Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pandya Praharsa
"Keberagaman spesies jamur yang dapat menyebabkan infeksi, serta resistensinya terhadap pengobatan antijamur, bervariasi tergantung terhadap wilayah dan factor lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran spesies dan kerentanan antijamur isolat jamur di Jakarta, Indonesia, untuk membantu membuat diagnosa dan tatalaksana yang personal terhadap pasien. Metode: Penelitian analitik retrospektif ini memanfaatkan data yang dikumpulkan selama periode tertentu. Spesimen jaringan pasien di Jakarta, Indonesia, diperiksa melalui mikroskop langsung dengan metode KOH dan kultur. Uji kerentanan dilakukan terhadap berbagai obat antijamur. Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS. Hasil: Rata-rata usia pasien yang diduga (n= 289) dan terindikasi (n= 130) menderita infeksi jamur adalah masing-masing 39,23 dan 41,09 tahun. Lebih dari setengah jamur tidak terdeteksi pada pemeriksaan KOH, juga tidak tumbuh pada kultur (55%, n=159/289). Sebagian besar spesimen jaringan berasal dari sistem pernapasan (48.8%, n=141), khususnya sinus (21.1%, n= 61). Dari spesies jamur yang terisolasi, Candida muncul sebagai spesies yang paling menonjol (57/119), diikuti oleh Aspergillus (29/119) dan Mucorales (13/119). Pengujian kerentanan kami menunjukkan bahwa Candida menunjukkan pola kerentanan yang sebagian besar konsisten dengan penelitian yang dilakukan di Semarang dan Jakarta (72-100% sensitive); namun, jika dibandingkan dengan data dari berbagai negara lain, pola kerentanannya berbeda. Sebagian besar isolat Aspergillus sensitive (81-100%) terhadap antijamur umum. Namun demikian, profil kerentanannya bergantung pada variabilitas lokal. Kesimpulan: Penelitian ini memberikan data terkini mengenai distribusi spesies dan kerentanan antijamur dari isolat jamur di Jakarta, Indonesia. Studi ini beharap bisa membantu diagnosis dan strategi pengobatan yang ter-personalisasi terhadap masing- masing pasien infeksi jamur.

Background: The diversity of fungal species that can cause infections, along with their resistance to antifungal treatments varies depending on region and other factors. This study aims to investigate species distribution and susceptibility profile of fungals in Jakarta, Indonesia, to provide epidemiological data to develop tailored diagnosis and treatment. Methods: This retrospective analytic study utilized data collected over the specified period. Tissue specimens from patients in Jakarta, Indonesia, were examined through direct microscopy with KOH and culture methods. Susceptibility testing was performed for various antifungal drugs. Data analysis was conducted using SPSS. Results: The average age of patients suspected (n= 289) and indicated (n= 130) to have fungal infections was approximately 39.23 and 40.67 years, respectively. Most fungi that are not detected in direct examination with KOH, does not grow in culture (55%, n=159/289). Most tissue specimens came from the respiratory system (48.8%, n=141) particularly sinus (21.1%, n= 61). Out of the isolated fungal species, Candida emerged as the most prominent (57/119), followed by Aspergillus (29/119) and Mucorales (13/119). Our susceptibility testing revealed that Candida demonstrated susceptibility patterns that were largely consistent with studies conducted in Semarang and Jakarta (72-100% sensitive); however, when compared to regions outside of Indonesia, results differ. Most of Aspergillus isolates were sensitive (81-100%) to common antifungals. Nevertheless, its susceptibility profiles are subject to local variability. Conclusions: This study provides an updated data on the species distribution and antifungal susceptibility of fungal isolates in Jakarta, Indonesia. This study hopes to improve diagnosis and treatment strategies of fungal infections."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Haekal Prastomo
"Introduction
The emerging of chronic kidney disease (CKD) as one of the dominant causes for death and suffering over the past two decades has been concerning. Additionally, increase oxidative stress in urban area and its association with other chronic diseases raising a notion of increase in chronic disease in area with low socio-economic status, namely, urban kampung. Due to that, this research was carried out to find the association between plasma MDA and factors related to decrease renal function in adult urban kampung population.
Method
This is cross-sectional research that used secondary data from participant with age ranging from 30-60 years and living in four area in Jakarta-Tangerang. Participants’ MDA level was measured as an indicator for oxidative stress. Kidney markers including eGFR, urea, and creatinine were also measured.
