of the study showed that there is a significant negative correlation between marital satisfaction and parenting stress, and there is no moderating effect from the two factors of common dyadic coping to that relationship."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurshabrina Adani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pengalaman parentificationterhadapkemampuan regulasi emosi pada mahasiswaperguruan tinggipenerima Bidikmisi. Pengukuran parentificationmenggunakan Parentification Inventory(Hooper, 2009), sedangkan kemampuan regulasi emosi diukur menggunakan The Brief Version of Difficulties in Emotion Regulation Scaleatau DERS-16 (Bjureberg dkk, 2016). Penelitian ini dilakukan pada 482 partisipan dengan rentang usia 18-25 tahun (M= 20,02, SD= 1,376)dengan jumlah 351 partisipan perempuan dan 131 partisipan laki-laki. Hasil analisis menunjukkan bahwa parentfication(β= 0,162, p<0,05) memiliki pengaruh yangpositif dan signifikan terhadapdisregulasi emosi, sehinggasemakin tinggi parentification yang dialamisemasa kecil dan remajamakasemakin buruk kemampuan regulasi emosi. Selain itu, hasil analisis menunjukkan bahwa dimensi emotional parentification(β= -0,196, p<0,01) dan instrumental parentification(β= 0,166, p<0,05) memiliki kontribusi terhadap kemampuan regulasi emosi

ABSTRACT
This study aim to examine the influence of parentification on theability ofemotional regulation among students of Bidikmisischolarship.The measurement of parentification is using the Parentification Inventory (Hooper, 2009), and the measurement of the ability in emotional regulation is using The Brief Version of Difficulties in Emotional Regulation Scaleor DERS-16 (Bjureberg, 2016). Resultindicate that parentification (β= 0,162, p<0,05) positively influence the dysregulation in emotion, which means the higher parentification, the worse the ability in emotional regulation. Furthermore, result indicate that both emotional parentification (β = -0,196, p<0,01) and instrumental parentification(β= 0,166, p<0,05) have variance in emotional regulation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulya Diesa Maretha
"Pada masa pandemi COVID-19, berbagai perubahan dan tantangan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan dapat berdampak terhadap kesejahteraan keluarga, termasuk di dalamnya adalah kepuasan pernikahan (Prime, Wade, & Browne, 2020). Di Indonesia, terdapat peningkatan angka konsultasi mengenai permasalahan dalam hubungan keluarga yang diterima oleh Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2020). Kontribusi kepuasan pernikahan terhadap resiliensi keluarga menjadi hal yang penting untuk diteliti karena keluarga merupakan gabungan dari subsistem dan fungsi yang saling memengaruhi satu sama lain (Korja et al., 2016). Penelitian ini melibatkan 120 ibu menikah yang memiliki anak pertama berusia toddler. Variabel resiliensi keluarga diukur dengan menggunakan Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) dan variabel kepuasan pernikahan diukur dengan ENRICH Marital Satisfaction Scale (EMS Scale). Hasil analisis menggunakan regresi linear sederhana menunjukkan adanya kontribusi positif yang signifikan dari kepuasan pernikahan terhadap resiliensi keluarga. Selain itu, hasil analisis menggunakan Pearson Correlation juga menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara tingkat pendapatan keluarga dengan resiliensi keluarga dan kepuasan pernikahan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu ibu dan keluarga memahami pentingnya peran kepuasan pernikahan pada ibu dengan anak usia toddler terhadap resiliensi keluarga