Results
From 153 participants, high level of oxidative stress was not found and all within normal capacity (0.1−2.9 µmol/L). Overall kidney function using eGFR showed 58.8% normal condition and function and 41.2% with decreased kidney function. Only 1.3% had increased creatinine levels (>1.3 mg/dL), while 51% of participants had increased urea level (>20 mg/dL).
Conclusion
No association between high plasma MDA and decreased kidney marker was found in adult participant of urban kampung area in Jakarta-Tangerang.

Latar Belakang
Meningkatnya angka penyakit ginjal kronik sebagai salah satu penyebab kematian dan penderitaan pasien sangat menghawatirkan. Peningkatan stress oksidatif di wilayah urban dan hubungannya dengan banyak penyakit kronis menyebabkan dugaan peningkatan penyakit kronik di wilayah dengan sosio-ekonomik yang rendah seperti di kampung urban. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan untuk mencari tahu adanya hubungan asosiatif antara hasil plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dengan penurunan fungsi ginjal.
Metode
Metode penelitian merupakan penelitian potong lintang (cross-sectional) dengan data sekunder yang berasal dari partisipan berumur 30-60 tahun di 4 wilayah kampung kota Jakarta-Tangerang. Partisipan dinilai menggunakan Plasma MDA sebagai indikator stress oksidatif dan penanda fungsi ginjal yaitu eGFR, urea, dan creatinin.
Hasil
Dari 153 partisipan, tidak ditemukan tingkat oksidatif tinggi dan semua berada pada batas normal (0.1−2.5 µmol/L). Hasil kondisi ginjal partisipan menggunakan eGFR terdiri dari 58.8% kondisi ginjal normal dan 41.2% mengalami penurunan funsi ginjal. Hanya 1.3% mengalami kenaikan nilai creatinine (>1.3 mg/dL) dan lebih dari 51% partisipan mengalami kenaikan nilai ureum (>20 mg/dL).
Kesimpulan
Hubungan Asosiatif antara tinggi plasma MDA dan penanda penurunan fungsi ginjal tidak ditemukan pada partisipan dewasa yang tinggal di daerah kampung urban
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Erlangga Bagas Pratama
"Kanker payudara menempati urutan kedua penyebab kematian akibat kanker tertinggi di Indonesia. Keterbatasan tatalaksana kanker payudara yang tersedia saat ini mendorong potensi tanaman herbal sebagai pengobatan alternatif, salah satunya daun suruhan (Peperomia pellucida) yang studinya masih terbatas di Indonesia. Serbuk daun suruhan dimaserasi menggunakan tiga jenis pelarut sehingga diperoleh ekstrak etanol, etil asetat, dan n-heksana. Uji fitokimia dan KLT dilakukan untuk mengetahui jenis dan jumlah komponen fitokimia. Aktivitas antioksidan diketahui melalui uji DPPH, sedangkan sitotoksisitas terhadap sel kanker payudara MCF-7 diketahui melalui uji MTT. Adapun korelasi antara aktivitas antioksidan dan sitotoksisitas ekstrak daun suruhan ditentukan melalui uji korelasi Pearson. Komponen fitokimia yang terkandung dalam ekstrak daun suruhan mencakup alkaloid, flavonoid, tannin, steroid, dan triterpenoid. Uji KLT menunjukkan bahwa ekstrak daun suruhan mengandung 20 komponen fitokimia. Ekstrak etanol dan etil asetat daun suruhan menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat kuat (IC50 = 14,45 µg/ml dan 22,12 µg/ml), sedangkan ekstrak n-heksana memiliki aktivitas antioksidan yang sedang (IC50 = 102,71 μg/mL). Ketiga jenis ekstrak memiliki efek sitotoksisitas yang kuat terhadap sel kanker payudara MCF-7 dengan kisaran nilai IC50 = 10,68 - 62,73 µg/ml. Adapun aktivitas antioksidan dan sitotoksisitas ekstrak daun suruhan menunjukkan korelasi yang sangat tinggi dan bernilai positif (r = 0,99). Ekstrak daun suruhan memiliki kandungan senyawa fitokimia, aktivitas antioksidan, dan efek sitotoksisitas terhadap sel kanker payudara MCF-7. Semakin kuat aktivitas antioksidan ekstrak daun suruhan, semakin kuat juga efek sitotoksisitasnya. Oleh karena itu, ekstrak daun suruhan berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen terapeutik dalam tatalaksana kanker payudara.

Breast cancer is the second most common cancer to cause mortality in Indonesia. Suruhan leaf (Peperomia pellucida), whose research is still limited in Indonesia, has the potential to be used as an alternative treatment for breast cancer due to the limitations of currently existing therapies for the disease. Suruhan leaf powder was macerated in three solvents to produce ethanol, ethyl acetate, and n-hexane extract. The type and amount of phytochemical were determined using phytochemical and TLC assays. Antioxidant activity was assessed using the DPPH method, and cytotoxicity effect on MCF-7 cells was determined with the MTT method. The correlation between antioxidant activity and cytotoxicity was determined using the Pearson correlation test. The suruhan leaf extract comprises alkaloids, flavonoids, tannins, steroids, and triterpenoids. TLC assay identified 20 phytochemical components within the suruhan leaf extract. The ethanol and ethyl acetate extracts displayed very strong antioxidant properties (IC50 = 14.45 µg/ml and 22.12 µg/ml), while the n-hexane extract exhibited moderate antioxidant activity (IC50 = 102.71 µg/ml). All three extract types demonstrated strong cytotoxicity effect against MCF-7 breast cancer cells, with IC50 values ranging from 10.68 - 62.73 µg/ml. The antioxidant activity and cytotoxicity effect showed a very high correlation and had a positive value (r = 0.99). Suruhan leaf extract possesses phytochemicals, antioxidant activity, and cytotoxicity against MCF-7 breast cancer cells. The stronger the antioxidant activity of suruhan leaf extract, the stronger the cytotoxic effect. Therefore, suruhan leaf extract has the potential to be developed as a breast cancer therapeutic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Nurfitriyanti
"Latar Belakang
Sindrom metabolik secara signifikan dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Inflamasi kronis merupakan salah satu mekanisme yang diusulkan memiliki peran penting dalam perkembangan sindrom metabolik menjadi penyakit kardiovaskular. Suatu penelitian eksperimental menunjukkan bahwa penargetan spesifik dari proses inflamasi terbukti dapat mengurangi perkembangan penyakit ini. Sitokin proinflamasi Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) telah diidentifikasi sebagai regulator utama respon inflamasi dan dianggap sebagai sitokin alarm yang bertanggung jawab dalam menginisiasi dan mempertahankan kondisi inflamasi sehingga TNF-α dipilih sebagai target pertama dalam cytokine-targeted approach. 6-Gingerol terbukti memiliki beberapa aktivitas farmakologis, termasuk anti-inflamasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui efek proteksi 6-Gingerol terhadap proses inflamasi jantung yang disebabkan oleh sindrom metabolik melalui penurunan protein penanda inflamasi TNF-α.
Metode
Tikus jantan Sprague-Dawley dikategorikan menjadi lima kelompok, yaitu normal sehat, sindrom metabolik (MetS), MetS + 6-Gingerol 50 mg/kgBB, MetS + 6-Gingerol 100 mg/kgBB, serta MetS + 6-Gingerol 200 mg/kgBB. Dilakukan pemberian diet tinggi lemak-tinggi fruktosa selama 16 minggu serta injeksi streptozotocin intraperitoneal (22 mg/kg) pada minggu ke-8 untuk menginduksi model sindrom metabolik. Di akhir penelitian, hewan diterminasi dan dilakukan pengambilan sampel jantung. Tingkat ekspresi TNF-α pada jaringan jantung diukur menggunakan BioEnzy© ELISA kit (Rat TNF-α ELISA Kit).
Hasil
Penelitian menunjukkan penurunan ekspresi TNF-α secara signifikan pada kelompok tikus MetS dengan pemberian 6-Gingerol dosis 200 mg/kgBB (p<0.001) dibandingkan dengan kelompok tikus MetS.
Kesimpulan
6-Gingerol berpotensi untuk memperbaiki proses inflamasi jantung pada sindrom metabolik pada jantung tikus dengan sindrom metabolik melalui penurunan ekspresi protein TNF-α.