During the COVID-19 pandemic, there are several changes and challenges in different aspects of life that could impact the family’s wellbeing, including marital satisfaction (Prime, Wade, & Browne, 2020). In Indonesia, Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2020) found an increase in the amount of consultation that was related to family problem. The contribution of marital satisfaction to family resilience becomes a very important topic as a family consists of subsystems and functions that are mutually influencing (Korja et al., 2016). This study involves 120 married mothers whose first children are of toddlers-age. Family resilience is measured using Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) and marital satisfaction is measured using ENRICH Marital Satisfaction Scale (EMS Scale). Simple linear regression analysis shows a positive and significant contribution of marital satisfaction on family resilience. In addition to that, Pearson Correlation analysis also shows a positive and significant correlation between family and family resilience as well as marital satisfaction. These findings hopefully could bring awareness to mothers and their families regarding the importance of mothers’ marital satisfaction on family resilience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johana Aprilia
"Anak tunarungu seringkali didapati mengalami keterlambatan fungsi kognitif yang berakibat pada keterlambatan pencapaian akademis, namun keterlambatan tidak terjadi pada visual-spatial working memory, yang biasa digunakan dalam pemecahan soal matematika. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa visual-spatial working memory pada anak tunarungu berbeda akibat metode komunikasi anak tunarungu yang mengandalkan penglihatan. Sedikit penelitian yang memperlihatkan gambaran kapasitas visual-spatial working memory secara utuh pada anak tunarungu dengan metode komunikasi oral, total, dan bahasa isyarat. Penelitian ini memperlihatkan gambaran tersebut yang didapat melalui pengisian kuesioner mengenai penggunaan metode komunikasi dan pengukuran visual-spatial working memory pada 30 anak tunarungu kelas 3-6 SD. Pengisian kuesioner dilakukan oleh orang tua, dan pengukuran visual-spatial working memory dilakukan dengan anak memainkan Lion Game melalui Zoom call.
Hasil penelitian menunjukkan mean proporsi skor kapasitas visual-spatial working memory anak tunarungu dengan metode komunikasi oral sebesar 0,432 (SD=0,151) dengan level 2,55. Mean proporsi skor kapasitas visual-spatial working memory anak tunarungu metode komunikasi total sebesar 0,453 (SD=0,153) dengan level 2,53. Terakhir, mean proporsi skor kapasitas visual-spatial working memory anak tunarungu metode komunikasi bahasa isyarat sebesar 0,397 (SD=0,128) dengan level 3,25. Dari hasil penelitian ini diketahui kapasitas visual-spatial working memory pada anak tunarungu dengan metode komunikasi oral, total, dan bahasa isyarat belum maksimal.

Children with hearing impairment or deaf usually experience cognitive function delays, but not in visual-spatial working memory which commonly used in mathematical problems. Previous studies discovered that the visual or spatial working memory in deaf children is different due to the communication methods that rely on vision. This study describes deaf childrens visual-spatial working memory by measuring the visual-spatial working memory of 30 deaf children in grade 3-6 elementary school and identifying their communication methods through questionnaires. Questionnaires are filled in by the parents of deaf children. The visual-spatial working memory measurement utilizes the Lion Games through Zoom meetings.
This study shows that the mean score of the visual-spatial working memory of deaf children with oral communication is 0.432 (SD=0.151) with average maximum level 2.55. Furthermore, the mean score of the visual-spatial working memory of deaf children with total communication is 0.453 (SD=0.153) with average maximum level 2.53, and the mean score of the visual-spatial working memory of deaf children in sign language is 0.397 (SD=0.128) with average maximum level 3.25. To conclude the result, it can be argued that deaf children visual-spatial working memory span with oral, total, and sign language communication methods still not reach the maximum point.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Ariowibowo
"ABSTRAK
Memiliki hubungan yang baik dengan siswa merupakan kebutuhan dasar guru. Guru harus memiliki hubungan baik dengan siswa agar dapat menampilkan kinerja yang baik. Tak terkecuali bagi guru jenjang sekolah menengah, memiliki hubungan baik dengan siswa dapat mencegah kenakalan yang dapat ditimbulkan siswa. Terdapat perbedaan kondisi dari well-being guru wali kelas dan guru non-wali kelas yang disebabkan oleh perbedaan kondisi hubungan guru-siswa diantara kedua kelompok guru tersebut. Guru wali kelas memiliki kondisi hubungan dengan siswa serta well-being dan yang lebih baik daripada guru non-wali kelas (Fisherman, 2015; Hagenauer et al., 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan pada kondisi hubungan guru-siswa terhadap well-being guru wali kelas dan guru non-wali kelas di jenjang sekolah menengah. Penelitian ini dilakukan kepada guru jenjang sekolah menengah (N = 284; M = 35,58 tahun) dengan alat ukur Student-Teacher Relationship Scale dari Aldrup et al. (2018) dan Teacher Subjective Well-Being Questionnaire dari Renshaw et al. (2015). Teknik analisis yang digunakan adalah analisis Independent Sample T-Test. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kondisi hubungan guru-siswa [t(284) = -0,430; p = -0,667] dan well-being [t(284) = 1,815; p = 0,71] pada guru wali kelas dan guru non-wali kelas di jenjang sekolah menengah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Afiifah
"Penelitian sebelumnya menunjukkan growth mindset merupakan karakteristik yang esensial untuk dimiliki guru agar dapat membantunya menjadi seorang guru pembelajar seumur hidup, yang berorientasi kepada murid, dan mampu menumbuhkan budaya pembelajaran. Lebih lanjut, penelitian sebelumnya menunjukkan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang dengan growth mindset juga ditemukan pada seseorang yang menerapkan self compassion. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji hubungan antara self compassion dan growth mindset pada guru sekolah dasar. Partisipan penelitian merupakan guru sekolah dasar (N = 236) yang berasal dari 13 provinsi di Indonesia. Alat ukur yang digunakan adalah Self Compassion Scale dan General Implicit Theories of Intelligence Scale. Analisis korelasi Spearman menunjukkan self compassion dan growth mindset berkorelasi positif. Hasil penelitian juga menunjukkan seluruh dimensi self compassion berkorelasi signifikan dengan growth mindset. Temuan penelitian mengindikasikan self compassion dan growth mindset merupakan karakteristik yang saling menunjang dan dapat bermanfaat bagi guru dalam menjalankan perannya. Limitasi penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya juga didiskusikan.