Introduction
Metabolic syndrome (MetS) is significantly associated with an increased risk of developing cardiovascular diseases (CVDs). Chronic inflammation seems to be essential players in the progression of MetS and its subsequent transition to CVDs. Specific targeting of these processes in experimental models has been shown to reduce disease progression. Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) has been identified as a major regulator of inflammatory responses and considered as alarm cytokines which initiate and maintain inflammation, therefore, it was selected as the first target in the cytokine-targeted approach. 6-Gingerol has been reported to have a myriad of promising pharmacological activities including notable anti-inflammatory potential. Hence, research was conducted to determine the protective effect of 6-Gingerol in cardiac inflammatory process induced by metabolic syndrome through reducing the inflammatory marker TNF-α.
Metode
Male Sprague-Dawley rats were categorized into five groups: standard commercial diet, metabolic syndrome (MetS), MetS + 6-Gingerol 50 mg/kgBW, MetS + 6-Gingerol 100 mg/kgBW, and MetS + 6-Gingerol 200 mg/kgBW. Rats were fed with a high-fat high-fructose diet for 16 weeks and at Week 8, single-dose low-dose streptozotocin (22 mg/kg) were intraperitoneally injected to induce MetS. After all animals were terminated, cardiac tissue was harvested to measure TNF-α levels. TNF-α levels was measured using BioEnzy© ELISA kit (Rat TNF-α ELISA Kit).
Hasil
This study shows significant decrease of TNF-α levels in cardiac tissue in the MetS group administered with a dose of 6-Gingerol at 200 mg/kgBW (p<0.001) as compared to the MetS group.
Kesimpulan
6-gingerol potentially attenuates inflammation process in cardiac tissue of syndrome metabolic by their ability to reduce TNF-α protein expression
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eugenia Alya Maheswari
"Latar Belakang Pengobatan acne vulgaris menggunakan antibiotik eritromisin dan klindamisin memiliki risiko terjadinya resistensi antibiotik sehingga dibutuhkan pengobatan alternatif yaitu propolis. Propolis memiliki berbagai zat aktif seperti flavonoid yang dapat berperan sebagai antimikroba terhadap bakteri. Mikroenkapsulasi propolis merupakan metode pengolahan untuk meningkatkan solubilitas dan stabilitas propolis. Saat ini belum diketahui mengenai efek antimikroba mikroenkapsulasi ekstrak propolis stingless bee Indonesia (Tetragonula sapiens) terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis secara in vitro. Metode Uji broth microdilution dilakukan untuk melihat efek antimikroba dari mikroenkapuslasi ekstrak propolis Tetragonula sapiens, wax ekstrak propolis Tetragonula sapiens, serta kontrol positif berupa antibiotik klindamisin terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis ATCC 12228. Hasil Didapatkan nilai Minimal Inhibitory Concentration (MIC) terhadap bakteri S. epidermidis dari uji broth microdilution. MIC90 dari dari mikroenkapuslasi ekstrak propolis Tetragonula sapiens adalah 512 g/mL. Pada sampel wax ekstrak propolis Tetragonula sapiens belum ditemukan nilai MIC90, namun terdapat MIC50 yaitu pada kosentrasi 10.000 g/mL. MIC90 untuk klindamisin adalah 2 g/mL. Kesimpulan Mikroenkapsulasi ekstrak propolis Tetragonula sapiens memiliki efek antimikroba terhadap bakteri S. epidermidis pada konsentrasi 512 g/mL. Kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri mikroenkapsulasi ekstrak propolis Tetragonula sapiens lebih baik dibandingkan dengan ekstrak propolis Tetragonula sapiens dalam bentuk wax ditandai dengan nilai MIC yang lebih rendah pada mikroenkapsulasi ekstrak propolis. Daya hambat dari mikroenkapsulasi ekstrak propolis Tetragonula sapiens tidak sebaik terapi standar antibiotik klindamisin, namun mikroenkapsulasi ekstrak propolis Tetragonula sapiens memiliki potensi sebagai antimikroba S. epidermidis.

Introduction Treatment of acne vulgaris using the antibiotics erythromycin and clindamycin carries a risk of antibiotic resistance, so alternative treatment is needed, such as propolis. Propolis has various active compounds such as flavonoids which can act as antimicrobials against bacteria. Propolis microencapsulation is a processing method to increase the solubility and stability of propolis. Currently, it is not known about the in vitro antimicrobial effect of microencapsulated Indonesian stingless bee (Tetragonula sapiens) propolis extract against Staphylococcus epidermidis. Method The broth microdilution test was carried out to see the antimicrobial effect of microencapsulation of Tetragonula sapiens propolis extract, Tetragonula sapiens propolis extract wax, as well as a positive control in the form of the antibiotic clindamycin against the bacteria Staphylococcus epidermidis ATCC 12228. Results The Minimum Inhibitory Concentration (MIC) value was obtained for S. epidermidis bacteria from the broth microdilution test. The MIC90 of microencapsulated Tetragonula sapiens propolis extract is 512 g/mL. In the Tetragonula sapiens propolis extract wax sample, no MIC90 value was found, but there is an MIC50 at 10,000 g/mL. The MIC90 for clindamycin is 2 g/mL. Conclusion Microencapsulation of Tetragonula sapiens propolis extract has an antimicrobial effect against S. epidermidis bacteria at a concentration of 512 g/mL. The ability to inhibit bacterial growth of microencapsulated Tetragonula sapiens propolis extract is better compared to Tetragonula sapiens propolis extract in wax form, indicated by the lower MIC value in microencapsulated propolis extract. The inhibitory power of microencapsulated Tetragonula sapiens propolis extract is not as good as standard antibiotic clindamycin therapy however, microencapsulated Tetragonula sapiens propolis extract has potential as an antimicrobial for S. epidermidis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Muhammad Faqih
"Latar Belakang
Kanker payudara merupakan salah satu kanker paling umum pada wanita di dunia dan di Indonesia. Kanker ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, dengan faktor genetiknya berupa mutasi pada gen, termasuk gen BRCA2. Kemoterapi, termasuk Poly(ADP-Ribose) Polymerase (PARP) Inhibitor, digunakan untuk mengobati kanker ini dengan cara menghambat proses perbaikan DNA yang rusak. Namun, sebagian pasien mengalami resistansi terhadap obat tersebut. Mekanisme yang mendasari proses terjadinya resistansi masih belum banyak diteliti. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui profil gen BRCA2 yang bermutasi serta pengaruhnya terhadap resistansi PARP Inhibitor dengan pendekatan bioinformatika.
Metode
Penelitian dilakukan pada Januari-Oktober 2024 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan 16 sampel dari penelitian terdahulu berjudul “Raw FASTQ Data for Hotspot Regions of Cancer-Related 50 Genes Using Fresh Frozen Breast Carcinoma Tissues Obtained from IMERI-FMUI Biobank Collections” dengan accession code PRJNA820526 yang diperoleh pada 2014 hingga 2017 dan dipublikasi pada 24 Oktober 2022. Pengolahan data meliputi pengecekan kualitas data, variant calling, dan annotation gen BRCA2 serta pemodelan struktur proteinnya. Molecular docking juga dilakukan untuk melihat interaksi antara protein PARP dengan PARP Inhibitor. Hasilnya dilaporkan secara deskriptif untuk membandingkan gen normal dengan yang bermutasi. Hasil
Terdapat 0,321% varian pada sekuens dari seluruh subjek penelitian. Dua subjek (SRR18574457, SRR18574463) mempunyai mutasi BRCA2 pada daerah 3’UTR dan intron yang tidak mengubah struktur protein tersebut serta tidak mempunyai mutasi juga pada gen PARP. Tiga subjek lain (SRR18574458, SRR18574459, dan SRR18574466) mempunyai mutasi PARP4, PARP8, dan PARP9 pada daerah 3’UTR dan intron. Tidak terjadi penurunan afinitas interaksi antara protein PARP yang bermutasi dengan PARP Inhibitor.
Kesimpulan
Subjek penelitian dengan mutasi BRCA2 tidak mempunyai mutasi PARP yang menyebabkan resistansi PARP Inhibitor. Subjek penelitian dengan mutasi PARP tidak menyebabkan terjadinya penurunan afinitas interaksi dengan obat PARP Inhibitor.

Introduction
Breast cancer is one of the most common cancers in women in the world and in Indonesia. This cancer is caused by genetic and environmental factors, with genetic factors in the form of mutations in genes, including the BRCA2 gene. Chemotherapy, including Poly(ADP-Ribose) Polymerase (PARP) Inhibitors, is used to treat this cancer by inhibiting the process of damaged DNA reparation. However, some patients experience resistance to the drug. The mechanisms underlying the process of resistance have not yet been widely studied. Therefore, this descriptive study aims to identify the profile of the mutated BRCA2 gene and its effect on PARP inhibitor resistance using a bioinformatics approach.