Past studies have shown that growth mindset is an essential characteristic for teachers in order to drive them to be a lifelong learner, who focuses on students, and be able to foster a learning culture. Furthermore, past studies suggest that characteristics possessed by someone with a growth mindset are also found in someone who applies self compassion. The purpose of this study was to examine the correlation of self compassion and growth mindset among elementary school teachers. The participants consisted of 236 elementary school teachers from 13 provinces in Indonesia. The instruments used in the current study were the Self Compassion Scale (SCS), and the General Implicit Theories of Intelligence Scale General ITIS. A Spearman correlation analysis revealed selfcompassion has a positive relationship with growth mindset. Results also revealed that all dimensions of selfcompassion and growth mindset were significantly correlated. Findings indicated that self compassion and growth mindset might mutually be beneficial for teachers in doing their roles. Limitations and recommendations for future research are discussed."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Ardiana Dwitya
"Kelahiran adik bayi dapat menjadi sumber stres yang cukup besar bagi anak pertama (Levy dan Winniecott dalam Teti, Sakin, Kucera, Corns, dan Eiden, 1996). Salah satunya adalah anak bisa menjadi lebih agresif terhadap adiknya (Teti et al, 1996). Perilaku agresi dapat dikurangi dengan mengembangkan perilaku prososial (Bushman dan Huesmann, 2010). Faktor keluarga adalah salah satu hal yang memengaruhi perkembangan perilaku prososial pada anak. Pada masa pasca kelahiran adik bayi, secara otomatis ibu akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bayi yang baru lahir sehingga diharapkan ayah dapat lebih terlibat dengan anak sulungnya (Volling, 2005). Dalam beberapa penelitian sebelumnya, keterlibatan ayah ditemukan memiliki hubungan dengan beberapa aspek perkembangan anak, seperti perkembangan perilaku prososial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial pada anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi. Enam puluh lima orang ayah dan ibu menjadi partisipan dalam penelitian ini untuk melaporkan keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung. Keterlibatan ayah diukur dengan menggunakan Paternal Index of Child Care Inventory (Nangle, Kelley, Fals-Stewart, dan Levant, 2003), sedangkan perilaku prososial diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keterlibatan ayah dan perilaku prososial anak sulung usia prasekolah terhadap adik bayi.