Method
The study was conducted on January-October 2024 at the Faculty of Medicine, University of Indonesia. This study used 16 samples from previous research with the title "Raw FASTQ Data for Hotspot Regions of Cancer-Related 50 Genes Using Fresh Frozen Breast Carcinoma Tissues Obtained from IMERI-FMUI Biobank Collections" with accession code PRJNA820526 which was obtained from 2014 to 2017 and published on October 24th 2022. Data processing includes checking data quality, variant calling, and annotation of the BRCA2 gene as well as modeling the protein structure. Molecular docking was also done to see the interaction between PARP protein and PARP inhibitors. The results are reported descriptively to compare normal genes with mutated ones.
Results
There was 0.321% variance in the sequences of all study subjects. Two subjects (SRR18574457, SRR18574463) had BRCA2 mutations in the 3'UTR and intron regions that did not change the structure of the protein and did not have mutations in the PARP gene either. Three other subjects (SRR18574458, SRR18574459, and SRR18574466) had PARP4, PARP8, and PARP9 mutations in the 3'UTR and intron regions. There was no decrease in the affinity of the interaction between the mutated PARP protein and the PARP inhibitor.
Conclusion
Study subjects with BRCA2 mutations did not have PARP mutations that cause PARP inhibitor resistance. Research subjects with PARP mutations did not cause a decrease in interaction affinity with PARP inhibitor drugs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabiel Muhammad Haykal
"Latar Belakang
Sejak awal pandemi, dinamika mutasi pada domain RBD pada protein S-glycoprotein SARS-CoV-2 telah mengubah patogenisitas varian yang beredar di Indonesia. Penelitian ini akan menganalisis tren mutasi pada berbagai sampel domain RBD di Indonesia yang telah dipublikasikan di Genomic Database dengan menggunakan genomic profilling Metode
Pasien yang terinfeksi COVID-19 di Indonesia yang sampelnya telah dipublikasikan di database genomik dipilih untuk penelitian. Data berikut akan menjalani beberapa protokol bioinformatika, divisualisasikan ke dalam pohon filogenetik, rendering 3D, dan penilaian dampak mutasi untuk dianalisis.
Hasil
Terdapat 25 clade unik dan 318 RBD unik di Indonesia, mulai dari sampel paling awal hingga tahun 2022. T478K merupakan mutasi RBD yang paling sering, sedangkan 22B merupakan clade yang paling banyak diamati di Indonesia. Varian omicron menunjukkan skor docking yang lebih rendah dan destabilisasi protein yang lebih tinggi serta Kd yang lebih tinggi daripada galur tipe delta dan liar.
Kesimpulan
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan tren penurunan patogenisitas virus kemungkinan sebagai pertukaran untuk peningkatan penularan karena mutasi pada RBD selama bertahun-tahun.

Introduction
Since the beginning of the outbreak, the dynamic mutations on the RBD domain in the SARS-CoV-2 spike protein have altered the pathogenicity of variants circulating in Indonesia. This research analyzed the mutation trend on the various sample RBD domains in Indonesia published in Genomic Databases using genomic profiling.
Method
Patients infected with COVID-19 in Indonesia with samples published in genomic databases are selected for the research. The following data underwent several bioinformatics protocols, visualized into phylogenetic trees, 3D rendering, and assessment of mutational impact for analysis.
Results
There are 25 unique clades and 318 unique RBD in Indonesia, ranging from the earliest sample to 2022. T478K was the most frequent RBD mutation, while 22B was the most abundant clade observed in Indonesia. The omicron variant showed a lower docking score, higher protein destabilization, and higher Kd than the delta and wild-type strains. Conclusion
The results from the study suggested a decreasing trend in the virus pathogenicity as a potential trade-off to increased transmissibility due to the mutations in RBD throughout the years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munawir Umakaapa
"SARS-CoV-2 sebagai virus penyebab COVID-19 yang berikatan dengan reseptor ACE-2 untuk masuk ke dalam sel inang melalui protein spike-1. Protein spike-1 dapat menjadi target pencegahan COVID-19 melalui pengembangan vaksin. Vaksin berbasis DNA merupakan kandidat vaksin yang menjanjikan untuk dikembangkan. Spesimen naso-oro faring pasien COVID-19 yang telah dikonfirmasi dengan RT-PCR, diekstraksi dan diamplifikasi dengan menggunakan primer kloning terhadap plasmid pUMVC4a. Hasil sekuensing dianalisis dengan SeqScape 3.0 dan MEGA 11. Analisis epitop sel B dilakukan dengan berbagai piranti lunak berbasis web. Konstruksi DNA vaksin dilakukan melalui analisis in silico menggunakan SnapGene 6.0 serta in vitro melalui teknik DNA Rekombinan. Gen spike-1 teramplifikasi dengan ukuran 2.265 bp, namun ligasi ke pUMVC4a dan transformasi ke E.coli strain DH5α belum berhasil. Berdasarkan analisis, seluruh sekuen memiliki mutasi D614G dengan isolat A dan B memiliki PNI yang dekat dengan varian Wuhan wt sementara 5 isolat (C-G) termasuk dalam varian Omicron. Berdasarkan sifat antigenisitas, toksisitas, alergenisitas, topologi dan hidrofobisitas, empat belas sekuen asam amino (pada posisi 68-678 protein S-1) diajukan sebagai epitop terpilih. Terdapat 14 sekuens asam amino pada protein spike-1 SARS-CoV-2 yang dapat diajukan sebagai domain epitop sel B dalam pengembangan vaksin COVID-19 berbasis DNA.

SARS-CoV-2 as the virus that causes COVID-19 binds to the ACE-2 receptor to enter host cells via the spike-1 protein. Spike-1 protein can be a target for preventing COVID-19 through vaccine development. DNA-based vaccines are promising vaccine candidates to be developed. Naso-oropharyngeal specimens of COVID-19 patients confirmed by RT-PCR were extracted and amplified using clone primers against the plasmid pUMVC4a. The sequencing results were analyzed with SeqScape 3.0 and MEGA 11. B cell epitope analysis was performed with various web-based software. Vaccine DNA construction was carried out through in silico analysis using SnapGene 6.0 and in vitro using Recombinant DNA techniques. The spike-1 gene was amplified with a size of 2,265 bp, but ligation to pUMVC4a and transformation to E.coli strain DH5α were not successful. Based on the analysis, all sequences have the D614G mutation with isolate A and B having a PNI that is close to the Wuhan wt variant while 5 isolates (C-G) belong to the Omicron variant. Based on antigenicity, toxicity, allergenicity, topology and hydrophobicity, fourteen amino acid sequences (at positions 68 - 678 of protein S-1) were proposed as selected epitopes. There are 14 amino acid sequences in the SARS-CoV-2 spike-1 protein that can be proposed as B cell epitope domains in the development of a DNA-based COVID-19 vaccine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Yohanna Priscilla
"Latar Belakang Salah satu penyebab penuaan adalah adanya radikal bebas yang berperan dalam stres oksidatif. Glutation (GSH) berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap kerusakan oksidatif dengan menangkal radikal bebas melalui elektron yang didonorkannya. Spirulina sp. merupakan antioksidan alami yang dapat meningkatkan kadar glutation. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol Spirulina plantesis terhadap kadar glutation ginjal tikus. Metode Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Sampel berjumlah 30 tikus wistar jantan dari berbagai usia (12, 18, dan 24 minggu) masing-masing terdiri dari kelompok spirulina dan kontrol, sehingga total 6 kelompok. Kadar GSH diuji dengan metode Elman. Analisis data dilakukan dengan uji ANOVA. Hasil Data menunjukkan kadar GSH pada ginjal tikus berusia 12 dan 18 minggu yang diberi ekstrak etanol spirulina lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Tikus kontrol berusia 24 minggu memiliki kadar GSH yang jauh lebih tinggi daripada yang berusia 12 dan 18 minggu. Tidak terdapat perbedaan bermakna di antara usia yang berbeda pada kelompok tikus yang diberi ekstrak etanol spirulina. Kesimpulan Pengaruh pemberian ekstrak etanol Spirulina platensis terhadap penundaan penuaan organ ginjal tampak lebih dominan khususnya di usia muda.