The arrival of a baby sibling can be a major stressor for firtsborn children (Levy and Winniecott, in Teti, Sakin, Kucera, Corns, and Eiden, 1996). This event can increase children?s aggressiveness towards the baby (Teti et al, 1996). Aggressive behavior can be decresead by developing prosocial behavior (Bushman and Huesmann, 2010). Family is one of factors that can determined child?s prosocial behavior. After the arrival of a baby sibling, mother will automatically spend more time with the newborn, so father?s involvement with the firstborn is expected to be improved (Volling, 2005). In some previous studies, the father involvement was found to have correlation with some aspect of children?s development, such as the development of prosocial behavior. This study was conducted to measure the correlation between father involvement and prosocial behavior among preschool-age fistborns toward baby sibling. Sixty five fathers and mothers were participated in this study, reporting father involvement and firstborn?s prosocial behavior. Father involvement was measured using Paternal Index of Child Care Inventory (Nangle, Kelley, Fals- Stewart, dan Levant, 2003), while firstborn?s prosocial behavior was measured using instrument that was developed by researcher. The result of the study shows that there is no correlation between father involvement and prosocial behavior among preschool-age firstborns toward baby sibling.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Danar Tri Kusuma Ramdani
"Berbagai literatur mengemukakan bahwa joint attention merupakan defisit yang khas dialami anak dengan autism spectrum disorders (ASD). Joint attention merupakan dasar utama dari perkembangan sosial-komunikasi anak, dan anak dengan ASD umumnya mengalami masalah dalam hal ini (Volkmar, 2007). Pivotal response training (PRT) merupakan salah satu bentuk intervensi yang dapat diterapkan untuk membantu anak dengan ASD meningkatkan kemampuan joint attention. Penelitian ini menggunakan desain single-subject untuk melihat apakah penerapan PRT secara efektif dapat meningkatkan kemampuan joint attention pada anak dengan ASD. Penerapan teknik PRT akan dilakukan oleh ibu. Hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan perilaku joint attention setelah diterapkannya intervensi PRT oleh ibu.

Various literatures have been explaining that joint attention deficiency is unique to children with autism spectrum disorders (ASD). Joint attention is the main fundamental for social-communication development of children, and children with ASD usually have problem with this skill (Volkmar, 2007). Pivotal response training (PRT) is one of the interventions that can be used to increase joint attention skill. This current study used single-subject design to find whether PRT is effective to increase joint attention skill for child with ASD. PRT intervention is used by the mother. Results indicated the increase of joint attention after PRT intervention have been used.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T32955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Vania
"ABSTRAK
Pembelajaran di sekolah merupakan hal penting bagi perkembangan fisik,
kognitif, dan sosial anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Perkembangan pada
ketiga aspek ini umumnya akan menjadi kurang optimal ketika anak menunjukkan
SRB. Penelitian dengan menggunakan single-subject design ini menerapkan
contingency contract untuk meningkatkan frekuensi perilaku bersekolah pada
seorang anak laki-laki berusia 5 tahun 11 bulan. SRB yang ia tunjukkan
dilatarbelakangi oleh motif untuk memperoleh hal-hal yang menyenangkan di luar
sekolah. Intervensi dilakukan sebanyak 19 sesi. Ketika anak menunjukkan
perilaku bersekolah, anak akan memperoleh positive reinforcement yang telah
disepakati. Demikian pula sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan anak dapat
pergi ke sekolah pada 17 sesi intervensi tanpa memunculkan masalah perilaku.
Hasil ini sesuai dengan kriteria keberhasilan program sebesar 90%. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan contingency contract dalam
penelitian ini cukup efektif untuk meningkatkan perilaku bersekolah pada anak.

ABSTRACT
Learning at school is an important process for children’s physical, cognitive, and
social development (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Development on these
aspects will be less optimal when the child shows SRB. Using single-subject
design, this research utilized contingency contract to increase the frequency of
going to school behavior on a 5-years-11-months-old boy, who refused to go to
school in order to pursue tangible reinforcement outside the school setting. The
intervention was conducted in 19 sessions. When the boy showed going to school
behavior, he would get positive reinforcement due to the agreement in the
contract, and vice versa. The result indicated that the boy could go to school for
17 sessions without showing behavior problems. This intervention was considered
successful because it fullfilled the minimum criteria for program success, which
was 90% of attendance. Thus it can be concluded that the application of
contingency contract in this research was effective to increase going to school
behavior."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T34890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>