Introduction One of the causes of aging is the presence of free radicals which play a role in oxidative stress. Glutathione (GSH) plays a role in the body's defense mechanism against oxidative damage by removing free radicals through donating electrons. Spirulina sp. is a natural antioxidant that can increase glutathione levels. This study focused on determining the effect of administration of Spirulina plantesis ethanol extract on rat kidney glutathione levels. Method This study uses an experimental research design. The sample consisted of 30 male wistar rats of various ages (12, 18, and 24 weeks), with each consisting of spirulina and control groups, though the total was 6 groups. GSH levels were tested using the Elman method. Data analysis was performed by ANOVA test. Results Data showed that GSH levels in the kidneys of rats aged 12 and 18 weeks which were given spirulina ethanol extract were higher than the control group. Control mice aged 24 weeks had significantly higher levels of GSH than those aged 12 and 18 weeks. There were no significant differences between different ages in the group of mice given spirulina ethanol extract. Conclusion The effect of Spirulina platensis ethanol extract to delay the aging of the kidney organs was dominant especially at a young age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atheeya Raishya Kalzaman
"Pendahuluan:
Prematuritas, yang didefinisikan sebagai kelahiran sebelum 37 minggu masa kehamilan, merupakan penyebab utama komplikasi perkembangan dan kematian anak. Kelahiran prematur, yang sering menyebabkan perkembangan organ yang tidak sempurna, menimbulkan risiko seperti keterlambatan perkembangan saraf dan masalah kesehatan jangka panjang. Studi potong lintang ini bertujuan untuk menilai hasil perkembangan anak- anak prematur di bawah usia dua tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2022.
Metode:
Sebanyak 1.495 anak dilibatkan dalam penelitian ini. Hasil perkembangan yang dinilai meliputi keterlambatan perkembangan umum, bicara, motorik, dan global. Penelitian ini juga mengeksplorasi hubungan antara keterlambatan perkembangan dengan faktor-faktor seperti usia kehamilan, jenis kelamin, status imunisasi, dan status gizi menggunakan analisis chi-square dan regresi logistik.
Hasil:
Kelahiran prematur tercatat pada 43,1% dari sampel. Di antara anak-anak prematur, 15,8% mengalami keterlambatan perkembangan, termasuk 5% dengan keterlambatan bicara, 10,9% dengan keterlambatan motorik, dan 10,1% dengan keterlambatan perkembangan global. Anehnya, anak-anak cukup bulan memiliki tingkat keterlambatan perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak prematur. Faktor-faktor seperti imunisasi dan status gizi berhubungan signifikan dengan beberapa domain keterlambatan perkembangan, sementara jenis kelamin dan usia kehamilan tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Kesimpulan:
Meskipun anak-anak prematur umumnya dianggap lebih rentan terhadap keterlambatan perkembangan, studi ini menemukan prevalensi keterlambatan yang lebih tinggi pada anak- anak cukup bulan. Temuan ini menekankan pentingnya pemantauan berkelanjutan dan intervensi dini, tanpa memandang status kelahiran. Faktor-faktor seperti imunisasi dan gizi memainkan peran penting dalam mengurangi risiko keterlambatan perkembangan.

.Introduction:
Prematurity, defined as birth before 37 weeks of gestation, is a major contributor to developmental complications and child mortality. Preterm birth, often leading to incomplete organ development, poses risks such as neurodevelopmental delays and long- term health issues. This cross-sectional study aimed to assess the developmental outcomes of preterm children under two years of age at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) in 2022.
Methods:
A total of 1,495 children were included in the study. Developmental outcomes, including general, speech, motor, and global delays, were assessed. The study also explored associations between these delays and factors like gestational age, gender, immunization status, and nutritional status using chi-square and logistic regression analysis.
Results:
Preterm births accounted for 43.1% of the sample. Among preterm children, 15.8% exhibited developmental delays, including 5% with speech delays, 10.9% with motor delays, and 10.1% with global developmental delays. Interestingly, full-term children had higher rates of developmental delays compared to preterm children. Factors such as immunization and nutritional status were significantly associated with some developmental delays, while gender and gestational age did not show a significant correlation. Conclusion:
Though preterm children are typically seen as more vulnerable to developmental delays, this study found a higher prevalence of delays in full-term children. These findings highlight the importance of ongoing monitoring and early intervention, regardless of birth status. Factors like immunization and nutrition play a critical role in reducing developmental risks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>